Bab 15. Mengapa Harus Menolakmu

Lagi-lagi Sri terjaga lantas melirik jam dinding. Sudah hampir jam setengah satu dini hari, tetapi Dhanan belum juga pulang. Sri bangun, lantas menyingkap sedikit gorden. Betapa terkejutnya kala melihat motor Dhanan sudah terparkir di halaman rumah.

Tergesa Sri mengenakan jilbab lantas keluar dari kamar. Belum lenyap rasa terkejutnya karena melihat motor Dhanan, hampir saja ia menjerit kala melihat Dhanan duduk di ruang tamu berteman remang cahaya lampu dari teras rumah.

"Nan? Kapan kamu pulang?" tanya Sri menekan saklar lampu lantas duduk di samping Dhanan.

Dhanan menoleh. "Ibu belum tidur?"

Sri tidak langsung menjawab. Cermat ia mengamati wajah Dhanan dan langsung tahu yang bisa membuatnya seperti itu hanyalah urusan dengan Anggun.

"Ibu sudah tidur, tapi enggak bisa nyenyak. Ibu kepikiran kamu, ibu pikir kamu belum pulang."

Dhanan mengela napas. "Maaf, Bu. Dhanan pikir ibu sudah tidur. Lampu rumah sudah mati."

Sri mengusap lembut punggung putranya. "Ada apa?"

Dhanan mengalihkan pandangan, bibirnya tampak gemetar. "Mbak Septi benar, Bu."

Dahi Sri mengerut. "Benar bagaimana Nan?"

"Anggun menolak lamaran Dhanan, Bu."

Sontak sekujur tubuh Sri melemas. Septi memang sudah pernah mengatakan Anggun menolak lamaran Dhanan, tetapi ketika pernyataan ini keluar dari bibir Dhanan sendiri, hatinya ikut nyeri.

"Nan, coba kamu cerita yang jelas sama ibu."

Dhanan menggeleng. "Bu, Dhanan juga bingung bagaimana jelasinnya sama Ibu."

Sekali lagi Sri mengusap lembut punggung putranya. "Ya sudah, kamu istirahat dulu. Besok, kita bicarakan lagi. Mungkin, ada masalah yang sedang Anggun hadapi, sabar. Ibu tahu bagaimana Anggun, kamu-"

"Dia menolak dengan sadar, Bu," potong Dhanan, "aku sudah berusaha bilang ke kantor agar bisa pindah, Bu. Atasan aku juga sudah kasih beberapa pilihan. Aku hanya ingin kami menikah dahulu sebelum pindah ke Subang, Bu," lanjut Dhanan.

Sri benar-benar tidak bisa menanggapi kalimat Dhanan. Ia tidak tahu bagaimana mengobati resah juga kekecewaan yang jelas tersirat dalam binar mata Dhanan.

***

Berulang kali Sri mengurungkan niat mencampuri urusan Dhanan, tetapi bila ingat wajah Dhanan, Sri tidak tega membiarkan Dhanan hanyut dalam perjuangannya.

Satu dua kali Sri mengetuk pintu rumah Anggun. Ini hampir pukul lima, seharusnya Anggun sudah pulang. "Assalamualaikum," ucap Sri menaikkan suaranya.

Sri lega ketika pintu bergerak terbuka dan wajah Anggun menyambutnya. "Ibu?"

"Anggun, maaf ibu datang sore-sore begini, kamu sedang sibuk?"

Anggun menggeleng. Ia sudah bisa memprediksi hal ini akan terjadi. Setelah semalam, Anggun benar-benar menegaskan kalau ia tidak bisa menerima lamaran Dhanan, Anggun yakin pasti ibu atau kakak Dhanan akan datang meminta penjelasan.

"Enggak, Bu. Kita bicara di dalam, ya?" pinta Anggun memulas senyum.

Sri menurut dengan mengikuti langkah Anggun lalu duduk di sofa tunggal yang berseberangan dengan Anggun.

"Mas Dhanan pasti sudah cerita sama ibu, ya?" tebak Anggun yang merasa lebih baik tidak berbasa-basi.

Sri diam sejenak, berusaha mengartikan ekspresi Anggun yang tampak tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Iya. Dhanan sudah sedikit cerita. Hanya saja ...." Sri bimbang meneruskan kalimatnya.

"Anggun minta maaf sama Ibu, Mas Dhanan, Mbak Septi. Anggun mengecewakan kalian semua."

"Ada apa, Nduk? Kamu bisa cerita sama Ibu."

"Anggun enggak bisa menerima lamaran Mas Dhanan, Bu. Mas Dhanan berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dari Anggun."

Sri berpindah duduk ke sofa panjang yang diduduki Anggun. "Ibu tahu kalian saling sayang. Ada apa, Nggun?"

Air mata Anggun luruh. "Maaf, Bu."

"Apa apa Anggun?"

Anggun menyusut air matanya. "Anggun takut, enggak bisa memberikan yang terbaik untuk Mas Dhanan. Anggun enggak bisa. Selama ini Mas Dhanan selalu memikirkan Anggun, sedangkan Anggun bingung bagaimana menjalani rumah tangga, bagaimana berkeluarga tanpa Anggun tahu keluarga itu apa."

Sri mengusap lembut punggung Anggun. "Anggun, enggak ada yang menuntut kesempurnaan dari kamu. Berumahtangga itu kerja sama seumur hidup dengan pasangan dan Dhanan-"

"Justru karena itu, Bu. Aku enggak bisa menjadi pasangan seumur hidup Mas Dhanan. Aku yang enggak tahu apa-apa. Aku, aku kasihan sama Mas Dhanan, Bu."

"Semuanya belajar untuk saling melengkapi. Nak, Dhanan siap menerima kondisi kamu."

Sekali lagi Anggun menyeka air matanya. "Mas Dhanan berhak dapat yang lebih baik dari Anggun."

Sri menarik napas dalam-dalam. "Anggun, enggak ada manusia yang sempurna, begitu juga Dhanan."

"Anggun enggak berasal dari keluarga yang baik, Bu."

"Siapa yang bilang begitu? Ibu kenal nenek kamu, kakek kamu, ibu, ayah dan adik kamu. Ibu kenal, Nggun. Enggak ada yang salah dengan itu."

Anggun menggeleng. "Dhanan berasal dari keluarga yang rukun, sedangkan Anggun enggak, Bu."

"Lalu masalahnya di mana, Nak? Ibu tahu pernikahan itu menyatukan dua keluarga, tapi yang terpenting adalah kalian berdua." Anggun mencengkeram erat kedua tangannya. Bimbang dan takut jelas terpancar dari raut wajah Anggun. "Ibu tahu kamu juga sayang sama Dhanan. Enggak ada yang menuntut kamu untuk sempurna. Tuhan sudah sangat adil memberikan cobaan untuk tiap hamba-Nya."

Sekali lagi Anggun menyeka air matanya. Bohong kalau Anggun tidak takut kehilangan Dhanan. Anggun amat menyayangi Dhanan.

Suara salam dari luar rumah kompak membuat Anggun dan Sri menoleh. Anggun bangkit lantas bergegas keluar rumah.

Sri yang mengekor di belakang Anggun terdiam melihat Ningrum serta Rio yang sudah berdiri di serambi rumah. Interaksi antara mereka bertiga tampak begitu canggung. Bahkan ketika Ningrum memeluk Anggun, Ningrum lepas kendali-menangis tersedu dalam pelukannya.

Sri mendekati Ningrum, coba merengkuh bahu Ningrum. Pelan Sri membawa masuk Ningrum. Sesekali Ningrum menyeka air mata. "Rio, coba kamu ambil minum untuk mama kamu."

Tidak diperintahkan dua kali, Rio bergegas masuk ke dalam. Sri kembali menatap Anggun yang masih berdiri di ambang pintu. Ia mengerti akan alasan Anggun menolak pinangan Dhanan. Anggun takut kalau hubungan yang akan dijalani dengan Dhanan berakhir buruk seperti Anggun alami.

Rio memberikan secangkir air pada Sri, perlahan Sri menyerahkannya pada Ningrum. "Diminum dulu."

"Terima kasih, Mbak."

Sri mengangguk. "Sabar. Tenang. Sebaiknya kalian bicarakan apa pun yang perlu dibicarakan pelan-pelan. Saya pamit dulu."

Ningrum menahan tangan Sri. "Sebentar, Mbak. Saya minta Mbak tetap di sini. Mbak tahu semuanya."

Punggung Sri menegak, sejenak ia mengalihkan pandangannya ke arah Anggun. "Ningrum, kamu pasti bisa."

Ningrum mengeratkan genggamannya di tangan Sri. "Mbak, saya mohon, Mbak."

Akhirnya Anggun duduk di hadapan Ningrum. "Ada apa? Apa ada sesuatu lagi yang harus aku tahu? Apa yang Mama sembunyikan dari aku?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top