Bab 14. Melamar (Lagi)


"Kali ini gue satu pendapat sama kakak lo," ujar Bams lantas meniup lembut permukaan kopi miliknya.

"Enaknya semua selesai sekalian. Aku mau cepat beres."

Bams meletakkan cangkirnya. "Kayaknya enggak bisa begitu Nan. Sebaiknya memang harus satu-satu. Enaknya kalian nikah dulu, setelah itu baru mikir soal kerjaan."

"Anggun suka yang pasti. Rencana yang matang. Kamu juga tahu itu, kan?"

"Justru karena itu. Lebih baik kalian nikah dulu. Rencana kalian jauh lebih matang. Alasan minta pindah juga lebih kuat. Banyak, kok yang sementara LDM dulu."

"LDM?"

"Long Distance Marriage," jelas Bams kembali menyeruput kopinya. "Kalau seandainya kalian enggak berjodoh nikah atau putus, terus kalian jadi pindah ke Subang, bagaimana nanti lu sama Anggun bisa move on?"

Dhanan diam. Demi Tuhan, keputusannya kembali bercabang. Dhanan ingin Anggun bisa mengambil kesempatan emas sekaligus mendukung Anggun pergi karena Dhanan juga akan ikut dipindahkan ke Subang.

Bams melirik arloji di pergelangan tangan Dhanan kemudian bangkit. "Yuk, sebentar lagi masuk."

Dhanan mengangguk lemah lantas mengikuti langkah Bams. Pikirannya masih berada di seputaran Anggun. Dhanan ingin menyelesaikan semua masalah dalam satu tepukan. Setelah itu, ia bisa leluasa ikut masuk ke dalam permasalahan keluarga Anggun.

"Nan, bisa ke ruangan saya sebentar?" Jamal yang berdiri di ambang pintu tampak begitu serius. Dhanan refleks berdiri dan tanpa diminta untuk kedua kali, bergegas ia masuk ke ruangan Jamal.

Jamal menutup pintu. "Duduk Nan," pintanya kemudian duduk di kursi yang berseberangan dengan Dhanan.

"Terima kasih, Pak."

Jamal tersenyum lantas menatap Dhanan. "Kamu pasti tahu kalau saya itu senangnya langsung bicara pada inti masalah. Jadi, saya enggak akan berbasa-basi, ya?"

"Iya, Pak."

"Sesuai dengan permintaanmu tempo hari tentang pindah ke Subang, saya sudah telepon Ibu Inggit, selalu manajer operasional di Subang. Enggak tahu harus lega atau sebal ketika Ibu Inggit bilang sepertinya dalam dua atau tiga bulan ke depan, kantor cabang Subang memang memerlukan karyawan untuk menggantikan posisi admin warehouse yang rencananya akan berhenti karena melahirkan."

Wajah Dhanan berubah cerah dan ekspresinya itu membuat Jamal tertawa pelan. "Bapak serius?"

"Iya. Saya serius. Kemungkinan pegawai itu berhenti sekitar sembilan puluh persen. Katanya mau fokus ke anak. Kemungkinan kalau Ibu Inggit cocok sama kamu, kamu bisa ambil posisi pegawai itu."

"Iya, Pak, saya mau, mau, Pak!" ujar Dhanan penuh semangat.

"Saya rasa semangat kamu akan berkurang setelah kamu dengar kemungkinan selanjutnya."

Dalam satu detik senyum serta binar wajah Dhanan lenyap. "Manajemen menolak, ya, Pak?"

Jamal menggeleng. "Bukan begitu, Nan. Semua tergantung Ibu Inggit dan saya tentunya. Saya enggak bisa lepas kamu sebelum ada karyawan baru yang akan mengganti posisi kamu, tapi … masalahnya bukan hanya itu."

"Apa, Pak?" tanya Dhanan tidak sabar.

"Gaji kamu."

"Gaji saya?"

Jamal mengangguk. "Saya memang belum bertanya langsung dengan pihak personalia soal mutasi ini. Hanya saja, jelas upah minimum Subang lebih rendah dari Bogor. Ibu Inggit berkali bilang kalau gaji kamu setara dengan koordinator warehouse sedangkan admin enggak segitu, Nan."

"Jadi, gaji saya akan diturunkan, Pak?"

"Saya masih belum tahu, Nan. Saya belum bicara serius soal ini dengan manajer personalia karena saya ingin memastikan kamu sadar betul dengan apa yang akan kamu lakukan."

Ucapan Jamal membuat Dhanan terdiam. Bagaimana ia bisa memutuskan hal besar seperti ini tanpa ada pembicaraan lebih lanjut dengan Anggun juga ibunya?

Jamal kembali melanjutkan. "Alasan mutasi harus jelas, perpindahan harus sesuai dengan kebutuhan termasuk minat, kemampuan tanpa mengurangi hak-hak kamu dan tidak menimbulkan masalah di tempat baru."

Kedua pundak Dhanan terkulai lemas. "Jadi, saya enggak bisa pindah, Pak?"

"Saya enggak bicara begitu, Nan. Hanya saja, sebelum saya bertindak lebih lanjut, lebih baik kamu pikirkan lagi matang-matang. Coba bicara dengan calon istri kamu. Saya sudah mengajukan usul ke Bu Inggit untuk menyesuaikan beban kerja kamu. Kalau seandainya kamu jadi pindah, mudah-mudahan enggak ada kesenjangan antara kamu dengan koordinator warehouse di sana."

"Saya minta maaf sama Bapak karena sudah merepotkan."

"Enggak, saya enggak merasa direpotkan. Saya senang membantu kamu, hanya saja saya minta pikirkan matang-matang. Kalau sudah siap, benar-benar siap, kamu bisa bicara lagi sama saya dan saya akan mengajukan surat permohonan mutasi ke personalia termasuk surat rekomendasi untuk Ibu Inggit."

***

Tangan Dhanan erat menggenggam tali tasnya. Suara azan Maghrib yang bertalu di ujung telinga membuat Dhanan sesekali tertunduk menatap ujung sepatunya yang lusuh. Persis seperti isi dalam kepala Dhanan.

Gorden jendela rumah Anggun tampak ditutup. Keberanian yang ia pupuk sejak dari kantor sirna, tetapi langkahnya pasti menuju pintu.

Sekali dua kali Dhanan mengetuk pintu rumah Anggun. Hingga daun pintu terbuka lebar. Anggun yang sudah mengenakan mukena tampak terkejut menatap Dhanan.

"Aku enggak lama," ucap Dhanan tergesa, takut Anggun mengusirnya, padahal itu hal yang sangat wajar. "Kita perlu bicara," lanjutnya.

"Mas, selepas isya, nanti aku datang ke rumah kamu."

Dhanan menggeleng. "Aku enggak lama. Hanya sebentar."

"Apa apa, Mas?"

"Apa kita bisa menikah sebelum kamu berangkat ke Subang?" Dahi Anggun mengerut. "Ini hanya usul," lanjut Dhanan lagi sebelum Anggun marah.

"Mas, ini Maghrib. Kamu dengar suara azan, kan? Selepas isya kamu bisa datang lagi ke sini atau aku yang ke rumah kamu. Pembicaraan ini enggak bisa selesai dalam waktu singkat, Mas," sergah Anggun.

"Aku enggak lama, Nggun. Aku hanya ingin kamu jawab satu pertanyaan aku. Kamu mau enggak menikah sama aku? Tahun ini! Dalam waktu dekat."

"Aku … bagaimana aku bisa menjawabnya, Mas?"

"Ya atau enggak."

Anggun mengerlingkan mata, beberapa saat menatap plafon teras rumah, berharap air matanya tidak luruh. "Kamu tahu kondisi aku, kan?"

"Ya," jawab Dhanan mantap, "karena aku tahu kondisinya bagaimana, Nggun."

"Kenapa harus aku, Mas?"

Dhanan diam sejenak menatap Anggun. "Kenapa harus kamu? Maksudnya apa?"

Anggun tidak punya jawaban atas pertanyaan Dhanan. Ia juga sadar pertanyaan yang sebelumnya dilontarkan untuk Dhanan adalah satu kesalahan besar. Anggun mencintai Dhanan, tetapi ia meragukan dirinya sendiri.

Penuh kelembutan Anggun menggenggam erat kedua tangan Dhanan. "Aku dengar kamu mengajukan pindah ke Subang."

Tanpa sadar Dhanan menarik kedua tangannya dari genggaman Anggun. "Kamu tahu dari mana? Mbak Septi ke rumah kamu lagi?"

Anggun menggeleng. "Kamu terlalu memikirkan aku. Aku itu persis seperti layang-layang yang terbang di langit tanpa tahu kapan jatuh. Sudah saatnya kamu memikirkan diri kamu sendiri, Mas."

"Kamu itu bicara semakin ngelantur. Aku hanya minta kamu bisa jawab pertanyaan aku."

"Mas."

"Aku mohon, kamu berjuang bersama aku. Aku hanya ingin kita bisa bersama."

"Bagaimana aku bisa menjadi kita, bagaimana aku bisa menjadi pelengkap hidup kamu kalau aku sendiri saja begini, Mas? Kamu enggak pernah ada diposisi aku. Kamu enggak tahu sakitnya dibuang, sakitnya enggak dianggap sama keluarga kamu sendiri!"

"Aku mengerti, Anggun! Sangat mengerti, tapi kamu enggak pernah melihat tentang apa yang kamu punya? Siapa yang selalu ada di belakang kamu. Aku, mendiang nenek kamu, kakek kamu."

"Mas, enggak semudah itu!"

"Sekarang, aku mohon, jawab saja pertanyaan aku, kamu mau menikah denganku atau enggak?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top