Bab 13. Silakan Pilih! Keluarga atau Anggun?

“Nan?” panggil Sri.

Setelah dua kali mengetuk, daun pintu terbuka semakin lebar. Dhanan keluar dari pintu dengan handuk diselempangkan di bahu kanan. “Iya, Bu. Ibu mau ke mana?” tanya Dhanan balik menatap Sri.

Sri menautkan kancing terakhir di jaket rajut coklatnya. “Beli nasi goreng di depan. Tadi Ibu enggak masak. Kamu mau nasi goreng atau yang lain?”

“Kenapa Ibu enggak bilang sama Dhanan? Tadi Dhanan bisa mampir sebentar. Ibu enggak usah pergi, nanti habis mandi, Dhanan yang beli.”

Sri menepuk lengan putranya dengan lembut. “Engga usah. Kamu mandi, nanti selesai mandi makan. Ibu juga mau ke warung depan. Sekalian jalan. Ibu pergi, ya.”

Setelah Dhanan mengangguk, Sri pergi. Sesekali ia menoleh ke arah rumah. Di balik jilbab panjang, dua tangannya saling bergesekkan. Entah karena dingin diterpa angin malam atau tidak enak sedikit berbohong pada Dhanan.

Sri menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu rumah Anggun. Lampu teras rumah sudah menyala, sayup ia juga mendengar suara televisi dari dalam rumah. Rasanya agak mustahil kalau Anggun tidak ada di rumah.

“Assalamualaikum. Anggun?”

Terdengar suara klik lalu pintu terbuka. Anggun tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dengan sigap ia menyalami tangan Sri.

“Maaf, Ibu datang malam-malam.”

Anggun menggeleng lantas melebarkan pintu. “Enggak apa-apa, Bu. Masuk, Bu.”

Sri tersenyum, sebentar mengusap lengan Anggun lalu masuk ke dalam rumah.

Anggun menepuk ujung dasternya yang terkena cipratan minyak lantas duduk di sebelah Sri. Dikunjungi keluarga Dhanan seperti ini memang sering terjadi. Namun, Anggun tidak pernah didatangi malam-malam begini.

“Gimana kabar kamu? Sehat?” tanya Sri membuka pembicaraan.

Anggun tersenyum tipis lantas mengangguk. “Baik, Bu.”

“Maaf, ya, Ibu kemarin enggak ikut ke acara empat puluh harian ayah kamu.”

Kali ini Anggun tidak bisa tersenyum, termasuk menyembunyikan kesedihannya. “Enggak apa, Bu.”

Sri meraih tangan Anggun, diletakkannya pelan di atas pangkuannya. “Ibu tahu kamu paling enggak suka berbasa-basi. Ibu dengar kamu ... akan pindah ke Subang?”

Dalam hati, Anggun memang menerka permasalahan apa yang akan dibicarakan Sri, tetapi Anggun sadar kalau sekarang banyak sekali masalah yang menjeratnya.

“Mas Dhanan ... cerita, Bu?”

Sri mengusap lembut punggung tangan Anggun. “Sedikit. Dhanan ajak Ibu pindah ke Subang.”

Refleks Anggun menarik tangannya dari genggaman Sri kemudian memiringkan tubuh agar bisa lebih leluasa menatap wajah ibu sang kekasih. “Pindah, Bu?”

“Iya.”

Anggun meremas jemarinya lebih erat. Sejujurnya, bahkan ia belum memikirkan lebih lanjut tentang kepindahannya ke Subang. Semuanya belum matang. Untuk apa Dhanan menanyakan hal ini pada ibunya? Bukankah itu terlalu gegabah?

Sudah sedari dulu Anggun merasa kehadirannya hanya sebuah beban dan kini pemikirannya terbukti. Anggun adalah beban untuk Dhanan.

“Katanya, Dhanan sedang mengusahakan agar dari kantor bisa dipindah ke Subang. Kalau memang enggak bisa, Dhanan mau cari pekerjaan baru di sana.”

Anggun kehilangan kata-kata. Pekerjaan yang sekarang digeluti Dhanan terbilang stabil dan baik. Ia tidak akan setuju bila Dhanan harus mengorbankan pekerjaannya.

Helaan napas Sri membuat Anggun yang tertunduk kembali menatap Sri. Jelas raut kecewa serta ketidaksukaan ada di air wajah Sri.

“Semuanya belum pasti, Bu,” ucap Anggun lemah hampir tidak terdengar.

“Dhanan juga bilang begitu.” Kali ini bergantian Sri yang menatap Anggun. “Dhanan bilang ingin semuanya siap saat kamu benar-benar dipindahkan ke sana. Dhanan enggak mau kamu ragu-ragu karena ini baik untuk karier kamu, Nak.”

Bibir Anggun yang terkatup rapat-rapat tampak gemetar. Gelenyar nyata merambat dadanya cepat berkumpul di pelupuk mata hingga membuat kabut di sana.

Sri mengusap lembut punggung Anggun lantas bangkit dari sofa. Ia tidak berniat untuk menekan Anggun, Sri hanya berharap Anggun tahu kalau Dhanan sangat memedulikannya. Sangat.

Pulang dari rumah Anggun, Sri pergi membeli satu bungkus nasi goreng lantas bergegas menuju rumah.

Matanya memicing saat  melihat mobil Septi terparkir di halaman rumah. Seingatnya ia keluar dari rumah hampir pukul delapan malam. Urusan apa yang membuat Septi berkunjung malam-malam begini?

Tangan Sri urung mendorong gagang pintu ketika terdengar bentakan Septi dari dalam rumah.

“Mbak enggak setuju! Kamu itu kalau mau apa-apa dipikir matang-matang, Nan! Apa harus kamu sampai sejauh itu berkorban untuk wanita yang jelas-jelas enggak pernah memikirkan kamu, Nan?”

“Anggun enggak begitu, Mbak!”

“Enggak begitu bagaimana? Kalau memang dia memikirkan kamu, Anggun akan terima lamaran kamu tanpa pikir panjang, Nan! Dia juga enggak akan suruh kamu untuk punya pikiran pindah ke Subang!”

“Anggun enggak nyuruh Dhanan, Mbak!” debat Dhanna yang mulai terpancing emosi.

“Hebat kamu sudah berani bentak Mbak!” balas Septi enggan mengendurkan amarahnya.

“Mbak, Dhanan enggak bentak. Dhanan juga minta pendapat sama Mbak baiknya gimana, Mbak,” sergah Dhanan memelankan suaranya.

“Minta pendapat bagaimana, sih? Orang kamu sudah tanya ke atasan kamu! Nan, Mbak sudah bilang sama Mas Aris, ada posisi bagus buat kamu di kantor, kamu juga pertimbangan saran Mbak untuk berkenalan sama teman kerja Mas Aris. Mbak kenal orangnya, dia baik, siap menikah dan—“

“Mbak!” potong Dhanan, “aku sayang sama Anggun, Mbak! Aku cinta sama Anggun!”

“Apa Anggun juga begitu?”

“Mbak.”

“Kamu jangan macam-macam, Nan! Mbak enggak setuju kalau ibu ikut kamu ke Subang! Kamu itu cuma mikirin diri sendiri! Sudah enak di sini, ibu punya banyak teman, rumah sakit dekat, ke pasar dekat! Kamu enggak usah aneh-aneh, Nan!”

“Mbak, Dhanan enggak maksa ibu untuk pindah sama Dhanan,” ujarnya membela diri.

“Tapi Mbak kenal ibu! Ibu pasti enggak akan tenang di sana! Kamu juga mikir Nan kalau nanti kalian punya anak, siapa yang menjaga? Kalau kamu di sini, ibu bisa bantu mengawasi orang yang ngasuh anak kamu!”

“Mbak, Anggun juga belum pasti pindah Mbak.”

“Halah, kalau memang jadi, mau gimana?”

“Assalamualaikum.”

Serempak Dhanan, Septi dan Aris kompak menoleh ke sumber suara. Sri meletakkan bungkusan di meja lalu duduk di samping Septi.

“Ada apa, to? Suara kamu terdengar sampai RT sebelah,” sindirnya menepuk paha Septi.

“Ibu dari mana? Sudah malam kok keluar?” tanya Septi sembari menyalami tangan Sri.

“Beli nasi goreng ke depan.”

“Sejak kapan kamu berani nyuruh ibu buat malam-malam keluar beli makan?” tanya Septi menunjuk Dhanan.

Sekali lagi Sri menepuk paha Septi, kali ini lebih kencang dari yang pertama. “Ibu yang mau pergi. Dhanan sudah melarang, Nduk. Sekalian tadi Ibu ada perlu ke rumah Ibu Narti depan komplek itu.”

Septi diam sejenak sebelum akhirnya kembali menatap Dhanan. “Pokoknya Septi enggak setuju kalau ibu ikut Dhanan ke Subang! Dhanan harus milih, keluarga atau Anggun!”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top