Bab 12. Dipaksa Tegas

Keresahan Dhanan tidak kunjung berkurang. Meski ia telah bicara langsung pada atasannya, sudah sedikit bercerita juga pada sahabatnya, kegelisahan Dhanan masih ada di dalam hati.

"Assalamualaikum, Bu. Dhanan pulang."

"Alaikum salam. Tumben pulang telat." Dhanan melepaskan tas yang diselempangkannya lantas duduk di sofa. "kalau mau pulang agak malam, telepon Mbak. Biar nanti Mbak cepat kesini temani ibu," sambung Septi.

"Ibu mana, Mbak?"

Septi menunjuk dengan ujung dagunya ke arah ruang tengah. "Di dalam, nonton sama Aisyah."

Dhanan mengangguk-angguk. "Dhanan ke kamar dulu, Mbak. Mau mandi."

"Eh, kamu belum cerita sama Mbak. Kemarin bagaimana di rumah Anggun?"

Apa yang bisa Dhanan ceritakan? Bahkan sampai detik ini, ia belum dihubungi Anggun. "Dhanan mandi dulu, Mbak. Nanti Dhanan cerita."

Septi menahan lengan Dhanan. "Sebentar saja," tuntutnya memaksa Dhanan kembali duduk. "Sebentar lagi Mas Aris jemput Mbak. Ayo, kamu cerita."

"Sudah, to. Dhanan baru pulang malah dipaksa cerita," protes Sri yang muncul dari ruang tengah. “kamu mau menginap lagi? Sudah malam.”

“Mas Aris jemput, Bu.”

“Kasihan Aris ke sini dulu jemput kamu.”

“Enggak apa-apa, Bu. Oia, Septi belum cerita sama ibu. Tahun ini Aisyah masuk SMP, Mas Aris kasih usul mau cari kontrakan rumah di sekitar sini sampai rumah laku terjual, terus kami beli rumah sekitar sini.”

Septi kaget ketika tanpa aba-aba Sri menepuk lengannya. “Kamu itu susah dikasih tahu. Kasihan Aris kalau punya rumah di sekitar sini. Jauh dari tol, jauh juga dari kantornya.”

Septi memberengut sembari mengusap lengannya. “Ini ide Mas Aris loh, Bu. Lagian Ibu itu kenapa, sih enggak mau tinggal sama Septi. Anak Ibu enggak cuma Dhanan, Bu!”

Sri mengusap dada. Membicarakan ini dengan Septi tidak akan menemui kata tamat. “Nduk, kalau nanti Dhanan menikah, Ibu lebih lega sebaiknya Dhanan juga enggak tinggal di sini. Kalian berdua, harus bisa tanpa Ibu.”

“Ibu ngelantur! Kalau Dhanan mau pindah dari sini, ya Septi yang tinggal di sini. Biar rumah Septi dikontrak ke orang saja!”

Sri menepuk dengkul putrinya. “Huss, kamu ini yang ngelantur. Ibu hanya menjaga, kalau-kalau takutnya nanti ada ucapan atau perilaku Ibu yang enggak enak di hati menantu-menantu Ibu, Sep.”

“Ah, pokoknya Septi enggak setuju. Hati Septi enggak akan tenang kalau ninggalin Ibu sendirian!”

Sri tersenyum sembari menepuk pelan paha Septi. Semakin tua, Sri semakin yakin kalau lebih baik ia tidak tinggal baik bersama Dhanan atau Septi. Ia mengerti, alangkah baiknya memang tidak memiliki dua ratu atau dua raja dalam satu atap.

Pandangan Sri beralih ke si bungsu yang sedari tadi diam. Dari raut wajah Dhanan, jelas terlihat kegelisahan.

“Ada apa, Nan? Diam saja.”

Dhanan terkesiap. Bukannya menjawab, ia malah diam bergantian memandangi ibu juga kakaknya.

“Kenapa, to, Nan? Kaya kesambet gitu mukamu,” timpal Septi menaruh curiga.

“Bu, Mbak, kalau misalnya Dhanan pindah ke Subang, bagaimana? Ibu mau ikut sama Dhanan ke Subang, 'kan?”

Kali ini giliran Sri dan Septi yang terkaget-kaget. “Subang? Nah, aku tuh sudah ada firasat, mesti ada apa-apa sama ini bocah!” sembur Septi sembari menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa.

Sri coba mengendalikan keterkejutannya. Ia mencondongkan tubuh ke arah Dhanan, mengusap lembut dengkul Dhanan. “Ada apa? Kamu dipindah ke sana? Biasanya kalau ada apa-apa di kantor, kamu selalu cerita sama Ibu.”

“Dhanan sedang cari info juga, Bu, apa bisa dipindahkan ke Subang. Kalau enggak bisa, terpaksa mungkin Dhanan cari pekerjaan lagi di Subang.”

Septi menarik punggungnya dari sandaran sofa secepat tersengat listrik. “Gimana-gimana? Mbak enggak mengerti. Memangnya ada apa? Kamu itu kalau cerita yang jelas Dhanan!”  seru Septi.

“Mbak, Dhanan minta Mbak enggak salah sangka dulu sama Dhanan.”

Dahi Septi mengerut. “Salah sangka? Kamu itu kebiasaan! Dari dulu kalau ada apa-apa enggak pernah jelas!”

Sri menepuk lengan Septi. “Kamu itu! Bagaimana Dhanan bisa cerita kalau kamu nyerocos terus!”

Septi kembali menghempaskan punggung ke sandaran sofa lantas melipat lengan di dada. “Ya sudah, apa? Coba cerita! Yang jelas!”

Dhanan mengusap peluh yang entah sejak kapan bermunculan di dahinya. “Bu, Anggun—“

“Nah, 'kan! Aku sudah punya firasat! Pasti ada hubungannya sama Anggun!” potong Septi yang lagi-lagi mendapatkan pukulan di paha dari Sri.

Dhanan kembali melanjutkan. “Anggun dapat tawaran kenaikan pangkat dari kantornya. Jadi kepala cabang di Subang. Memang belum pasti, tapi Dhanan pikir sebaiknya Dhanan memastikan kalau Dhanan juga bisa pindah ke sana.”

Septi ingin berkomentar, tetapi ia menahannya. Ia menatap Sri, menunggu pendapat dari ibunya terlebih dahulu.

“Anggun mau pindah ke Subang, Nan?”

“Masih belum pasti, Bu. Ada beberapa kandidat, masih dalam tahap seleksi.”

“Lalu kamu bagaimana?”

“Dhanan selalu mendukung yang terbaik untuk Anggun. Ini kesempatan baik. Dhanan sudah bicara sama atasan Dhanan tentang kemungkinan pindah ke Subang, Bu.”

Sri tidak menimpali, berkali ia meremas-remas buku-buku tangannya hingga memutih. Sulit untuk mengomentari masalah ini. Ia tidak keberatan kalau Dhanan dan Anggun pindah, tetapi mereka belum menikah.

“Oalah, kok cuma segitu saja komentarnya, Bu! Nan, dengerin Mbak. Kamu itu aneh. Anggun belum pasti kepilih, tapi kok iso kamu langsung menghadap atasan kamu minta pindah ke Subang!”

“Dhanan pikir biar sekalian selesai masalahnya, Mbak. Biar nanti kalau Anggun terpilih, dia enggak ada perasaan yang mengganjal lagi. Aku juga bisa pindah ke sana. Begitu, Mbak.”

Septi memijat kasar pelipisnya. “Terus piye kalau kamu enggak bisa pindah ke sana? Kamu bilang kamu mau cari kerjaan baru, kamu pikir zaman sekarang gampang cari kerjaan?”

“Pasti ada jalan keluarnya, Mbak! Dhanan enggak mau menghalangi jalan Anggun, Mbak!” debat Dhanan yang mulai terpancing emosi.

“Menghalangi, menghalangi gundulmu! Pikir panjang-panjang, Nan! Anggun itu ... aduh, apa yang ada di otaknya, kok bisa mikirin diri sendiri terus. Nan, menikah itu niatnya bukan hanya untuk akhirnya bisa bersama.”

“Mbak—“

“Kamu itu dengar dulu Mbak sampai selesai. Kamu itu adik Mbak! Satu-satunya! Sekarang itu posisinya kamu lagi enggak menyelesaikan masalah! Kamu itu malah nambahin masalah kamu, Nan! Kamu itu selesaikan satu per satu. Pertama, apa Anggun sudah menerima lamaran kamu? Kamu pastikan itu saja dulu.”

Dalam sedetik Dhanan diam. Ucapan Septi ada benarnya. Anggun saja masih belum menerima lamaran Dhanan.

“Nah, 'kan, diam. Kamu itu, ya Nan, masa harus diajari dulu, sih? Gemas Mbak sama kamu! Pokoknya sebelum mikirin Subang atau apa pun, kamu harus pastikan jawaban dari Anggun! Dia mau enggak menikah sama kamu!”

Sri mengusap kembali dengkul Dhanan. “Nan, mbakmu benar. Soal pindah, nanti kita bicarakan lagi. Pelan-pelan. Kalaupun harus pindah, Ibu rasa memang sebaiknya kamu dan Anggun menikah dahulu, Nan.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top