Bab 11. Keluar Dari Zona Nyaman
Tumpukan berkas yang tadi ada di sisi kanan Dhanan, dipindahkan olehnya ke kiri dekat mesin cetak. Beberapa kali Dhanan menggeser-geser posisi rak dokumen yang menurutnya 'berpindah' dari posisi awal.
Sesekali ia juga mengetuk-ngetuk ujung pena ke meja. Matanya memang menatap ke layar komputer, tetapi pikirannya jelas tidak ada di kantor.
Semalam Anggun marah besar, sampai-sampai Anggun enggak keluar kamar dan terpaksa Dhanan pulang sendiri ke Bogor esok harinya.
Malam itu, ucapan Anggun membekas jelas di hati dan kepalanya.
Percuma aku bicara sama kamu yang jelas-jelas enggak mengerti aku!
Benarkah Dhanan tidak mengerti akan kekasihnya itu? Padahal Dhanan hanya ingin Anggun tahu kalau Anggun tidak akan pernah sendirian. Anggun itu berharga.
"Bro, makan, yuk?"
Dhanan menoleh tak bergairah. "Jam berapa memang?"
Bams tidak langsung menjawab pertanyaan Dhanan. Ia melirik sekitaran meja Dhanan. Tumpukan berkas yang ia taruh tadi pagi memang sudah berpindah tempat, tetapi urutannya jelas masih sama. Map merah sebagai penanda isi di dalamnya adalah berkas penting yang harus selesai hari ini masih ada di paling atas.
Bams meraih map itu. "Ini berkas harus selesai hari ini, Nan."
"Iya."
Jawaban lemas Dhanan membuat Bams kembali meletakkan map lalu menatap Dhanan. "Ada masalah?" Tanpa menjawab pun, Bams tahu kalau Dhanan memang ada masalah. "kita ngobrol sambil makan mi ayam Mas Tamin enak kali, ya?"
"Ya sudah, ayo."
Dhanan bangkit mengikuti langkah Bams keluar dari ruangan. Keduanya menyusuri area parkir di belakang gedung kemudian keluar lewat pintu kecil yang tembus ke deretan penjaja makanan.
"Mas, mi ayam dua," pesan Bams kemudian menghampiri Dhanan yang terlebih dahulu duduk di bangku kayu persis di sebelah gerobak.
"Bams."
"Apa? Ada masalah, ya? Tentang Anggun?" tebak Bams sembari mengeluarkan sebatang rokok dari saku kemudian mematik api.
"Kok tahu?"
"Masalah lo apa lagi, sih? Paling tentang Anggun. Gimana acara kemarin?"
Dhanan menarik napas dalam-dalam sebelum udara di sekitarnya tercemar asap rokok Bams. "Aku telat. Sampai di sana, acara sudah selesai."
"Terus? Anggun ngambek?"
"Tapi bukan karena itu."
"Terus?"
Lagi-lagi Dhanan tidak langsung menjawab. Bams memang tahu kalau ia ingin menikahi Anggun, sesekali Dhanan bercerita tentang apa yang menjadi keresahan dalam menjalin hubungan dengan Anggun, tetapi Dhanan tidak pernah menceritakan secara rinci masalah yang terjadi antara Anggun dan dirinya.
"Kalau enggak mau cerita juga enggak apa-apa. Gue enggak pernah maksa," celetuk Bams membuka apa yang sedang Dhanan renungkan dalam kepalanya.
"Bukannya begitu, ada hal lain yang ingin aku selesaikan dahulu."
"Apa?"
Dhanan menggeser tubuhnya hingga menatap Bams. "Kantor kita punya cabang di Subang, enggak?"
"Hah?"
"Iya, kantor punya cabang di Subang enggak?"
"Lah, ada apaan? Kok—"
"Ada enggak?" potong Dhanan.
Bams menghisap dalam-dalam rokok lantas meniupkan asapnya. "Ada, setahu gue ada. Terlebih memang kita sedang ekspansi buka logistik pembantu ke beberapa daerah. Zaman sekarang, orang-orang mulai berani belanja online. Kayaknya, sih ada."
"Kalau aku mengajukan diri pindah ke sana, bisa enggak, ya?"
Kali ini giliran Bams yang menatap Dhanan. Ia membuang rokok yang masih setengah lantas menginjaknya. "Ada apaan, sih?"
"Anggun mau pindah kantor ke sana."
"Dia sudah terima lamaran lo?" Dhanan diam, "nah, kalau dari ekspresi lo, nih, kayaknya belum. Bener? Bro, kalau Anggun sampai menolak lo, bagaimana?"
"Monggo, ini mi ayamnya," potong Mas Tamin, "minumnya apa?"
"Teh manis dua," jawab Bams, "makan dulu, Bro."
Dhanan tersenyum tipis. Mi ayam favoritnya tidak bisa memancing selera makan Dhanan. Sekali lagi ia melirik Bams yang mulai menikmati makan siangnya. Pertanyaan tanpa hati yang Bams lontarkan barusan, membuat perut Dhanan seketika penuh.
Setelah menghabiskan setengah mangkuk dari mi ayam, Dhanan kembali ke kantor lebih dahulu, meninggalkan Bams yang masih mau menghabiskan sebatang dua batang rokok.
Tiba di kubikelnya, Dhanan diam menatap map merah yang harus ia selesaikan hari ini lantas Dhanan menatap ke arah ruangan atasannya.
Dhanan tetap berpikir langkah pertama yang ingin ia lakukan adalah mencari posisi aman tentang pekerjaannya di Subang. Kalau Dhanan bisa ikut pindah ke Subang, Anggun pasti bisa menerima lamaran Dhanan tanpa ada keresahan lagi.
Dhanan menatap ke arah kubikel di sekitarnya, rata-rata rekan kerja Dhana belum kembali dari istirahat makan siang. Mungkin, ini waktu yang tepat bertanya pada atasannya.
Pelan-pelan Dhanan mengetuk pintu. Ia mendorong daun pintu setelah terdengar atasannya mempersilakan.
"Maaf, Pak, mengganggu makan siang Bapak," sesal Dhanan ketika atasannya—Jamal menutup kotak makan siangnya.
"Enggak apa-apa, saya sudah selesai. Ada apa Dhanan?"
Dhanan menatap Jamal dengan mantap, sadar kalau ia tidak mungkin cari alasan lain atau mundur dari niatnya. "Pak, maaf kalau masalah saya ini melibatkan urusan kantor."
Jamal menggeser bekal makan siangnya lantas menatap Dhanan. "Enggak apa-apa, apa yang bisa saya bantu?"
"Pak, apa memungkinkan kalau saya pindah ke cabang pembantu kantor di daerah Subang, Pak?"
Jamal membetulkan letak kacamatanya. "Subang?"
Dhanan mengangguk. "Iya, Pak. Subang. Rencananya calon istri saya akan pindah kerja ke Subang. Niat saya, ingin menikah tahun ini, Pak."
Jamal menatap Dhanan. Sudah lebih dari lima tahun ia bekerja sama dengan Dhanan. Selama ini, menurutnya Dhanan adalah salah satu karyawan yang sulit untuk mengambil satu keputusan.
"Kamu serius?" tanya Jamal ragu, "karena masih di regional yang sama, mungkin saya bisa cari informasi, tapi saya enggak bisa menjanjikan apa-apa," sambungnya.
Tepat seperti dugaan Jamal, air wajah Dhanan berubah. Keraguan jelas ada dalam matanya. "Enggak memungkinkan, ya, Pak?"
"Saya belum bisa menjanjikan apa-apa. Saya juga harus cari tahu apa ada posisi kosong untuk kamu di sana dan saya juga harus memastikan posisi kamu di sini bisa diisi lagi. Jangan sampai nantinya mengganggu tim yang lain."
"Maaf, ya, Pak."
"Oh, enggak apa-apa. Enggak perlu minta maaf sama saya. Ini pasti pilihan yang sulit juga buat kamu. Saya mengerti setelah menikah, pastinya kamu selalu ingin dekat dengan istri."
"Iya, Pak."
"Saya akan coba bantu, hanya saja, saya minta kamu pikirkan dulu matang-matang. Kinerja kamu di sini sangat baik, saya pasti akan kesulitan kalau kamu keluar dari tim."
"Maaf, Pak. Saya juga tetap berharap ada solusi terbaik. Saya berharap enggak perlu keluar dari perusahaan. Saya berharap bisa pindah saja ke kantor cabang di Subang."
Jamal tersenyum lantas mengangguk. "Iya. Nanti saya akan kasih kamu kabar."
"Baik, Pak."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top