Bab. 09. Akan Selalu Ada

Dhanan terdiam menatap Anggun yang duduk termenung sendirian. Jujur saja, selama bertahun-tahun menjalin hubungan dengan Anggun, Dhanan tidak pernah memiliki kesempatan menenangkan Anggun yang terbakar emosi.

Anggun selalu menyimpan rapat-rapat semua yang berkaitan dengan keluarganya. Dhanan tidak akan tahu apa-apa kalau Rio tidak mengatakan ada pembacaan surat wasiat setelah acara pengajian empat puluh harian selesai.

Dhanan coba tersenyum lantas mendekati Anggun lalu duduk di sampingnya. "Ini, minum dulu," tawar Dhanan menyodorkan sebotol air mineral dingin.

"Terima kasih," jawab Anggun menyambut botol mineral dari tangan Dhanan.

Keduanya kembali terdiam. Keramaian yang mengelilingi mereka tidak bisa mencairkan kebekuan. Dhanan menunduk—menatap ujung sepatunya. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi sepertinya apa yang ditakutkan Rio terjadi.

"Kamu lapar? Sudah makan?" Seketika Dhanan menatap Anggun. "Kamu sudah makan?" tanya Anggun lagi.

"Kamu lapar?"

Anggun menunjuk tenda penjual nasi goreng di seberang jalan. "Setelah ayah meninggal, aku belum makan lagi di sana."

Refleks Dhanan menatap ke arah yang ditunjuk. Anggun. "Mau makan di sana?"

Anggun menggeleng. "Enggak. Aku takut."

"Takut?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Ayah adalah satu-satunya orang yang menganggap aku ada. Menganggap aku berharga. Setiap harinya, aku selalu menantikan tanggal merah atau penghujung minggu. Ayah pasti datang jemput aku di rumah nenek. Ayah ajak aku makan di sana. Berdua saja. Walau Rio menangis, dia enggak pernah diajak."

Dhanan diam. Bingung menanggapi ucapan Anggun. Apalagi ia belum tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi di acara empat puluh harian mendiang almarhum ayah Anggun.

"Aku berpikir, asalkan ada ayah yang selalu sayang sama aku, enggak masalah semua orang enggak pernah anggap aku ada. Ayah saja sudah cukup."

Mendengar suara Anggun yang mulai gemetar, Dhanan  mengusap punggung Anggun. "Kamu bisa cerita nanti, Nggun. Tenangkan diri kamu dahulu."

Anggun menggeleng, cepat-cepat ia menyeka air mata yang telanjur melintasi pipinya. "Nyatanya enggak seperti yang aku pikirkan. Aku enggak dianggap anak sama ayah."

"Enggak mungkin kenyataannya seperti itu. Pasti ada salah paham. Kamu harus dengar dulu penjelasan Rio."

"Kamu sama dengan Rio, Mas. Kalian enggak pernah ada di posisi aku. Kalian tumbuh dalam hangat matahari, mengagumi indahnya pelangi juga menikmati melodi. Sedangkan aku ... enggak."

"Apa yang terjadi, Nggun?"

"Yang terjadi," gumamnya, "kamu pasti hanya akan menilai kalau aku ingin harta ayah."

"Harta? Apa ini soal ... warisan?" tebak Dhanan ragu.

"Aku enggak ingin warisan itu! Apa kamu juga enggak percaya sama aku?"

"Aku percaya sama kamu Anggun."

Anggun diam menatap Dhanan. Lelaki yang ia kenal sedari kecil sudah lama menemaninya. Dhanan yang sabar dan hampir selalu meng-iyakan ucapan Anggun. Dhanan yang manis. Dhanan yang ia sayangi.

Keluarga Dhanan sangat harmonis, Dhanan tumbuh dengan banyak kasih sayang yang menyelimutinya. Alangkah baiknya  jika memang Dhanan mendapatkan wanita yang sama sepertinya. Wanita yang tidak berasal dari keluarga yang berantakan.

"Apa memang harus aku, Mas?"

"Nggun."

"Mas pernah tanya, apa aku sayang sama kamu. Jawabannya iya. Hanya saja aku rasa lebih baik kamu menikahi wanita yang berasal dari keluarga baik-baik."

"Apa yang salah dengan keluarga kamu, Nggun? Aku kenal mereka sedari aku kecil. Enggak ada yang salah."

"Enggak ada yang salah? Kamu menilai itu dari sisi yang mana, sih, Mas? Kamu tahu apa masalahnya? Masalahnya  itu aku enggak dianggap anak sama mereka! Oh, apa mungkin aku memang anak angkat!"

"Nggun, kenapa pembicaraan kita jadi kemana-mana, sih? Dari tadi omongan kamu ngelantur. Sekarang kamu bilang  aku harus cari wanita lain. Yang mau aku nikahi adalah kamu, bukan keluarga kamu."

"Pernikahan itu bukan hanya milik dua orang saja, Mas!"

"Aku rasa enggak ada masalah sama hubungan  kita, Nggun. Sejauh ini hubungan aku dengan keluarga kamu, hubungan kamu dengan keluarga aku enggak ada masalah. Kita direstui, terus masalahnya di mana?"

"Kamu juga tahu hubungan aku dengan keluarga aku enggak baik. Bagaimana aku bisa membangun satu keluarga kalau aku sendiri enggak tahu apa itu keluarga, Mas!"

Dhanan mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia menatap ke sekelilingnya dan tahu mereka berdua mulai jadi pusat perhatian.

"Anggun, kita bicarakan lagi besok. Kita pulang dulu. Mau pulang ke Bogor atau bagaimana?"

Anggun menghela napas kemudian bangkit. "Aku enggak bawa tas sama ponsel aku. Mau enggak mau aku harus balik ke rumah orang itu."

"Nggun."

"Apa? Toh mereka juga enggak anggap aku."

Dhanan bangkit kemudian mengeluarkan kunci motornya dari saku jaket. "Kita bicara lagi nanti."

Anggun membiarkan Dhanan pergi terlebih dahulu. Dadanya terasa sesak melihat Dhanan pergi menjauh. Ya, ia sangat mencintai Dhanan. Ia tidak ingin kehilangan Dhanan, tetapi ia sendiri tidak yakin apa bisa berdamai dengan dirinya sendiri?

Bagaimana mungkin, ini bisa terjadi? Mengapa sang ayah yang selama ini menjadi satu-satunya harapan malah tidak menyebutkan namanya sebagai anak? Anggun tidak memikirkan harta warisan, Anggun hanya bertanya mengapa ia tidak disebut anak oleh sang ayah?

Sekarang, apa yang bisa ia bangun bersama dengan Dhanan kalau ia saja tidak tahu apa itu arti sebuah keluarga?

"Anggun."

Anggun mengerjapkan matanya hingga bulir bening bergulir meluncur di pipi. Lambat ia berjalan menghampiri Dhanan. Anggun ingin berjalan terus bersama dengan Dhanan, tetapi apa ia akan terus ditemani oleh Dhahan? Apa ia harus kembali menyandarkan diri sekaligus harapan pada orang lain lagi? Bagaimana kalau di akhir cerita hanya akan ada kesedihan seperti saat ini?

"Ini sudah mau jam sepuluh. Kamu enggak usah pulang, ya? Aku juga sudah bilang sama ibu mau cari penginapan murah di sekitar rumah kamu. Ibu enggak izinkan aku pulang karena cemas."

"Kalau begitu, aku juga cari penginapan saja. Aku ambil tas dan pakaianku."

Dhanan urung memakai helmnya. Ada banyak rasa sedih dan kecewa yang berbayang di dalam mata Anggun. Dhanan tidak mau banyak bertanya.

"Ya sudah, terserah kamu saja. Ayo, kita ambil barang-barang kamu."

Anggun mengangguk kemudian naik ke jok motor Dhanan. "Maaf, aku selalu merepotkan kamu."

"Justru aku kecewa kalau kamu enggak cerita apa-apa sama aku."

Anggun mencengkeram besi pegangan jok ketika motor Dhanan bergerak meninggalkan tempat itu. Hati Anggun diliputi banyak ketakutan ketika motor Dhanan kembali masuk ke area perumahan.

"Aku enggak mau kasih kesan kurang baik sama mama kamu, Nggun."

"Enggak perlu panggil dia dengan sebutan itu."

"Anggun, apa pun yang akan terjadi nanti, kamu harus tahu satu hal. Kamu enggak akan pernah sendirian. Kamu enggak akan pernah sendirian. Aku akan selalu ada untuk kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top