Bab. 08. Terserah.
"Mbak, enggak begitu, Mbak. Mbak harus tenang. Rio enggak akan seperti yang Mbak bayangkan, Mbak!"
"Memangnya kamu tahu apa yang sedang aku bayangkan, hah?"
Pandangan Rio beralih ke sang bunda, berharap ibunya bisa menenangkan Anggun, tetapi Ningrum hanya bisa diam menahan isak tangis yang terus menghantam dadanya.
Helaan napas Hotifah membuat Anggun menoleh. "Buat malu saja. Wiji, ini sudah malam, ayo pulang. Lama-lama di sini cuma bisa bikin darah tinggi," ucap Hotifah sembari bangkit dari kursi.
Wijiarti sigap membantu ibunya berjalan menuju pintu. "Kamu harus ingat sama janji kamu Ningrum! Hak Rio harus dipenuhi! Kamu harus ingat itu! Saya akan tetap mengawasi sampai Rio dapatkan semua haknya!"
Habis sudah kesabaran Anggun. "Hak Rio? Pernah enggak sekali saja Uak pikirkan hak Anggun? Apa salah Anggun sama Uak? Sama Nenek? Kenapa kalian enggak pernah anggap Anggun bagian dari keluarga kalian?" sembur Anggun berurai air mata.
"Segitunya kamu ingin harta adik saya, hah? Enggak tahu diri! Enggak tahu malu! Kita masih berduka kamu malah sibuk minta harta! Menyedihkan!"
"Anggun? Bukannya Uak yang selalu bilang setelah ayah meninggal, jatah warisan ayah dari kakek harus dikembalikan sama nenek? Siapa yang gila harta warisan? Anggun atau Uak?"
Tamparan keras yang dilayangkan Wijiarti di pipi kanan Anggun membuat Anggun limbung hingga ia menarik tangan Rio.
"Sudah, Mbak! Berhenti!" jerit Ningrum menarik tangan Wijiarti. "Saya mohon, Mbak, saya mohon."
Wijiarti mengibaskan tangan Ningrum, tanpa berkata apa-apa kemudian pergi bersama dengan Hotifah juga beberapa orang yang langsung membubarkan diri karena tahu suasana semakin tidak kondusif.
Ningrum menyeka air matanya kemudian menatap sang notaris yang tampak canggung. "Saya, saya minta maaf, terima kasih, Pak, nanti, Rio akan menghubungi."
"Baik, Bu, saya juga minta maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan. Saya permisi, Bu."
Sebelum menutup pintu setelah seluruh keluarga keluar rumah, Rio menoleh jauh ke arah jalanan. Hingga beberapa detik berikutnya Rio masuk.
Anggun tampak masih belum bisa meredakan tangisnya. Rio menoleh ke arah sang bunda yang duduk tertunduk di karpet yang masih terhampar. Sebagai satu-satunya lelaki di rumah ini, Rio berharap dirinya bisa menjadi penengah.
"Mbak," panggil Rio dengan suara super pelan.
Anggun menyeka air matanya dengan kasar. "Aku pamit pulang!"
Tergopoh-gopoh Ningrum berusaha menyamai langkah Anggun yang setengah berlari menuju kamar. Ningrum menarik tangan Anggun.
"Anggun."
"Apa? Apa lagi yang perlu Anggun dengar?"
Ningrum menggeleng. "Ini, ini semua enggak seperti yang kamu pikirkan."
"Mbak, Mbak tenang dulu. Kami, kami sudah bicarakan semuanya, Mbak."
"Tenang? Kami?"
Rio mengangguk. "Iya, Mbak. Ayah juga memikirkan Mbak. Semua bisa dibicarakan baik-baik. Sekarang Mbak tenang dulu, Mbak," bujuk Rio.
"Tenang? Kamu bisa ngomong kaya begitu karena kamu enggak ada di posisi aku! Memang dari awal kalian itu berniat buang aku! Seharusnya kalau memang begitu, kalian bilang!"
"Astaghfirullah, Nggun, Mama enggak ada berpikiran seperti itu, Nggun."
"Enggak berpikiran seperti itu? Mama ingat berapa tahun Anggun tinggal sama nenek? Nenek selalu bilang Mama lagi kerja. Anggun enggak bisa tinggal sama Mama karena Mama kerja, tapi nyatanya Mama hamil dan berhenti kerja karena mau urus Rio!"
"Anggun."
"Nenek bilang lagi, Anggun enggak bisa tinggal sama Mama karena Anggun sudah sekolah! Mama enggak punya uang untuk urus pindah sekolah Anggun! Sampai Anggun selesai kuliah pun, sampai Anggun kerja, Mama enggak pernah sekalipun minta Anggun untuk tinggal sama Mama! Enggak pernah!"
Tangan gemetar Ningrum menyentuh pipi Anggun, tetapi Anggun lebih sigap menepis tangan Ningrum. "Mama, Mama enggak begitu, Nggun."
"Oh, ya?" Anggun menepis air mata lantas coba tersenyum. "terus? Seperti apa, Ma? Coba, seperti apa?"
"Mbak, kita bicara lagi setelah Mbak tenang. Semua pasti ada jalan terbaik. Rio enggak serakah, Mbak. Rio sadar semua yang dimiliki ayah itu adalah hak kita berdua, Mbak. Anak-anaknya."
Sejenak Anggun memandangi Rio sampai tawa Anggun terlepas. Suara Anggun gemetar, air matanya merebak. Sekali lagi ia menyusut air mata dengan punggung tangannya.
"Anak? Anak-anaknya? Kamu enggak dengar apa yang tadi disebut, hah? Ayah hanya menyebutkan nama kamu, nama kamu. Hanya nama kamu Rio!" tegas Anggun.
"Mbak, kita tenang dulu. Bagaimana kita bisa bicara kalau Mbak masih seperti ini, Mbak!"
"Dari tadi kamu cuma bisa bilang untuk tenang, tenang! Aku sudah bilang kalau kamu enggak tahu apa yang aku rasain karena kamu enggak ada di posisi kamu dan asal kamu tahu aku enggak ingin harta ayah! Aku enggak butuh!"
"Mbak."
"Apa aku bukan anak ayah?" Mata Anggun dengan cepat beralih ke Ningrum. "apa aku bukan anak ayah?" ulang Anggun.
Ningrum menggeleng. "Mama mohon sama kamu, Nggun. Ka-kamu tenang dulu, enggak usah berpikiran yang aneh-aneh. Mama enggak mau begini Anggun," mohon Ningrum sembari menyatukan dua telapak tangannya.
Rio yang sedari tadi coba bersabar, menarik tangan Ningrum. "Rio enggak suka Mama begini! Mbak keterlaluan! Rio sudah bilang kalau kita bisa bicarakan hal ini baik-baik! Mama enggak salah apa-apa! Rio mengerti kalau Mbak butuh penjelasan, tapi kalau begini, Rio sama Mama enggak bisa jelasin apa-apa sama Mbak!"
"Kamu tahu apa yang salah? Aku yang salah! Aku yang salah karena masih berharap sama kalian!"
"Ini bukan tentang salah dan benar, Mbak! Rio enggak suka Mama sampai begini! Mama enggak boleh stress, Mbak!"
"Oh, jadi aku yang salah?" Anggun menyatukan kedua telapak tangannya kemudian menatap Ningrum. "Anggun minta maaf karena selama ini sudah jadi beban buat Mama!"
"Enggak begitu Anggun," lirih Ningrum.
Anggun tidak mau lagi berdebat. Hatinya begitu lelah lebih dari yang ia pikirkan. Ia hanya ingin pergi saja dari tempat itu. Anggun pergi menuju pintu depan, tetapi begitu ia membuka pintu, wajah yang sama terkejutnya menatap Anggun.
"Anggun?"
"Anggun, tunggu dulu, Nggun!" panggil Ningrum coba mencegah kepergian Anggun.
Dhanan melihat ke belakang melalui celah pintu, Rio dan Ningrum yang tampak panik di belakang Anggun, menggambarkan jelas situasi yang saat kini terjadi.
Mata Dhanan kembali beralih pada Anggun. "Nggun?"
Anggun kembali menepis air matanya. "Kita pergi dari sini!"
Dhanan terkesiap ketika Anggun menarik tangannya, kemudian bergegas menuju motornya yang terparkir di halaman rumah.
"Kita pergi!" titah Anggun.
"Tapi—"
"Sekarang, Mas!"
Dhanan mengangguk setuju, menyerahkan helm cadangan di dalam jok kemudian membawa Anggun pergi meninggalkan rumah.
"Nggun."
"Jangan bicara apa-apa! Jalan saja!"
"Kemana, Nggun?"
"Terserah! Terserah!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top