Bab 05. Hidup Memang Sebuah Pilihan

"Kata ibu, kamu ngasih uang buat beli seprai, ya? Besok Mbak ajak ibu ke pasar. Lagian, seprai kamu sama handuk sudah buluk begitu kok ya masih betah dipake, Nan. Makanya, nikah. Biar diurus sama istri kamu." Tidak mendapatkan komentar, Septi berhenti bermain ponsel lantas menatap Dhanan yang tampak berbaring di karpet depan rak televisi sembari memejamkan mata. "Kalau ngantuk pindah ke kamar, Nan. Sudah besar kok, masih saja harus dikasih tahu, to, Nan," tambahnya.

"Enggak ngantuk, Mbak. Dhanan cuma rebahan sebentar."

"Yo pindah ke kamar, Nan. Nanti ketiduran. Mbak mau pulang. Bisa-bisa kamu tidur sampai pagi di sini. Ibu enggak akan bangunin kamu."

"Iya, Mbak."

"Nan, kamu dengar enggak Mbak bicara apa Nan?" tanya Septi lagi gemas.

"Dengar, Mbak."

"Terus?"

"Terus apanya, Mbak?"

"Kenapa diam saja, Nan? Kamu marah sama Mbak?" cecar Septi lagi.

"Enggak, Mbak."

"Yo terus? Kok meneng wae, Nan?"

Dhanan duduk kemudian menatap kakaknya. "Mbak."

"Apa? Sampeyan itu, kapan bisa diandalkan, to, Nan. Ibu itu sudah tua, masa harus urus beginian terus to, Nan. Mbak juga-"

"Sepertinya Anggun dengar obrolan kita, Mbak," potong Dhanan.

Septi meletakkan ponselnya di meja lalu bergeser duduk di sebelah Dhanan. "Obrolan yang mana? Mbak sudah lama enggak ketemu Anggun, loh. Kamu jangan ngasal, Nan."

"Mbak, Dhanan juga enggak ngerti."

"Loh, terus piye?"

"Anggun enggak bilang kalau dia dengar obrolan kita, tapi sepertinya begitu."

"Pancene ana apa?" tanya Septi yang biasanya tidak pernah sangat penasaran seperti itu.

"Anggun bilang dia menghalangi kebahagiaan aku, Mbak."

Septi diam. Faktanya ia memang menyayangi Anggun dan berharap Anggun bisa menjadi adik iparnya, tetapi melihat kondisi Anggun yang seakan enggan mengarahkan hubungannya dengan Dhanan ke sisi serius, Septi tidak mau Dhanan terus berjuang sendirian.

"Mbak sudah bilang berkali-kali sama kamu Nan. Wanita itu perlu satu kepastian, siji ketegasan. Kamu itu-"

"Sudah to, Nduk. Jangan dipaksa. Dhanan iku wis gedhe. Wis ngerti apa kang arep ditindakake," potong sang bunda yang masuk ke ruang tengah lantas duduk di sofa yang ditinggalkan Septi.

"Bu, Ibu iku tansah belain Dhanan. Septi-"

"Ibu ngerti kamu kuwatir, tapi Ibu pracaya karo Dhanan."

Septi diam. Mendebat ibunya tidak akan pernah bisa dilakukan Septi. Ia melirik Dhanan, memberikan kode satu dua kali deham agar Dhanan mau melanjutkan kalimatnya, tetapi adik lelakinya itu malah bangkit lantas pergi ke kamar.

"Bu, sudah. Jangan tunggu Anggun lagi! Jodohkan Dhanan saja!" Sang bunda malah diam lalu menarik napas dalam-dalam. "Bu." Septi kembali duduk di sofa di sebelah ibunya.

"Jangan, Nduk. Semua sudah diatur Gusti Allah. Dhanan berhak menentukan kemana hidupnya berjalan, Nduk."

"Bu, Anggun itu baik, Septi juga setuju kalau Dhanan berjodoh sama Anggun, tapi-"

"Jangan remen melu campur urusan wong liya."

"Dhanan iku adhi aku, Bu."

"Septi, Ibu tahu kamu sayang Dhanan. Kalau Dhanan mau melepaskan Anggun, Dhanan harus siap. Wis, Ibu arep masak. Arep melu atawa mulih?"

Septi menatap punggung ibunya yang menjauh pergi ke dapur, kemudian kembali menatap pintu kamar Dhanan. Septi tahu betul kalau ibunya jauh lebih cemas. Sepertinya ia memang harus bertindak tanpa sepengetahuan Dhanan atau ibunya.

***

"Bagaimana? Kamu sudah punya keputusan?"

Anggun meremas tangannya yang sengaja ia sembunyikan di atas pangkuan, terhalang meja atasannya. Anggun ingin Parwati tidak melihat kegelisahannya.

Dhanan yang membuatnya meragu. Ia sudah mengutarakan perasaannya pada Dhanan, tetapi sang kekasih tidak berkata apa-apa. Septi benar, Anggun menghalangi kebahagiaan Dhanan.

Apa lebih baik Anggun pergi saja? Kalau Anggun menerima tawaran ini, mungkin dengan pindah bekerja keluar kota, Dhanan bisa lebih cepat melupakan Anggun.

"Bagaimana, Anggun? Kalau memang jawaban kamu iya, saya enggak akan menutupi kalau sepenuhnya saya mendukung kamu."

"Sebenarnya saya belum bicara dengan keluarga saya, Bu. Terutama kekasih saya, Bu."

Parwati mengangguk-angguk. "Ya, saya mengerti. Saya minta maaf, ya Nggun kalau terkesan mendesak kamu, tapi kamu sendiri tahu kalau ini harus diputuskan secepatnya. Departemen lain sudah mengirimkan kandidat-kandidatnya, Nggun."

"Boleh saya minta satu atau dua hari lagi, Bu?"

Parwati mengulas senyum lantas mengangguk. "Ya, boleh."

Anggun bangkit, sedikit menganggukkan kepala lantas keluar dari ruangan Parwati. Ia mengeluarkan ponsel dari saku kemudian mengirimkan satu pesan untuk Dhanan.

***

Langit yang bersemburat jingga membuat Anggun termenung. Bertemu dengan Dhanan adalah hal terindah, persis seperti langit senja yang sekarang ia tatap. Karenanya, Anggun tidak mau berlari pergi tanpa pamit.

"Anggun!" Anggun menoleh, diperhatikannya Dhanan yang tergesa menghampiri lantas duduk tepat berhadapan dengannya. "Maaf, terlambat," sesal Dhanan.

Anggun melirik arloji dipergelangan tangannya. Ya, Dhanan terlambat. Hampir sepuluh menit, tetapi Anggun malah lega karena sampai detik ini, Anggun masih bingung bagaimana memulai pembicaraan ini.

"Kamu enggak sibuk, kan, Mas?"

Dhanan menggeleng. "Enggak." Dhanan menoleh ke arah meja. "Kamu belum pesan?" tanyanya karena melihat segelas air putih di meja.

Anggun menggeleng. "Enggak, kamu mau makan apa?"

"Kamu mau apa?"

"Aku enggak lapar."

Dhanan yang awalnya senang karena Anggun minta bertemu, tiba-tiba takut karena berpikir kalau Anggun sungguhan akan membahas lagi soal perpisahan mereka.

"Aku enggak masalah kalau harus menunggu, Nggun. Aku enggak akan bahas masalah pernikahan lagi."

"Enggak bisa begitu."

"Selama kita bersama, kita akan baik-baik saja."

"Rencananya aku akan pindah kerja ke Subang. Memang belum sepenuhnya pasti, tapi Ibu Wati bilang, beliau akan rekomendasikan aku untuk jadi kepala cabang pembantu di sana."

"Subang?"

"Iya. Kalau sesuai dengan rencana, kemungkinan bulan Agustus nanti, aku sudah di sana."

Di titik ini, Dhanan tidak bisa memprediksi apa yang Anggun rasakan. Ia tidak bisa berkomentar apa-apa dan Anggun pun juga terdiam. Bingung untuk mengutarakan semua yang ada dalam dada.

Sampai dering ponsel Anggun membuyarkan hening antar keduanya. Anggun menggeser tombol merah di layar ponsel lantas membalik ponselnya. Tidak ingin Dhanan tahu siapa yang baru saja menghubunginya.

"Aku, aku bisa tanya kantor. Apa mungkin kalau aku dipindah—"

"Enggak!" potong Anggun.

"Nggun."

"Aku ingin kita bisa baik-baik saja, tapi nyatanya memang enggak bisa. Memang enggak bisa berada di jalan yang sama."

"Maksud kamu apa?"

"Kita mesti merelakan kenyataan ini."

"Kenyataan? Kenyataan yang mana, Nggun? Kamu tahu Mbak Septi enggak bermaksud—"

"Aku tahu. Aku mengerti, tapi aku enggak bisa, aku enggak akan pernah siap!"

Dhanan diam, memandangi wanita, satu-satunya yang ia cintai. "Pernah enggak, sedetik saja kamu sungguh memikirkan perasaan aku?"

"Lupakan aku, Mas."

"Lupakan? Bagaimana caranya Anggun? Bagaimana?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top