Bab 04. Alasan Bahagia
Anggun menaikkan pandangan matanya. Sekilas rumah yang peninggalan nenek dan kakeknya masih sama sejak pertama kali Anggun menetap di sini dua puluh lima tahun lalu.
Kenangan indah yang sebenarnya menyakitkan memukul hati Anggun. Ia memandang ke sekeliling ruangan. Sejak nenek dan kakek meninggal, Anggun memilih bertahan tinggal sendirian di rumah ini. Bahkan warna cat dindingnya pun sengaja tidak Anggun ganti.
Pandangan Anggun terpaku pada bingkai-bingkai foto di rak televisi. Ada foto masa kecil dirinya dan Rio.
Anggun melangkahkan kaki menuju rak, diambilnya foto Rio. Tidak pernah Anggun lupakan pandangan sang nenek ketika menatap rindu foto Rio. Anggun juga tidak bisa lupakan dekapan hangat sang kakek ketika Rio berkunjung ke rumah. Ya, Anggun cemburu sekaligus bertanya mengapa Rio mendapatkan semua perhatian orang lain.
Diletakkannya kembali foto Rio lantas Anggun pergi ke kamarnya. Berkali ia menarik napas. Namun, kelegaan tidak kunjung ia dapatkan.
Dadanya masih sesak, masih nyeri dan yang terburuk adalah ia sedang bertengkar dengan Dhanan.
Merasa harus mencurahkan isi hati, Anggun meraih ponsel dalam tas. Satu per satu ia melihat nama di daftar kontak ponselnya. Jemarinya berhenti di kontak dengan tulisan mama.
Mama.
Ya.
Mama.
Sejak taman kanak-kanak, Anggun selalu iri melihat teman-temannya diantar jemput oleh mama mereka. Menginjak usia sekolah dasar, Anggun iri melihat teman-temannya diambilkan rapor oleh mama mereka. Di sekolah menengah pertama, Anggun iri karena teman-temannya merasa dikekang oleh mamanya dan di sekolah menengah atas Anggun iri karena teman-temannya berbelanja bersama mama.
Anggun pikir, rasa iri itu akan hilang seiring bertambah usia, tetapi ia malah semakin iri ketika teman-temannya mengatakan kalau teman curhat terbaik adalah mama.
Suara azan magrib menembus jendela kamar Anggun. Ia meletakkan ponsel di ranjang, berniat untuk bangkit, tetapi malah kakinya terasa lemas hingga jatuh terkulai di sisi ranjang.
Tangan Anggun gemetar meraba pipinya. Ia melihat telapak tangannya basah. Bola yang sedari tadi menghantam dadanya kini melesak nyata menjerat leher Anggun.
Jeritan Anggun melebur dengan suara azan. Berkali ia memukul dadanya, membiarkan air mata lepas dengan harapan beban itu berkurang meski tidak bisa ia ceritakan pada siapa pun.
Puas menangis, Anggun bangkit menuju kamar mandi. Berkali ia membasuh wajah lalu mengambil wudu dan menuntaskan kewajiban sebagai umat.
Lama Anggun terdiam, menatap sajadah yang terhampar. Senyum Dhanan berkelebat melintas dalam pandangannya.
Anggun bangkit, melipat mukena lantas bergegas pergi menuju rumah Dhanan. Namun, setibanya di sana langkah Anggun melambat. Ia melihat mobil milik kakak iparnya yang terparkir di halaman rumah Dhanan.
Bukannya tidak akur, Anggun diterima dengan baik. Hanya saja, akhir-akhir ini ia sering sekali disinggung soal pernikahan. Anggun tidak nyaman.
“Jadi kamu sudah melamar Anggun? Apa katanya?”
“Dia perlu waktu untuk berpikir.”
“Maksudnya ... nolak kamu?”
“Enggak, Mbak.” Dhanan diam sejenak. Ia tidak mau kakaknya sampai memberikan cap negatif. Walau sebenarnya memang betul lamarannya ditolak Anggun.
“Lah, terus piye? Kalau enggak diterima, ya ditolak. Kamu itu gimana, sih?”
“Anggun minta waktu untuk berpikir, Mbak. Mbak tahu sendiri kalau ini masalah serius.”
“Mbak enggak ngerti. Bener enggak ngerti. Kenapa memangnya?” Sikap Dhanan yang tampak gelisah membuat sang kakak—Septi Wardanai menarik napas. “Kalian itu sudah lama pacaran. Apalagi yang harus dipikirkan? Memangnya kamu enggak penasaran sama alasannya, Nan? Kenapa Anggun bisa ragu? Apa dia memang ragu sama kamu atau dia ragu sama dirinya sendiri? Yang tegaslah Nan.”
Dhanan menunduk semakin dalam. Sebenarnya ia juga ingin tahu alasan Anggun menolak lamarannya, tetapi Dhanan takut untuk membuat Anggun tidak nyaman akan rasa penasarannya itu.
“Kamu itu sudah tua Nan. Harus dipikirkan ke depannya bagaimana. Anggun juga semakin tua, memang rezeki jodoh, anak sudah ada porsinya sendiri, tapi kalau kita enggak mencari, enggak berusaha, yo ndak dapat Nan,” sambung Septi.
“Mbak ....”
Septi menunggu Dhanan melanjutkan kalimatnya. Adik lelaki satu-satunya itu tampak bimbang, seperti biasanya.
“Kamu itu lelaki, Nan. Harus tegas. Kalau memang enggak bisa diajak maju, ya jangan menghalangi jalan masuk atau keluarnya.”
“Mbak.”
Septi kembali menarik napas dalam-dalam kemudian ia mengambil sesuatu dari dalam tas lantas memberikannya pada Dhanan. “Dia rekan kerja suami Mbak di kantor. Kemarin sewaktu acara piknik kantor, Mbak sempat bertemu dia. Namanya Sarina Putri. Pintar, cantik dan—“
“Mbak,” potong Dhanan mengembalikan potret wanita itu ke tangan Septi.
“Mbak enggak ada maksud untuk ikut campur Nan, enggak sama sekali, tapi sikap diam ibu bikin Mbak gelisah Nan. Ibu memang enggak pernah nuntut apa-apa dari kamu, tapi Mbak tahu ibu cemas Nan. Ibu takut.”
Anggun menyeret kakinya meninggalkan pelataran rumah Dhanan. Sekali lagi ia melihat ke arah pintu rumah Dhanan. Ia tidak merasa ada yang salah dari semua ucapan kakak Dhanan. Anggun merasa Mbak Septi benar.
Tidak seharusnya ia berdiri di ambang pintu, menghalangi Dhanan untuk pergi mencari kebahagiaan.
***
Denting notifikasi dari ponsel membuat Dhanan selingkuh dari pandangannya ke layar monitor.
Pesan tersebut dari salah satu bank. Pesan yang membuat pupil matanya melebar.
“Transfer masuk?” gumam Dhanan yang kemudian dengan cekatan memeriksa mutasi masuk di ponselnya.
Tidak berpikir panjang, Dhanan menarik satu surat keluar kantor kemudian pergi ke ruang atasannya untuk meminta izin keluar kantor.
Pikiran Dhanan bertambah kacau ketika tiba ke kantor Anggun, tetapi teman kerja Anggun mengatakan kalau sudah dua hari Anggun tidak masuk kerja karena sakit.
Berkali-kali ia mengutuk dirinya sendiri, seharusnya ia tidak sama keras kepalanya, seharusnya ia bisa melunak dan sadar kalau memang kondisi keluarga Anggun sedikit berbeda. Seharusnya juga ia tidak memikirkan ucapan Septi dan menyimpan potret wanita yang hendak dikenalkan kakaknya.
Tiba di rumah Anggun, Dhanan mengetuk daun pintu cukup kencang. “Anggun? Nggun? Buka pintunya!”
Tirai jendela Anggun tersibak, Dhanan mundur selangkah, tidak bisa berkata-kata melihat wajah Anggun begitu pucat.
“Aku tahu kamu pasti datang. Tadi kamu ke kantor aku dulu?” tanya Anggun ketika ia melebarkan daun pintu.
Dhanan mengangguk. “Iya.”
Anggun menarik ritsleting jaket. “Maaf, aku masih lemas. Kita bisa duduk dulu?”
Dhanan bergerak menuju empat kursi rotan di serambi rumah. Menarik salah satunya. “Iya, ayo duduk.”
Anggun mengulas senyum lantas duduk di kursi itu. “Pasti kamu datang karena transferan uang dari aku, 'kan?”
“Anggun, aku minta maaf sama kamu.”
“Minta maaf? Seharusnya aku yang minta maaf sama kamu.” Dhanan diam, bingung harus bicara apa, hatinya sungguh gelisah. “Aku pernah berpikir, apa jadinya aku kalau aku enggak ketemu sama kamu, apa jadinya aku kalau kita enggak sama-sama. Pasti sulit.”
“Anggun.”
“Kamu tahu enggak, sih? Aku yang menghalangi kamu untuk bahagia. Aku orangnya.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top