Bab 03. Pilihan
Anggun menoleh ketika layar ponselnya berkedip. Pesan dari atasannya membuat Anggun gelisah.
Anggun, bisa ke ruangan saya?
Sejenak Anggun terdiam. Ia mengambil berkas di meja kemudian bergegas menuju ruangan Parwati. Anggun berdeham dua kali lalu menarik napas sebelum ia mendorong daun pintu ruangan Parwati. Ketegangannya harus berkurang. Harus!
“Masuk, Anggun, saya sudah tunggu kamu,” ucap Parwati menyambut baik Anggun.
Anggun tersenyum, meletakkan berkas di meja Parwati kemudian duduk di kursi yang berseberangan dengan Parwati. “Laporannya sudah selesai, Bu.”
“Good Anggun. Nanti saya periksa, ya,” timpal Parwati mengambil berkas, membaca sekilas kemudian meletakkannya kembali di meja. “Begini, Anggun, ada hal penting yang ingin saya bicarakan sama kamu.”
Punggung Anggun menegak. “Ada apa, ya, Bu?”
Parwati tertawa pelan. “Tenang Anggun. Enggak ada hal buruk, kok. Malah ini bisa jadi peluang baik, sangat baik buat kamu.”
Anggun menurunkan tangannya dari meja, khawatir kalau Parwati tahu ia sangat gugup karena sedari tadi meremas-remas tangannya sendiri. “Ada apa, ya, Bu?”
“Anggun, perusahaan kita selalu mendukung setiap karyawan untuk bisa berkembang lebih baik lagi. Beberapa hari lalu, semua manajer dipanggil CEO, beliau bersama manajer personalia meminta tiap-tiap departemen mengirimkan kandidat terbaik untuk ikut mengepalai kantor cabang baru. Kamu adalah salah satu kandidat terkuat Anggun.”
Anggun tersentak. “Maksud Ibu, saya?”
“Iya, Anggun. Kamu."
"Kepala cabang?"
Parwati mengangguk. "Kamu paham secara detail bagaimana bisnis kita berjalan. Itu cukup, lainnya akan berjalan sendiri. Nanti kamu akan membuat satu proposal yang akan dipresentasikan. Saya akan membantu sebisa saya, Anggun. Hanya saja, kantor baru ini ada di Subang.”
Jantung Anggun berhenti sesaat. “Subang?”
Parwati mengangguk. “Saya minta kamu untuk memikirkan semuanya, termasuk soal kehidupan pribadi kamu sendiri, Anggun. Bukannya bermaksud menekan, tapi saya butuh jawaban secepatnya. Kalau memang berkeberatan, saya akan mengirim kandidat lain, tapi saya sungguh-sungguh berharap kamu enggak melewatkan kesempatan ini Anggun.”
“Saya, saya perlu waktu sebentar untuk memikirkan hal ini, Bu.”
Parwati mengangguk. “Iya, saya mengerti."
Anggun bangkit dari kursinya. “Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu.”
“Silakan Anggun.”
Langkah Anggun terasa lebih berat ketimbang memasuki ruangan Parwati. Kalau saja tadi malam Dhanan tidak coba melamarnya, mungkin Anggun bisa menerima penawaran Parwati dengan lebih mudah, tetapi ia sendiri sadar kalau ia tidak bisa kehilangan Dhanan.
Sejak berusia lima tahun, Anggun tinggal bersama nenek dan kakeknya di Bogor. Dhanan adalah tetangga yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari rumah nenek dan kakek Anggun. Dhanan selalu ada di sisi Anggun, Dhanan tidak pernah meninggalkan Anggun sendirian.
Anggun tidak bisa kehilangan Dhanan, tetapi penawaran Parwati tidak bisa diabaikan begitu saja. Anggun memang ingin tumbuh berkembang lebih baik. Mendapatkan jabatan yang lebih baik, tetapi di Subang?
Dhanan juga tidak mungkin ikut pindah ke Subang. Apa yang harus Anggun katakan pada Dhanan?
“Mbak? Mbak?”
“Eh, iya.”
"Bengong, sih, Mbak?"
Anggun coba tersenyum senatural mungkin kamu balas menatap Tyas. “Enggak ada apa-apa, Tyas.”
“Mbak, tadi ada telepon dari resepsionis. Katanya ada tamu di lobi."
“Tamu? Mau ketemu aku?"
Tyas mengangguk. “Mas Dhanan.”
“Dhanan?”
Sekali lagi Tyas mengangguk. “Iya.”
“Oke, makasih, Tyas.”
Anggun menepuk lengan Tyas kemudian bergegas pergi menuju lobi. Ini masih jam kerja, untuk apa Dhanan menemuinya? Apa Tyas salah dengar? Mungkin bukan Dhanan. Ini masih jam kerja dan Dhanan tidak mungkin bolos hanya untuk menemui dirinya.
Baik Dhanan dan Anggun sama-sama terdiam ketika mata mereka bertemu. Dhanan terlebih dahulu mendekati Anggun.
“Kita perlu bicara. Maaf aku ganggu jam kerja kamu."
Anggun melirik ke kanan—ke arah dua orang resepsionis yang tampak sibuk bekerja, tetapi Anggun tahu kalau keduanya sama-sama memasang telinga.
“Enggak di sini. Kita ke luar.”
Dhanan mengangguk setuju kemudian mengikuti langkah Anggun menuju tempat parkir.
“Ada apa?” tanya Anggun ketika sudah yakin kalau tidak akan ada orang yang mencuri dengar percakapannya dengan Dhanan.
“Aku baru tahu kalau kemarin Rio telepon aku dan kamu yang angkat?” tanya Dhanan yang langsung ke pokok permasalahan. “itu alasan kemarin malam kamu tiba-tiba ajak aku pulang?” tebak Dhanan lagi.
Anggun mengepalkan tangannya. "Kamu ke sini cuma mau tanya hal enggak penting?"
"Menurut aku penting Anggun!"
"Apa yang mau kamu dengar dari aku?"
"Ya Tuhan, Anggun. Aku perlu tahu kenapa kamu menolak lamaran aku!"
Anggun merasakan gumpalan yang muncul di dadanya melesak naik ke tenggorokan dan ikut membuat matanya panas. "Aku enggak pantas buat kamu. Apa alasan itu enggak cukup, Dhanan?"
Refleks Dhanan meremas kedua bahu Anggun. "Siapa kamu yang berhak menilai kamu pantas buat aku atau enggak?"
Anggun melepaskan tangan Dhanan. "Kamu itu enggak ngerti! Aku enggak pantas buat kamu!"
Dhanan menggeleng. "Kamu tersinggung gara-gara Rio? Apa kamu benar angkat telepon dari Rio?"
“Ya, dia bilang terima kasih sama kamu karena kamu sudah transfer uang ke dia dan bilang akan segera balikin uangnya!" timpal Anggun setengah berteriak.
Dhanan meremas kepalanya sendiri. “Itu alasan kamu menolak lamaran aku? Karena itu?" Anggun diam. Sejujurnya, ia memang belum siap untuk menjalin satu hubungan lebih serius dengan Dhanan. “Jangan diam Anggun. Jawab!”
Anggun membulatkan tekad menatap Dhanan. “Enggak seharusnya kamu kirim uang ke Rio. Aku akan transfer balik uang ke kamu. Berapa uangnya?”
“Ya Tuhan, Anggun. Kamu bisa enggak sih, anggap aku sebagai keluarga kamu juga? Aku bantu Rio—“
“Aku masih bisa urus keluarga aku,” potong Anggun, “kamu enggak perlu ikut campur. Aku enggak suka. Aku enggak kasih uangnya ke Rio bukan karena aku enggak punya uangnya. Aku enggak suka cara mama aku yang apa-apa harus lewat Rio!”
“Anggun, enggak begitu.”
“Kamu enggak bisa ikut campur!”
“Anggun!”
Anggun melirik tangan Dhanan yang meremas kuat lengannya. “Lepas!”
“Kalau aku enggak mau, kamu mau apa?”
Anggun menarik tangannya. "Kamu sudah tahu kalau aku enggak suka kamu ikut campur masalah keluarga aku!"
"Kita akan jadi sebuah keluarga—"
"Enggak Dhanan! Dengar, mungkin seharusnya kita enggak berjalan sejauh ini, aku enggak bisa Dhanan!"
Dhanan menangkup tangan Anggun, mencengkeramnya erat-erat. "Jangan bercanda Anggun!"
"Aku enggak bercanda. Kamu enggak tahu apa yang aku rasakan, yang aku lalui Dhanan!"
"Kalau begitu katakan! Apa yang aku enggak tahu, apa yang kamu lalui, apa yang kamu rasakan!"
Anggun menarik paksa tangannya dari genggaman Dhanan. "Dhanan, kamu berhak dapat wanita yang lebih baik dari aku."
"Klise."
Anggun takut pertahanannya jebol. Ia tidak bisa kehilangan Dhanan, tidak bisa, tetapi ia tidak bisa menyusun kata keluarga dengan baik. Anggun tidak tahu apa arti keluarga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top