Bab 01. Would You?
Kalian cocok. Sagitarius dan Libra. Dilihat dari berbagai sumber terpercaya, kalian pasangan yang serasi.
Kalimat yang diucapkan sang sahabat BamS alias Bambang Samudro menggema di kepala Dhanan. Tentunya alasan ingin menikahi sang pujaan hati bukan karena kecocokan zodiak mereka. Lebih dari itu.
Hampir delapan tahun saling melengkapi sebagai pasangan kekasih pun bukan jadi alasan utama. Dhanan hanya tidak tahu apa yang bisa ia lakukan tanpa ada Anggun Widianata dalam hidupnya. Anggun bukan hanya melengkapi. Anggun adalah bagian dari Dhanan sendiri.
Sekali, dua kali Dhanan menarik napas. Mengela seolah-olah itu adalah tarikan terakhir. Berkali ia merapikan ujung kemeja, memperhatikan tiap kancing-kancing, padahal semuanya sudah dipastikan sempurna jauh sebelum ia mengundang Anggun makan malam di tempat yang cukup romantis. Kemeja biru muda itu sudah tergantung dalam lemari sejak seminggu lalu. Rapi, wangi.
Dhanan keluar dari kamar mandi, melewati beberapa pasangan yang juga tampak syahdu menikmati hidangan makan malam mereka. Suasana hujan rintik-rintik di luar jendela pun mendukung rencana Dhanan. Gerimis, Anggun menyukainya.
Senyum Dhanan merekah. Padahal baru melihat punggung Anggun saja, Dhanan menyimpulkan kalau wanita yang akan dilamarnya itu sangat cantik. Sepertinya ia memang sudah sepenuhnya terpikat oleh pesona Anggun.
Niat Dhanan menepuk kedua pundak Anggun urung ketika tanpa sengaja Dhanan membaca pesan di layar ponsel Anggun.
Rio ganti uangnya bulan ini, Kak. Rio janji.
Desahan kasar Anggun dan tangannya yang cepat menjejalkan kembali ponsel ke dalam tas membuat Dhanan sedikit tersentak. Ia sempat diam sejenak sebelum akhirnya menepuk pelan pundak Anggun.
“Lama, ya?” tanya Dhanan kemudian duduk di kursi sebelah Anggun.
Anggun menurunkan ujung sedotan dari sela bibir kemudian menggeleng. “Enggak, kok.”
“Gimana? Suka sama makanannya?”
Anggun melirik beberapa potong daging panggang di piring lantas menatap Dhanan. “Ya, enak. Persis seperti yang dibilang orang-orang. Jadi, pasti ada alasan luar biasa sampai kamu ajak aku makan di sini di tengah bulan begini.”
Dhanan tertawa pelan sementara tangan kanannya meraba kotak dalam saku celana. Ia bimbang. Sepertinya ada masalah lebih serius. Pesan dari Rio harus Dhanan gali. “Memangnya harus selalu ada alasan luar biasa supaya kamu mau diajak makan di luar?"
Anggun ikut tersenyum kemudian memandang ke arah jendela. Tempat di mana kegelapan berselimut rintik hujan menerpa langit Bogor sedari sore. Anggun berharap Dhanan bisa membuat perasaannya lebih baik. Berharap malam ini, ia bisa sebentar melupakan pernah mendapatkan pesan dari adiknya atau Anggun berharap bisa bicara pada Dhanan tentang apa yang saat ini ia rasakan.
“Kamu kenapa? Tiba-tiba diam begitu. Ada apa?"
“Hmm?”
“Bosan, ya?”
Mendengar Dhanan kembali melempar pertanyaan, Anggun kembali menatap Dhanan kemudian menggeleng. “Enggak, kok. Aku enggak bosan. Kenapa memangnya?”
“Enggak biasanya kamu diam begini. Kamu kenapa?”
“Aku enggak kenapa-kenapa,” jawab Anggun mantap sedang kedua tangannya menggenggam erat ujung meja. Hatinya sudah mengumpat, tetapi Anggun tidak bisa menceritakan segalanya pada Dhanan.
“Minggu ini kamu ke rumah mama?”
Terlebih dahulu Anggun membasahi bibirnya. Pembicaraan ini akan menguras banyak tenaga dan sejujurnya, meski sudah lama sekali kenal dengan Dhanan dan Dhanan sudah tidak asing menyebut istilah mama untuk ibu Anggun, tetap saja panggilan itu terasa canggung di telinga Anggun.
“Enggak tahu.”
Dhanan menyandarkan punggungnya ke kursi, satu alisnya naik sedikit. Ekspresi kala ia tahu kalau memang ada yang Anggun sembunyikan darinya. “Dari kemarin jawabnya enggak tahu melulu.”
“Ya, memang aku enggak tahu. Kerjaan lagi numpuk. Aku enggak bisa cuti.”
“Acaranya Sabtu. Kalau kamu enggak mau menginap, kita bisa pulang malam, Minggu libur. Kamu istirahat—“
“Aku enggak mau bahas ini lagi. Aku enggak mau repotin kamu.”
“Jakarta sejauh apa, sih dari Bogor? Bahkan ada yang kerja setiap hari bolak-balik Jakarta Bogor.” Anggun diam. Biasanya ia tidak pernah kalah soal berdebat dari Dhanan, tetapi kalau menyangkut soal ini, lebih baik Anggun diam saja. “Ini acara penting. Empat puluh hari mendiang ayah berpulang, Anggun.”
“Aku tahu.”
“Terus?”
“Enggak ada terusannya.” Anggun bangkit, meraih tas dari kursi di sebelahnya. “sudah malam, ayo pulang.”
Tebakan Dhanan tidak meleset. Anggun tidak akan pernah menceritakan soal Rio.
“Aku enggak sengaja baca pesan dari Rio," aku Dhanan.
“Kamu ... apa?”
“Aku enggak sengaja baca pesan dari Rio. Ada apa? Kalau kamu enggak mau kasih tahu, aku bisa telepon Rio.”
Secepat kilat Anggun merebut ponsel di tangan Dhanan lantas kembali duduk. Ia menatap ke sekelilingnya. Beberapa orang memang melirik ke arahnya, Anggun tidak berniat menjadikan dirinya dan Dhanan sebagai bahan tontonan.
“Kita sepakat untuk menghormati urusan pribadi. Yang enggak perlu diceritakan enggak perlu diceritakan. Aku juga enggak pernah paksa kamu buat cerita soal masalah kamu."
"Kamu merasa aku paksa kamu?"
"Kita bisa cari topik pembicaraan lain, enggak?"
“Aku sudah bilang, kalau kamu enggak mau cerita sama aku, aku bisa telepon Rio.”
Anggun tertawa pelan. “Aku bukan anak kecil yang bisa kamu ancam.”
“Dan kamu tahu kalau aku enggak mengancam, Anggun.”
Anggun meletakkan kembali ponsel Dhanan di meja. Menimbang apa harus ia menceritakan segalanya pada Dhanan. Persoalan yang tidak pernah mau untuk Anggun ceritakan pada siapa pun.
“Aku menunggu, Anggun.”
“Apa yang kamu baca?”
Dhanan memijat dahinya. "Kamu tahu jawaban apa harus kamu berikan."
"Dhanan, pembicaraan ini buat aku enggak nyaman."
Kesabaran Dhanan habis. "Kenapa Rio pinjam uang? Apa ada masalah di rumah?”
Ujung bibir Anggun naik, tawa pelan yang terlepas dari bibirnya sangat tidak lucu. “Konyol, ya?” Dhanan diam, tidak ada kalimat yang cocok untuk menimpali kalimat Anggun. “Rio ngotot menolak aku ikut membiayai acara empat puluh harian bapak, tapi sekarang dia merengek-rengek pinjam uang dariku.”
Dhanan benar-benar diam. Ia tidak suka ada konfrontasi. Tidak suka ada masalah yang dibiarkan mengendap atau sengaja dilupakan begitu saja. Namun, Dhanan tahu betul siapa Anggun.
“Enggak tahu malu.”
“Anggun, Rio bilang uangnya buat apa?” tanya Dhanan pelan setelah Anggun melepaskan napas kasar.
“Beli kursi roda elektrik atau apalah itu. Katanya mama butuh kalau lagi terapi.”
“Kalau Rio sudah sampai minta sama kamu, berarti itu penting.”
Anggun kembali tertawa, tetapi suaranya mulai serak. Terdengar seperti ingin menangis. “Penting, ya? Kalau urusan uang baru anggap aku penting, ya?”
“Enggak begitu. Kita coba bicara pelan-pelan sama Rio. Kasihan juga mama."
Anggun bangkit. “Percuma kamu ngomong panjang lebar juga. Kamu itu ngerti enggak, sih kalau mereka cuma butuh uang aku saja. Aku enggak mau dengar kamu lagi. Aku pulang. Kalau kamu mau di sini, terserah.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top