III. Something in the Fog
Something in the Fog
Nama yang sempat menghilang dalam dada dan membuatnya napas sesak, telah kembali satu persatu.
Senyum terukir, ia menginjak udara tanpa alat bantu apapun. Kedua tangan merenggang menangkap tubuh lain yang terhempas oleh sayap sang naga. Ceruleannya nampak sendu mendapat sosok senior yang benar-benar sekarat,
"Kak,." bibirnya menyapa dengan mata yang meniti setiap inchi dari wajah rupawan yang di tangkapnya, "Turunlah. Kakak sudah berjuang. Terima kasih, ya?"
Sosok itu menghela napas penat pandangan yang ditangkap iris auroranya kian berbayang dan menguap tidak jelas menangkap figur yang menahannya. Namun Silver tahu suara itu. Suara yang sama dengan teman-teman binatang kecilnya,
"Kolibri?"
Dipanggil dengan nama panggilan paling cantik, gadis itu tersenyum. Mengecup singkat dahi yang terlumuri noda meras kemudian langsung menjauhkan Silver dari sang naga yang rupanya masih belum mau mengalah. Ketimbang yang lain, luka dalam Silver jauh lebih teruk. Pendaharan hebat terjadi di dalam. Napas pemuda itu tersenggal saat kelopak mulai menutup iris auroranya,
"Kunyah kak, kunyah." satu lembar daun putih telah di tangan, gadis itu meminta Silver untuk mengunyah daun darinya dengan sisa tenaga yang pemuda itu miliki. Manik ceruleannya terangkat, bertemu dengan iris raspberry red yang masih menaruh atensi untuknya,
"Nona Lembah, kau datang?"
Kenyataan bahwa bisa dikatakatan jika hal ini terjadi karena dirinya juga. Rasa sesal menggelora dalam dada sebelum ia menyerahkan Silver pada sosok peri yang bertubuh jauh lebih mungil. Ia tersenyum simpul namun Lilia bisa menangkap sebuah lara yang hadir dalam seorang wanita yang dipanggil nona lembah tersebut saat memberikan perhatian pada pemuda dengan surai silver dalam pangkuannya,
"Maafkan aku, kak." sesal Andela, "Mengapa harus aku yang lemah untuk mengawasi kalian?"
"Tidak dear..." sangkal Lilia. "Ini semua memang sudah jalannya. Pergilah... Jalankan tugas terakhirmu."
Andela berbinar, Lilia memberikannya kekuatan. Dalam setiap langkah yang diambil sang gadis, kabut kian dibuat semakin tebal. Pandangan minim yang membuat siapa saja tersesat. Tak terkecuali para pelajar yang lukanya telah terutup dan mengerjapkan mata membiasakan pada pandangan yang berkabut hebat.
"Kabut...?" Vil berujar lirih, "Hah? Mana anak itu!?"
"Wow wow. Roi de Poison." Rook langsung menahan pergerakan Vil yang baru siuman, kekhawatiran tersirat dalam diri wakil kepala Pomefiore itu,
Yang dikhawatirkan memandang sekeliling dengan amethyst miliknya, ada rasa panik mendera saat kabut itu jauh lebih pekat dari yang ia ingat sebelumnya,
"Berapa lama aku tidur? Kabut apa ini?"
Vil melihat Rook yang menghembuskan napas pendek,
"Kurasa, pupilmu bukan manusia biasa, Roi de Poison."
Katakanlah memang, Vil membaca seluruh buku dengan sebuah catatan kecil pada akhir halaman dari buku bersampul putih yang ditinggalkan sang pupil. Namun nyatanya, tulisan yang berada di dalam buku itu semakin hilang saat hari berganti, musim berjalan. Dan hal yang membuat Vil mengernyitkan dahinya sebelum hari ini, ia sempat mengecek buku itu lagi. Amethyst-nya dibuat melotot hebat mendapati sebuah tulisan dengan sebuah arahan yang ditulis dengan bahasa Latin yang mampu Vil baca. Ada sebuah nama di situ,
Karena Vil mulai paham apa yang terjadi, ia membuat senyum simpul. Memegangi perut yang benar-benar sudah tertutup lukanya,
"Apa pesan darinya?"
Rook tersenyum, hendak membersihan kotoran dari dahi sang raja racun namun segera ditepis oleh Vil. Dengan dalih, "Aku bisa melakukannya."
"Tunggu warnanya."
Langkah pertama gadis itu benar-benar dimulai. Tarikan napas dalam dilakukan sambil merenggang kedua tangan. Angin sejuk berhembus dengan percikan air yang datang dari arah Utara tempatnya berdiri, suara gemerincing dari gelang kaki menembus gendang telinga dari masing-masing siswa yang belum siuman. Salah satunya Jade. Belut itu masih belum sadar saat kabut menyelimuti sekitar, sampai suara gemerincing terdengar dan membuat kedua netranya terbuka.
Tanpa ragu ia bangkit, mengejutkan Floyd yang masih menunggunya,
"Suara darimana itu?"
Kekehan geli ditahan oleh Jade melihat ekspresi saudaranya yang tidak ada ubahnya seperti orang terkejut yang baru melihat orang mati telah hidup kembali.
Yah... Floyd tidak salah. Jade memang mati sebelumnya.
Gadis itu mencoba mengamati dari udara, sang naga begitu tangguh tidak terpengaruh dengan kabut tebal yang dibuatnya. Kabut tebal untuk penyembuhan. Auman terdengar, sang gadis melejit pada moncong naga hitam besar. Ceruleannya menangkap sepasang kaki seniornya itu telah terjerat oleh duri hitam yang merambat. Makhluk mitologi tersebut meronta dengan suara besar yang bisa menghancurkan seluruh ekosistem.
Nyaris terkena semburan api hijau saat sang naga menemukan objek asing yang mengawasinya, Andela menghindar walalu salah satu sungkup suteranya terbakar oleh api.
Membisu, tangan sang gadis mengepal. Dari lengannya sudah terikat oleh pita markah dengan warna masing-asing asrama. Perasaan tak tega sempat hinggap dan membuatnya bimbang, namun ia tahu, Malleus Draconia sudah mencapai batasnya.
Karenanya sekuat tenaga sang gadis mengayunkan lengan hingga pita dari markah ketujuh asrama melingkari leher naga Malleus. Dari balik kabut, spektrum warna dengan garis lengkung menuju tempat masing-masing sang kepala menunggu sinyal yang ditunggu-tunggu.
"Ah warnanya!" Rook memekik, mendapati warna violet telah menjatuhi Vil, "Tarik, Roi de Poison!"
Mau tidak mau, paham tidak paham, Vil menarik warna yang ada di hadapannya. Rasa panas langsung menyengat salah satu dari great seven berperawakan anggun tersebut. Bulir keringat mulai mengalir dari kening saat ia mencoba memegang kembali warna violet di hadapannya, tidak peduli seberapa panas yang di dera, jika ini adalah salah satu jalan yang diperlukan untuk menghentikan Malleus dan pupilnya membutuhkan kekuatan darinya, Vil tak segan melakukan yang terbaik.
Setiap orang yang berdiri tak jauh dari sosok pemimpin asrama memberi tanda bahwa spektrum itu adalah sinyal yang datang dari seorang gadis. Mereka mengangguk,
Sisa tenaga dipakai sekuat mungkin untuk si gadis yang berusaha menarik kepala sang naga. Makhluk besar hitam di sana memberontak. Para pemimpin muda itu langsung merasa sebuah tekanan hebat dari makhluk besar yang tersembunyi dalam kabut. Namun tidak ada kalimat menyerah dari Great Seven. Rongga mulut terbuka lebar hingga masing-masing dari mereka berteriak. Memberi kekuatan untuk sang gadis untuk bisa mempertemukan kepala sang naga yang ditarik dengan pita markah dari pergelangannya.
Cairan merah kental dimuntahkan dari dalam mulut saat dada tertembus salah satu tanduk besar dari kepala sang naga. Sesuai dengan tujuan awalnya agar mampu masuk ke dalam ruang bawah sadar Malleus yang tersita.
Andela berhasil masuk dalam ruang gelap gulita saat dadanya mendapat sebuah lubang yang cukup dalam hingga tertembus sampai tulang belakang. Gadis itu berdiri sendiri, diantara ruang gelap nan sepi, hanya ia satu-satunya cahaya di sana.
Iris birunya mencari.
Kedua kaki berlari.
Rasa panas mendera sekujur tubuh sang gadis diiringi napas yang memburu hingga denyut nadi dapat terdengar. Gelap semakin menjadi, meratapi sesosok pemuda yang dibalut api hijau dan duri hitam yang melingkari tubuhnya. Sosok semampai itu berlutut dengan kaki, menutup wajah dan sedikit meringkuk. Tidak berniat melawan pada api yang perlahan melahapnya, pada duri yang semakin melilit, pada amarah yang kian menenggelamkannya,
"Tsuntaro."
"Untuk apa kau kemari?"
Tanggapan tersebut membuat Andela terlonjak
Setidaknya sebuah senyum simpul datang dari sang gadis. Mengambil langkah mendekat, ia memberanikan diri untuk kembali bertanya,
"Apa yang membuat kesabaranmu habis, kakak?"
Sosok di sana membisu. Tidak menjawab. Duri hitam mengambil alih sampai leher sang gadis tergores hingga likuid merah hangat menodai leher jenjangnya. Ia sadar jika terus maju, bukan tidak mungkin Andela bisa mendapat luka yang tidak bisa membuatnya benar-benar kembali,
"Kak, apa yang membuat kesabaranmu habis?"
Sosok yang masih memunggunginya menggeleng atas pertanyaan yang diterima.
"Tidak mau jawab, ya? Kau marah?"
Tak peduli dengan duri yang menggores kulit, gadis itu tetap maju.
"Hei... aku di sini. Jangan diabaikan."
"Aku marah... Tone..."
Iris birunya terbelalak. Itulah pertama kali seorang Malleus memanggil namanya,
"Apa yang membuat Tsunotaro marah pada bocah ini?"
Malleus menghela napas gusar diantara kebisingan dalam kepala. Terjebak diantara ruang dan waktu yang terus berjalan tanpa sadar hingga membentuk sebuah pedang yang menghujam dada,
"Kau mengajariku banyak hal... banyak sekali hal." Suara Malleus yang berat berhasil menembus pikirannya diikuti dengan intonasi jeritan, namun gadis itu tahu. Yang berbicara itu adalah Malleus, "Tetapi kau lupa. Kau tidak mengajariku kesabaran. Kau tidak memberiku pemahaman tentang apa itu kesabaran. Bagaimana cara mengendalikan kesabaran. Kau alpha. Kau alpha sebagai malaikat, Tone. Aku kecewa padamu."
Pernyataan itu membuat hati sang gadis tergores. Perasaan salah menaungi pikiran dan batin. Memutar punggung, ia memperlihatkan seluruh tubuhnya pada sang senior.
"Maka belajarlah," selembut mungkin ia berkata, membelai pipi panas tak peduli dengan duri yang melilit tangannya, "... Belajarlah mengendalikan kesabaran."
Wajah seniornya dipenuhi bercak hitam. Irisnya hijau terang bagai kucing liar dengan pupil memanjang kebawah. Air mukanya masih nampak dikuasai amarah.
Ia menaruh atensi pada gadis muda yang benar-benar telah berubah penampilannya. Hatinya bergetar saat ia menyadari lubang di dada sang gadis, api dan duri yang membalut tubuhnya menghilang. Wajahnya kembali menjadi seorang Malleus Draconia yang dikenalnya. Sebuah kasih sayang dan ketulusan hadir mencegah tubuh tinggi sang calon raja membentur tempat pijakan.
Gadis itu menangis sedih. Perih menghujam jiwa begitu ia tahu kondisi tubuh si peri yang begitu lemah saat kegelapan dikalahkan oleh cahayanya,
"Maafkan aku kak. Aku telah membuat kakak kecewa. Maafkanlah aku, aku gagal." Likuid bening bermuara hingga menjadi jalur di pipi, ia mendekap tubuh itu kuat hingga bisa merasakan degup jantung Malleus, memberikan sedikit kecupan pada punggung tangan Malleus yang terkulai.
Si peri tak berucap. Ia merosot membuat gadis serba putih itu menahan tubuh besarnya,
"Tapi aku mohon..." hatinya merasa tertampar dengan kenyataan yang diterimanya, dalam sebuah tugas yang lagi-lagi gagal ia lakukan dengan baik, "Kembalilah. Kembalilah pada keluargamu. Pada kami. Padaku kak."
"Apa... aku membuat kekacauan?"
Andela paham, harga diri seorang calon raja akan dipertahurkan di sini apabila ia menceritakan semuanya. Mengundang sebuah tawa kecil untuk si gadis dan menimbulkan tanda tanya untuk Malleus,
Tangan gadis itu meraba tangan lain yang masih terkulai. Menautkan jari-jarinya hingga mendapat reaksi yang sama dari Malleus, "Kakak bisa melihatnya sendiri nanti."
"Bawa aku. Bawa aku kembali."
Andela mencoba berpikir keras sembari menjawab. Rupanya agak merepotkan ya bicara dengan seniornya yang satu ini, dan ia baru menyadari hal lumrah tersebut,
"Kita kembali, kak."
Sekuat tenaga, sekuat tenaga sang gadis menghunjamkan satu helai bulu putih bersih pada tengkuk mulus sang peri.
Naga itu mengaum, bercak hitam yang mengitari sang naga adalah bukti dimana ia benar-benar telah kehilangan kesadaran. Auman itu terdengar seperti genderang di kedalaman yang tersembunyi diantara belukar musim semi.
Kabut perlahan mulai menipis.
Kehancuran dalam ruang hampa mulai terlihat.
Saliva ditelan berat, sosok yang mengamuk kini masih menutup mata di atas pangkuannya. Gadis itu tidak bisa menahan rasa untuk meraih tangan sedingin es yang terkulai di atas tanah.
Menciuminya, memohon agak iris hijau terang tersebut kembali terbuka.
Gadis itu merapatkan gigi saat suara berat mencapai kehampaan gendang telinganya. Malleus bangkit menggunakan satu tangan, ia merengkuh tubuh itu dalam diam. Memperkecil jarak diantara mereka sampai kalimat,
"Aku tahu... aku tahu kau akan kembali."
Gadis itu duduk semampunya, membagi sebuah kehangatan dalam tubuh yang mulai dingin.
Kontak mata diantara mereka tidak terlepas, hingga sang gadis berhasil memberi sebuah kecupan ringan pada kening Malleus sembari menyampaikan sebuah pesan bahwa semua akan baik-baik saja.
Kabut mengilang, sebuah kabar datang melalui Vil yang berhasil menemukan Andela ketibang siapapun. Atau memang, sengaja menyusulnya?
"Andela,"
Sang pirang memeluk tubuh pupilnya dalam rasa duka dengan muara air mata di pelupuk amethyst penatnya,
"Seseorang pergi..."
"Kak. Lihat aku."
Vil memberikan wajah peluh, muara air mata yang mengairi kedua belah pipinya. Tidak, Andela tidak mau melihat sosok guru untuknya terlihat begitu. Dengan kedua tangan, ia mendaratkan sebuah usapan pada pipi Vil. Menghilangkan garis yang membuat kecantikannya berkurang. Tangan itu begitu lembut hingga Vil enggan melepaskannya meski sesaat,
Andela tersenyum tulus saat melakukan kontak mata dengan mentornya, meninggalkan sebuah harapan yang benar-benar akan dipercayai oleh Vil kali ini,
Sebaiknya, Vil tidak perlu tahu jika beberapa nyawa sempat hilang sebelumnya. Jangan, Vil tidak perlu tahu... ujar Andela dalam hati,
"Tidak akan ada yang pergi..." lirihnya "Bawa aku ke sana, kak."
Tidak ada lagi Malleus Draconia yang berdiri menguping pembicaraan. Yang ada hanya sekumpulan kunang-kunang yang menjadi penunjuk jalan untuk keduanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top