07. Realized Something

Realized Something

Lirikan iris amber tidak beralih dari papan scrabble yang coba untuk disusun oleh sesosok gadis. Benar, ia duduk gugup berhadapan dengan seorang anak perempuan dengan aksesori jepit rambut yang menghias sisi kepalanya. Bibir anak perempuan itu mengerucut dengan jari yang berada di bawah dagu, membuat gestur berpikir.

Saat guratan senja mengaum dikejauhan, Andela mulai panik saat merogoh tas coklatnya,

"Ih, ih! Ka-kamusku ilang! Mana ya!?"

"Panik tuh panik." Teman laki-lakinya meledek, "Kasih Deuce. Kamusnya kasih. Haha."

"Makanya kalo kelar kelas, jangan buru-buru." Sembur Deuce sambil sedikit menggetuk pucuk hitam di sisinya dengan kamus. Yang digetuk mengaduh, lalu membuka halaman dengan abjad Q secara tergesa,

"Ih tadi kan ada kak Tsunotaro tau." rengutnya, "Aku tidak mau dia menungguku terlalu lama."

Bunyi suara halaman kamus yang dibalik terdengar. Idia hanya menunduk, mencoba mendengar cuitan si anak perempuan beserta dua teman laki-lakinya. Tidak berniat ikut campur dalam urusan mereka, namun telinga memasang baik-baik mendengar dan menyaring obrolan dari junior-juniornya,

"Emang?" suara Ace terdengar tidak percaya, tangannya ikut menelaah setiap kalimat dari kamus yang dipegang teman perempuannya, "Tahu dari mana ada senior Malleus?"

"Tanduknya keliatan. Hehe."

"Bisa gitu, ya?" kata Deuce, "Nih bisa nih. Jalan coba. Eh tapi, apa yang senior Malleus lakukan?"

Dua iris ambernya mengikuti tangan yang dibalut sarung tangan putih untuk menyusun kotak kecil menjadi kalimat, sementara telinganya masih mendengarkan cuitan ketiganya,

"Itu, ngasih kado."

"Oooooooh." kata Ace dan Deuce bersamaan, "Yang kotak kecil itu?" Ace lanjut bertanya,

"Iya."

"Apa ya yang diberikan senior Malleus untukmu?"

Deuce bertanya dengan raut wajah setengah penasaran. Ia sendiri pernah diberi sekantung penuh berlian oleh peri bertanduk tersebut, karena berhasil memperbaiki mainan kunci sang naga. Ace dan Deuce sendiri tahu, teman perempuan mereka juga banyak menghabiskan waktu dengan senior yang cukup mereka takuti itu. Salah satunya mengobrol tentang banyak hal, atau Malleus sendiri yang mengajaknya keluar malam-malam. Jadi tidak ada kata tidak penasaran oleh mereka begitu tahu senior Malleus telah memberi sebuah hadiah,

Kalimat darinya sudah dijalankan, sekarang giliran Idia yang harus memikirkan kalimat lain untuk sisi kotak,

Andela menggunakan waktunya untuk membuka sebuah hadiah yang diterimanya,

"Jangan permata lagi, sudah banyak permata dari kak Tsunotaro."

"Kado dari kami, kau suka?"

"Suka dong!" pekik anak perempuan itu nyaring, "Terima kasih ya! Kadonya main banyak-banyakan. Apalagi dari kak Vil dan kak Floyd. Ah, dari kak Kalim juga banyak. Aku suka salah satu kado dari kak Kalim."

Ace tertawa. Dia sendiri melihat di tempat tinggal yang diisi tokoh utama kita, nyaris ruang tamu dipenuhi dengan kado dari senior padang pasirnya, "Memang salah satunya apa?"

"Gelang kaki. Ih seru saat aku pakai, bunyinya 'Krincing-krincing' !!"

"Kalau suka, jangan sampai hilang!" ledek Deuce. Ia paham teman perempuannya itu agak selebor. Makanya sering diomeli senior mereka—Vil. Dan siapa bilang menjadi didikan tersayang seorang Schoenheit akan selamat dari omelan dan sikap kerasnya?

Ha. Omong kosong. Anak perempuan itu adalah saksi hidup dari kerasnya sikap Vil.

"Shhh. Jangan keras-keras bilangnya. Kado dari kalian semua juga akan kujaga baik-baik. Nah, sekarang kado dari kak Tsunotaro........."

Pita hijau dibuka, tutup dari kotak hitam diangkat. Manik zambrud segera disambut berupa benda kecil imut dengan gantungan kunci pada bagian puncaknya,

"Aaaaa! Gao-gao!"

Di depannya, sang gadis tengah mengusap-ngusap pipinya dengan mainan yang didapat. Sementara dua teman laki-lakinya hanya bergeming dan hendak bergosip tentang bagaimana dia bisa begitu senang dengan hadiah yang diterimanya barusan? Namun perhatian Idia bukan hanya hal yang dilihatnya secara kasar, jika ia perhatikan, mainan gao-gao yang berada di tangan perempuan itu adalah benda yang berusaha dicarinya beberapa waktu lalu atas permintaan Malleus Draconia.

"T—tunggu!!"

Junior yang tadinya haha hihi hoho, kini menatap ke arahnya dengan serius. Ketiga pasang mata di sana menantapnya setengah terkejut. Idia gugup, bibirnya bergerak sendiri tadi,

"K-kau mendapat benda itu.. Dari s-senior Malleus-shi?"

"I-iya kak... kenapa? Kakak mau—

"Hore. Senior Idia sudah punya teman!"

Sosok lain menganggu percakapan. Dagu lancipnya bertengger pada pucuk kepala hitam si gadis. Sementara tubuh depannya bersandar pada punggung belakangnya, kedua tangan digunakan untuk mengajak tangan lain untuk menari ke kiri ke kanan sambil benyanyi,

Tsuki no fesuta,

Poruka no wa,

Mawaru yo tojite kurikaesu,

Anata ni todoku made,

Tokui na suteppu no mama,

Fue no ne hibiite..,

Andela juga turut bernyanyi mengikut setiap bait nada yang keluar dari bibir tipis seniornya,

"Apaan si kak. Kok aku ikutan nyanyi."

"Lagian di sambung lagunya." Cecar Azul balik. Iris birunya menangkap benda kecil yang dipegang oleh anak perempuan yang digelendotinya sekarang. Azul membawa tangan kirinya pada tangan si bocah yang memegang mainan barunya, "Aah. Aku tau nih. Gao-gao?"

"Lucu ya. Dari kak Tsunotaro."

"Hm.." kata sosok itu, yang melepaskan tangan dan dagunya sekalian, "Keseringan ngasih permata, sampai buntu ide?"

Anak perempuan itu berdiri, mempersilakan Azul untuk duduk di kursi yang di tempatinya,

Adeuce mengisyaratkan 'Ayo pulang'. Kepala hitam itu mengangguk sambil menyambar kamus yang ada di atas meja,

"Kak Tsunotaro itu idolaku tau!"

"Bagaimana denganku, hm?" gurita itu menggoda sang gadis dengan pertanyaan mengecoh. Hanya senior dari lautnya yang berani melakukan hal-hal yang membua semburat merah semu di pipi padahal sedang berada di depan orang lain. Dan hal itu akan menyenangkan si pelaku seperti saat ini, sang penyihir laut menggunakan telunjuknya untuk memaksa sang gadis beradu pandang dengannya,

"Hi—

"Ahahaha."

Tangan di lepas, penyihir laut itu segera duduk. Sementara si bocah perempuan langsung memberikan mainannya pada Deuce. Memintanya untuk dinyalakan.

"Ini buat kak Idia, ini buat kak Azul." tambahnya dengan mengeluarkan dua buah permen dari dalam tasnya.

"Asik. Terima kasih."

"Kembali kasih, kakak."

Sementara Idia masih bergeming, tak mampu berucap memandangi permen di atas meja.

"Nah nih. Udah." celetuk Deuce,

"Oh udah ya. Dadah kak. Sampai jumpa besok!"

Azul melambaikan tangan, Idia berusaha mengikuti lambaian tangan seperti yang Azul lakukan untuk bocah yang perhalan menghilang dari bibir pintu. Ruangan mendadak hening saat burung yang bercuit kian terbang menjauh untuk kembali ke sarangnya,

"Ih! Tadikan udah permen. Permen mulu, ayo sekarang gantian belikan aku macaron di toko yang kakak janjikan kemarin." suaranya yang menggema kian menjauh dari ruang klub. Entah siapa yang minta permen, namun dari suara tawanya, Azul yakin itu suara Ace.

Penyihir laut itu tidak memudarkan senyumnya bahkan saat suara anak perempuan itu benar-benar hilang. Setelahnya, ia berpaling, menatap senja yang mulai menunjukkan temaram.

"P-permen kapas itu..., baru ulang tahun?" tanya Idia disela-sela hening,

Azul tertawa kecil seraya merenggangkan tubuh, "Sekitar empat hari lalu. Ke tujuh belas."

Dalam pikiran yang datar dan pandangan yang tidak fokus, Idia mulai meraih permen tongkat yang diberikan sang gadis tadi. Membuka bungkus plastiknya, dan memasukkan kudapan manis tersebut ke dalam mulut,

"Azul shi, jalan."

Kepala ikal itu begerak, baru memberikan perhatiannya pada papan permainan yang ia sambung dari anak perempuan sebelumnya. Bibir tipisnya menyunggingkan sebuah senyum sambil berpikir untuk kalimat selanjutnya,

"Coba jika kau mau, ajak anak itu main othello."

"Dia bisa?"

"Semua permainan yang kita mainkan, aku mengajarkannya."

Idia berdehem sebagai jawaban.

Azul bergeming setelah memberi jalan untuk kalimat selanjutnya pada si senior.

"Lalu, siapa yang keluar sebagai pemenang?"

"Anak itu..." jawab Azul cepat,

"Apa...?"

Idia jelas ragu. Bagaimana bisa sosok didepannya itu kalah dengan anak perempuan yang baru diajarkan cara mainnya oleh Azul? Idia terdiam, memandang Azul yang membuka permen jatahnya,

"Tidak percaya kau?"

"..."

"Ajak saja. Dia mengalahkanku dalam othello..." Azul menggantung kalimat, membuat keheningan terkesan angker, "Dan papan ouija."

"... Apa yang sebenarnya kalian lakukan?"

White Feather

Sebuah niat untuk melarikan diri menggebu dalam dada mengalir lewat darah yang menggelitik lalu memompa ke jantung. Panas matahari pagi sangat menganggunya hari ini. Rambut biru bak api nampak redup oleh sinar kuning dari fajar yang membelah bumi.

Idia Shroud tahu betul.

Nyaris sebagian besar siswa Night Raven College menjauhi anak manusia yang tidak bisa menggunakan sihir tersebut. Begini-begini, kepala asrama Ignihyde yang suram ini up-to-date dengan berita sekolah. Sejatinya, gadis itu dianggap sebagai hama yang memalukan nama sekolah, namun disaat yang berbarengan, beberapa pihak sangat menghargai kehadirannya.

Pekikan suara yang cempreng terbawa begitu saja oleh angin. Entah kebetulan atau bagaimana, ini sudah ke-empat kalinya kelas Idia dan kelas Andela memakai sisi lapangan yang berbeda. Menaiki sapu terbang bukanlah keahlian Idia—pun anak perempuan yang tengah bersiap memukul bola dengan tongkat kasti yang ada dalam genggaman tangannya. Idia tahu nama siswa dengan gaya rambut aneh berwarna agak merah itu memiliki nama Ace Trappola yang sedang berdiri di belakang si tokoh utama. Sedangkan untuk yang rambut biru donker—Deuce Spade tengah bersiap menerima pukulan dari anak perempuan yang begitu mereka jaga.

Entah bagaimana atau kenapa, Idia mulai sadar kalau formasi mereka selalu begitu. Anak perempuan bermanik cerulean cerah selalu berada di tengah-tengah. Ingatan si biru ini cukup tajam, ia ingat saat gosip yang menyebar ketika anak perempuan itu nyaris menjadi korban bullying oleh pelajar dari Diasomnia dan salah satu dari kepala asrama lain membantu mengeluarkannya dari kejadian yang pernah dirasakan Idia jauh sebelumnya.

Idia takjub.

Bagaimana bisa mereka begitu lengket dengan anak perempuan yang sangat berisik di sana? Bagaimana bisa mereka lancar melakukan komunikasi dengan perempuan? Jangankan untuk berkomunikasi, face-to-face saja bagi Idia sudah terdengar begitu menyebalkan.

"Siapa juga yang mau bercakap?"

White Feather

"Idih!" geram si biru di depan layar monitor. Mengabaikan kantung mata dan jam yang menunjuk nyaris dimana matahari hendak menampakkan diri. Idia bergumam sendiri setelah meneguk satu gelas air yang berada di sisinya, "Anak perempuan itu nyaris memiliki semua. Walau bukan kado, ada saja yang hobi membelikannya ini itu."

Jarinya mengetik cepat, tanpa kedipan mata yang dilakukan, sebuah data telah muncul dengan foto anak perempuan itu sebagai objek. Apa yang disukanya, apa yang diinginkannya, siapa saja yang berharga untuknya, semua hadir dalam satu data yang tersaji ringkas sebanyak dua halaman. Malleus Draconia ada dalam daftar teratas pada sesuatu yang disukainya. Diikuti Vil, Trey Clover, dan beberapa yang lain.

Hingga dirinya.

Ada satu foto yang membuat Idia cengar-cengir sendiri. Jika tidak salah ingat, keadaan sekolah saat itu tengah genting ketika batu untuk musim yang bergilir raib oleh bangsa peri. Sebagai gantinya, beberapa dari siswa harus mengambil kembali batu tersebut agar tidak menjadi ancaman kedepannya. Idia terkejut anak itu menjadi bagian dari misi perebutan permata musim. Baju putih yang membalut tubuhnya mungilnya nampak cocok. Berperan sebagai apa dia? Dan bagaimana caranya mereka berhasil merebut batu itu?

"Jam air...?" celetuknya menggigit jari, "Sesederhanaitukah benda yang masih diinginkannya?"

White Feather

Idia menggigit jarinya gusar. Sesekali mencoba tidak terlihat, namun warna surainya yang begitu mencolok sama sekali tidak membuatnya terbantu. Ia berdiri dengan rasa tidak percaya diri di salah satu lorong, yang ia tahu kalau lorong ini adalah lorong yang sering dilalui anak perempuan tersebut.

Suara nyanyian terdengar mendekat. Suara seperti itu adalah suara satu-satunya anak perempuan yang ada dalam kampus ini. Andela tengah menyumbat salah satu lubang telinganya dengan earphone, tidak memperhatikan jalan sebab matanya fokus pada ponsel di tangan,

Kaget karena tangannya digenggam, ia menjerit hebat,

"Kak Idia! Ngagetin tau!"

"Sengaja." Katanya, "Mana temanmu?"

Andela mulai melepas earphone yang tersumbat dalam telinganya. Memasukkan ponsel dalam tas, lalu memberikan seluruh perhatiannya pada salah satu sosok senior yang begitu ia hormati,

"Itu kak. Mereka ekskul di hari yang sama."

"Rabu?"

Sang gadis mengangguk sebagai jawaban. Alih-alih gugup, ia langsung memegang satu tangan seniornya. Idia terkejut bukan main. Ada sebuah rasa sejuk yang menjalar dari telapak tangan kecil yang berada di tangan besarnya.

Cukup.

Hatinya memanas,

"Kenapa kak? Kakak tumben terlihat. Di sini lagi. Nungguin siapa?"

Idia tampak linglung dengan mata biru yang ia rasa mengintimidasi dirinya dengan berbagai macam pertanyaan. Bahkan Idia tidak mampu memberikan sebuah reaksi saat salah satu tangan mereka masih bertautan,

Dahi sang gadis mengerut, mencoba memperhatikan sosok senior dihadapannya. Setelah itu, tangan yang ia gunakan untuk memegang tangan besar Idia, melepaskan diri.

Netra emas si biru terbelalak menyadari tangan mungil itu tidak lagi memegan tangan besar miliknya. Tidak ingin tangan itu kembali memegang objek lain, segera ia menarik tangan kecil itu lagi di antara jari-jarinya,

"K... kau?"

"Pimpom!" kata sang gadis.

Idia tersenyum simpul. Pimpom adalah kalimat yang sering ia lontarkan.

Rambut biru itu berubah warna menjadi merah jambu pada bagian ujungnya,

"Ja-jadi... Kurasa aku belum memberimu hadiah ya?"

Manik biru sang gadis menyimpan kebingungan saat Idia mengeluarkan menunjukkan sesuatu yang terbungkus rapih oleh sebuah kain biru,

"S-selamat ulang tahun...?"

Jika gadis itu bisa tertawa, maka tertawa. Namun sosok yang dihadapannya ini bukanlah Ruggie yang mampu membuatnya terkikik bahkan saat sang hyena itu belum melakukan apapun. Atau Ace yang sering menunjukkan trik sulap kecil-kecilannya yang menjadi obat manjur jika ia menangis karena suatu hal.

Yang berdiri di hadapannya adalah Idia Shroud.

Sosok paling tertutup, walau sang gadis selalu menyempatkan waktunya untuk bicara satu atau dua hal lalu memberikan permen untuknya. Diberkahi wajah yang cukup atraktif, tidak ada kata tidak tertarik untuk tidak menjadikannya teman baik, seperti yang lain. Ia percaya, bahwa Idia adalah orang baik yang bisa dipercaya dan mau dipercaya jika hal tersebut diberikan seratus persen.

Sibuk dengan pikirannya sendiri hingga tidak bisa merespon.

Idia merasa salah, sebab tidak mendapat respon. Maka dengan berat hati ia meloloskan jemarinya dari tangan sang gadis.

Sadar tangannya mulai dilepas, sang perempuan kembali meraih tangan besar itu untuk menautkan jari,

"Terima kasih kak." katanya, "Aku terima kadonya, boleh tidak?"

Sedikit malu karena kadonya diterima, Idia tersenyum,

"Apa nih kak? Kok berat?"

"Bukanya... saat kau sendirian saja." Katanya, "Hari ini, ada sesuatu yang ingin kau kerjakan?"

Anak perempuan itu mengangguk, menuruti kata sang senior untuk membuka hadiahnya saat ia sedang sendiri. Namun pipinya sedikit menggembung untuk pertanyaan pada kalimat selanjutnya,

"Aku... biasanya jika hari Rabu, aku ke perpustakaan karena kak Ace dan kak Deuce tidak menemaniku pulang. Mereka memberikanku waktu untuk sendiri." kekehnya.

Bukan tidak senang saat teman laki-lakinya itu selalu berada di sisi. Namun mereka lebih senang mengajaknya ke tepi danau sekolah, atau Heartslabyul jika waktu mereka luang. Walau hobinya adalah main, namun sang gadis juga mau membaca buku-buku yang menarik dalam perpustakaan di kampus sihir ini,

"Jadi...?"

"Aku mau mengembalikan buku, kak."

Mengikuti arah pandang iris biru ke arah perpustakaan pada lorong lain, Idia menghela napas pendek,

"Baiklah."

"Kenapa kak?"

Kali ini, sang gadis membiarkan tangan seniornya yang jauh lebih besar dari telapak tangan Malleus lepas dari tautan jemarinya. Idia menggunakan tangan kirinya untuk menyerong tangan kananya yang lain sambil membuang muka ke sisi lain, yang penting tidak melakukan kontak mata dengan iris biru bening dengan sirat ketulusan dalam setiap kedipan,

"Ni-niatku ingin... Mengajakmu main othello."

Terlepas dari perasaan apapun, gadis itu senang atas ajakan sederhana yang datang dari bibir biru seniornya,

"Boleh! Tapi aku kembalikan buku dulu ya kak? Kakak mau menungguku di ruang ekskul kakak?"

Diluar dugaan, Idia mengangguk. Dan hal itu memaksa kedua kaki kecil sang gadis untuk melangkah lebih cepat menuju perpustakaan.

Satu hal yang Idia tahu saat amber itu mengikuti punggung yang menjauh, sosok gadis itu bukanlah seorang manusia biasa. 

Begitu kalis rupanya. Sinar putih tidak menghalangi Idia untuk melihat sosok yang memunggunginya. Pakaian, surainya begitu panjang dan putih. Dalam setiap tapak yang ditinggal, ia meninggalkan kecambah baru yang tumbuh dalam semesta lain. Begitu bersih dengan angin yang menerbangkan selendangnya,

"Apa yang dilakukan seorang  malaikat ke tanah ini?"

Wait for the time. All will be answered.
[Idia Shroud]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top