05. Heal
Heal
Bersembunyi dibawah ketiak seorang Kalim Al-Asim adalah pilihan terbaik saat ia tidak sengaja melihat dengan mata kepala sendiri saat ketujuh kepala asrama menghadiri sebuah pertemuan-dan memang anak manusia itu sudah berada dalam ruangan pak gagak jauh sebelum jam pertemuan dimulai. Membicarakan potensi kepulangannya yang pak gagak usahakan sudah 20% berjalan.
Mari jabarkan kepala-kepala yang datang.
Pertama, satu ketua komite dan satu orang yang selalunya aktif dalam rapat, si ratu merah, Riddle Roseheart bersama pedagang dari bawah laut, Azul Ashengrotto. Ratu yang lain, sekaligus mentor seorang manusia perempuan satu-satunya di Night Raven College yang sangat tidak suka saat muridnya waktu itu berdialog dengan Neige Leblanche-Vil Schoenheit dengan singa yang kerap kali bersikap arogan hingga membuat Vil terkadang menjambak rambutnya, Leona Kingscholar. Si kepala asrama paling tertutup Idia Shroud-tabnya maksudku, entah bagaimana bisa datang bersamaan dengan si peri yang konon katanya adalah salah satu dari lima penyihir terkuat se-antero Twisted Wonderland, Malleus Draconia.
Jika kalian menanyakan Kalim, kepala asrama yang senyumnya secerah matahari dan sering membuat parade untuk siapa saja yang mengunjugi Scarabia itu mengaku lupa bahwa ada rapat komite yang harus dihadirinya. Dia sudah sempat sampai di asrama padahal. Dan balik lagi ke kampus lewat ruang cermin.
Malleus Draconia jelas datang,, jelas ya. Bocahnya yang menghubungi Lilia untuk memberitahu Malleus bahwa ada pertemuan untuk tujuh kepala. Lalu saat ini, keenam kepala sisanya hanya mengeluarkan kalimat menohok satu sama lain.
Si tokoh utama yang masih berada di bawah sweater gombrong Al-Asim sesekali melirik pada jarum jam besar berwarna hitam yang bergerak dengan lamban tepat di sudut ruangan,
"Me-mereka biasa begitu, kak?" Ingin rasanya keluar dari sini cepat-cepat. Dia kaget. Jelas. Semua orang disitu seolah menunjukkan topeng asli mereka masing-masing. Kepribadian. Watak. Karakter. Tabiat. Semuanya. Dalam benak, ia sendiri sedang berpikir dan menyaring semua kalimat sahut-sahutan antara kepala satu dan lainnya. Dan segera menyadari satu hal, bahwa sirkel Great Seven yang ia kagumi itu sangat berbahaya.
"Hm?" Kalim menoleh. Wajahnya memang selalu menunjukan aura ceria, namun manik ruby-nya berkata lain. Andela pun tahu, Kalim sudah berkali-kali menahan perang mulut antara satu dan lainnya, seperti.. 'Oke. Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan, namun bisakah kita akur, sekali ini saja?' sampai frasa yang paling jarang diucapkan, 'Kenapa kalian begitu keras kepala?'
"Biasa, nanti juga titik terangnya ketemu. Kau mau keluar?"
Ia masih bergeming, tidak habis pikir dengan orang-orang yang telah dianggapnya kakak itu. Memberikan perhatian satu-satu pada orang yang sudah menerimanya dan mendengar untaian-untaian kalimat menohok. Mendapati aura-aura sihir yang begitu berbeda. Tekanan atmosfir yang begitu dalam, kehangatan dalam darah pun seolah lenyap begitu mereka semua berkumpul. Benarkah itu kepala-kepala yang ia kenal dengan baik? Rasa sesak timbul di dada sebagai manusia biasa karena tekanan udara yang mulai dingin, sangat jauh berbeda ketibang bersua dengan mereka satu-satu dalam berbagai kesempatan langka.
Sangat berbeda.
Ia mengeratkan tangannya pada baju Kalim.
"Berisik banget heh!" si kepala sekolah akhirnya angkat bicara, "Kurang ajar." Dia bergumam. Namun tidak terlewat begitu saja oleh pasang telinga masing-masing kepala,
"... Lah." Malleus yang pertama sadar,
"Rapat. Jangan berantem aja bisanya." Sambung si gagak,
"Crowley." tepat Leona berkata begitu, lonceng jam berdentang. Satu tepukan tangan mulai menggema dari sang singa, jam itu kembali sunyi. Menyisakan keheningan yang menyelimuti sebuah ruang yang cukup besar dengan tujuh kepala di dalamnya, "Sayur mendengarnya... jika tutur katanya jadi jelek, aku pasti akan menyalahkanmu."
Ah... Vil sudah menjambak rambutnya frustasi, "Gak boleh gak boleh... dia anak didik saya." Sewotnya. Mentor mana yang tidak sewot jika anak didiknya terkontaminasi oleh sesuatu yang tidak baik, kan ya.
"Duh aduh.." Azul tersenyum, menutup kedua kelopak mata sambil menaikan alat bantu penglihatannya, "Dia anak baik, ya. Aku juga tidak terima jika tutur katanya nanti bagus sepertiku." Sadar gak? Jika si Azul sarkas sama dirinya sendiri?
"Wah wah..." Malleus angkat bicara, surainya mulai bergerak padahal tidak ada angin dalam ruangan itu,
"Dia penurut ya, pak." Riddle mulai menunjukkan raut wajahnya yang itu,
"Di-dia heroine.. dia selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi saya." Idia menghela napas panjang.
Akhirnya, pertemuan tujuh kepala asrama jadi riweh karena seorang anak manusia yang tidak sengaja mendengar ucapan bagus dari si kepala sekolah. Termasuk dari seseorang yang ketiaknya masih dibuat persembunyian.
"Oke oke." Suara yang biasanya pelan itu terdengar agak tinggi kali ini. Siapa yang paling kaget mendengar suaranya? Semua. Semua. "Jika kehadiranku menghambat urusan kalian, aku pulang ya, kakak-kakakku sekalian." Oke. Dia menekankan di kalimat 'kakak'.
Dua iris ceruleannya menatap balik satu-persatu mata yang masih memberikan perhatian untuknya. Ia bisa melihat kepala mentornya agak menggeleng, memberikan kode bahwa ia telah melakukan sebuah pelanggaran dari tata krama yang diajarkan oleh Vil. Betapa pantangnya seorang perempuan bicara dengan nada yang tinggi. Sadar diperhatikan, kepala hitam itu sedikit menunduk pada si mentor. Meminta maaf tanpa suara.
Langkah selanjutnya, ia mengambil tas dan melangkahkan kaki menuju pintu hitam yang tiga kali lebih besar darinya, sebuah pintu untuk akses keluar masuk ruang kepala sekolah, "Jangan ada yang mampir ke tempatku nanti, ya."
Ha apa- [Leona]
Apa?[Riddle]
Lah... katanya mau main scrabble dengan kami- [Idia]
ADUH, KAN AH!! [Vil]
Ih parah banget. Mau diajak ke Diasomnia padahal. [Malleus]
Ngambek.. susah bujuknya tuh. [Azul]
Uuuhh.. gimana dong? [Kalim]
Pintu tertutup.
Sang tokoh urama menghilang dibalik pintu. Satu ruangan mendadak hening, berbagai macam warna netra tidak mengalihkan pandangannya pada pintu yang sebelumnya dipegang oleh anak manusia yang kerap membantu mereka. Walau tidak selalu berjalan mulus, tetapi kerja kerasnya sebagai manusia yang tidak bisa menggunakan sihir namun tetap berusaha membantu mereka semaksimal mungkin, adalah suatu hal yang patut diberikan sebuah apresiasi. Entah karena anak itu terlalu baik, terlalu bodoh, atau memang ikut membantu hanya sekedar untuk mengulur waktu sambil menunggu kepulangannya.
Vil mendesahkan napas panjang sambil memijat keningnya sendiri, "Ngambek kan, heh! Dia kalo udah ngambek, mau dibujuk kayak apa juga susah dah."
"Lagian si Crowley bukannya disuruh pulang itu sayuran.." Leona menarik poninya malas, "Herbivora itu selalu membantu saat kita kesurupan, dan kegiatan lain. Dia selalu menjadi partisipan nomor satu."
"Apaan." Kalim yang pikirannya berkelanan pada-temukan merak kecilku dengan Jamil, biar di ajak ke Scarabia-pun akhirnya menoleh tak terima, "Jamil kesurupan, pak kepala liburan ke Hawai kan."
Yang dihardik, hanya cengegesan dibalik topeng.
"Tunggu.." sebuah suara memecah keheningan yang sempat mengarungi ruang pertemuan disana, Malleus menyadari satu hal, "Oh. Apa ini pertama kalinya, bocah itu melihat kalian begini?"
Suara beratnya datang begitu ringan terbawa angin. Membuat semua mata langsung tertuju pada sang calon raja. Dan dari masing-masing sorot dari warna netra yang berbeda itu, Malleus bisa dengan jelas membaca pikiran mereka satu persatu, 'Ngaca, mas. Situ yang paling serem barusan.'
Malleus sendiri langsung membuang wajah pada ventilasi besar yang memang sengaja dibuka, memperhatikan deretan pohon yang menari-nari oleh angin dingin. Sambil mengingat ekspresi yang ia buat. Jika tidak salah ingat, tadi tangan kirinya menutup pada sebagian wajahnya, dan ia menyeringai. Memperlihatkan taring serta manik hijau yang berkilat bagai kucing liar pada malam hari. Tidak heran jika degup jantung bocahnya begitu keras, mungkin yang lain kurang menyadarinya, namun Malleus bisa merasakan ketakutan yang dalam dari anak perempuan yang masih tidak tahu menahu tentang sirkel Great Seven di Night Raven College ini.
Baiklah, Malleus akan minta maaf setelah ini.
"Ya lagian ngapain saya dateng ya?" sesal si naga.
Azul menghela napas panjang, lalu bergerak melepas kacamata dan menggigit gagangnya, "Dia kaget kayaknya sih. Aku bisa menebak keinginannya setelah ini."
Suara dehem datang dari arah Riddle yang sudah memegang spidol papan tulis sambil mempertemukan batang spidol dengan papan tulisnya hingga mengeluarkan bunyi ketukan yang agak keras. Mengalihkan semua pikiran yang sempat menguap,
"Oke." Katanya, "Tahan dulu, aku tahu mawar itu telah banyak membantu kita. Namun bisakah kita mulai rapat untuk acara kita beberapa waktu lagi? Nanti setelah ini, kita urus dia."
Melangkahkan kaki gontai pada kafetaria. Membeli satu buah eskrim mungkin bisa mengusir ketakutan yang sempat dialaminya, sampai suara familiar menyapa telinga,
"Geeng!"
Ace Trappola, Deuce Spade masih nongki di kafetaria ternyata. Di atas sebuah bangku panjang, nyaris ditengah-tengah kafetaria yang masih tergolong ramai. Andela mulai melangkahkan kakinya pada dua sohib yang perlahan jadi overprotektif karena merasa bersalah saat teman perempuan mereka nyaris menjadi korban bullying,
"Hih!" Katanya.
Ace yang sedang mencungkil satu dari dua muffin telur dalam mangkuk Deuce langsung memberikan perhatian penuhnya pada anak perempuan yang duduk di samping Deuce. Sementara si sekop, masih meraut pensilnya untuk saat ini,
"Kau kenapa?" Laki-laki muda bersurai donker itu baru bertanya,
"Takut tau. Emang bener ya, kalo ketujuh kepala sedang jadi satu begitu, atmosfirnya berubah angker?"
Ace dan Deuce saling mengadu tatap, sebelum beralih pada anak perempuan yang masih membuka eskrim perisa pisangnya.
"Iya kan memang. Udah biasa kalo itu mah."
"Aku jadi buru-buru keluar, padahal ada yang harus aku bicarakan juga dengan mereka." Jelas sang anak perempuan sambil menyuap sedikit es krim dari sendoknya,
Deuce kemudian mengalihkan perhatiannya lagi pada buku catatan. Mengguratkan pensilnya di atas halaman buku catatan linguistik, "Ngomongin apa?"
"Kepulanganku?"
Ace tersedak, ujung pensil Deuce patah. Tiba-tiba Jamil yang entah datang darimana langsung ada di sisi Ace yang tersedak. Ia menepuk punggung Ace yang masih berjuang dengan air yang salah mengairi jalur seharusnya, sementara Deuce sepertinya masih mencerna kata-kata yang terlontar dari bibir teman perempuannya ini,
"Ace ngapain keselek si. Cuma minum air putih aja kan?" heran Jamil.
Si Deuce nyaris menjelaskan kronologinya, namun sayang hal itu di hentikan tokoh utama kita yang menginjak kakinya dulu,
"I-Itu lho senior..."
Deuce kemudian mengarang sebagus mungkin. Sementara sang tokoh utama yang memakan eskrim manggut-manggut setuju. Memasang wajah galau karena teringat kejadian yang baru menimpanya,
"Biasa, kan memang mereka bersaing.." Jamil meluruskan, "Siapa suruh jadi murid perempuan satu-satunya. Hahaha, banyak yang seneng kan." Ledeknya. Sang hawa pun juga tidak menghilangkan perhatian-perhatian mereka untuknya memang. Namun jika sudah begini, rasa takut untuk dekat-dekat dengan mereka kembali timbul, bahkan jauh lebih parah dari saat pertama ia tersasar, "Scarabia aja yuk. Biar betenya hilang sama binatang di sana."
Dia yang bilang ingin sendiri, namun tidak mau menolak ajakan Jamil. Tapi teringat bagaimana pengalamannya ditawan jadi ada rasa ragu untuk mengangguk,
"Nanti kalau ada apa-apa, telepon saja." Kata Ace dan Deuce nyaris bersamaan.
"Iya deh."
White Feather
"Mengantuk? Kau sudah mengantuk?"
Begitulah pertanyaan yang dilayangkan Kalim untuk tamu yang berada di bawah satu baldu dengannya.
Sebelum ini, Kalim mengajaknya terbang dengan karpet ajaib, main dengan ketujuh burung kakak tua warna warni, anak-anak merak, bahkan Kalim mengajaknya main dengan macan-namun tidak jadi karena Jamil melarangnya. Lalu mengajaknya merebahkan diri di lounge besar Scarabia. Karena padang pasir akan begitu dingin saat malam, maka selimut tebal adalah pilihan terbaik jika sang merak kecil menolak menginap di kamar tamu 'Aku takut jadi tawanan lagi.' sahutnya polos. Respon Jamil saat mendengarnya adalah menggaruk pipinya yang tidak gatal, sementara Kalim hanya haha hihi hoho seperti biasa. Membaca berdua sebuah buku cerita, Kalim yang mulutnya tidak berhenti mengoceh berusaha semaksimal mungkin agar kegundahan yang dialami anak itu hari ini dan seterusnya akan hilang.
Waktu terus berjalan, sampai akhirnya Jamil meminta Kalim untuk berhenti bernyanyi, Jamil memberi kode dengan menggerakkan dagunya kearah si bocah. Ruby-nya teralih pada anak manusia yang tidak bisa menggunakan sihir perlahan menyusup kembali di bawah ketiak teman kecil sekaligus tuannya.
Dia tertidur. Gak tau, emang enak banget kali di bawah keteknya si Kalim.
"Pindahin?" Tanya Jamil,
Yang ditanya, bergerak perlahan menutup buku, dan sedikit melonggarkan lengan karena anak manusia itu agak menggeliat, ".. Gak usah deh. Orang dia gak mau.. Nanti kalo dipindahin, kau mau diambekin lagi?"
"Ya enggak sih.. Tapi bahaya untukmu tidur diluar."
"Terus? Mindahinnya?"
"Ya digendong!"
"Ya ampun..."
Sosok lain mulai menunjukkan jati dirinya dibalik bayangan,
"Sshhh!! Tidakkah kalian lihat, pupilku tertidur?"
"Senior!!" kejut Jamil.
"Kau mengunjunginya? Malam-malam begini?" Tanya Kalim takjub,
Mengendik bahu, Vil akhirnya duduk tepat di sisi sang pupil. Menyingkap selimut, tak lupa iris amethyst-nya memberikan tatapan sendu untuk si pupil yang wajahnya tidak terlihat sama sekali, "Ngerjain tugasnya gak dia tadi?"
Kalim mengangguk, "Ada tadi. Aku lihat dia mengerjakan Linguistik dan Sejarah."
Vil mengangguk sambil mengendikkan bahu sekali lagi, "Objek terbaiknya memang dua itu sih, itu tuh, kebanyakan belajar sama Malleus dan Lilia makanya jadi kesenengan sendiri." tukas si ratu
"Lah. Si merak udah pernah ke Diasomnia?"
Vil menggeleng,
"Lah. Belajarnya?" Ini Jamil,
"Kadang di perpustakaan. Kadang di asramanya sendiri. Malleus lebih sering kesana ketimbang aku."
Kalim dan Jamil membuat gestur yang sama. Mulut yang membentuk alfabet O kecil dan mengangguk,
"Makan gak tadi?"
Kalim menggeleng,
"Tadi hanya air kelapa dan sup. Itupun tidak habis." Ini Jamil,
"Senior Vil, kau benar mengunjunginya hanya untuk menanyakan hal ini?" tak bisa menghilangkan rasa penasaran, Kalim masih tak ragu untuk bertanya,
"Tidak juga," sahut Vil, "Aku khawatir saja. Kalian tahu, aku menghubunginya, namun ponselnya tidak aktif. Itu membuat batinku agak... Stres."
"..."
"... Ah hah.. ah ha ha..."
Senior Vil benar menyanyanginya atau bagaimana?
"Eh ya, si merak terus membanggakan senior ketika kami di atas langit."
Wajah Vil terlihat sedikit tertarik dengan cerita itu. Tangan lentik kemudian digunakan untuk menuju kening si tokoh utama dan mengusapnya pelan,
"Wah.. apa saja katanya?"
"Banyak..." jawab Kalim, "namun yang paling kuingat merak kecilku mengatakan, 'Kak Vil orang yang ketat dan galak. Jika aku melewatkan ilmunya sedikit, kadang pipiku di cengkram, memaksa untuk beradu pandang dengan wajah marahnya. Dia selalu sibuk dengan kegiatannya. Entah bikin ini, bikin itu. Atau pekerjaannya sebagai model.. namun, dia selalu menyempatkan diri.. untuk sekedar.. memberikan perhatiannya padaku. Rasa sayang ini terbentuk begitu luas untuknya.' begitu ungkapnya."
Alis Vil nyaris menyatu kemudian tertawa dengan raut wajah setengah pilu,
"Yah dia mau belajar, lagipula dia perempuan. Lebih mudah diatur ketimbang Epel. Benar, hanya air kelapa dan sup? Kurasa saat ia bersamaku, ia sering bercerita kalau apa itu... Biskuit? Yang dimakan dengan keju. Dia suka."
"Aaa..." Jamil menginterupsi, "Benar, senior. Biasanya jika disini, si cengkih paling suka itu. Dan buah-buahan saja memang. Namun ia juga tidak menolak jika masih diberikan jamuan lain. Namun tadi..."
Menghela napas panjang, Vil yang memandang jauh pada padang pasir di sisi lain terlihat memikirkan sesuatu,
"Jika ada sesuatu yang membuat hatinya gusar. Dia sulit untuk makan."
"Kau menyayanginya atau bagaimana?" Intuisi Jamil kadang datang begitu saja,
Vil agak menaikkan bibirnya sedikit, menyembunyikan kedua amethyst-nya lalu tersenyum, "Sepertinya begitu." Lalu berdiri, "Daripada murid, aku lebih menganggapnya sebagai adik perempuanku." memperlihatkan baju denim bak puteri dari negeri dongengnya, "Aku kembali. Mungkin kalian akan direpotkan oleh kehadirannya beberapa hari kedepan. Tidak masalah?"
White Feather
"Berhenti!" titahnya.
Masih dengan baju kesatria, dan replika pedang di pinggul sebelah kanannya. Jubah ungu pekat berkibar mengikut kaki yang berlari mengejar pupil yang menjauh. Hari ini pensi terakhir, pertunjukkan terakhir ditampilkan oleh anak-anak teater kampus yang mengajak Vil untuk ikut andil dalam pensi.
Vil masih mengejar pupilnya-yang padahal berperan sebagai putri yang ditawan-sebelumnya. Berarti mereka bertemu dibelakang panggung, dan berdialog sementara. Namun tidak menurunkan persen ketakutannya terhadap sang mentor.
Langkah sang pupil begitu cepat, yang penting bisa menghindar dari sang mentor untuk saat ini. Seperti yang ia lakukan ketika berpapasan dengan keenam kepala sisanya, menghindar adalah cara paling mujarab untuk tidak saling bertatap.
Riddle kebingungan,
Leona nyaris tidak menunjukkan ekspresi apapun, tapi tidak ada yang tahu isi kepala di dalamnya,
Azul stres karena obat mujarabnya memilih untuk menghindar darinya,
Vil stres karena pupilnya menjauh,
[Tab] Idia no comment,
Dan Malleus yang selalu berkeliling asrama reyot dan membuat Sebek kelimpungan karena tuannya tak kunjung pulang kalau belum dini hari.
Mendecak, Vil menggunakan jalan pintas. Ia menghilang.
Tidak, lebih tepatnya mengecoh sang pupil. Bagai labirin, sang pupil berusaha mencari jalan keluar dari lorong sekolah yang baru pertama kali ia masuki untuk melarikan diri. Namun sungguh, saat ia menoleh kanan kiri, tubuhnya menubruk tubuh tegap lain.
Seorang kesatria yang bertolak pinggang,
"Oh tidak!"
"Apa yang tidak? Kau tidak akan bisa lari, ganggang lautku."
Pikirannya kosong, membuat langkah kembali menggebu ingin membawa pergi raga menjauh dari sang mentor. Namun sang mentor terlalu ahli membaca pergerakan sang pupil. Vil menggenggam lengan lain, dan tangan kanannya mencengkram pipi untuk memaksa si pupil beradu pandang dengannya.
Bisa dilihat oleh Andela, amethyst Vil jauh lebih tajam gelap dibanding biasanya. Cerulean miliknya berkilat. Rasa takut teramat sangat menghinggap dalam benak, namun Vil dengan segera mengusir amarah yang berkelut dalam kepalanya,
"Astaga maaf. Maafkan aku. Maafkan aku."
"..." mulai berkaca, level satu.
"Maafkan aku," Lama-kelamaan ia merosot, menggunakan lutut sebagai tumpuannya, "Kenapa kau menghindar?" Tanya sang ratu dengan nada yang dibuat lembut,
"Tidak tahu! Aku bahkan tidak tahu kenapa aku begitu takut dengan kakak akhir-akhir ini." Likuid bening hangat sudah mulai terkumpul di sudut kiri ceruleannya. Tidak mau itu menjadi jejak kesedihannya, Vil langsung mengurai air mata itu dengan punggung tangannya,
"Kau muridku, perempuan, satu-satunya. Tolong jangan buat aku merasakan hal seperti ini lagi."
"Maafkan aku, kak. Maafkan aku!!"
Vil tersenyum, senyumnya begitu tulus. Namun sayang karena pandangannya berbayang, Andela tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana senyum Vil untuk dirinya,
"Sudah," Vil menenangkan, "Aku tidak mau matamu bengkak. Mari kita bicarakan ini di Pomefiore nanti. Apa yang kau mau, hm?"
"Aku mau pulang."
Vil tahu itu jawaban yang akan didapatnya. Segera tangan pria itu menyingkirkan poni panjang milik sang pupil, "Kemana, dear?"
"Kerumah."
"Asramamu?" Bukan yang itu, Vil.. kau tahu betul pupilmu sedang merindukan rumahnya. Bukan asrama kosong yang ada di dekat kampus Night Raven College, bukan.
Ia menggeleng, "Aku mau.. pulang."
"Aku tidak bisa..." jujur Vil, "aku tidak bisa mengabulkan itu. Aku tidak cukup kuat untuk mengembalikanmu."
Tidak ada jawaban, yang Vil lihat saat ini adalah sesegukan dari si pupil. Kedua alisnya nyaris menyatu, "Kutanya sekali lagi, apa yang kau mau?" tanya Vil dengan desibel suara serendah mungkin,
"Kalian.. akur.."
Yaampun. Azul pernah memprediksi ini, dan Vil tidak lagi terkejut dengan permintaan sang pupil. Namun ia sendiri ragu, jika Great Seven bisa akur.
"Yang lain yang lain."
Tangannya terus mengusap kepala itu lembut menghilangkan kabut negatip yang mengutar di kepalanya. Tidak akan ada yang menyangka memang jika Vil mempunyai hati selembut kapas yang akan ditunjukkannya pada orang-orang tertentu. Beruntung orang yang dapat perlakuan istimewa dari Vil yang terkesan angkuh,
"Mau.. pulang."
Tersenyum sendu, Vil mencium spot kegemarannya. Yaitu pucuk kepala sang pupil, lalu bangkit dan menggandengnya erat. Seakan jika mengendur, anak itu akan kembali menghilang dari jangkauannya. Dan jujur saja, anak perempuan itu juga merindukan bekapan Vil dengan aroma parfum bunga lily gunung yang memabukkan,
"Mari ke Pomefiore," ajak Vil, "Akan kudengar semua ketakutan, kesedihan, kekosongan, dan kerinduanmu akan rumah. Semuanya akan kudengar."
Angin berhembus dibarengi beberapa langkah bunyi sepatu sepanjang lorong, "Diomelinya besok saja. Aku tidak mengizinkanmu kembali sebelum aku memarahimu."
Sang pupil yang masih menangis, akhirnya tertawa. Dia tahu sifat sang mentor. Sepanjang jalan, yang ia lakukan adalah memeluk Vil yang tidak segan untuk mendekapnya. Siapa sangka... harapannya untuk pulang, terkadang bisa lenyap hanya dengan sebuah usapan kepala dari orang yang begitu dikaguminya.
White Feather
"Kak Kalim mana ya?"
"Ayo matanya yang jeli," jelas Vil "Harusnya kau minta di antar senior Rook, bukan aku."
"Kak Rook saja sudah tidak terlihat sejak jam setengah enam pagi, kak."
Yaampun, Rook. Kau sudah berkelana kemana?
Ketika cahaya matahari sudah masuk menyinari koridor sekolah, tidak seperti biasanya. Vil dengan sabar merangkul seorang bocah perempuan yang tingginya hanya sebatas dadanya. Sinar matahari ini silau, cukup memberi kehangatan bagi lorong yang biasanya selalu gelap dan lembab walau tidak musim hujan sekalipun. Kesannya malah seperti sekolah angker daripada sekolah sihir.
"Aahh! Itu kak Kalim!"
Bocah itu lari, lepas dari genggaman Vil dan menubruk orang yang diyakininya itu adalah Kalim dari belakang,
"Woa-
Si target menoleh dan berbinar mengetahui siapa yang menubruknya dari belakang,
"Oh!" katanya, "Hai merak kecilku!"
"Halo kak!!" Tangan kedua anak perempuan itu terangkat, minta dipeluk. Dan Kalim tidak segan untuk melakukan hal yang sama,
"Aku punya ini kak."
"Hm? Apa itu?" Rubynya terlihat penasaran saat objek di depannya ini tengah mengorek sesuatu dari dalam tasnya. Kalim yang selalunya seperti anak kecil, kini bersikap dewasa layaknya seorang kakak laki-laki saat bocah perempuan itu sedang ada di dekatnya. Bagi Kalim sendiri, anak perempuan itu sudah selayaknya dianggap sebagai adik bagi banyak orang di sini.
"Tada!!"
Sebuah mahkota bunga putih yang telah di awetkan, Kalim tahu ada sihir di mahkota tersebut agar menjaganya tetap segar, dan tidak layu,
"Aaa.... Aku lupa kakak pakai turban.." cetusnya galau.
Jamil yang mencari-cari Kalim, akhirnya ketemu dan menemukan Kalim dengan seorang yang ia kenal cukup dekat. Kalim tengah berjongkok melepas turban yang biasanya selalu dipakai, dan digantikan dengan mahkota bunga buatan tangan, yang Jamil tebak itu adalah buatan sang bocah.
"Pagi, kak Jamil!!" Sapanya senang, seperti biasa, Jamil hanya melipat tangan di dada.
Vil kemudian datang, mendekati si pupil yang masih merogoh sesuatu dalam tasnya,
"Aku ada sesuatu juga untukmu!! Terima ya."
Tatapan Jamil yang tadinya mendengus, kini ikut berjongkok melihat cerulean yang memohon. Ada rona merah di pipi Jamil usai si bocah menunaikan keinginannya. Sama, sebuah mahkota bunga dengan bunga-bunga berwarna merah.
"Terima kasih sudah mengizinkanku untuk tinggal ya, kak."
"Nanti pulangnya ke Scarabia, mau?"
Si bocah menggeleng pelan, tanpa sadar ada sang mentor yang berdiri tegak sambil mendengar pembicaraan mereka,
"Tidak kak. Aku masih tidak boleh keluar dari Pomefiore."
"Yha.. masih ditatar ya?" Ini Jamil sengaja. Ia sudah beradu pandang dengan Vil sebelumnya.
"Iya ih. Serem banget kak Vil."
"Ekhem.."
Bulu kuduk sang pupil merinding menyadari suara siapa yang berdehem. Sementara dua orang teratas dari Scarabia hanya tertawa, "Dah masuk kelas. Tuh, ada kentang satu sama kentang dua yang udah nungguin. Gih." suruh Vil. Tak lupa mengacak sedikit surai hitam sang pupil yang saat ini sedang diikat tengah sepertinya,
Tak jauh memang Adeuce combo menunggunya. Ace langsung mengacak surai hitam teman perempuannya, sementara Deuce langsung menawarkan sebuah roti kering buatan Trey. Anak perempuan itu menunjukkan tawa lebar sambil berjalan di tengah-tengah mereka.
Vil menghilang.
Seorang kepala asrama dari Scarabia dan wakilnya mulai mengambil langkah menuju kelas masing-masing, tak peduli beberapa pandang mata yang menusuk sebab sebuah mahkota bunga bertengger di atas kepalanya. Dalam benak, Kalim memikirkan hal yang telah dinantikannya.
Ada sebuah kemungkinan terbaik yang akan kembali menyatu dengan sebuah tawa yang telah dinantikan beberapa orang. Calon-calon penyihir hebat sungguh menantikan tawa itu kembali menghias hari-hari mereka dengan keramaian dari cuitan seorang bocah yang tidak segan menceritakan harinya.
Her laugh. is the most powerful magic that we've waited for.
[Kalim Al-Asim]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top