04. Implied
Implied
Bulan purnama penuh memantulkan cahaya keperakan dari matahari untuk seorang pemuda dengan postur tubuh tinggi yang berdiri di tengah-tengah danau yang masih membeku. Melempar pandangan heran pada pohon-pohon hutan di sana yang nyaris mengalami perubahan warna daun. Kelereng lime green tajam menangkap sesuatu tengah melilit pohon-pohon di tempat itu. Ia mulai mengambil langkah untuk memastikan apa pengelihatannya salah karena terbatasnya cahaya atau hanya sekedar ilusi semata. Suara daun-daun kering yang terinjak sepatu kian santer terdengar saat ia sudah melangkah keluar dari danau yang membeku.
Kedua alis hitam hampir menyatu saat sampai pada pohon terdekat dari bibir danau. Duri hitam besar melilit sebuah pohon yang tengah diamatinya dari dekat, seakan membuatnya terkesan angker. Cukup lama ia memberikan perhatiannya pada pohon itu, sampai membawa lengan kirinya lebih dekat ke sumber pengamatannnya kali ini. Sarung tangan di buka, ia menempelkannya pada kulit pohon besar yang masih belum terlilit. Bibir hitam mendesis merapal sebuah mantera yang diyakini bisa membebaskan duri hitam yang melukai pohon ini.
Duri yang melilit itu hancur beberapa detik setelahnya. Bibir keabuan tersenyum tipis melihat pohon yang kembali segar, batang kokoh yang kuat serta rindangnya daun hijau kembali menjadi pemandangannya. Namun itu baru satu pohon, pria itu kembali melempar pandangannya kepada pohon lain yang seolah berbisik untuk minta diselamatkan olehnya.
Telinga runcing berdengung mendengar bisikan semu yang diiringi tangis pelan.
Lagi, kakinya kembali melangkah untuk mencari sumber dari penyebab pohon-pohon itu berjejas. Sembari ditelaah, beberapa pohon bahkan sudah ada yang mengalami kebusukan.
"Dari mana duri-duri itu berasal?"
Monolog seorang peri, Malleus Draconia.
Kaki membawanya pergi semakin dalam menyusuri hutan. Namun hasilnya nihil. Ia tidak menemukan apapun kecuali memang deretan pohon yang menyapanya kesakitan. Sumbernya dari bawah tanah kah? Aroma amis kian tajam menusuk indera penciuman saat kembali sampai pada bibir danau. Ia terpaku pada bulan, mecoba mencari tahu jawaban atas teka-teki yang memaksanya untuk dipecahkan.
Sepatu tinggi kembali membawanya ke tengah-tengah danau. Tepat di bawah bulan purnama keperakan, Malleus membiarkan sepasang iris hijau sehijau kulit jeruk nipisnya terkunci pada pantulan bulan yang berada di bawahnya. Bohong jika Malleus tidak memiliki pertanyaan tentang apa yang sedang alaminya saat ini.
Terlepas dari fakta yang menunjukkan sebuah keingintahuan, Malleus Draconia menyadari air yang beku di bawahnya telah beriak. Ia tidak mengalihkan fokus sejak saat itu. Sampai kedua maniknya melihat sosok seseorang yang terjebak di dalam sana. Tak lama, duri hitam berukuran jauh lebih besar terlihat merambat, namun tak menembus pada danau es yang dipijakinya. Malleus kembali melihat sekeliling, pria itu mendelik pada bunyi-bunyi ranting yang pecah.
Kembali ia membisik sebuah mantera. Setidaknya mencegah tanah bergerak lebih teruk. Menyentuh dinginnya es tidak peduli dengan duri hitam yang berhasil menembus telapak tangan sampai punggung tangan yang memberikan bekas merah pekat dan berlubang. Malleus tidak tinggal diam. Tangan kanan menadah udara kosong, sampai kunang-kunang memenuhi tempat dimana Malleus berlutut saat ini. Sebuah tongkat sihir dengan alat jahit dipuncaknya sudah ada dalam genggaman. Tak membuang waktu lama, ia mementung keras bagian bawah runcing dari tongkatnya pada duri dibalik es yang menyerangnya. Duri kembai pecah, luka yang didapat perlahan menutup dan mengeluarkan aroma bagai hutan yang segar.
Duri tidak lagi tumbuh, tanah kembali tenang, pohon-pohon terbebas dari jeratannya. Malleus menghela napas pelan seolah tidak ada kejadian yang pernah terjadi. Kembali ke Diasomnia adalah pilihan terbaik bagi pria berparas muda dengan usia yang sudah melewati puluhan dekade ini. Pikiran mencoba mengingat bagaimana bisa ia sampai pada sebuah danau beku, yang bahkan ia sendiri tidak tahu apa danau dan hutan ini masih berada di lingkar Diasomnia atau sudah masuk ke dimensi lain.
Mengesampingkan masalah itu, yang jelas Malleus Draconia harus secepatnya kembali. Menjadi seorang kepala asrama di Diasomnia serta pewaris mutlak pada tahta dari Valley of Thorns. Itu sudah menjadi jalannya.
Pria itu kesulitan menjaga fokus saat telinga runcingnya kembali mendengar suara retak dari danau es yang sebelumnya dipijak. Asal suara retak berasal dari tengah-tepat dimana sebelumnya ia mematung.
Suara keretakan semakin menjadi, diikuti beberapa bagian yang pecah. Jika boleh jujur, Malleus tidak paham apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun keyakinan di dalam dada mengatakan ada sesuatu yang harus ia amati di bawah sana. Mengikut kata hati, Malleus melangkah ragu mendekati tempat ia berpijak sebelumnya.
Alis merengut diikuti jubah sewarna langit malam yang berkibar mengikut reaksi yang dilakukan. Ia-Malleus menemukan seorang perempuan berpakaian putih nan tipis.. namun Malleus tak menampik bahwa pakaian putih itu sudah terlihat lusuh. Kepalanya tertunduk, membuat semua helai hitam menutupi wajahnya dengan kedua tangan terbentang. Dari ujung kaki sampai kedua pergelangannya dililit duri yang menyerang Malleus sebelumnya.
Peri itu masih bergeming, memandang datar pada pemandangan yang membuatnya sedikit takjub saat ini. Duri itu perlahan hidup, mereka semakin runcing untuk memberikan lubang di leher untuk seseorang yang terjerat di dalamnya. Pada akhirnya, kepala itu sedikit terdorong oleh duri hitam yang membuat rambut hitam panjangnya ikut bergerak mengikut arah kepala.
Iris hijau mulai membelalak diikuti napas yang mulai tercekat. Keheningan mulai mendobrak masuk tepat meremat dimana jantung mulai tidak bisa dikendalikan degupnya. Malleus Draconia melihat wajah yang tidak asing, tak lain dan tak bukan wajah itu kepunyaan teman manusianya yang selalu memperlakukannya dengan biasa, bukan sebagai seorang yang akan mewarisi tahta, atau takut dengannya karena desas desus bahwa Malleus adalah salah satu dari lima penyihir terkuat yang ada. Kelereng hijaunya kembali melempar pandangan ke kiri dimana lengan sang perempuan sudah dipenuhi garis merah serta darah yang menetes dari duri-duri itu, ia juga menggenggam sebuah bulu putih yang telah berubah warna menjadi merah segar.
"Dia punyaku, kalian tidak berhak menyakitinya begitu." Begitu cetusnya sambil kembali mementung ujung tongkat miliknya.
Namun tidak ada hasil yang berarti.
Duri itu dengan gencar semakin melukai seseorang yang Malleus kenal baik di dalamnya. Pohon-pohon yang dijerat duri sebelumnya kini mulai benar-benar membusuk dan mengeluarkan aroma amis tak karuan.
Tongkat sihir tidak lagi berhasil, Malleus mulai menggunakan tangan berusaha menghancurkan cermin es nan tebal. Sinar hijau keluar dari telapak tangan dan berganti menjadi sinar aurora begitu bertemu dengan cermin es di bawahnya.
Nihil.
Malleus tidak percaya dengan kejadian ini.
Dia mencoba lagi, hasilnya tidak berubah.
"Apanya yang terkuat!?"
Malleus Draconia mulai frustasi, meneriakkan sang empunya nama. Pertama kali dalam seumur hidupnya, Malleus meneriakkan nama itu sekuat tenaga. Abai dengan duri yang kembali menyerangnya, tidak peduli dengan duri yang sudah menembus punggungnya sampai dada. Yang ia mau, Malleus bisa meraih orang yang memperlakukannya seperti teman istimewa tanpa ada rasa takut atau tunduk padanya.
Sia-sia.
Duri yang menjeratnya membawa sang perempuan semakin dalam ke dasar danau. Tanpa jejak.
"Tidak tidak! Kembali! Kembali padaku!"
Ia menghilang.
Di telan duri kemudian digantikan dengan warna merah segar menghias danau.
Kelereng hijau kembali terbuka, Malleus melihat sekeliling dengan napas yang ia atur. Malleus menemukan dirinya sendiri tepat pada tengah malam sedang berdiam diri di atas sebuah kursi. Sampai suara buku tebal yang jatuh dari pangkuan agak mengagetkannya,
"Aku... ketiduran?"
White Feather
Malleus dan tokoh utama kita mempunyai hari pertemuan yang spesial. Seperti yang sering terjadi layaknya telenovela. Cuma bedanya, telenovela yang ini tidak ada romantis-romantisnya. Saat itu, Andela memang menyempatkan diri untuk keluar pada sore hari, mengambil ponsel pemberian pak gagak baik, ia menekan nomor Deuce untuk memastikan apa dia dan Ace bisa memberitahukan jalan ke toko terdekat untuk membeli beberapa roti dan buah. Hanya untuk dirinya saja. Namun tak disangka, begitu baiknya orang-orang penghuni asrama Heartslabyul,
'Ajak dia kesini, berikan kue-kue kering dan buah-buahan padanya. Dapur kita kalo perlu, kasih!' Riddle memberi titah mantap.
Aaaahh, baiknya. Kan jadi enak Andela dapat beberapa buah croissant dengan isian blueberry dan cokelat, pretzel serta dua buah toples berukuran sedang berisikan kue jahe. Dua kantung berisikan masing-masing buah stoberi dan ceri. Yaampun, lebih dari cukup. Terlalu banyak malah.
Kaki mulai menginjak aspal dimana kerikil akan bergesek dengan bagian bawah selopnya.
Kadang tersandung juga karena mendongah ke atas, melihat bulan sabit dan gemintang yang terlihat sangat jelas. Jauh berbeda dengan dimensinya sendiri.
Mata sang tokoh utama masih berfungsi dengan baik, tidak perlu memakai alat bantu seperti dua seniornya-Trey dan Azul-bisa dengan jelas, sang tokoh utama mendapati seseorang dengan rambut yang sama hitam dengannya, panjang, yang sepertinya sedang mengamati tempat tinggalnya sementara. Tidak-tidak, itu bukan masalah.
Siapapun itu, ia tidak punya cukup kekuatan untuk memastikan orang bertanduk yang memberikan perhatian pada tempat tinggalnya itu orang baik atau bukan. Kedua kaki perlahan mundur tanpa sadar, sampai akhirnya ranting yang tidak sengaja terinjak memecah sepi sampai memancing objek hitam menoleh dengan wajah yang sama terkejutnya,
"Itu kok... tempat itu nyala? Ada yang nempatin?" Pemuda itu menunjuk tepat ke sebuah asrama yang masih tak layak huni dengan tak lupa memasang tampang penasaran,
"Dan kau siapa? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya!"
Siapa yang gak panik dipandang seseorang yang bertanduk coba?
Sepasang iris hijau terus tertuju pada manik ceruleannya, tidak ada tersirat sedikitpun emosi bahkan secuil kemarahan dari wajah setenang air dari si pria bertelinga runcing. Kedua kaki jenjangnya bergerak, mendekati sang tokoh utama yang masih membatu takut.
"Kau sendiri, siapa? Nyasar ke sini kan?"
"... Iya kak."
Malam itu adalah awal dari sebuah benang rajut yang akan membantu untuk menemukan jalan pada masing-masing dua orang yang berbeda ras akan berteman dekat.
Jika kembali menceritakan hal itu, berdua saja. Malleus tidak pernah tidak tertawa. Apalagi saat tahu anak manusia yang tinggal di asrama bekas dan reyot itu baru berusia enam belas tahun, Malleus jadi ada panggilan istimewa untuknya.
Saat ini langit tak mampu membendung duka hingga meluapkannya melalui hujan deras sepenuh hati lewat kelabunya. Dan ini sudah ke tujuh kalinya seorang anak gadis menghela napas kasar yang memeluk erat tasnya sambil memandang jauh pada langit muram yang masih menurunkan air secara beruntun,
"Ih! Aku mau pipis tau!!"
"Eh bocah, mau pulang?"
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Asik.
Iris cerulan bergerak pada tangan berlapis sarung tangan hitam yang ada di atas pundak kanan. Ia berani bersumpah, bahwa hanya ada dirinya sendiri di lorong ditemani oleh lilin-lilin berapi hijau dan cermin-cermin disepanjang lorong sekolah yang memang tidak pernah ada cerah-cerahnya. Sebelum sebuah lengan merangkul dari sisi kanan dan suara yang jarang di dengarnya, namun tidak perlu bertanya pada hati seberapa besarnya ia ingin mendengar suara berat itu lagi dan lagi. Bagai memutar lagu favorit untuk telinganya.
"Ehhh! Kak Tsunotaro!" pekiknya girang tanpa ada rasa takut, "Iya mau pulang, tapi kok hujan tidak mau berhenti sebentar, ya?"
Si gadis menemukan sepasang iris berwarna hijau itu menatapnya intens kemudian pupil di dalamnya membesar, diikuti tawa dari sang pria empunya telinga runcing,
Lengan yang merangkul pundaknya perlahan memilih untuk melepaskan diri. Sesuai praduganya, setelah pemuda tinggi yang biasa dipanggil Tsunotaro olehnya kemudian melangkahkan kaki keluar dari lorong yang menjadi titik dimana ada satu-satunya siswa perempuan yang bersekolah disitu sedang menunggu hujan reda. Malleus menerobos hujan, dan cerulean si gadis tidak lepas untuk mengikuti punggung tegapnya,
Pemuda itu sedikit membalikkan badan untuk mengulurkan tangan. Sambil mengulum senyum tipis, "Kemarikan tanganmu."
Sesuai dugaan Malleus, anak perempuan itu masih membatu dengan mulut yang membentuk alfabet O kecil. Malleus tahu dari ceruleannya anak itu tengah menilai ragu terhadap ajakannya,
"Kau tidak percaya padaku, bocah?"
"Aku hanya tidak percaya dengan kak Azul...."
Azul bersin di perpustakaan. Buku yang dibacanya kena tinta, "Yah─kena ganti deh."
Rahang Malleus menegang mendapat jawaban sakral,
"... Siapa?"
"Ah ahaha.." cengegesnya. Sebuah tatapan yang benar tak ada bedanya dengan anak kecil sedang Malleus lihat saat ini, "Tidak kak tidak. Jadi, aku hanya perlu menggandeng tangan kakak?"
Malleus mengangguk.
Memang ini pertama kalinya, ia merasakan hujan saat dirinya masih terjebak dalam sekolah. 'Makanya sudah kubilang untuk selalu bawa payung yang sudah kubelikaaaaan.' Vil pasti akan bilang begitu sambil mencubit pipi pupilnya sewot. Membayangkan omelan Vil, membuat dirinya sangat takut menerobos hujan. Jadi, ya pilihan terbaik menunggu hujan-sambil menahan pipis tentunya.
Tangan bersarung putih akhirnya diketemukan pada tangan lain bersarung hitam. Iya, hanya untuknya pemakaian sarung tangan putih berlaku. Tidak wajib memang, namun saat Vil tahu, Vil 100% akan memberikan ceramah jika pupilnya tidak memakai sarung tangan katun putih agar kesannya terlihat anggun dan cantik. Saat bertautan, benang keperakan mengambil peran untuk Malleus agar segera menarik anak itu dalam genggaman layaknya sebuah boneka,
"Tuh, gak kena air hujan kan?"
Iris cerulean berpendar, degup jantung mungkin bisa terdengar. Kembali ke pertanyaan seniornya, kedua kelereng biru melihat kiri kanan pundaknya sendiri, serta mengecek ujung kepala hitam yang dipakaikan ornamen headband berbahan renda pemberian Jade dengan tangannya,
"Oh iya benar! Kering!"
Dua pasang kaki dari makhluk berbeda ras itu pada selanjutnya menerobos hujan, namun tidak ada satu bulir pun tetesan air langit yang mengenai anak manusia maupun peri yang sedang merangkulnya. Setiap titik yang jatuh ke tanah mengeluarkan aroma yang khas sehingga dirinya kembali mengadah kepala, apa ya namanya, sang tokoh utama itu begitu pikun sampai Malleus berkata, "Petriktor".
"Oh iya. Yaampun aku lupa namanya."
Bocah perempuan itu tidak menyadari bahwa ada dua pasang mata yang memperhatikannya dari lantai tiga. Tidak terlihat memang namun dari mata yang menyipit, Leona tahu bahwa Vil sedang memasang senyum,
"Dasar magnet."
Vil tak mampu menanggapi suara di sebelahnya. Yak, aktor itu kena flu-yang juga merenggut suara indahnya sampai beberapa hari kedepan. Menang Leona untuk beberapa hari esok, tidak mendengar omelan Vil yang menurutnya terlalu rumit, merepotkan, menyebalkan, meresahkan untuk sekedar didengar saja,
"Pancaroba." Begitu sahutnya ketika sang pupil datang membawakan nampan dimana di atasnya terdapat teko bening berisikan air jahe, serta cangkir yang berisi cairan yang sama. Panas dan masih mengepul.
Cerulean menerka.. ekspresi apa yang ada dibalik masker warna biru itu, masker yang menutupi wajah mentornya tersayang, "Kok bisa? Kan kak Vil biasanya selalu sehat!"
"Kubilang pancaroba ya pancaroba." Sewotnya, "Sana. Jangan dekat-dekat denganku dulu."
"Ih, tapikan aku mau-
"Rook!" oke, Vil serem, "Ini si bawel ajak keluar!"
Andela langsung terdorong mundur oleh sebuah tubuh lain yang merengkuhnya dalam sebuah dekapan, "Dear.. ayo keluar, sayang. Nanti Vil yang akan mencarimu saat kondisinya membaik."
Andela tersenyum mendengar kalimat jujur Malleus saat membuka sepatunya, dan meletakkan tas hitamnya di atas nakas tepat di lorong pintu masuk, "Tempat tinggalmu jadi lebih nyaman ya." Sebelum meninggalkan sang tamu ke lantai dua untuk menunaikan hajat yang sempat tertahan.
Ada dua sofa panjang dan satu kursi biasa di ruang tamu. Namun Malleus tidak suka duduk di atasnya. Sang peri bertelinga runcing lebih memilih duduk di sebuah kursi goyang dekat dengan perapian. Sedikit tiupan dari mulutnya, api kehijauan langsung menyambar kayu di dalam sana. Lime green kembali memandang sekeliling tempat tinggal yang sebelumnya sangat tak layak huni. Tidak ada lagi hamparan debu, atap bocor, lantai berdecit, kursi reyot, sarang laba-laba atau apapun itu.
Kini hanya ada hunian yang tenang dan hangat.
Mengambil satu buah buku di atas perapian, Malleus sampai tidak meyadari sang empunya rumah sudah beranjak ke dapur. Dua iris hijaunya terus mengikuti setiap frasa demi frasa buku tentang astrologi, "Sama sih.. gak berubah sejak ribuan tahun."
"Kak. Madunya tuang sendiri ya. Kakak mau puding, kue jahe, atau mau kubuatkan omelet atau kentang kukus ya, mau kak?" Jujur, suara anak itu agak mengagetkannya memang. Andela telah sudah menyalin pakaiannya dengan kaus lengan panjang, dan rok violet sampai sebatas lutut. Dari atas nampan yang dia bawa, ada dua cangkir teh dengan asap putih yang masih mengepul di atasnya. Serta satu jar madu berukuran besar dengan honey dipper-nya,
"Aku mau es krim."
"Hee!! Bagaimana dong! Aku tidak punya!"
"Tidak, aku bercanda." ucap si peri, bibirnya terangkat untuk mengembangkan sebuah senyum, "Kau mudah panik ya."
"Tamu adalah raja, tau."
Yang diajak bicara hanya menerka sekeliling, memutar bola mata sambil menaruh tangan di dagu membuat gestur berpikir,
"Boleh tahu apa hidangan kegemaranmu?"
Kepala sang manusia tiba-tiba menegang, menatap balik wajah yang masih memperhatikannya dari ujung kepala sampai kaki,
"... Puding, kak."
"Kau menyebutkan benda itu tadikan? Bawakan untukku jika kau berkenan."
Iris biru kembali bergerak menatap lawan biacaranya dan menemuka Malleus tersenyum santai,
"Tidak mau?"
"Eh-iya. Kok aku bengong ya. Sebentar aku bawakan."
"Ini kak." Andela kembali membawakan sesuatu yang diminta oleh tamunya.
Malleus memberikan satu anggukan, diikuti menutup buku yang ia baca dan melatakkannya di atas kursi goyang begitu saja. Malleus berpindah duduk, tepat di sisi Andela. Memandang tiga potong pudding cokelat dengan beberapa potong buah mangga serta saus putih yang Malleus tidak tahu itu apa. Lime green miliknya terbuka lebar seolah baru saja melihat sebongkah berlian untuk pertama kalinya,
"Cobain dong. Jangan dilihat saja ayo dimakan."
Malleus kembali mengatup mulutnya sebab kata-kata itu, matanya menatap sosok di depannya bingung. Yang di tatap masih memberikan senyum.
Sementara itu, Malleus kembali memalingkan wajah pada beberapa potong puding yang didapat. Helaian sewarna langit malam bergerak karena sang empu mendekati objek yang memang baru dilihatnya. Lengan panjang mulai bergerak memegang sendok kecil berwarna perak dan mulai memotong sudut dari satu potong puding dan mulai memasukkannya ke dalam mulut,
Malleus membeku saat puding cokelat itu masuk ke dalam tenggorokan dan menatap langsung si anak perempuan yang tiba-tiba sudah memegang sebuah wadah aluminium kecil, gak tau kapan ngambilnya,
"Enak ya. Dingin. Sensasi dinginnya sama seperti aku memakan eskrim, namun ini masih bisa dikunyah."
Andela yang sempat tegang, akhirnya menghela napas lega sambil memukul wadah aluminiumnya, jadi suara yang ada agak nyaring.
"Syukurlah kakak sukaa!! Aku takut kakak tidak suka, makanya aku siapkan wadah aluminium! Takut keluar kembali."
"... Lah? Ahahaha. Yaampun. Kau ini kenapa ya? Aku memuji benda yang menjadi makanan kegemaranmu, aku tidak menghinanya. Ya karena aku memang suka."
Apa itu rona yang Malleus lihat?
"Terima kasih kak."
Malleus memberikan anggukan, ia benar-benar menikmati suguhan sederhana yang dimintanya. Lalu dia bercerita, kadang menanyakan bagaimana seorang manusia bisa hidup tanpa sihir. Dijawab seadanya oleh sang gadis yang memang sepertinya senang Malleus kembali berkunjung kerumahnya sejak terakhir kali ia jatuh sakit, dan itu sudah hampir tiga bulan lamanya. Sampai di sekolahpun, dua ras ini jarang bersua atau sekedar berpapasan.
Sampai satu potong puding tersisa setengah. Hanya potongan buah mangga yang dihabiskannya. Sang tokoh utama bertanya apa pudingnya benar enak atau tidak, namun kenapa Malleus tidak menghabiskannya?
"Enak kok... tapi aku sudah terlalu kenyang."
".... Sungguh?"
Malleus mengangguk, sampai suara sebuah petir mengagetkan si bocah. Hujan masih belum reda bahkan sampai hari mulai gelap. Membuat si tokoh utama tiba-tiba melompat kaget. Malleus berusaha semaksimal mungkin agar tidak tertawa lepas.
"Kaget ya? Apa manusia memang serapuh itu sampai suara petir saja kaget?"
"Kaget..." tukasnya sambil memegang dada tepat dimana jantungnya bekerja.
Memang tidak pernah terlihat sebelumnya, Malleus baru pertama kali melihat seorang anak manusia yang terkejut lalu memegang dadanya sendiri. Lain Silver yang sering terlihat tidur dan nyaris tidak pernah menunjukkan ekspresi apapun kecuali saat sedang berlatih dengan Lilia. Namun anak manusia yang di depannya ini menyenangkan. Ekspresinya beragam, seperti saat ini, Malleus masih melihat ekspresi kaget dan gestur tangan di dada. Malleus mengikutinya dan merasakan degup jantungnya yang normal.
Alis merengut, merasa tidak mendapat apa-apa dari degup jantungnya sendiri, lengan panjangnya mengarah ke tangan lain yang menutup dada. Menyingkirkannya lalu diganti dengan tangannya sendiri,
"Beda sama aku kok."
Dalam kebisuan anak perempuan itu hampir menjerit saat Malleus tiba-tiba menempelkan telinga runcing di dadanya, kedua tangan panjangnya memeluk sesekali mengelus pelan punggung kecil si gadis yang degup jantungnya semakin tidak beres,
"Jadi begini ya, kalau degup anak manusia yang sedang terkejut?"
Bu-bukan.... lebih tepatnya ini gugup. Bagaimana aku menetralkan degup jantung ini?
Malleus sempat mengira degup jantung yang perlahan kembali normal itu adalah sebuah alunan musik yang mampu membuatnya tertidur. Apalagi dengan takut-takut, Andela juga membawa tangannya kepada surai hitam sang peri.
Si peri tiba-tiba membulatkan mata saat merasa ada sebuah tangan yang mengusap kepalanya, tidak terlalu dingin, tidak terlalu hangat. Apa ya, bagaimana Malleus menggambarkan suhu dari telapak tangan yang kadang bergerak ke hidungnya saat ini?
"Kau berani menyentuhku?"
Mendapat teguran dengan nada bicara yang datar, sang hawa langsung kembali mengangkat lengan yang digunakan sebelumnya, "Eh-iya maafkan aku!"
"Aku tidak memintamu untuk berhenti."
Ceruleannya menatap dengan manik lurus-lurus, mengunjungi lagi spot terbaru favoritnya yaitu hidung mancung seorang Malleus Draconia,
Malleus hampir tertawa saat jari itu lagi-lagi meluncur ke hidung mancungnya, ia tidak menolak perlakuan itu. Perlakuan yang nyaris tidak pernah didapatkannya dari orang lain. Sampai ekor mata berkeliling, Malleus menemukan bundaran benang wol dan syal yang hampir setengah jadi berwarna biru langit,
"Kau bisa merajut?"
Mendengar pertanyaan itu, sang bulu putih memalingkan wajah pada objek yang masih Malleus lihat,
"Bisa dong," bangganya, "Jahit juga bisa, dasi putih yang sering kak Vil pakai itu jahitanku. Lalu itu syal, kak Azul yang minta dibuatkan."
"Schoenheit? Ashengrotto?"
Kepala itu perlahan turun ke pangkuan Andela. Memperkecil kemungkinan bahwa tanduknya bisa saja memberikan luka yang tidak diinginkan, Malleus tiduran dengan wajah menghadap pada wajah lain yang masih memandangnya balik. Malleus heran, senyum itu tidak pernah pudar. Mata itu selalu jernih, selalu bulat, dan selalu berair namun jauh dari kata sedih.
Dalam benak, Malleus jadi ingat sebuah cerita saat dirinya masih kecil, Lilia yang menceritakannya. Cerita Putri Tidur, dimana sang puteri yang mendapat kutukan apabila menyentuh ujung dari alat jahit yang tajam, maka ia akan tertidur dalam jangka waktu yang tidak bisa diperkirakan sampai ia menemukan cinta sejatinya.
"Apa kau juga pernah tertusuk jarum saat belajar jahit?"
Sepasang cerulean itu memberikan sebuah jawaban diikuti lisan,
"Sering, namun dulu karena aku penasaran. Aku mencoba dan mencoba, lama-kelamaan menjahit jadi hobiku."
"Hmmm.." Malleus merenggangkan tangan kirinya tepat ke tempat kosong dekat arah tangga,
"Tutup mata, aku tidak mau cahaya ini akan melukai penglihatanmu." Malleus menggunakan satu tangannya untuk menutupi indera pengelihatan sang perempuan.
Memang tidak terasa apapun, namun Andela tahu ada kilatan hijau sekejap memenuhi tempat tinggalnya. Sampai Malleus membebaskan indera pengelihatannya, ia memekik kegirangan atas apa yang di dapatnya,
"KAK!! Terima kasih kak! Terima kasih banyak!" ucapnya sambil memegang kedua tangan sang peri, tak henti menempelkannya pada keningnya sendiri.
Ada, sebuah alat jahit hitam serta dua kotak, yang bisa ditebak itu adalah perkakas lain untuk menjahit. Kembali, sosok hitam itu bangkit dari posisinya yang nyaman,
"Jika begitu, bisakah aku meminta hal yang sama dengan Ashengrotto minta padamu?"
Seluruh ruang dalam kepala sang anak perempuan yang berbunga-bunga itu, saat ini mengangguk mantap. Mengiyakan permintaan Malleus-selama ia masih mampu mengerjakannya, maka ia kerjakan.
"Bisa kak. Kakak mau warna apa?"
Malleus Draconia kembali menggunakan sihir, dalam sekejap sebuah kotak sudah berada di sisi sang manusia yang masih menunggu jawaban dari dirinya,
"Aku hanya mau syalku nanti memiliki warna yang sama dengan warna matamu."
Andela tersentak. Ia sama sekali tidak mengira bahwa jawaban yang Malleus keluarkan itu adalah jawaban yang sama sekali berada di luar dugaannya. Apalagi tuan muda yang masih memandangnya itu minta dengan warna yang sama dengan warna netranya.
"Malle-us. Sudah kuduga kau di sini. Kembali ke Diasomnia, anak muda. Anak manusia ini perlu istirahat."
Hanya Lilia yang masih membuat sang tokoh utama jantungan karena kepala yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya. Ia bilang dengan frasa Malleus, namun arah kepalanya tertuju untuk dia, dan senyumnya juga untuk dia. Bukan ke arah Malleus.
"Lilia... apa kau bisa datang dengan normal. Tidakkah kau mendengar degup jantungnya yang menyenangkan itu?"
"Ah.." Lilia mendengus, kemudian tertawa kecil dengan nada mengejek. Kedua tangan mungilnya terangkat bersiap menepuk tangan. Kemudian Lilia benar bertepuk tangan, mengikuti irama degup jantung yang di dengarnya,
"Ah ahahaha. Oh, begini ya Malleus? Benar begini?"
Malleus tertawa sambil mengangguk. Sungguh, tawa itu.. tokoh utama ingin mengingatnya sampai akhir hayat.
Hal selanjutnya, Malleus kembali memakai sepatu dan membawa tasnya. Lilia tepat berada di sisi Malleus sambil menaruh tangan di dada. Tidak salah memang, Malleus adalah pewaris mutlak suatu tanah yang jauh di sana, wajar jika Malleus mendapat pengawasan ketat. Walaupun yang di kawal terkadang suka menghilangkan diri dari pengawasan Lilia.
"Terima kasih untuk hari ini." begitu ucapnya sebelum benar-benar menghilang dan digantikan dengan kunang-kunang.
"Yah... aku belum sahut, kak.." desahnya kecewa. Sambil menggunakan jari untuk menyambut salah satu kunang-kunang yang menghampirinya. Lilia dengar kekecewaannya. Membuat sang pengasuh Malleus sejak sang naga menetas dari telurnya itu sedikit tertawa,
"Terima kasih sudah mau menerima Malleus kami." Katanya, "Dia merepotkan ya? Ahaha, maaf ya."
Anak manusia yang masih memandang nanar pada kunang-kunang, langsung terkesiap mendengar lisan dari Lilia,
"E-enggak kok!" sangkalnya cepat, "Aku senang jika kak Malleus-atau yang lain mengunjungi tempat tinggalku. Aku yang harus berterima kasih pada kak Malleus, karena dia yang mengantarku pulang saat hujan tadi. Aku menawarkannya makan, tapi kak Malleus hanya mau puding, kak. Dia belum makan."
"Oh ya?" sahut Lilia, "Kau tahu? Malleus tidak pernah makan banyak. Jadi, simpan kekhawatiranmu untuknya, ya."
Hening seketika menyelimuti lorong. Sang tokoh utama yang tadinya memasang senyum kini terganti dengan ekspresi yang sulit di utarakan dengan untaian kata. Sementara Lilia nyaris menyatukan kedua alis dengan mulut terbuka,
"Tidak nak! Tidak! Jangan salah kaprah! Aku tidak melarangmu untuk berteman dengan Malleus kami. Aku justru sangat berterima kasih apabila kau terus berada di sisi Malleus dan memperlakukannya seperti teman tanpa ada rasa takut."
Lilia tidak pernah berpikir bahwa perkataannya barusan bisa memancing air mengalir dari kedua samudra yang ditiup angin malam. Oh tidak, Lilia membuat anak manusia menangis!
"Nak! Nak! Maafkan aku salah bicara-
Tawa muncul, asalnya dari hati yang menghangat. Segera ia mengusap air matanya dengan cepat,
"Tidak kak.. terima kasih sudah mempercayaiku sebagai teman kak Malleus. Aku, seorang anak manusia biasa. Terima kasih." Tunduknya sampai ia bisa memandang sepasang kaki mungil berada tepat di depannya,
"Angkat kepalamu.." ucap Lilia. Sang tokoh utama langsung mengangkat kepalanya, "Malleus pasti akan bilang begitu jika ia melihatmu tadi. Dia bisa lupa waktu jika denganmu saja." Lilia menepuk tangan satu kali, dan tada! Di atas kedua tangan mungilnya sudah bertahtahkan kotak persegi panjang hitam, "Sebagai ucapan terima kasih, kau bisa mengambil ini."
Saat tangan mungil Lilia membuka penutup kotak, kaki sang tokoh utama lemas seketika. Seolah tidak ada lagi tempat untuk berpijak,
"Uh..."
Ceruleannya menangkap berbagai batu kristal yang baru dilihatnya. Intan. Ruby. Emerald. Amethyst. Obsidian. Hingga Onyx, semua ada di dalam sana. Sebagai seorang manusia yang memang tidak pernah melihat benda berkilau dalam jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit, wajar reaksinya begitu. Apalagi yang Lilia tunjukkan ini tergolong dalam kategori lengkap. Semua ada. Semua berkilau.
"Ti-tidak.. aku tidak bisa mengambil ini."
"Lho, kurang? Kami punya banyak kok! Mau lagi?"
"Bukan kak..." elaknya, "Itu semua milik kak Malleus. Milik Diasomnia. Milik kalian semua."
"Ini hakmu, kok!"
"Terlalu banyak, kak.."
Lilia bengong. Yakin satu kotak kecil begini dibilang banyak?
"Aku tidak mau pulang jika kau tidak mau mengambilnya."
Kini sang tokoh utama mendongah, memandang balik wajah serius Lilia kali ini,
"Dengar. Teman Malleus, adalah keluarga untuk kami. Jika kau tidak bersedia mengambilnya, apa reaksi Malleus jika tahu hadiahnya ditolak?"
Sang tokoh utama berkedip-kedip menerka kedepan,
"Dia akan bersedih?"
"Nah!" cetus Lilia, "Kau tega melihat naga kecil kami bersedih hati?" celetuknya. "Kau teman pertama Malleus, lho."
Pikirannya mulai meradang. Membayangkan salah satu orang tersayangnya berkecil hati dan membawanya pada kesedihan. Lalu dari sebuah kesedihan, sebuah amarah terkumpul dan menyebabkan sihirnya tidak terkendali terus masuk mode overblot.., oke, berlebihan.
"I-iya deh.. aku pilih ya."
"Minimal tujuh, anak muda."
"Iya," sepertinya dia tidak sadar dengan titah Lilia untuknya. Sampai ia mengambil batu kristal ke-tiga-Zambrud, ia menoleh dengan wajah kikuk, "Berapa kak?"
Lilia hanya tertawa kecil, mengikuti setiap tindak tanduk sesosok gadis yang tengah memilih batu permata.
"Tugasmu melayani nirwana. Apa yang dilakukan oleh seorang malaikat sepertimu di tanah ini?" tipikal bangsa peri yang itu langsung bertanya. Mungkin yang lain tidak menyadarinya secepat ini, namun untuk Lilia yang sudah hidup dalam beberapa dekade, hal ini bukanlah hal sulit.
Lilia tersenyum mendapati Andela terkesiap.
White Feather
"Eh kak!" sapanya, "Sedang apa?"
Wah.. kalau begini kan, Andela tidak tahu-tahu ya jika takdir memperbolehkan ia kembali bersua dengan Malleus Draconia, diluar sekolah saat kedua kaki membawanya untuk pulang. Ia[Malleus] tanpa bergerak dan menoleh sedikitpun ke sumber suara dan tangan yang menggelayuti almamaternya. Manik hijau masih memperhatikan sebuah pohon yang cukup rindang melindunginya dari terik panas,
"Lihat itu." tunjuknya. Sang tokoh utama kemudian beralih pada objek yang ditunjuk Malleus. Sekumpulan bunga-bunga kecil berwarna putih, "Pohon itu sudah berbunga. Sebentar lagi akan berbuah."
"Hoo.. benarkah? Waktu itu sih, aku sama dibantu kak Floyd memetik apel di pohon ini."
Malleus akhirnya menoleh dan memberikan tatapan horor terbaiknya, "Lah, manjat?"
Andela ikut menoleh, "Y-ya enggak atuh, kak.. aku di angkat sama kak Floyd."
Malleus nampaknya masih mencerna kalimat yang dilontarkan si bocah. Diangkat menurut Malleus sendiri ada banyak gayanya. Seperti naik ke bahunya, atau memang benar-benar di angkat layaknya tombak.
"Aku ada es krim. Mau gak?" suara itu lagi-lagi mengejutkan pikiran sang peri.
Malleus menoleh dan melihat sang bocah yang sedang meraih sesuatu dari tas belanja berwarna cokelatnya. Tak ingin membuang waktu lama lebih tepatnya tidak mau Malleus menunggu sampai menyilangkan tangan di dadanya, Andela kemudian meraih satu buah es krim cone rasa vanilla. Kegemaran sang calon raja,
"Kau.. membelikannya.. untukku?" katanya dengan desibel rendah dan menunjuk wajahnya sendiri,
Andea mengangguk, mengajak Malleus untuk duduk di sisinya tak lupa membuka lapisan kertas yang melindungi kudapan favorit seorang Malleus. Malleus sendiri memberikan perhatian penuh pada sosok manusia yang membuat hatinya merasakan sesuatu saat berada di dekatnya. Ada yang berbeda dari anak ini.. namun apa ya,
"Nih kak. Nanti meleleh."
Tentu saja Malleus reflek menerima es dari tangan lain ke tangannya. Dan netra hijau mulai menemukan sesuatu yang membuat anak manusia favoritnya kini terlihat berbeda. Ada dasi bolo di kerahnya, serta di balik almamater hitam kebanggaan Night Raven College, Malleus tahu jika bocah itu memakai kemeja model sifon,
"Kau benar-benar tahu caranya menjadi tuan puteri." Katanya. Satu tangan meraih kristal Zamrud dengan pita panjang berwarna hitam yang dipadukan dengan apik olehnya,
"Apanya yang tuan putri.." kekehnya, "Makan kak. Nanti meleleh."
Malleus mendengus, ada tawa kecil sebelum sebelum mulut yang bisa mengeluarkan api hijau beralih pada satu buah es krim ditangannya,
"Kau tidak?"
Andela menggeleng kecil, membuat rambut yang membingkai wajahnya kali ini ikut bergerak. Model rambutnya kali ini disanggul. Dengan dasi bolo, rok hitam span, kaus kaki putih, dan sepatu pantopel.. ah, pantas saja Malleus bilang ia seperti tuan putri ya. Tampilan sekolahnya kali ini begitu formal.
Tidak heran jika Schoenheit sangat gemar dengan anak ini.. batin Malleus.
Malleus menunjukkan kembali es krim yang masih dipegang, tepat di depan wajahnya, "Makanlah.. sekali saja. Aku tidak akan melanjutkannya jika kau tidak ikut merasakannya, walau kau yang membelikannya untukku."
Andela menemukan dirinya sedang dihadapkan dengan wajah manyun Malleus. Peri itu menunggu reaksinya, namun bagaimana ya. Bagaimana bisa dirinya seorang manusia biasa, dan membuat Malleus membagi makanan favoritnya?
Ah... apa benar sosok Andela Tone adalah manusia biasa?
Wajah memang manyun, namun kelereng hijau itu menunjukkan ekspresi lain dan Andela mengerti. Segera ia menyambar sebuah es krim cone, memegang sebentar tangan Malleus dan mengiggit es krim yang sama,
"Sudah ya."
"Lagi."
"Katanya kakak sekali. "
"Kau menolak permintaanku?"
Entah sejak kapan pola permintaan Malleus jadi aneh begini.
"Yaudah sekali lagi ya."
Sekali lagi, Malleus memperhatikan kejadian yang bisa dibilang langka. Karena jarang berjumpa, jarang menghabiskan waktu, Malleus jadi ingin mengamati hal-hal sederhana yang dilakukan oleh 'Tuan Putri' disisinya. Makan, berkedip, bernapas, bicara, tertawa. Asal jangan menunjukan kesedihan saja.
"Udah kak."
Suara itu sukses membuat Malleus kembali pada fokusnya,
"Terima kasih." Malleus menyambung kegiatannya.
Sambil mendengarkan anak manusia yang berciut disebelahnya, kadang juga bertanya, Malleus menjawab. Malleus kadang menimpali, sempat nyaris tersedak dengan cerita-cerita ngawurnya yang kadang menghabiskan waktu di asrama-asrama lain. Atau kadang membantu si kepala sekolah untuk membersihkan figur great seven di ruangannya, kadang pak gagak gerendengan sambil mengoceh, 'Murid kok gak ada yang beres'.
Lah, dia gak sadar. Dianya juga gak beres.
"Eh kak kak. Aku kan kemarin di ajak jalan-jalan ya sama kak Cater tuh, aku lihat ini, dan aku beli."
Malleus mencaplok bagian ujung cone es krimnya, dan melihat kasak-kusuk seorang bocah yang sepertinya sangat ingin menjukkan sesuatu,
"Tada! Lucu ya!"
Boneka.
Boneka.
Boneka kecil.
"..."
"Aaaaaa-" jeritnya tertahan sambil mempertemukan pipinya dengan boneka yang dipegang. "Gemes banget ya, kak."
Yang bikin Malleus tak habis pikir,.. boneka kecil itu menyerupai dirinya. Dan memang benar itu adalah dirinya dalam bentuk mini. Yang masih menempel di pipi mulus sang bocah. Malleus yang aslinya saja tidak pernah tahu bagaimana tekstur pipi itu, lantas kenapa boneka yang menyerupai dirinya bisa dengan mudah merasakan pipi halusnya?
"Sebentar. Hentikan dulu hentikan."
"Oh iya kak."
Malleus berdehem, membesihkan tenggorokannya sejenak,
"Bagaiamana bisa kau begitu senang dengan.. benda itu?"
"Ih lucu tau kak." katanya lagi, sambil mengulang aktivitas sebelumnya, "Bagiku, boneka baru ini seperti penghilang gulana. Karena aku jarang berjumpa dengan yang asli."
"Tunggu.. jadi.. maksudnya?"
Alih-alih merona, si anak manusia justru dengan semangat bagaimana ia bisa begitu menyukai sosok Malleus,
"Jadi aku senang melihat kakak dari dekat, aku senang menghabiskan waktu dengan kakak, aku senang membagi cerita dengan kakak, aku senang mendengar cerita kakak, aku senang kak Lilia bisa mempercayaiku sebagai teman kakak, aku senang dengan warna mata kakak, aku senang melihat kakak berkedip, aku bahkan senang melihat kakak hanya bernapas!"
Malleus takjub mendengar tuturan itu.
"Bernapas? Seperti ini? Bernapas saja tanpa melakukan apapun? Aku?" tanyanya lagi meyakinkan,
Disambut anggukan girang oleh seseorang yang kerap dipanggilnya bocah. Tatapan Malleus tidak beralih darinya, dari seseorang yang baru saja mendeklarasikan betapa bahagianya ia jika bersama dirinya, iya, Malleus.
Bisakah Malleus mengganti kalimat senang dari bibir anak itu menjadi cinta? Bisakah? Bolehkah? Mungkinkah hal itu terjadi? Bolehkah Malleus mengharap hal tabu begitu?
Meraih tangan sang bocah, Malleus menunduk kemudian mencium sejenak punggung tangan yang sudah tidak terlapis sarung putihnya. Membuat sang empu nyaris berhenti detak jantungnya saat mendengar perkataan Malleus,
"Jika kau terlahir kembali.. aku harap kau terlahir di tanah kami. Menghabiskan waktu denganku sepanjang hidupku, menulis sebuah kisah yang tidak akan pernah berhenti." Katanya, kepala itu terangkat, kembali beradu pandang dengan cerulean yang berkaca. Tidak membuang waktu, Malleus menempelkan pipinya sendiri ke belah pipi seorang anak manusia yang masih membeku,
Malleus menyembunyikan kedua kelerengnya, merasakah hangat dan dekatnya seorang anak manusia yang bisa membuatnya nyaman, hingga lupa waktu, "Bisakah kau terlahir kembali untuk menjadi bangsa peri?"
When I'm With You, I feel so Complete.
[Malleus Draconia]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top