03. One
One
"Maaf kak. Aku mengaku salah sebab tidak memperhatikan jalanku."
"Sampah. Lalu gunanya matamu untuk apa, huh!? Jalan saja tidak becus, bagaimana ceritanya kau bisa bersekolah di sini!?"
Pernyataan menohok yang barusan memberi sedikit luka gores semu pada perasaan sang hawa. Bukan maunya juga dia tersasar di sini. Di sebuah dunia cermin yang berisikan semua calon penyihir hebat—great wizard, ia hanyalah manusia yang bisa dikatan beruntung, atau malah menganggap ini sebuah kutukan yang tidak adil tengah mengerjainya,
"Ya bukan keinginanku juga mau merepotkan kalian dengan manusia sepertiku."
Kegaduhan kemudian terjadi dalam koridor sekolah, ah yaampun. Telinga binatangnya begerak-gerak kala mendengar keributan dengan suara samar—yang kemudian ia tahu itu adalah suara satu-satunya wanita yang bersekolah di Night Raven College. Sebagian yang lalu lalang hanya memberikan tatapan jijik kepada sang gadis, tak berniat mengulurkan tangan untuk membantu.
Ah ayolah, tidak salah ya jika disaat yang seperti ini, Andela berharap ada satu orang saja, kakak kelas, atau teman sekelas yang ia kenal dan mau membantunya untuk saat ini. Satu saja, hanya satu. Siapapun itu.
Menahan pedih di dada saat mengambil langkah awal untuk menemui sang hawa yang tengah ditarik kerahnya, manik summer green memandang rendah pada dua sosok yang tak lebih tinggi darinya. Salah satu pelajar yang masih menarik kerah gadis itu juga memang sedang beradu argumen dengannya[Andela]. Dan membuat amarah sang pemuda terkumpul nyaris melayangkan sebuah tamparan keras yang tertuju pada pipi sang hawa.
"Pekak ya? Tidak dengar hebivora ini sudah minta maaf?"
Leona Kingscholar, begitulah Dire Crowley kerap memanggilnya.
Tangan kiri sang pangeran menahan lengan lain yang sudah terangkat untuk memberikan bekas merah pada pipi kiri Andela kapan saja. Pemuda itu tersentak saat entah dari mana elemen angin yang tiba-tiba membuat tangannya yang masih menarik kerah sang perempuan terlepas begitu saja. Bisa Leona lihat dengan jelas manik anak itu masih berkilat kesal,
"Siapa kau!? Jangan mencoba menjadi pahlawan!"
"Memang tidak." Leona menjawab sambil mengendikkan bahu, "Dia kuat, aku tak perlu menjadi pahlawan untuknya."
Leona menyeringai sampai menampakkan kedua taring sambil menyipitkan mata begitu melihat pita dengan markah asrama pada lengan kiri dua siswa yang berbeda warna rambut itu,
"Ah, jika kalian mau tahu, bisa kalian tanyakan pada Malleus. Apa dia mengenal Leona Kingscholar atau tidak." Ucapnya, "Setahuku, tuan kalian tidak mempunyai hubungan yang jelek dengan manusia yang kalian bilang sampah tadi."
Salah satu siswa terkesiap mendengar perkataan yang keluar dari mulut sang singa. Tuan Malleus dan anak manusia ini!? Jangan melawak, hey!!
"T-tuan Malleus...?"
"Dan kalian hampir memukulnya. Berani? Jika suatu saat bekas tamparanmu masih menghias pipi putihnya, dan tuan kalian bertanya siapa yang melakukannya." Ucap Leona mendramatisir, "Tak bisa kubayangkan." Sekarang lengan si pemuda yang masih ditahan Leona memilih untuk menariknya secara paksa, membuat markah asrama dengan pita hijau panjang yang ada dikatnya lepas dan menimbulkan bunyi nyaring disepanjang lorong, namun dengan radar yang tidak jauh.
Banyak yang pura-pura tidak melihatnya, banyak yang menonton. Jika bisa, Leona hendak membakar semua anak-anak tidak berakhlak yang masih bersekolah disitu. Yang tidak mau menghargai wanita.
"Dih. Anak manusia itu? Tahu apa kau tentang tuan kami!?"
"Banyak." Jawab Leona malas, "Pergi. Jangan sampai Kings Roar-ku mengenai kalian."
"Cih!" ia mencemooh tak lupa mengangkat dagu, "apa hebatnya Kings Roar milikmu itu, huh berandal!"
"Astaga...." Leona mencoba sabar.
Tak mau membuang banyak waktu, segera Leona memungut simbol asrama yang masih tergeletak di atas lantai marmer hitam putih. Masih dengan ekspresi datar, ia memegang crest Diasomnia tak ubahnya seakan memegang bangkai. Ya bukan maksud jijik pada sebenarnya, hanya ingin memberi pelajaran saja. Hanya telunjuk dan ibu jari yang mengapit benda tersebut,
"Kings Roar."
Tidak perlu satu detik, sihir yang sebelumnya hampir membunuh Ruggie dan menghancurkan kontrak emas milik Azul dalam bawah laut itu akhirnya juga menghancurkan crest yang dipegang sebelumnya telah berubah wujud menjadi abu.
Dua siswa yang sebelumnya mengotot di hadapan, nampak terkejut dan melotot ngeri. Alarm bahaya sudah berbunyi dalam kedua kepala masing-masing siswa yang berujung menimbulkan rasa takut dan melangkah mundur tanpa sadar.
"Perjalanan kalian masih jauh." bilangnya, "Coba belajarlah menjadi yang terbaik tanpa menganggap remeh siapapun, duh." Omongannya bukanlah sebuah penyemangat atau nasihat. Melainkan pengalaman Leona sendiri yang menjelaskan bahwa ia sudah berusaha mencoba menjadi yang terbaik dan tak ragu mengambil langkah apa saja untuk memusnahkan lawannya. Dan akhirnya, Leona sadar bahwa jalan yang diambilnya adalah jalan yang salah.
Leona berlalu, memungut sebuah topi baret berwarna bluebell yang tergeletak tak berdaya di atas lantai nan dingin. Maniknya berkeliling mencari sang empu dari baret yang nampak senada dengan warna mantel yang digunakannya. Andela yang dicari Leona itu saat ini tengah mengambil langkah pelan sambil meraba dinding kampus.
"Kau melawannya?" tanya Leona yang kini sudah berdiri tepat di depannya.
Cerulean dari Andela menangkap ekor yang bergerak pelan ke kiri ke kanan. Rambut yang sebelumnya tersanggul rapih, kini tergerai bebas mengembang menutup kedua bahunya. Alis sang singa hampir menyatu saat menangkap tangan kecil yang meraba dinding itu tengah gemetar dibarengi dengan dengusan napas lelah yang tidak sengaja melewati pendengaran Leona,
"Membela diri..." si empunya surai hitam tidak melanjutkan kalimatnya. Bagaimana bisa dia melanjutkan kalimat jika mengatur napas saja begitu sulit?
Ia belum mengangkat kepala saat Leona masih berusaha menyanggul lagi rambutnya dengan topi baret miliknya yang terjatuh,
"Oh iya... ini dari kak Rook.." ingatnya, "Dia akan.. marah jika aku menghilangkannya.."
Respon yang didapat Leona sangat pelan dan melewati jurang kepercayaan Leona jika gadisnya itu sedang tidak baik. Kuulangi, gadisnya,
"Sakit kan?"
"Enggak kak." Elaknya, "Letih aja."
Leona memijat pelipisnya tak lupa memberikan sedikit perhatiannya secara detil pada sosok yang biasanya petakilan.
"Bilang saja 'ya' kenapa sih. Dan aku bisa membawamu pergi saat ini juga."
Asik, perkataan Leona yang barusan mampu memancing ekspresi Andela. Ia mendongah memperlihatkan wajah lesu dengan jarak napas yang pendek, dan beberapa bulir keringat di pelipis yang Leona tebak itu adalah keringat dingin,
"Haaaahhh..." Leona sendiri bingung. Andela adalah anak jujur, namun dengan diri sendiri lain cerita kejujurannya. Sepele sih, namun Leona agak tidak suka dengan orang yang kerap membohongi dirinya sendiri. Baginya seperti bercermin di masa lalu. Sambil memijat pelipisnya sendiri, sang pangeran menunjukan tubuh belakang yang terdapat ekor panjang miliknya. Ekornya sudah menyentuh lantai dan bergerak signifikan mengetuk lantai ke atas kebawah.
"Naik." Titahnya mantap,
Andela masih diam, memproses sebuah frasa yang keluar dari mulut sang singa. Dia berlutut, membelakanginya, menunjukkan punggung yang tidak terlalu besar namun jauh lebih kokoh ketibang punggung siapapun,
"..Na..naik?" cicitnya.
Leona yang masih menunjukkan punggung dan menadang tangan di belakang punggung dekat dengan pangkal ekornya itu masih mau menunggu dengan sabar,
"Buruan, sayur."
Tidak lama setelahnya, bisa Leona rasakan tubuh lain yang menubruk punggungnya pelan. Iya, dia sakit. Leona bisa merasakan suhu tubuh yang jauh lebih hangat saat yang ditawari tumpangan mulai naik. Kedua kaki mulai bangkit untuk berdiri dan mengambil langkah awal untuk keluar dari lorong bangunan sekolah.
"Kak."
Benar apa yang diperkirakan Leona. Andea terasa tidak nyaman dengan bertubi-tubi suara sialan yang nyaris mencapai telinganya, Andela pun yakin bahwa Leona mendengarnya, fakta itu diperkuat dengan sepasang telinga yang bergerak-gerak.
Tipikal Leona, Leona—kepala asrama dari Savanaclaw sendiri itu terkesan masa bodoh dengan tatapan horror yang seolah menusuk punggungnya. Sang singa tahu tatapan-tatapan menusuk itu bukan tertuju untuk dirinya, melainkan pada seorang manusia yang berada dalam gendongan piggyback-nya.
"Biarkan.. saja." Katanya, "Mereka ya mereka, kita ya kita."
Hanya beberapa anak dari asramanya yang menyempatkan diri untuk bertanya siapa yang tengah digendongnya. Dan Leona hanya menjawab santai bahwa anak manusia itu adalah dunianya.
Oke, biar diperjelas. Dunianya.
Leona Kingscholar sama sekali tidak merasakan beban apapun saat menggemblok anak itu dipunggungnya, ringan bak sehelai bulu putih yang jatuh dari langit bersembunyi dibalik juta helaian ilalang kering padang savannah.
Dalam diamnya, ditengah suhu tubuh yang kian naik dan ekor yang tidak lepas untuk melingkar dipinggang kecilnya, sang hawa diam-diam menghirup aroma khas seorang yang awalnya paling ditakuti karena ngeri diterkam tiba-tiba dan langsung dimakan. Oh, Leona Kingscholar memang orang yang seperti itu, namun tidak pernah sekalipun ia berniat memakan seorang anak perempuan dalam gendongannya ini.
Pertama, anak perempuan itu tidak pernah menganggunya,
Kedua, saat kehilangan tempat tinggal karena pedagang laut sialan yang itu, gadis yang begitu Leona malas untuk mengurusnya, nyatanya tidak begitu merepotkan,
Ketiga, bagaimanapun, wanita tetap wanita. Begitu kata Leona.
Aroma ringan dari rumput kering langsung menyambar indera penciuman dengan samar lalu menjelma menjadi aroma kuat yang menenangkan. Hampir membuatnya tertidur jika saja Leona tidak kembali membuka mulut untuk melayangkan pertanyaan,
"Dua herbivora lain mana?"
Yang ditanya kemudian membuka matanya kaget, lalu mencoba mengingat dimana Ace dan Deuce. Padahal sebelumnya mereka juga berjalan bersama menuju tujuan yang sama. Yaitu kelas,
"Kayaknya.. aku yang terpisah deh."
"Lah.." Leona bingung, "Kok bisa?"
"Pusing kak... Mereka berantem terus." Sahutnya polos. Namun begitu ia menatap sayu pada helaian rambut cokelat halus yang menyapa wajah, ia ingat bahwa Ace dan Deuce-lah yang menerimanya lebih dulu ketibang siapapun. Ia sempat mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk dari orang yang menawarkan kehangatannya saat ini.
"Tapi.. mereka yang menerimamu lebih awal, kan?"
Andela terkekeh pelan, sudah bisa menebak apa yang akan Leona tanyakan.
"Benar kak.." sahutnya setuju, "Kalau kakak kan marah-marah terus.."
Tanpa perkiraan si pemilik manik cerulean, Leona tertawa dengan jumawa. Mengingat hal itu jarang terjadi, dia jadi ikut tertawa menghias sepanjang jalan.
Sesaat, pinus yang kuat langsung menyapa penciuman Leona saat pertama menginjakkan kaki pada lantai berkayu yang menimbulkan bunyi kecil saat berjalan.
Andela yang sempat tertidur dalam gendongan hangat Leona yang menurutnya terlalu nyaman, saat ini antara sadar atau tidak, ia yakin kalau dirinya telah direbahkan di alas empuk yang dia tebak sebagai kasur. Kepalanya terasa berat dan mata tak sanggup lagi untuk terbuka.
Namun ia masih bisa merasakan kasur berderit saat dia kembali mencium aroma lembut yang sempat menghilang tadi.
Sekali lagi, ia merasa ada yang melingkar di lengannya. Wajahnya ditenggalamkan pada pelukan yang sungguh membuatnya terlena. Cerulean memang tidak mampu untuk terbuka, namun ia tidak menolak sebuah kehangatan yang ditawarkan oleh orang yang mengantarnya,
"Kakak tidak...?"
Sesaat, bisa ia dengar suara kekehan diikuti rambut-rambut halus yang membelai pipinya. Mungkin itu jawaban yang akan di dapat karena belum ada balasan, namun saat pelukan di bahunya mengerat, tokoh utama tahu bahwa Leona mendengar pertanyaannya,
"Males. Diam dan tidur."
Dalam tawa, dia terlelap. Berharap rasa sakit yang diterimanya ini reda saat senja mulai tampak.
White Feather
Hari keempat..,
"Ayuk tanda tangan kontrak aja yuk, biar pergi jauh sakitnya." Alih-alih bertengkar seperti biasa, Andela yang terbaring menghadap sisi kanan untuk melihat siapa saja yang menemaninya kali ini, hanya bisa diam tak merespon apapun. Tak mampu tertawa atau membalikkan kalimat senior yang barusan menawarkan hal sinting untuknya,
Mau ketawa aja kok ya lemes banget..
Jamil hanya menatap horror pada gurita teman satu kelasnya—yang dengan percaya dirinya sudah menyiapkan satu lembar kontrak emas istimewa. Seekor belut yang di belakangnya hanya mengikik tak tahu diri,
"Oi, octopunk. Jangan sampai—
"Aku bercanda, ya Tuhan.." elaknya. Jari dipetik, surat kontrak nan berkilau sudah hilang dari hadapan. Azul kemudian beralih pada tas berwarna brunettenya kali ini. Tangan berlapis sarung hitam itu membuka resleting tas dengan gerakan lambat lalu diikuti dengan tangan lain yang menyusup masuk ke dalamnya. Sebuah kotak persegi panjang berwarna biru arctic.
Awalnya, Andela yang masih mengikuti apa tindakan Azul itu terlihat tidak peduli dengan kotak yang masih dipegang Azul. Sampai orang yang selalu berdebat omong dengannya itu membuka penutup kotak yang digenggamnya, lalu mengeluarkan benda bening nan langsing dari dalam.
Yak. Jarum suntik.
Cerulean miliknya tiba-tiba melotot panik, keluar dari selimut tebal yang membalutnya dan melompat dari atas ranjang,
"Tuh kan kabur." Ceplos Jamil,
"Biar saja." Azul membalikkan kalimatnya, "Nanti juga diomeli."
Melarikan diri secepat yang ia bisa adalah tujuan Andela saat ini. Namun sepertinya takdir malaikat tidak berpihak saat ini, ceruleannya kembali membulat diikuti langkah yang terhenti saat melihat siapa yang sudah bertolak pinggang di bibir pintu. Vil, masih dengan baju sekolah memajang postur tubuh tingginya di situ dan tak lupa memberikan tatapan yang mematikan,
"Kembali."
"IH! KOK ADA KAKAK!?"
"Aku yang panggil. Kenapa?" suara berat Leona menggema, membuat tubuh kecil itu menubruk dinding kayu pada sisi lain. Ya, itu juga karena kepala yang masih terasa berat saat bangun secara tiba-tiba.
"IH! Parah!" tokoh utama menghardik ke arah Leona, "Aku kira kita teman, kak!"
Bukan karena alasan lain, seorang Leona memanggil Vil. Hanya perkataan Vil-lah yang di dengar 100% oleh anak itu.
"Drama." Sanggah Leona, "Siapa yang ngajarin?"
"Aku lah." Vil berbangga diri, "Kau sakit dan di sini tidak ada obat untuk manusia, yaampun ganggang lautku.."
"IH! ADA JARUM SUNTIKNYA, GAK MAU!" Muridnya yang sedang sakit itu merengek-rengek minta dibukakan jalan keluar, sambil mendorong, menyeruduk, menggebuk hingga menenggelamkan wajahnya pada dada pemuda yang beraroma bunga lily gunung yang memabukkan. Setelahnya, Andela merasakan ada rangkulan pada punggung kecilnya,
"Mau sembuh, gak?"
"Mau!"
"Yauda suntik dulu hayuk."
"Azul!!"
Sementara Leona sudah stres di pojok ruangan sambil memasrahkan sebagian badannya untuk bertengger dengan raut wajah takjub. Wow, gadis muda itu bisa lebih merepotkan daripada Cheka! Begitu keluh batinnya.
"Salah mulu." Azul menimpali dengan sedikit nada protes sambil mengambil langkah untuk mendaratkan tubuh di atas sebuah sofa,
"Kau kan seksi kesalahan." Timpal Jamil,
Muncul satu perempatan di dahi seorang Ashengrotto,
"Oh iya benar." Ini Jade.
Sudah ada dua tanda perempatan di dahi Azul. Ia melihat Jade dengan tatapan seperti... Bicara lagi, akan kubakar semua terrarium milikmu!
Kembali pada anak manusia yang masih belum bergerak satu mili pun dari tempatnya, memancing Vil untuk tertawa hebat. Melihat tingkahnya yang hampir tidak pernah merengek begitu membuat Vil tidak mampu menahan tawa. Pupil-nya terlihat lucu, namun bisa dirasakan pria itu bahwa suhu tubuh pupil-nya bukan suhu tubuh manusia yang normal.
Jelas, dengan cepat lengan kiri Vil berpindah ke keningnya,
"Sedikit saja." Tuturnya, "Nanti obatnya dibuatkan senior Azul."
Anak itu menggeleng lemah, "Kontrak.. bayar."
"Heh. Kau bisa kupercaya tidak sih!?" hardik Vil detik setelahnya.
"Astaga senior.." eluh si gurita sambil membetulkan kacamatanya. "Aku niat membantu, seriusan."
Ya, mereka tidak menyalahkan siapapun sih. Bayangkan saja, jika anak manusia yang masih berumur 16 tahun, perempuan, tersasar tiba-tiba dengan orang-orang berkemampuan istimewa—lalu dikerumuni begitu. Pikirannya langsung tertuju pada sebuah eksperimen gila yang akan dilakukan mereka dengan dia sebagai kelinci percobaanya.
"Tuh!" ini Kalim, "Nanti saat sembuh, kita main seharian!" ia berujar untuk meyakinkan anak itu.
Namun hasilnya,
Nihil.
Biasanya Kalim tidak pernah gagal membujuk orang lain. Akibat kegagalan yang diterimanya, ia ikut pundung.
"Nanti dimasakin makanan kesukaanmu. Apa saja." Jamil berusaha membangkitkan semangat si tokoh utama. Karena semua yang disitu tahu, jika tokoh utama bersama dengan dua orang teratas dari Scarabia, mulutnya tidak berhenti mengunyah.
"Ke gunung." Jade usul sambil menenangkan Kalim yang menangis.
"Aku belikan sempoa baru deh."
"Main sama Cheka."
"Yaudah iya, boleh belajar memanah sama Rook."
Bujukan apapun sudah dilakukan, namun persen ketakutan anak itu terhadap jarum suntik belum juga turun. Menghela napas panjang, pria itu kemudian mengajak sang pupil ke sofa yang Azul duduki, yang saat ini tengah menyilangkan kakinya sambil memakan permen berwujud gurita rasa buah blueberry,
"Sana. Ini tempat ratu dan muridnya." Iris amethyst-nya ikut mengusir si gurita yang masih duduk santai melempar pandangan pada anak tangga yang tidak jauh dari hadapannya,
Azul mengangguk sambil terkikik, "Monggo kanjeng ratu. Permaisuri, Ibu ratu Vil..."
Leona yang sudah berbaring dengan tangan menopang kepala hanya memandang aneh orang-orang yang ada disitu, "Idiot semua."
Semua akhirnya mengalah dan memilih untuk diam. Vil dari tadi menawarkan hal-hal yang iya-iya sampai yang tidak-tidak, dimulai dari tinggal di Pomefiore untuk sementara waktu, mengajaknya jalan-jalan ke Land of Pyroxene saat liburan, membuat racun yang efektif untuk melumpuhkan Azul selama 72 jam, merias wajah Leona, hingga menenggelamkan Jamil di laut. Semua sudah ditanya Vil, namun pupil yang ada dipangkuannya terus menolak.
Susah ya mengatur anak manusia yang sedang tidak sehat.
Vil akhirnya memutuskan untuk bercerita tentang Putri Salju dan Kurcaci. Semua yang ada disitu mengunci mulut, dan membentuk sebuah lingkaran untuk mendengar cerita dari Vil. Apalagi untuk seorang Kalim, ia duduk paling depan terkadang sambil memainkan tangan Andela yang masih menyembunyikan wajahnya dalam lengan Vil.
Gadis itu akhirnya tertidur, Vil tahu pupilnya tidur bukan karena sebuah cerita namun karena tubuhnya yang masih letih sehingga capek akan terus datang tanpa diminta,
"Tuh.. tidur." Leona membuka suara,
"Eh tapi kok, anak bawel ini saat minum ramuan dariku selalu baik-baik saja ya?" celetuk Azul sembari mencari pembuluh vena, setelah ketemu, baru dibersihkan dengan alkohol yang sudah di tuang pada kapas sebelumnya,
"Eh, mas." Vil terlihat tak terima, "Situ ngasih didikan saya ramuan apa? Bukannya sembuh malah makin panas nih."
Azul yang kemudian menembuskan ujung jarum nan tajam pada kulit bersih seorang anak manusia yang terlelap itu hanya bisa cengegesan, mengingat peak-nya dia kala memberikan ramuan yang entah kegunaannya untuk apa pada hari pertama saat malam anak itu sudah jatuh sakit. Bukan mereda, panasnya malah semakin jadi.
Jika tidak ingat Azul seorang kepala asrama, Vil bisa slepet dia pakai tali yang ada dipinggulnya.
Sebuah cairan merah kini telah masuk dalam tabung yang berukuran sangat kecil, dan Azul melihatnya dengan seksama,
"Ih kesian," katanya, "Aku kan jadi gak ada teman berantem nih." Ungkap Azul jujur sambil berdiri. Tak lama mengacak surai hitam yang memang sudah tak berbentuk—kusut—si tokoh utama,
Gurita itu sedikit menunduk dan membuat surai ikalnya agak jatuh mengikut arah kepala,
"Kau bisa mempercayaiku, senior. Pupil-mu akan sembuh." Pamitnya sebelum kembali ke dasar laut.
Amethyst Vil memandang pada seorang yang menurutnya bisa diandalkan lebih baik daripada siapapun kali ini. Tangannya kini berpindah pada tangan panas yang kemudian dipertemukan dengan pipinya sendiri,
"Memang ini tujuanku memintamu untuk datang."
White Feather
Saat sore, tepat hari kesebelas dirinya tidak hadir sekolah, Vil selaku mentornya cukup bawel mengatur ini itu untuk mempercepat proses penyembuhannya. Ya, tidak salah jika kalian bilang bahwa anak perempuan yang beruntung itu berada di bawah pengawasan Vil sekitar 60%.
Dan ya memang Vil-lah yang paling panik saat bibir tipis Azul bilang bahwa didikannya mengalami gejala yang disebut tipes dan faktor stres mental yang membuatnya agak sulit untuk pulih,
"Stres mental?" dahi sang aktor serta singa yang berdiri tak jauh di sisinya sama-sama berkerut mendengar frasa yang seakan menjadi penghalang tawa lepas seorang anak tersasar. Namun, bagaimana bisa ia mengalami stres mental?
Azul mengangguk tak lupa memberikan catatan dari kesimpulannya saat pengambilan sampel darah dari sosok yang menjadi pelipur lara banyak orang. Sekalian beberapa butir obat dalam tabung berukuran kecil bening tembus pandang.
"Bisa jadi, dia terlalu fokus untuk menemukan jalan pulang dan kita tidak pernah tahu apa yang dibicarakannya saat ia sering dipanggil ke ruang kepala sekolah. Si bawel itu—ia memilih memendamnya sendiri, senior."
Alis Vil menukik sendu, jelas, ia sendiri juga tidak tahu bagaimana cara agar pupil perempuannya bisa kembali pulang. Dia berbeda dimensi, yang tahu-tahu datang di bawa peti mati dalam kereta kuda saat bulan purnama pada pertengahan bulan Juni,
"Dia ingin pulang, ya?"
Mungkin tinggal di asrama yang masih reyot adalah penyebab yang paling kuat Andela bisa terinfeksi bakteri.
Punggung mulai terasa letih karena terus-terusan berbaring dan melemparkan pandangan pada langit kayu, atau jendela yang sengaja dibuka oleh Ace dan Deuce rutin sebelum berangkat ke sekolah, sang hawa mulai merasa jenuh karena terus berada di dalam kamar.
Adeuce combo memang selalu menemaninya saat pagi. Tanpa mereka tahu bahwa Malleus dan Lilia sudah ada di situ lebih dulu, dan bilang akan kembali datang saat hari sekolah telah selesai.
Malleus sendiri datang saat mengetahui dua orang pelajar dari Diasomnia yang hampir melakukan tindak kekerasan pada seorang manusia—yang Malleus sendiri tidak pernah memiliki niat sejahat itu pada anak perempuan ini. Malleus Draconia—yang menyeret dua tersangka siswa asramanya—meminta maaf atas kejadian tidak menyenangkan yang telah menimpanya.
Namun hati anak itu terlalu besar, dia bilang bahwa tidak ada yang perlu dimaafkan dan mari ulang semua dari awal. Tak lupa ia mengucap terima kasih karena sudah mau meluangkan waktu berharga mereka untuk sekedar bertanya, 'Bagaimana kondisimu?' sambil meletakkan berbagai buah. Kebanyakan kalau boleh dibilang.
Kepala masih terasa berat saat tubuh sudah menduduki sebuah ayunan yang sengaja dipasang pada sebuah pohon rindang tepat di belakang tempat tinggalnya. Adeuce combo dan Jack yang membuatkannya jauh sebelum sakit. Katanya sih, kalau iseng atau bosan, naik ayunan saja. Kata mereka ya.
Sedikit mendongah mengikut arah angin, membuat helai hitamnya sedikit menari saat semesta mulai menggoreskan cat jingga dan krimson dalam satu waktu. Tepat saat itu, Leona Kingscholar sudah berdiri di sisinya.
Diam, tanpa melakukan apapun.
"Kenapa kak?" ia tahu ada sosok lain, terlihat dari bayangannya. Namun sudah tidak terkejut saat sosok-sosok yang mendatanginya tiba-tiba muncul. Malah lebih bisa dibilang penampakan daripada penyihir,
"Kau keluar hanya memakai gaun tidur. Yakin nanti gak tepar lagi?"
Andela langsung merasakan tangan besar yang hangat tengah memeriksa suhu tubuhnya.
"Sudah reda sih namun masih terlalu hangat. Masuk."
"Roi de Leon!" rajuknya, "Aku bosan di dalam kamar terus!"
"Heh, kau jangan seperti orang aneh itu ya!" Leona melayangkan protes, segera ia memperlihatkan dirinya gadis yang masih menggoyangkan sedikit ayunan dengan kaki yang berada di atas tanah. Saat sang singa sudah berdiri di depannya, aktivitasnya berhenti digantikan dengan tawa kecil yang menarik bibir pucat keringnya.
Ya, sakitnya belum reda.
Leona berlutut, ceruleannya mengikuti apa yang akan Leona lakukan selanjutnya. Kedua tangan yang dibalut sarung tangan hitam kemudian menangkup dua belah pipi dari wajah kecil Andela. Hanya beradu pandang saja sebelum Leona membuka mulut,
"Aku dengar, kau masih terus berusaha mencari jalan kembali ke duniamu? Tidak, bukan maksudku macam-macam. Aku hanya ingin menanyakan satu hal."
Mata biru itu memandangnya, mata biru bagai air di samudera itu tidak pernah menunjukan dendam dan amarah, hanya tatapan kebahagian yang akan ia sebar jika orang lain menatapnya langsung dari dekat. Akhirnya Leona Kingscholar menemukan kesenangan baru, hanya dengan mata biru itu. Iya. Mata biru cerulean.
"Wah kak Leona dengar?"
Leona mengangguk,
"Iya kak.. aku, masih terus mencari jalanku untuk kembali.. Namun pak Crowley bilang, kemungkinannya hampir tidak ada untuk sekarang-sekarang ini, dan beliau juga bilang.. aku bisa terjebak dalam waktu yang tidak bisa ditentukan."
Katakanlah naif, namun memang saat ia sering keluar melihat jumlah kunang-kunang dari dekat saat malam mulai menunjukkan tabir saat sabit mulai menggantung, pikirannya akan rumah selalu tersusun bagai kepingan puzzle yang terpencar.
Terjebak di antara waktu yang membuat semuanya terhenti, Leona menangkap sebuah kalimat yang keluar dari mulut sang anak perempuan ini,
"Kakak akan menjadi penyihir yang hebat."
Alih-alih bertanya suatu hal, pikiran Leona akan alfabet yang sudah tersusun rapih menjadi frasa pertanyaan malah menguap saat mendengar kalimat yang begitu ringan dan tulus. Serta adanya sebuah harapan terselip diantara kalimat barusan membuat Leona kesulitan mengatur fokus. Dada berdesir hangat serta manik yang mulai menatap teduh untuknya,
"Dasar bodoh." cibirnya
Tidak lama setelah itu, Andela merasa keningnya dicium agak lama. Sengaja memang, sebab Leona menyembunyikan satu garis bening yang turun dari manik hijaunya dengan tindakan yang membuat sang tokoh utama melebarkan mata.
White Feather
Leona Kingscholar belum mau berhenti memberikan sedikit perhatiannya pada gadis. Apalagi saat ia tahu dari Azul—yang biasa dipanggil Octopunk—pemulihan tipes bisa memakan waktu yang cepat, atau bahkan satu bulan. Tergantung imun si penderita.
Jadilah, sang singa mencari-cari dimana sosok yang ia panggil sayur ituberada, pada jam istirahat begini. Teriknya panas tidak menghalangi sang pangeran untuk melangkahkan kaki keluar gedung sekolah.
Agak jauh dari keramaian siswa, manik hijaunya melebar sebab menemukan sosok yang dicari. Ia tengah menyandarkan punggungnya pada seekor serigala besar di bawah pohon besar, ya Leona tahu itu adalah salah satu siswa yang tinggal di asrama Savanaclaw-nya. Terlebih, dia anak kelas satu juga.
Ekor tebal milik Jack menutup area perut sang gadis yang mencuri waktu untuk tidur. Hal yang kemudian memancing Leona untuk tertawa adalah, Vil ikut menyelonjorkan kaki di sisi anak manusia—anak didiknya. Ia membiarkan kepala hitam bersandar pada lengannya.
Sesekali Vil juga mencium pucuk kepala hitam pupil-nya, sementara tangan lain memegang sebuah buku yang masih dibaca oleh iris amethyst.
Baik,
Dengan begini, Leona Kingscholar tidak perlu repot-repot menemani anak manusia yang perlahan sudah menjadi dunianya. Yang paling penting, ia tidak sedang sendiri. Begitu ujar Leona dalam pikirannya sambil mengambil langkah lain menuju botanical garden.
Ya. Dia berniat melewatkan kelas selanjutnya.
If... if my new world has returned to her real-world... Then, all I can do is... no-no. I don't want to Imagine such a scary thing.
[Leona Kingscholar]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top