01. Admirer who became a Menthor
Admirers Who became a Mentors
"Très bien..." seru orang lain yang tiba-tiba masuk dalam ballroom besar sebuah asrama, "Cantik. Vil, sudahi. Kau melatihnya dengan sangat baik hari ini."
"Oke. Berhenti sampai disini." Pekik Vil sambil menepuk tangannya satu kali. Menimbulkan gema dalam balairung besar nan sunyi.
Sang gadis tokoh utama yang habis dilatih tentang apapun itu mengenai panggung dan pentas di hari keempatnya ini mengangguk sekali. Kemudian kedua kaki memilih untuk melemas seolah tak ada lagi tempat berpijak, dan selonjor sambil mengatur napas baik-baik.
Katanya,.. sang tokoh utama kita itu dipilih untuk tampil pada sebuah drama panggung yang akan di pertunjukan pada semester akhir sebelum libur musim panas datang.
Vil Schoenheit tanpa menunjukan ekspresi yang berarti, langsung menjatuhi satu buah handuk kecil di atas kepala si gadis yang masih memandang lurus pada sudut ballroom yang lain. Anak perempuan itu mengangkat dagu saat kepalanya terasa dijatuhkan sebuah barang berbahan kain ringan yang memiliki aroma buah apel segar. Kedua manik cerulean milik si gadis pun membelalak saat tahu dua orang kakak kelas yang masih membicarakan beberapa hal sebelumnya, kini sudah memberikan perhatian masing-masing untuk dirinya seorang.
"Eh!? Kenapa kak!?" tanyanya. Rasanya, agak ngeri saat kedua mata dari dua orang yang paling berpengaruh di sebuah asrama tengah hutan yang menomor satukan kecantikan dan keindahan itu masih menatapnya tanpa bersuara.
Vil kemudian melipat kedua tangan di dada, "Naif.. seperti biasa."
"Namun tidak terlalu lugu." Rook menyambung seolah tak ingin ada detik yang menyela, "Ingin kau apakan lagi si bulu putih ini, Roi de Poison?"
Nama gadis itu adalah Andela. Andela Tone.
Melihat ekspresi Vil yang sepertinya tengah menilai sesuatu darinya, sang dara memilih untuk diam seribu bahasa sambil susah payah menelan liur. Padahal, Vil dalam pikirannya hanya mempertimbangkan satu hal saat anak perempuan itu telah selesai dengan pentas dramanya. Itupun jika Vil puas dengan pertunjukan yang disuguhi oleh anak kelas satu.
"Jika pentasmu bisa membuatku tersenyum, aku bisa memberikanmu hadiah yang cukup pantas."
Gadis itu memang sejak awal ia mengagumi salah satu dari the Great Seven di sana. Vil Schoenheit dengan kemampuan sihirnya yang mematikan itu—Fairest One of All. Percayalah, Andela akan melakukan apapun agar Vil mau sedikit mengakuinya. Puncaknya saat VDC belum lama ini, rasa kagum anak itu kian bertambah saat Rook bercerita bahwa Vil adalah seorang alkemi yang hebat. Terpilihnya dia menjadi kepala asrama Pomefiore bukanlah tanpa alasan, melainkan karena racun yang dibuatnya adalah racun yang paling berbahaya.
Cantik dan mematikan dalam waktu yang bersamaan.
Alih-alih bertanya tentang hadiah yang akan diberikan Vil untuknya kelak, si tokoh utama malah pundung sejenak mengingat perkataan yang terlontar dari mulut Vil sebelumnya, 'Jika pentasmu bisa membuatku tersenyum'. Tentu saja membuat si aktor kawakan tersenyum saat melihat pentas biasa itu adalah hal yang menurutnya mustahil.
Sudah dilatih menggunakan properti milik Vil saja, Andela sudah sangat bersyukur. Syukur-syukur Vil tidak mengusirnya saat minta diberikan ilmu untuk hal yang menyangkut drama, pentas, dan panggung.
"Kak Vil.. sebaiknya jangan menaruh harapan tinggi padaku, kak."
"Aku juga tidak menaruh harapan apapun padamu."
"Vil!" suara Rook agak kuat.
Si tokoh utama yang masih selonjor itu hanya tertawa sedikit. Jujur saja, memang tidak sedikit ya perkataan Vil yang menohok agak membuatnya pundung sejak hari pertama. Namun ia sendiri sudah tahu resikonya jika berurusan langsung dengan salah satu seniornya yang paling dikaguminya saat ini.
Pikiran berbalut kabut negatif seketika dihilangkan saat tangan yang dilapisi sarung tangan hitam lain tengah memberikannya jus apel dalam satu buah botol. Cerulean miliknya kembali mendongah dan menemukan sosok wakil kepala asrama Pomefiore tengah menunjukkan senyum yang memang tidak pernah luntur dari pahatan wajah rupawannya,
"Terimalah. Raih tanganku dan aku bisa mengantarmu pulang saat ini."
Tidak ada ucapan terima kasih, hanya anggukan yang dilakukan oleh sang gadis.
Dalam sekejap, si dara langsung meraih tangan yang sedang menunggu untuk digenggam. Dengan lembut, Rook langsung memberikan genggamannya pada tangan si pemilik manik cerulean bersurai hitam legam bak bumantara malam yang mungil itu dalam tangan besarnya.
"Dinginnya. Kau baik trickster?" wajah penuh senyum kemudian berubah drastis menjadi tatapan sendu nan dalam saat kulit mereka saling bertemu.
"Dingin?" Vil menekan dengan intonasi bertanya. Kedua alisnya menukik diikuti tangan yang perlahan kembali menurun dari dada, "Tidur di Pomefiore dulu, mau?"
Gadis itu menoleh langsung pada Vil yang kini tengah memberikan sedikit perhatian untuknya. Raut wajahnya nampak seperti biasa, namun sang pemilik iris cerulean menangkap sedikit kekhawatiran yang berhasil ditutupi dari ekspresinya.
Sungguh, aktor kawakan.
"Tidak kak! Aku istirahat di tempatku saja." tahannya dengan iris memandang lurus-lurus, "Aku kembali ya, kakak! Terima kasih untuk ilmunya hari ini." tunduknya sekitar sembilan puluh derajat.
Sejenak saat menunduk, anak itu merasa ada tangan sedang mengusap sedikit kepalanya. Cerulean-nya tidak berani melirik sana sini untuk memastikan tangan siapa yang masih ada di ubun-ubun hitamnya saat ini. Pandangannya tetap pada lantai marmer keemasan dengan cahaya lampu yang terpantul samar, serupa dengan bintang-bintang yang bisa diraih dalam sekejap mata.
Tetapi dalam sudut hatinya berkata, bolehkah ia berharap bahwa tangan yang mengusap kepalanya itu adalah tangan seseorang yang dikaguminya?
"Besok istirahat, kembalilah lusa."
"Baik, kak."
Saat dirasa tangan tidak lagi ada di ubun-ubunnya, kepala dari rambut legam yang masih dicepol itu terangkat. Saat sudah terangkat, sosok Vil tidak lagi ada di hadapan. Kedua manik birunya terbelalak saat nalar bahwa ada sedikit sihir di sini padahal sebelumnya, ia masih bisa mendengar suara Vil dengan jelas menjama kedua telinganya.
"K-kak.." langkahnya cepat meraih sedikit bahan di baju asrama yang dikenakan Rook kali ini. Yang masih berdiri tak jauh darinya,
"Ahaha.." tawanya jumawa, "Mari kuantar pulang."
Suara tapakan kaki ringan mulai meninggalkan ballroom yang besarnya tak karuan. Keluar lorong asrama dengan lilin-lilin yang nampak mulai menyala seperti emberikan kesan mewah nan elegan yang tengah memanjakan salah satu inderanya saat ini.
Ini, baru pertama kalinya sang dara keluar dari asrama Pomefiore saat lunar mulai memantulkan cahaya dari sang surya yang telah menepi ke Barat.
"Kak. Kak sebentar." Tahannya saat baru mulai menuruni satu anak tangga Pomefiore.
Tangan bersih milik sang tokoh utama kita saat ini beralih pada satu botol yang berisi jus apel yang diberikan Rook sebelumnya. Membuka segelnya perlahan, memutar tutup yang menjadi penahan agar cairan di dalamnya tidak bocor lalu menempelkan ujung botol pada bibir kecilnya. Merasakan sari apel yang terasa manis menyegarkan dengan aroma kuat dari buah apel segar yang menyapa seisi mulut, lalu langsung mengairi tenggorokan sebagai jalan satu-satunya untuk jus yang masih diteguknya,
"Haus kah? Aku masih punya beberapa jika kau ingin lagi."
Tentu saja si tokoh utama reflek dan seketika langsung menghentikan acara minum jusnya yang baru ia sadar juga bahwa satu botol berisi jus apel itu sudah habis dalam sekali teguk. Pemuda dengan model rambut bob yang masih berdiri memperhatikannya juga langsung terkesiap saat anak perempuan yang menurutnya cantik itu mengejutkannya,
"Tidak kak! Maaf aku haus sekali tadi." kekehnya. Sambil mengusap bibir basah dengan salah satu ibu jari, "Aku tidak memiliki keberanian untuk melakukan hal lain.. saat kak Vil sedang mengarahkan sesuatu untukku."
Rook tidak berkata, perlahan hanya memajukan tangannya sampai ke pucuk hitam itu,
"Marvelous, trickster."
"Kak Rook! Aku bukan penipu!!"
Si pirang hanya tertawa menanggapi protes yang dilayangkan untuknya.
Keduanya berjalan dengan jarak yang bisa dibilang tidak cukup dekat. Rook berada beberapa langkah di depan, sementara tokoh utama hanya mengekorinya. Berbekal satu lilin yang dinyalakan di atas tongkat lilin yang Rook genggam, suara tapakan kaki dari masing-masing pihak masih terdengar berirama. Sampai akhirnya di bibir hutan yang menghubungkan asrama Pomefiore dan sebuah bangunan sihir lain yang menghubungkan cermin dalam kampus mulai nampak, tanpa ragu karena diselimuti perasaan merinding saat tak sengaja mendengar suara angin, Andela mulai mengaitkan lengannya pada salah satu lengan Rook yang bebas,
"Fufu.." tawanya, "Kukira aku sudah memperingatkanmu untuk lebih dekat." Tegur sang pemburu,
"Kayaknya serem, kak."
Sejenak, Rook masih tertawa sebelum memulai langkahnya membawa masuk si anak perempuan manusia ke dalam hutan. Memang tidak salah, sebab asrama Pomefiore sendiri benar-benar terletak di dalam sebuah hutan yang masih lebat, ditumbuhi pohon-pohon besar yang memenuhinya,
"Kakak setiap malam terbiasa begini?"
"Non non." Sangkalnya langsung.
Ketika dara melirik sejenak pada sang pemilik manik berwarna hijau yang saat ini tengah menunjukan wajah kewaspadaan namun tetap memandang lurus untuk memastikan tidak ada hal aneh diluar dugaan yang menimpa anak perempuan yang masih diapitnya, Rook menghela napas pendek,
"Aku biasa mengandalkan cahaya bulan atau matahari."
"Kak!!"
"Ahahaha." Tawanya ringan. Seolah tidak ada hal yang perlu ditakutkan ketika sedang bersamanya, "Cahaya bulan dan matahari itu jauh lebih membantu, trickster."
"Tetapi.. raut wajah kakak seperti menunjukkan kewaspadaan."
"Iyakah?" tanyanya balik, membuat si tokoh utama mengangguk saat Rook meliriknya sejenak, "Mungkin.. kewaspadaanku bertambah saat aku membawa suatu keindahan bersamaku malam ini."
Rook mengapresiasi, hingga pemburu itu berhasil menangkap rona samar merah muda dari pipi sang gadis,
"Terima kasih, kak..."
Sampai pada akhirnya kedua tubuh masuk dalam cermin yang menghubungkan antara ruang cermin dan asrama lain. Perjalanan belum selesai namun Rook tidak mengizinkan sang tokoh utama melepaskan lengan dari apitannya,
"Trickster."
"Iya kak?"
"Reflekmu cepat ya. Kau tahu, saat kita melewati hutan tadi, kau harus sekali disana. Untuk memandang langit malam. Dimana cahaya putih akan selamanya mengisi langit. Sangat mengagumkan."
Saat ini, yang ditangkap sang gadis adalah benang merah dari apresiasi kakak kelasnya untuk mengagumi kecantikan langit malam,
"Ibarat seperti—sambungnya,
"Aku paham kak. Ibaratkan seperti mencumbu malam. Hanya ada kau dan aku yang akan terjaga sampai fajar membelah sutera temaram."
Sosok yang masih mengapitnya itu langsung mengangguk cepat, membuat surai pirangnya ikut bergoyang mengikuti irama kepala,
"Beaute!! 100!"
Rook belum bisa melepaskan senyumnya—atau lengan lain yang masih di apitnya saat ini. Jika boleh jujur, Rook sendiri tidak merasa terganggu dengan kehadiran anak perempuan ini. Malah sepertinya, Rook bisa merasakan suatu kebahagiaan yang baru saat berada di dekat tokoh anak permpuan yang masih menimbulkan teka teki atas kehadirannya secara tiba-tiba.
"Kak, aku boleh masuk?"
"Oh.." sadarnya, "Suhu tubuhmu kembali menghangat. Syukurlah."
"Sulit untukku berada dekat dengan kak Vil." Jujurnya,
Dalam kesunyian yang tidak sengaja tercipta itu, pikirannya berkalut. Salah ia bicara bahwa ialah yang terasa berat untuk Vil didekatnya. Namun Vil-lah yang harusnya terganggu dengan kehadiran ganggang laut sepertinya. Iya, ganggang laut adalah nama yang disematkan Vil untuknya. Seluruh sendi membeku saat manik hunter green lain tengah menatapnya dan membuat Andela bergerak tidak nyaman di bawah iris hijau milik Rook,
"Maaf kak. Aku salah bicara." koreksinya lagi. Rook masih setia menunggu apa kalimat yang akan keluar dari dua belah bibir yang bergetar itu, "Kak Vil-lah yang seharusnya berat dengan kehadiranku akhir-akhir ini." suaranya semakin hilang di akhir kalimat, ia sendiri bingung. Apa yang barusan dikatakan lisan yang hanya lewat dari kepalanya, "Seperti.. kak Vil adalah rembulan, sementara aku hanya sebuah sumur yang ada di bawah rembulan itu."
"Seseorang menjadi bodoh, saat ia berhenti bertanya, dearest." Celanya langsung. Wajah itu terlihat menunjukan senyum, namun kedua manik hijaunya menyiratkan ekspresi lain. Rook sedikit tidak senang jika orang lain terlalu sering merendahkan dirinya sendiri tanpa mau mengakui bahwa ada potensi lain yang bisa dikembangkan dalam diri orang tersebut. Karena si pemburu itu percaya bahwa setiap masing-masing insan memiliki keunikan tersendiri yang membuatnya semakin indah. "Kau cukup berani. Nekat menghampirinya, untuk belajar banyak hal dari Vil, benar? Kurasa itu bukan sesuatu yang bisa diabaikan oleh Vil begitu saja."
Melankoli saat ini terasa menyita pikiran si tokoh utama. Dia sendiri terjebak diantara ketidakmampuannya untuk menerka sesuatu dari frasa yang dikeluarkan Rook barusan,
"Kau cantik dengan caramu sendiri, dear."
Saat bibirnya baru ingin mulai bertanya apa maksud perkataanya barusan, Rook yang sepertinya sudah membaca pikiran anak itu langsung memotong keingintahuannya,
"Mungkin tidak sedikit perkataan Vil yang kurang berkenan—atau tidak berkenan untukmu. Maafkan dia. Aku sudah bercerita padamu, tentang apa yang dia lalui sampai bisa sejauh ini."
Si cerulean hampir saja menangis, hampir saja—namun ia sudah lebih dulu menyeka air mata yang hampir terjun bebas ketika tangan Rook tepat berada di atas kepalalanya. Memberikan elusan pelan bagaikan anak kelinci yang membutuhkan pertolongan.
Saat itu juga, maniknya agak melebar.
"Tidurlah." titahnya kali ini.
Gadis itu mengangguk. Memutar kaki membelakangi seniornya. Memperlihatkan sedikit tengkuk mulus tanpa ada noda apapun, hanya anak rambut yang menempel karena keringat dari latihan sejak tadi.
Sampai ia masuk dan menutup kembali pagar hitam setinggi sikunya, tentu kakinya berbalik kembali. Sekali lagi, Rook sudah menghilang dari sana tanpa aba-aba. Hanya menyisakan bulu putih entah darimana asalnya. Yang pasti tokoh utama kita telah memungut bulu itu dan menyunggingkan senyum tipis,
"Penyihir sih.. tapi jangan selalu begini dong. Aku takut nih lama-lama." Keluhnya dengan alis berkedut sambil lirik sana-sini.
Panik.
White Feather
"Juliet itu mengagumimu, Vil."
Rook berujar dengan nada lembut namun intonasinya dalam tanpa ada paksaan. Tetapi Vil hanya bergeming di sisinya. Amethyst hanya memandang beku pada dua tirai besar berwarna keunguan yang masih menutup panggung.
Dalam tangan lentiknya, Vil masih menggenggam satu buah kancing yang sempat lepas dari jubah properti sang tokoh utama tadi. Beruntung anak perempuan itu bisa langsung menjahitnya sendiri tanpa bantuan orang lain.
"Kau akan mulai beberapa waktu lagi. Dan kau masih menjahit sesuatu?" Anak perempuan itu langsung berbalik begitu mendengar suara yang sangat familiar bertanya padanya,
Vil memutarinya sambil bertolak pinggang, "Sempat?"
"Kak! Yaampun aku kaget.." balasnya ragu, "Iya nih. Kancingnya lepas tadi."
"Kak, sambungnya lagi, "Jika pertunjukanku nanti gagal membuat kakak tersenyum, mohon maafkan aku ya. Aku banyak membuang waktu kakak sampai saat ini." begitu katanya saat ia masih menjahit sedikit jubah properti yang akan dipakainya nanti.
Mungkin impian sang tokoh utama untuk diakui seseorang yang dikaguminya itu tidak akan pernah tergapai. Saat ia bicarapun, jantungnya sangat sulit dikendalikan iramanya. Andela sangat paham bagaimana tabiat Vil. Sebab itu saat ia berterus terang, ia memilih untuk melanjutkan jahitan ketimbang langsung menatap wajah Vil.
Vil dengan sorot mata tajamnya menyerong saat mendengar perkataan anak itu. Apa-apaan anak ini!? Belum apa-apa sudah minta maaf duluan... Vil mengerang dalam batin.
Pria itu menunduk tepat di bawahnya yang menganga melihat kakak kelasnya itu sedikit membenarkan kerah dari baju properti yang dipakainya,
"Kakak duduk di tempatku saja—
"Berhenti melawan. Diam dan biarkan aku melakukan apapun sesukaku."
Peringatan itu meluncur bak ancaman saat ia bisa tidak menuruti perkataan Vil. Membuat si pemilik manik cerulean itu mengatup gugup. Ahh—dia telah membuat seniornya berkata dengan intonasi yang tinggi! Pasti akan sulit memperbaiki moodnya.
"Jubahnya sudah? Kemari, aku pakaiakan." Ucap Vil.
Jubahnya memang sudah hampir selesai saat Vil datang tadi. Namun pemuda itu masih sibuk merapihkan pakaian yang dikenakan si tokoh utama. Semua. Semuanya sampai rambut tidak luput dari perhatian Vil.
Tangan sang gadis kemudian terulur memberikan jubah berwarna kecoklatan sebelumnya,
"Diam ya." tuntut Vil sejenak.
Meski begitu, Vil masih mau tinggal. Lengannya yang panjang kemudian bergerak memakaikan jubah itu dari depan. Membuatnya sedikit berkelebat menimbulkan bunyi kain yang bergerak karena dipaksa. Kembali, ia mau berlutut hanya untuk memakaikan jubah si dara yang masih menuruti perkatannya untuk diam,
"Pakai ini saja untuk dikaitkan." Ia mengeluarkan satu buah bros berwujud daun dari salah satu saku almamaternya.
Senyum terpahat tak ketinggalan dengan rona merah tipis saat Vil memakaikan bros miliknya yang berkilau itu menjadi pengait untuk jubahnya kali ini. Tanpa disangka, Vil datang untuk menontonya. Bolehkah ia berharap kedatangan Vil saat ini adalah untuk mendorongnya maju?
"Terima kasih, kak."
Tidak ada jawaban, Vil setelah selesai memakaikan jubah untuk anak perempuan itu, langsung bangkit.
"Terlalu banyak berterima kasih."
Pikirannya masih terbuai beberapa saat sebelum Vil duduk manis di kursi penonton, membuatnya sedikit menghela napas ringan.
"Iya, aku tahu itu Rook."
"Fufu..." tawanya seraya melepas topi yang selalu berada di atas kepala pirangnya, "Tidakkah ingin kau mengakuinya? Keinginan anak itu sederhana. Hanya kau mengakuinya, itu saja."
Tidak ada jawaban apapun lolos dari mulut kecil si aktor. Rook yang paham isi kepala Vil saat ini hanya tertawa pelan, sampai akhirnya pertunjukan dimulai.
Amethyst tidak sedikit pun teralihkan dari panggung dimana anak perempuan dengan sebuah nyali yang bisa dibilang cukup berani untuk meminta tolong padanya, agar mau melatih dirinya bagaimana menangani panggung pentas dengan benar.
Anak perempuan itu, mendapat peran sebagai pengawal pangeran yang diperankan oleh Deuce Spade sekaligus sebagai seorang kepala penjaga sebuah istana yang di tinggali Deuce. Di awal, Vil sempat tertawa kecil saat Andela mengatakan bahwa Deuce lah yang akan menjadi pangerannya,
"Bisa aku saja yang jadi pangerannya?"
"Jangan kak..." elaknya pelan, "Akting kakak bisa terlalu sempurna dan membuat penonton mengeluarkan busa lewat mulut."
"Pujian atau hinaan, ganggang laut?"
Namun bukan masalah.
Tugas Vil disini hanya menilai, bukan ikut andil dalam urusan pentas drama anak kelas satu yang sudah mulai disana. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik melihat sosok gadis yang memainkan perannya dengan sangat baik.
Sampai pada sebuah scene dalam hutan, ada sebuah dialog yang membuat Vil membelalakkan kedua bola matanya.
Deuce sang pangeran yang ceritanya-- juga teman kecil si kepala penjaga itu mulai bertanya,
["Jika boleh tahu, apa yang kau takutkan saat ini?" tanya sang pangeran yang dikawal oleh seorang perempuan yang merupakan teman kecilnya sendiri,
"Kurungan, berdiam diri dibalik jeruji besi.. dan pasrah pada keadaan. Hingga kekuatan dan keberanian dalam diri kita tidak lagi dapat diharapkan."]
"Keberanian dan kekuatan, ya?" Rook berbisik. Jelas, ia mengapresiasi anak perempuan tersasar dan satu-satunya yang dimiliki oleh Night Raven College.
Hingga pada puncak pentas, tidak ada yang menyangka bahwa sang penjaga lebih memilih untuk mengorbankan diri demi menukar nyawanya dengan pangeran yang tengah dikawal demi perdamaian dua kerajaan.
Dimana pangeran lain tengah diperankan oleh Ace Trappola.
Sungguh, berlama-lama disana bisa membuat Vil hampir setres karena sibuk harus memperhatikan jalan cerita sekaligus menahan tawa karena satu atau beberapa hal lain.
"Trickster memilih racun untuk menyelamatkan pangeran ketibang hidupnya sendiri."
"Meski begitu, dia prontagonis, Rook. Seharusnya tidak ada kesempatan baginya untuk mati."
Rook jelas tidak menyangka bahwa Vil akan menanggapi gumamannya. Tawa kecil canggung sempat di dengar oleh Rook dari arah Vil.
"Roi du Poison?"
"Kenapa orang baik masih bisa mati dengan cara yang tidak pantas begitu?" tanyanya. Melihat sang pangeran yang menangis tak terima bahwa sahabatnya mati begitu saja.
Yang ditangkap oleh Rook saat ini adalah jurang peran yang berbanding terbalik dengan apa yang selalu Vil dapatkan. Vil selalu mendapat peran antagonis, karena mimiknya yang angkuh itu mumpuni. Dan yang Vil katakan untuk peran-perannya sebagai antagonis adalah, Karena, orang jahat tidak selalu bertahan sampai akhir.
Ada dua yang selalu menganggap Vil orang baik, dan akan selalu baik.
Rook dan salah satu anak gadis yang masih berperan dengan darah yang mengalir dari mulutnya di atas panggung sana. Mungkin jika orang lain yang belum tahu bagaiamana sosok Vil yang sebenarnya, frasa jahat akan menjadi yang pertama keluar untuk menilai dirinya.
Namun berbanding terbalik.
Pemuda dengan surai champagne gold dengan ujung berwarna lavender ini adalah laki-laki yang berhati besar. Tak segan ia membantu orang lain yang meminta bantuannya semampu yang ia bisa, Vil akan menolong orang itu. Walau terkadang kalimatnya menyakitkan, namun dia hanya ingin yang terbaik bagi orang yang mau datang mempelajari beberapa hal darinya.
Vil masih bergeming saat si pangeran yang memulai hari-hari barunya dengan kerajaan yang damai tanpa adanya perang terbuka yang bisa terjadi kapan saja.
Pikiran Vil berkabut sendiri. Setiap cerita pasti memiliki warnanya sendiri untuk menambah kehidupan yang ada. Keyakinan yang Vil pegang saat ini adalah keyakinan bahwa semua orang bisa menjadi prontagonis atau antagonis atau peran lain dikehidupan nyata tergantung warna hatinya masing-masing.
Pentas yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu berakhir dengan pengangkatan Deuce Spade menjadi seorang raja. Dan kemudian memilih untuk berziarah ke makam teman kecilnya sekaligus menyatakan perasaan bahwa ada rasa lain dalam dirinya selain sebatas pangeran dan pengawal.
Hampir—hampir saja Vil menangis jika saja Rook tidak keburu mengapresiasi pertunjukan panggung yang sudah selesai itu sambil bertepuk tangan saat semua anak kelas satu yang berpartisipasi dengan cerita yang bertajuk Red Thread.
Ya Tuhan.. menarik sekali. Bibirnya tidak berhenti membentuk sudut saat tidak sengaja saat kedua pasang manik cerulean dan amethyst saling bertemu sepersekian detik.
"Dia hebat."
White Feather
Andela tidak pernah berpikir bahwa Vil akan memanggilnya kembali untuk mengunjungi Pomefiore. Persis setelah pentasnya selesai, Vil menghilang selama tujuh belas hari. Jelas, menghilangnya orang yang dikagumi membuat sedikit tidak bersemangat saat hari-hari liburnya diisi dengan kegiatan biasa, atau berkunjung ke Heartslabyul sesekali.
Riddle mengizinkannya datang kapan saja. Dan sang tokoh utama sering datang kesana untuk sekedar main atau belajar membuat kue dengan salah satu kakak kelasnya—Trey Clover—yang selalu memperingatkannya untuk menggosok gigi sebelum tidur.
Kaus lengan pendek mangenta dengan cardigan lilac serta rok berwarna iris di bawah lutut menjadi pakaian santainya untuk mengunjungi Pomefiore. Hatinya sungguh mantap ingin segera mengunjungi Pomefiore secepat mungkin, namun tepat saat dirinya melewati cermin dan sampai pada hutan yang lebat, dimana suara burung menyanyi merdu, sinar mentari yang menembus pohon-pohon, serta suara tupai yang saling berkerjaran diantara ranting pohon masih membuatnya takut untuk melangkah sendiri.
"Hai." Sapa seseorang.
Saat hati masih deg-degan ragu untuk berjalan sendiri, telinganya dengan jelas mendengar sebuah sapaan. Yang pasti sapaan untuknya, karena tidak ada siapapun selain dirinya yang masih berdiri tegang di luar bangunan yang tertutup oleh akar yang merambat.
Manik ceruleannya berbinar saat tahu Epel-lah yang menyapa,
"Kak!" panggilnya cepat, "Aku cukup takut masuk ke hutan sendirian." Andela tidak mau terlalu lama berdiri kaku melirik sana sini ketakutan mendengar suara hutan, apapun itu. Ranting, angin, bahkan suara burung yang mengepak pun terdengar jelas.
Epel yang tiba-tiba berada di sisinya membuatnya sedikit tersenyum. Raut wajah Epel selalu datar seperti biasa, namun saat bertemu anak perempuan yang usianya sama dengannya, Epel tak ragu untuk memberikan senyuman.
"Maaf ya, senior Rook sepertinya sedang berburu diluar. Dan aku yang menjemputmu." Katanya dalam sela-sela tapak kaki di hutan. Yang menimbulkan suara pecah dari ranting kering yang terinjak. Epel menggandengnya dengan lembut. Bagaimanapun yang ia bawa ini adalah anak perempuan, walau dia sendiri laki-laki yang cantik, Epel sebisa mungkin menjadi gentle saat tokoh utama kita berada di sekitarnya,
"Iya gak papa, kak."
Seperti biasa, Epel Felmier tidak banyak bicara. Namun saat sudah sampai pada bibir hutan yang menjadi halaman depan Pomefiore, Epel bilang bahwa ia sangat ingin menghabiskan waktu bersama anak perempuan yang mengangguk mengiyakan ajakannya. Sebelum Epel hilang sekejap.
"Sudah sampai?"
Aromanya sangat harum bagai bunga lily pegunungan. Vil berdiri tepat dihadapannya, bertolak pinggang sambil menyunggingkan senyum yang begitu tipis. Pemuda semampai itu menggunakan mahkotanya seperti biasa. Cantik seperti biasa. Anggun seperti biasa. Dan berkharisma disaat yang bersamaan sebagai seorang kepala asrama.
"Cantik kak. Urusannya sudah selesai?"
Vil mengangguk sekali.
"Sudah."
Keheningan tercipta beberapa saat, hanya beradu pandang sebelum si tokoh utama sadar akan sesuatu yang mau diberikan untuk seseorang yang dikaguminya,
"Oh ya. Lupa. Aku tahu ini mungkin terlalu sederhana. Dan aku tidak tahu lagi harus memberikan apa untuk kak Vil. Kakak juga sudah punya semua yang kakak inginkan."
Tatapan Vil berubah. Yang tadinya datar seperti biasa, kini manik amethyst itu berkilat lurus-lurus saat kedua tangan lain sedang menunjukan satu buah kotak kecil berwarna violet. Vil menerima kotak itu, bisa Vil lihat tangan yang memberi itu sedikit gemetar.
Entah takut dicecar, atau takut Vil menolaknya mentah-mentah. Tapi yang pasti, Vil senang menerima hadiah dari anak perempuan ini,
"Dasi?"
"Iya aku menjahitnya sendiri."
Pemuda itu tersenyum tulus akhirnya. Tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya terhadap hadiah sederhana yang didapat. Apalagi itu buatan tangan. Sebuah dasi berwarna putih, dengan bodiran emas menyerupai sebuah mahkota seperti yang ada pada kerah kemejanya.
"Rook bilang, kau mengagumiku." Tanya Vil memastikan satu hal yang ia mau dengar sendiri jawabannya. "Benar begitu?"
"Iya."
"Kenapa? Apa alasanmu mengagumiku?" Sorot mata Vil disana penuh rasa ingin tahu. Serta sorot mata Andela adalah sorot mata yang tulus. Tidak pernah berbohong untuk mengucap apapun, sorot mata orang yang dapat dipercaya,
"Kak Rook menceritakanku banyak hal." jawabnya. Ada jeda sejenak sampai kedua tangan kecilnya terangkat. Ia mengaitkan kedua tangannya sendiri sambil bercerita kepada Vil, kenapa ia begitu mengaguminya.
"Aku juga mau banyak belajar dari kakakk, namun aku ragu sepertinya."
"Kenapa?"
"Karena aku yakin, kak Vil tidak akan mudah mengakui manusia biasa sepertiku."
Aku.. mengakuimu.
Angin berhembus kencang memainkan tiap helai surai masing-masing insan. Andela yang memiliki manik bak rintik hujan itu melebar saat tahu tangan Vil berada di atas kepalanya. Bibirnya tersenyum lebar saat mendengar perkataan yang keluar dari mulut sang aktor,
"Itu jawaban yang aku simpan sendiri, kau bisa mempelajari banyak hal dariku. Pomefiore akan selalu terbuka jika kau ingin belajar disini."
Bakat yang dihasilkan anak perempuan ini memang tidak bisa dibilang wah, tapi ada satu keindahan tersendiri yang dihasilkan olehnya. Vil masih belum paham apa keindahan yang bisa dikeluarkan dari anak ini, namun Vil ingin tahu sendiri. Vil mau mengajarinya banyak hal selama anak ini mampu menahan semua bimbingan yang diberikan Vil,
"Namun aku tidak akan mudah padamu, ingat."
Elusan di kepala itu, sama seperti malam sebelumnya. Saat lantai marmer menjadi pemandangan,
"Tangan kakak ya?"
"Apa?" Vil menanggapi sambil mengajak si anak perempuan itu memasuki Pomefiore. Tangan Vil yang lain saat ini tengah berada di belakang punggungnya, memperingatkan untuk tetap berjalan dengan tegap,
"Yang malam itu, itu tangan kakak?"
Kedua alis Vil hampir menyatu. Sebentar, ia mecoba mengingat malam mana yang dimaksud gadis ini... ah, malam mana lagi selain yang itu, ya? Jelas-jelas memang tangannya. Namun karena anak perempuan itu sangat takut untuk mengangkat kepalanya, ia hanya bisa berharap itu tangan Vil.
"Iya tanganku."
Anak perempuan itu memekik kegirangan.
"Lakukan lagi kak! Aku mau tangan kakak tetap berada di atas kepalaku." Pintanya tanpa ragu.
Vil tidak tahu lagi apa yang membuat murid barunya ini begitu senang saat Vil meletakkan tangan di ubun-ubunnya. Vil tidak perlu tahu alasan anak itu namun yang pasti, saat ini ia tengah senang saat lagi-lagi tangan Vil berada di atas kepalanya.
Spending time with You made me experience a new kind of Happiness.
[Vil Schoenheit]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top