3. Kedekatan yang Tak Disadari
wooo sudah berapa lama aku nggak ngelanjutin fic ini? #cakarTembok
Mohon jangan dibuli, mungkin akhir2 ini bakal semakin lelet update, karena ya ... seperti biasa, urusan di dunia nyata itu ... tidak bisa ditinggalkan ._. #sokSibuk #padahalKerjaannyaTidurMulu
Selain itu akhir2 ini list laguku jg genrenya ngedark2 .. jadi semacam... susah untuk ngefeel yg romance2.
Lalu untuk Metz-kun, mohon ampun ... Alz jadi begini #jungkirBalik #Sungkem chapter ini gueje sumpah. Aku ngeblank ... fantasiku berubah menjadi putih semua @.@ #berkunang2
Ah sudahlah. Selamat dinikmati saja kalau begitu.
With Love, pepperrujak
.
.
Mirror//replicA by Moccametz
The Hidden Assassin by pepperrujak
.
.
.
Ini hari ke lima sejak perjanjian Alz dan Gekko dimulai. Dua remaja yang sama-sama minim ekspresi itu jadi lebih sering bertemu, bahkan dua hari lalu mereka menghabiskan waktu sepanjang hari untuk berwisata kuliner di Warden selatan. Sepertinya hubungan mereka sudah mulai semakin akrab.
“Nih, hari ini aku kasih bonus satu kotak,” Alz menyerahkan kantung plastik berisi empat kotak susu pada Gekko.
“Hn,” Gekko pun menerimanya dengan senang hati. Ia bahkan tanpa sungkan segera menyamankan dirinya untuk duduk di bangku taman, kemudian meminum semua susu di dalam kantong plastik dengan sangat cepat.
Alz sudah biasa dengan Gekko yang seperti itu. Meskipun awalnya terkejut, tapi lama-lama ia sudah tidak perduli.
“Hei,” Gekko memanggil. Ia sudah selesai dengan urusan kotak-kotak susu di tangannya, baru saja ia membuangnya ke tong sampah.
“Hn?” dan Alz menyahuti cuek. Sama persis seperti Gekko saat menyahuti perkataannya.
“Hari ini aku ingin bersepeda. Kau akan menemaniku kan?” pertanyaan Gekko itu lebih terdengar seperti perintah dibanding permintaan bagi Alz.
“Bersepeda ke mana?” tapi karena Alz memang sedang tidak melakukan apa-apa, ia pun memberi pertanyaan balik sebagai respon menyetujui.
“Berkeliling Warden?” ujar Gekko ragu.
“Warden selatan?”
“Warden mana saja. Bukankah kemarin kita sudah mengelilingi Warden Selatan?”
“Baiklah.” Alz bangkit berdiri. Tanpa bertanya-tanya lagi, ia sudah tau keinginan Gekko.
“Hn, terima kasih,” Gekko menyusul Alz yang sudah melangkah lebih dulu, ia mensejajarkan langkahnya dengan Alz. Tanpa bertanya-tanya pula, Gekko pun sudah tau bahwa Alz akan menuruti permintaannya meskipun sedikit merepotkan.
“Ya,”
Padahal baru lima hari mereka bersama, tapi mereka bahkan sudah bisa berkomunikasi tanpa banyak bicara. Apa karena mereka tipe orang yang sama?
.
.
.
Part 1
North Wardenlicht
.
Gekko mengayuh sepedanya pelan, Alz duduk bersila di boncengan sambil menghadap ke belakang.
Bukan karena Alz tidak punya belas kasih sampai membiarkan Gekko yang mengayuh sepeda dari Warden Selatan sampai Warden Utara, tapi memang Gekkonya yang sedang ingin mengendarai sepeda. Gadis pucat itu memang punya stamina seperti Titan (menurut Alz), karena dia sama sekali tak merasa lelah meskipun sudah mengayuh sepeda dari Warden Selatan sampai Warden Utara dengan Alz di boncengan.
“Pantas saja kau makan seperti kuli,” ejek Alz di sela-sela percakapan ringan mereka di atas sepeda.
“Hn,” dan begitulah Gekko akan menanggapi setiap ejekan yang dilontarkan Alz.
Mereka memang seperti itu, Alz pun selalu menanggapi ejekan Gekko dengan ‘hn’ yang tidak jelas. Mereka memang tipe orang menyebalkan yang sama. Pantas saja dalam waktu singkat sudah bisa sangat rukun.
CKIIIT!
Gekko mengerem sepedanya mendadak. Matanya menatap datar pada sebuah restoran unik yang dinding-dinding serta tiangnya terbuat dari bambu. Bahkan meja-meja kecil di sana pun terbuat dari bambu. Di atas restoran itu tertulis dengan jelas nama restoran yang berbunyi:
“INDONESIA PUNYA RASA! (Warung Lesehan Bambu)”
Gekko pun akhirnya membelokkan sepedanya, menuju restoran bambu yang sepertinya milik orang Indonesia itu.
“Aku ingin makan,”
Ucapan singkat Gekko menjelaskan semuanya, Alz sudah sangat paham. Ini artinya, Gekko siap menghabiskan uang bulanannya hanya untuk memborong makanan. Alz tahu bahwa Gekko adalah tukang makan sejak dua hari lalu ketika Gekko mengajaknya berwisata kuliner.
Setelah turun dari sepeda, dua remaja berwajah datar itu pun melangkahkan kaki ke dalam restoran. Tanpa banyak basa-basi, mereka mengambil tempat untuk duduk di gazebo kecil yang ada di luar restoran.
Seorang pelayan berseragam batik menghampiri Gekko dan Alz, ia menyerahkan menu makanan dengan ramah, kemudian pergi setelah Gekko memberi tahu apa saja pesanannya.
“Bukannya uang bulananmu sudah habis?” tanya Alz sedikit malas. Ia menopang dagunya dengan sebelah tangannya.
“Hn, Uang dari Ayah memang sudah habis, tapi uang bulanan dari Yuki masih utuh,” jawab Gekko tanpa ragu.
“Hmm~~ Boros sekali kau ini,”
“Hn,”
.
.
.
Part 2
Alz meminum jus alpukatnya dengan tenang, membiarkan Gekko dengan berbagai makanan di hadapannya. Gekko tadi memesan satu porsi sate kambing, satu mangkuk soto, satu piring rendang, sepiring nasi goreng, seporsi ayam penyet dan lima gelas es teh. Meskipun Alz sudah lumayan terbiasa, tapi dia tetap geleng-geleng kepala.
“Kau sepertinya sudah sangat tahu makanan mana saja yang enak. Pernah ke Indonesia?” tanya Alz memulai lagi pembicaraan.
Gekko mengangguk, ia tampak sibuk dengan semangkuk soto yang ia tuangi kecap banyak-banyak. “Dulu aku pernah ke sana,” jawab Gekko.
“Untuk membunuh?”
“Ya,”
“Sedih sekali hidupmu. Keliling dunia tapi hanya untuk membunuh orang,” Alz tersenyum miring, mengejek. Ia tidak akan sungkan mengatakan hal demikian pada Gekko, karena Alz tahu bahwa Gekko tidak akan tersinggung sama sekali. Alz bisa tahu dari aliran jiwa Gekko yang dia rasakan. Lagipula Gekko juga selalu mengatakan hal buruk tentangnya tanpa sungkan, jadi Alz menganggap mereka impas.
“Hn, terima kasih ejekannya,” ujar Gekko tak perduli. Ia mulai menyuap soto dari mangkuknya perlahan.
“Sama-sama,” Alz pun tersenyum ringan. Ia menyeruput lagi jus alpukatnya, masih dengan senyum aneh yang jarang diperlihatkannya. Entahlah, akhir-akhir ini ia suka tersenyum aneh saat bersama Gekko.
“Kau tersenyum seperti itu kenapa? Mulai lapar?” tanya Gekko di sela-sela kesibukannya mengunyah makanannya.
“Tidak. Aku hanya senang bisa bersamamu,” ucap Alz jujur.
Gekko mengedikkan bahu. Ia menyendok lagi soto dari mangkuknya, tapi bukannya menyuap pada diri sendiri, ia menyodorkan sendok berisi potongan ayam dan kuah itu pada Alz.
“Buka mulutmu aa~~,”
“Aa~~,”
Dan berakhirlah dua orang itu melakukan suap menyuap makanan. Meskipun dalam hal ini hanya Gekko yang menjadi penyuap, sedangkan Alz adalah raja yang dengan senang hati disuapi.
“Terlalu banyak rempah-rempah,” komentar Alz jujur dan ditanggapi Gekko dengan anggukan ringan.
“Meskipun sangat berkolesterol, tapi sangat enak. Lain kali cobalah masak yang seperti ini,”
Alz mengangguk.
Mereka mengobrol ringan sembari menikmati berbagai makanan Indonesia pesanan Gekko, tanpa memeperdulikan seorang anak laki-laki yang menatap mereka penuh kecurigaan dari trotoar di depan restoran.
.
.
.
Part 3
.
Pemuda tampan dengan rambut hitam dan kulit putih seperti orang Eropa itu bernama Schveir Arthams, tapi orang-orang lebih sering memanggilnya Eir.
Pada siang hari yang cukup cerah, Eir melangkahkan kakinya ringan karena ingin ke tempat makan yang membuat kerinduan akan tempat kelahirannya terpuaskan. Yaitu sebuah rumah makan Indonesia satu-satunya Yang berada di Warden Utara. Nama rumah makan itu adalah:
“INDONESIA PUNYA RASA! (Warung Lesehan Bambu)”
Entahlah, hari itu Eir sedang nyidam gudeg Yogya nampaknya.
Dari jarak beberapa meter, Eir sudah merasakan aliran jiwa dari seseorang yang sangat dikenalnya. Saat ia mengikuti di mana aliran jiwa itu berada, kakinya malah membawanya ke tempat yang sama yang menjadi tujuan awal perjalanannya, yaitu sebuah rumah makan khas Indonesia dengan bambu sebagai tema suasananya. Dan ketika ia berada di trotoar di depan tempat tujuannya, alangkah terkejutnya Eir ketika melihat Alz (si pemilik aliran jiwa) sedang bermesra-mesraan dengan seorang gadis berkulit pucat.
“Waaaaa!!! Apa benar itu kau Alz?!!” Eir bahkan tidak segan berteriak karena ia begitu terkejut. Kakinya berlari dengan kecepatan luar biasa untuk menghampiri Alz. Sampai di depan Alz, Eir hanya bisa melongo sambil menatap Alz dan si gadis secara bergantian.
Alz bukannya tidak menyadari kehadiran Eir sejak tadi, hanya saja dia memang sedang tidak ada urusan dengan Eir, jadi dia tidak begitu perduli.
“Setelah berteriak di trotoar, sekarang kau menghampiriku? Membuat malu saja,” ujar Alz ketus sebagai reaksi atas tindakan Eir yang berlebihan itu.
Eir tidak memperdulikan ucapan Alz, ia malah dengan seenaknya ikut duduk di samping Alz sambil terus memandangi Alz dan Gekko (si gadis pucat) bergantian.
“Di ... dia pacarmu?” Eir menunjuk Gekko. “Kukira kau sedang dekat dengan Reisa ... dan kukira adikmu tidak akan mengijinkanmu pacaran,” lanjut Eir terburu-buru dan penuh selidik.
“Bukan. Kami hanya kenalan,” jawab Alz kurang berminat. Ia agak malas menghadapi reaksi Eir yang berlebihan padanya.
“Hmm? Yang benar?” Eir masih tidak percaya. Keningnya mengernyit, masih curiga. “Tapi aku tadi melihat dia,” Eir menunjuk Gekko, “menyuapimu,” kemudian menunjuk Alz.
“Lalu, ada yang salah?” tanya Alz malas.
“Bu ... bukannya salah. Hanya saja ... kalau cuma kenalan mana mungkin suap-suapan seperti sepasang kekasih!” Eir masih ngotot.
Alz menghela napas, benar-benar ‘males banget’ menanggapi Eir. “Kau dari tadi menunjuk-nunjuk Gekko seenaknya tanpa memikirkan perasaannya. Cepat minta maaf sebelum dia nangis,” ucap Alz berusaha mengalihkan pembicaraan.
Eir tersentak, menyadari kesalahannya. “Ma ... maafkan aku,” dan ia pun membungkukkan sedikit bahunya mengahadap Gekko. Minta maaf.
“Hn,” dan si pucat memberi reaksi tidak jelas seperti biasanya.
“Aku benar-benar minta maaf ... urm ... Nona ...??” Eir memiringkan sedikit kepalanya, berusaha meminta informasi tentang nama gadis di depannya.
“Aku Gekko Hakai,”
“Ah ya, Hakai ... –san. Aku Schveir Arthams. Panggil Eir saja,” ujar Eir nyengir kuda.
“Hn, panggil aku Gekko,” sahut Gekko sopan. Ia menganggukkan sekali kepalanya untuk bersopan santun, kemudian lanjut dengan sate dan rendang yang masih belum dihabiskannya.
Eir pun garuk-garuk kepala. Tidak tahu harus bicara apa lagi dengan Gekko. Maka, ia pun mengalihkan perhatiannya pada Alz lagi.
“Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Bersama Gekko-san, kemudian suap-suapan?” Eir masih belum menyerah. Ia mencecar Alz dengan pertanyaan yang sama, lagi.
“Menemani Gekko jalan-jalan,” jawab Alz seadanya.
“Heee? Hanya itu?” Eir mengernyit lagi. “Benar hanya itu, Gekko-san?” dan kini ia beralih pada Gekko lagi.
Gekko mengangguk. “Ya, aku sedang ingin jalan-jalan dan Alz menemaniku,”
“Tapi, bener nih kalian tidak ada hubungan khusus? Pacaran misalnya?”
“Tidak,” Alz dan Gekko menjawab serentak.
“Ko ... kompak sekali,” Eir berjengit kaget. “Tapi ... suap-suapan itu ...,”
“Hn, itu karena Alz tidak akan mau makan jika tidak disuapi. Kenapa? Kau juga mau kusuapi?” Gekko menatap Eir tajam. Wajahnya yang datar dan pandangan matanya yang judes itu sedikit membuat Eir gentar.
“Ti ... tidak. Terima kasih. A ... aku pesan makanan saja kalau begitu,” Eir pun ngacir pergi dengan alasan ingin memesan makanan. Padahal sebenarnya pelayan akan datang ke tempatnya jika dipanggil. Hanya saja, Eir memang sedang ingin menjauh sebentar dari Alz dan Gekko, cuma untuk melihat interaksi dua manusia yang sama-sama minim ekspresi itu dari jauh.
Dan kesimpulan Eir saat itu adalah ... “Mereka pasti benar-benar pacaran,” yah ia masih ngotot dengan pemikiran awalnya.
.
.
TBC
27 Maret 2015
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top