03 💫 Memanggil Teman.
Badannya lemah termakan penyakit, kulitnya panas terbakar oleh luka-luka luar, batinnya berteriak, dan matanya menangis. Meski begitu, ia sulit untuk membenci. Seorang wanita dewasa yang baru saja menendangnya hingga terpelanting di lantai itu pernah mencintai dan mengasihinya dengan baik. Menurutnya, mungkin sang ibu masih berduka dan tidak bisa mengendalikan diri. Tidak apa. Kasih sayang yang diberikan ibunya di masa lalu jauh lebih besar dan berharga dibanding luka-luka saat ini yang tidak seberapa.
"Anak pembawa sial! Berteman saja kau dengan iblis! Manusia tidak akan sudi dekat-dekat dengan anak sial sepertimu." Itu adalah kalimat yang sudah sering didengar dari sang ibu.
"Tapi ... tapi Ibu harus datang ke sekolah. Guru mengatakan Theressa tidak bisa ikut ujian jika Ibu tidak hadir. Theressa mau Ibu datang." Anak itu, Theressa meminta dengan mata berlinang.
"Hei, biar kuberitahu, ya, anak sial. Aku dapat mimpi dari Tuhan, kalau kau melakukan ritual kau bisa memanggil iblis. Berteman saja dengan iblis dan suruh dia ke sekolahmu. Aku tidak sudi." Ibunya menolak, lantas melenggang pergi.
Tidak mau ditinggal begitu saja, Theressa mengejar sang ibu. Tangan kecil Theressa spontan bergerak, menyentuh ujung baju yang dikenakan ibunya dan menggenggamnya dengan kuat.
"Anak sialan!" Tangan itu ditepis dengan kasar, tak luput pula tamparan keras di wajah basah Theressa. Sang ibu yang baru saja tersadar air mata Theressa menempel pada telapak tangannya pun membulatkan mata. "Kau sialan! Mati saja kau sana! Kalau bukan karena yayasan perlindungan anak mengawasiku, aku tidak sudi membiarkanmu tinggal di sini! Lihat ini! Tanganku basah dan apa kau bisa bertanggung jawab jika aku mati karena tertular AIDS yang kau derita, hah?"
Theressa menangis sejadi-jadinya, kakinya lemas hingga terduduk di lantai. Pergelangan kecil anak itu mengusap air mata yang tak kunjung bisa dihentikan. Ada rasa penyesalan dan bersalah yang besar di dalam hatinya. Sungguh, ia tidak mau jika ibu yang telah melahirkannya ke dunia sampai tertular dan menderita.
"I-Ibu, maaf. Theressa tidak sengaja. Theressa tidak ingin Ibu tertular dan hanya ingin Ibu bahagia," ucap si anak dengan tangisnya yang belum reda.
Amarah sang ibu semakin berkobar. Mulutnya berdecak, lidahnya membawanya bertutur, "Bahagia? Kematianmu akan menjadi hal paling membahagiakan untukku. Aku jadi tidak perlu repot mengurus anak penyakitan pembawa sial sepertimu."
Pintu kamar Theressa ditutup dengan kasar ketika sang ibu telah pergi keluar. Theressa bisa mendengar suara kunci dari luar sana. Ia bergegas ke arah pintu dan mencoba membukanya tetapi gagal. Jika sudah seperti ini, Theressa tahu bahwa ia akan dikurung setidaknya paling cepat satu hari penuh.
"Theressa cuma ingin Ibu datang ke sekolah," gumam Theressa yang kembali menangis di lantai dingin.
Ucapan ibunya terngiang-ngiang di kepala. Katanya, ia tidak bisa berteman dengan semua manusia. Apa karena itu, ia tidak punya teman di sekolah? Guru-guru juga memperlakukannya berbeda, lingkungan di tempat tinggalnya juga tak memandang ia dengan baik. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, ingin rasanya ia memiliki teman. Selayaknya anak tetangga yang bermain kejar-kejaran melewati halaman rumahnya. Namun, dengan kondisinya yang penyakitan, Theressa tahu bahwa tidak mungkin ia memiliki interaksi demikian.
Theressa bangun setelah cukup lama menangis hingga terisak. Langkah kakinya yang tertatih membawa ia sampai di kursi dekat meja belajar. Di sana, ia mengambil sebuah komik yang menceritakan tentang seorang anak lelaki pemanggil iblis. Diceritakan bahwa sang iblis bisa mengabulkan tiga permintaan bahkan yang paling mustahil sekalipun.
Sang ibu juga berkata bahwa telah mendapatkan mimpi petunjuk. Seorang ibu tidak mungkin berbohong, kan? Apapun rasnya, selama bisa berbuat baik, maka ia bisa dikatakan teman. Theressa kecil yang polos dan baik hati itu menyunggingkan senyum lebar. Ia membolak-balik halaman demi halaman komik sehingga tiba di bagian yang memunculkan adegan anak lelaki melakukan pemanggilan.
Di komik tersebut, ada gambar berbentuk lingkaran dengan segitiga di tengahnya. Lalu gambar bola mata menjadi pusat dari bentuk tersebut. Dijelaskan di sana bahwa si anak dalam komik menggambarnya dengan menggunakan darah.
Theressa awalnya tidak tahu dan hanya ingin coba-coba. Gadis polos itu mulai menggambar dengan pulpen di atas meja, membentuk persis seperti yang ditampilkan dalam komik. Darah yang masih basah pada bagian tubuhnya bekas dipukuli sang ibu masih belum kering. Ia menyentuh bagian itu dengan sedikit meringis karena sakit. Lantas, ujung jarinya yang sudah ternoda oleh darah dioleskan pada gambar kecil yang ia buat.
"Jika ucapan Ibu benar, maka engkau bisa datang, bukan? Engkau mau berteman denganku, kan? Ayo, datanglah. Aku punya permintaan untuk engkau kabulkan." Theressa berucap.
Hampir kecewa pada menit-menit awal karena tidak terjadi apapun. Sampai merasakan guncangan pada meja tempat ia menggambar simbol tersebut. Seperti gempa hingga kursi yang didudukinya juga ikut bergetar. Theressa mundur meninggalkan meja itu, mendekat ke arah tempat tidurnya dengan perasaan takut. Mata bulatnya masih memandang ke arah meja yang perlahan-lahan mulai mengeluarkan cahaya keabuan dan pudar. Ada kepulan asap-asap hitam seiring perlahan-lahan mewujud menampilkan tubuh seukuran manusia dewasa.
Theressa tidak bisa berkedip, jantungnya berdebar kencang. Ia takut. Napasnya tersendat-sendat dan mulutnya menganga lebar. Sosok yang datang menemuinya kini berdiri di atas meja belajar. Sosok seorang lelaki dewasa dengan sayap hitam yang besar, matanya merah menyala, ada taring di giginya saat menyeringai. Tanduk besar dan panjang di kepala lelaki itu membuat Theressa gemetaran.
"Wujudku menyesuaikan dengan kepercayaan manusia." Iblis itu berkata. Ia melirik ke arah komik yang masih terbuka di atas meja. Penampilan iblis dalam komik itu mirip dengannya. Lantas ia kembali menatap sosok anak kecil rapuh yang kini terduduk lemas di atas tempat tidur sambil memeluk lututnya. "Pejamkan matamu, anak kecil. Aku bisa mewujud sesuai dengan yang kau bayangkan."
Theressa spontan menurut begitu saja. Ia membayangkan bahwa teman yang ia panggil adalah anak sebayanya, seperti anak lelaki tetangga yang selalu lewat di halaman rumahnya. Lantas, ketika Theressa membuka mata, wujud iblis itu sudah berubah seperti yang ia bayangkan. Hanya saja, warna matanya masihlah sama.
"Jadi, apa yang engkau inginkan, anak kecil?" Iblis itu bertanya.
Ketakutan Theressa sudah menghilang seiring wujud iblis yang berubah. Ia memberanikan diri untuk mendekat, pun dengan si iblis yang kemudian duduk bersebelahan di samping Theressa yang duduk di lantai dengan bersandar pada ranjang.
"Apa Tuan Iblis mau menjadi temannya Theressa?"
"Itu bukan permintaan. Tapi, tentu saja. Aku adalah temanmu sampai akhir hidupmu nanti." Jawaban itu membuat Theressa senang.
"Jadi siapa nama Tuan Iblis? Teman itu saling kenal, kan?"
"Amon Arc Demonica."
"Nama yang bagus, Amon." Theressa menanggapi sembari bertepuk tangan. "Theressa pikir akan gagal memanggil teman. Theressa hanya mengikuti komik."
Amon lantas kembali berdiri, melihat komik di atas meja yang menampilkan simbol pemanggilan iblis. "Ya, kalau bukan karena rajaku mengawasimu, ritualmu ini sudah pasti gagal. Cara memanggil iblis tidak seperti ini."
Theressa memiringkan kepalanya, ia tidak bisa mengerti dengan apa yang diucapkan Amon. "Apa maksudmu?"
"Tidak apa. Maksudku, Rajaku memintaku membantumu meski ritualmu tidak sesuai."
Jawaban Amon masih sulit dimengerti Theressa. Akan tetapi setidaknya ia tahu bahwa Amon jelas akan membantunya. Theressa tersenyum begitu manis. Dalam otaknya sudah memikirkan tiga permintaan yang akan ia utarakan pada sang iblis.
.
🌹 Amon Arc Demonica 🌹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top