01 💫 Kilas Kehidupan.

Ada satu cermin ajaib yang bentuknya bulat besar, melayang di awan-awan dengan sepasang sayap putih menempel pada sisi kanan dan kiri ukiran pinggiran cermin. Jika biasanya cermin merefleksikan apapun di depannya, ini tidak begitu. Bagian tengahnya membentuk pusaran bening, ada sesuatu seperti tayangan film di dunia manusia yang ditampilkan. Namun, cermin di kahyangan tidak menampilkan sebuah film, melainkan kehidupan dari sosok manusia di dunianya.

Sang Malaikat Agung tengah memandangi perjalanan hidup dari seorang manusia yang dalam beberapa tahun terakhir ini menarik perhatiannya. Dewa Kehidupan telah memberikan tugas sejak pertama kali ruh ditiupkan pada janin sang ibu, bahwa jiwa itu akan diantar olehnya jika tiba waktunya kematian. Pada mulanya tidak ada yang spesial, tidak ada sesuatu hal apapun yang membuat Gabriel menaruh perhatian pada jiwa tersebut. Namun, ia mulai lebih memperhatikan jiwa itu tatkala sudah menginjak usia empat tahun hingga kini ajal telah menjemput.

"Masih memandangi jiwa terkutuk itu, Ya Gabriel?" Malaikat lain yang saat itu bersama dengan Gabriel bertanya.

"Theressa bukan jiwa terkutuk," jawab Gabriel lemah.

Manik biru teduhnya beralih menatap sesosok jiwa yang kini sudah berada dalam genggamannya. Jiwa itu membentuk bulatan cahaya, bukan putih bersih atau pun terang benderang, buram dengan seberkas cahaya redup dan ada asap hitam di sekitarnya. Senyum di wajah tampan sang Malaikat Agung bernama Gabriel itu menyiratkan akan kesedihan.

"Ya Gabriel, seorang malaikat agung tidak diperkenankan para Dewa untuk menaruh simpati lebih jauh pada jiwa manusia."

Meski tidak diingatkan, Gabriel mengetahui itu. Namun, ia tidak bisa berbohong pada sesuatu yang terus menerus bergejolak di dalam dadanya. Malaikat seharusnya tidak memiliki perasaan sehingga Gabriel tidak bisa menyimpulkan apa yang dirasakannya saat ini. Matanya bahkan tidak bisa berpaling dari jiwa dalam genggamannya saat ini dan mengabaikan tugas mengantar ke tempat peristirahatan terakhir.

Atau lebih tepatnya, Gabriel enggan untuk mengantarkan jiwa suci itu ke neraka sebagai tempat akhir kekal baginya sehingga sengaja berlama-lama di kediaman, melewati jadwal pengantaran yang sudah terlewat cukup lama.

"Jiwa suci ini tidak seharusnya di neraka." Gabriel bergumam.

"Engkau mengetahui mengapa jiwa itu terkutuk, Ya Gabriel." Malaikat itu kembali berkata.

Gabriel terdiam. Rekan malaikatnya itu akhirnya memutuskan pergi dari sana.

Gabriel tahu, sangat tahu mengapa jiwa Theressa harus diantarkan ke neraka, kekal di dalamnya tanpa ada secercah harap ampun akan pengangkatan jiwa ke dalam surga. Namun, ingin rasanya Gabriel menolak fakta dan lebih mempercayai tentang penglihatan masa depan yang ia lakukan dulu bahwa Theressa sepenuhnya adalah manusia baik hati yang layak ditempatkan di surga tertinggi.

Sekali lagi, Gabriel memperhatikan kilas balik kehidupan Theressa melalui cermin miliknya. Mulai dari pertama kali Theressa dilahirkan, hidup dalam sebuah keluarga penuh kekurangan tetapi dibanjiri kebahagiaan dalam kesederhanaan. Tawa Theressa kecil di masa itu membuat Gabriel ikut tersenyum. Namun, semuanya berubah ketika di usia empat tahun, keluarga mereka hendak berlibur dan terjadi kecelakaan. Ayah Theressa meninggal, gadis kecil yang mendapat donor darah untuk menyambung hidup itu harus mendapatkan penyakit AIDS yang tidak bisa disembuhkan. Sang ibu justru meluapkan duka dan kesedihan dengan menyakiti Theressa kecil setiap hari.

Penuh derita. Itu cocok untuk menggambarkan kehidupan Theressa pasca kecelakaan tersebut. Gabriel menatap sedih pada cermin yang kini mempertontonkan kehidupan Theressa di sekolah. Cacian, makian, hinaan, dan menyakiti fisik sering diterima. Sudah disakiti di rumahnya, pun sekolahnya. Lingkungan dan dunia Theressa seakan hendak membaut gadis itu jauh lebih menderita.

Namun, di tengah penderitaan Theressa yang bertahun-tahun berlalu tak ada habisnya, gadis itu tetap baik hati dan putih hatinya. Gabriel tersentuh pada kebaikan sang gadis karena baru pertama kali ia melihat jiwa yang memiliki kebaikan tanpa cela. Rasanya, Gabriel tidak ingin percaya dengan apa yang dilakukan Theressa di ujung kehidupannya.

Pemikiran Gabriel berusaha menyangkal, ia menanamkan bahwa yang dilakukan Theressa itu juga adalah kebaikan. Melindungi orang-orang di sekitarnya dengan mempertaruhkan dirinya sendiri adalah kebaikan. Namun, mengapa jiwa Theressa harus kekal di neraka? Ah tidak, Gabriel tidak perlu mempertanyakan itu karena ia memang sudah mengetahui jawabannya. Akan tetapi, ia tidak bisa. Tugas mengantarkan jiwa Theressa ke neraka terlalu sulit untuk dilaksanakan.

Lantas, Gabriel memandang langit-langit surga. Awan-awan putih menggumpal, cerah dan indah. Jauh dari kediamannya di tahta surga, gerbang surga untuk jiwa manusia terlihat bercahaya. Gerbang emas yang akan dilewati oleh jiwa baik hati, pun jiwa pendosa yang telah mendapatkan penyuciannya di neraka, serta jiwa pendosa yang taubatnya diterima.

Ia tersenyum tipis, menyembunyikan perasaan miris. Akankah Theressa bisa melewati gerbang tersebut?

"Aku tidak suka dengan ketidakadilan ini," ucap Gabriel pada bola jiwa di tangannya.

Sayap besar Gabriel bergerak, bulu-bulu putih bersih dan lembutnya meregang ketika sang Malaikat Agung itu mulai mengudara dan melesat cepat. Wajahnya kini berubah datar tanpa ekspresi. Kepakan sayap Gabriel membawanya tiba hingga pintu utama gerbang neraka. Ia disambut oleh seseorang yang tidak biasa.

Kening Gabriel mengernyit dalam. Tidak biasanya, pintu neraka yang harusnya dijaga oleh dua orang iblis penjaga itu kini justru dijaga oleh pemilik neraka itu sendiri. Lucifer 'de Demonica, Raja Neraka dengan sayap hitamnya melayang tepat di depan pintu gerbang neraka.

Gabriel tidak ingin memusingkan apa yang terjadi karena bukan tanggung jawabnya. Namun, mulutnya tergerak untuk berkata, "Apa kiranya yang akan terjadi pada Theressa di sini?"

"Disiksa, mungkin. Bukankah jiwa pendosa memang harus dicuci di sini?" Lucifer menangapi dengan pertanyaan.

"Theressa bukan pendosa." Tutur kata Gabriel dingin saat mengutarakan hal tersebut.

Lucifer tertawa kecil. "Apa pun yang akan terjadi padanya di dalam neraka, bukan tanggung jawabmu. Bisa saja jiwanya menjadi makanan iblis bawahanku."

"Itu tidak lucu," balas Gabriel yang melihat tawa Lucifer semakin nyaring.

"Apa kau tahu sesuatu tentang kisah Malaikat Agung yang dibuang dari surga?" Lucifer tiba-tiba mempertanyakan sesuatu.

"Aku tahu." Itu adalah cerita ribuan tahun di masa lalu. Bahwa ada Malaikat Agung pada masanya melakukan dosa yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang malaikat hingga membawa murka para Dewa. Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai dosa apakah yang diperbuat oleh Malaikat Agung tersebut. Ada banyak versi cerita karena hanya dibincangkan melalui mulut ke mulut. Katanya, Malaikat Agung itu melahap jiwa yang seharusnya diantarkan, ada pula yang menyatakan bahwa ia jatuh cinta pada jiwa manusia, dan ada pula yang berkata bahwa sang Malaikat Agung menantang Dewa untuk melihat sejauh mana kekuatannya. Tidak ada yang pasti dari cerita-cerita itu.

"Alasan mengapa sang Malaikat Agung, Zakiel 'de Seraphim dijatuhkan dari surga adalah menghidupkan kembali manusia yang sudah mati." Pengakuan Lucifer membuat bola mata Gabriel membulat terkejut.

"Bagaimana bisa?" Itu adalah kemampuan yang setara dengan Dewa Kehidupan. Gabriel ingin menolak percaya tetapi wajah serius Lucifer dan setelah ia melihat ke dalam pikiran Raja Iblis itu, ia tidak menemukan kebohongan dari sana.

"Dengan memasukkan jiwa yang seharusnya diantar ke tempat peristirahatan terakhir ke bayi mati dalam kandungan." Lucifer mengatakan itu dengan seringai di wajah. Tangan Raja Neraka itu terangkat ke atas, jari-jari bergerak seiringan dengan pintu gerbang neraka yang dibuka. Ia kembali melanjutkan, "Jadi, apakah engkau Gabriel 'de Seraphim yang sudah memiliki simpati begitu dalam pada jiwa terkutuk itu mau memberikan jiwa itu padaku atau justru ...."

Meski sang Raja Neraka menggantung ucapannya, Gabriel tahu persis dengan apa yang hendak Lucifer katakan. Matanya menelisik ke balik punggung Lucifer, pintu neraka yang sudah terbuka lebar-lebar membuat Gabriel bisa mengintip bagian dalamnya. Api yang tidak pernah padam, menyala-nyala membakar jiwa-jiwa yang sudah mewujud dalam bentuk manusia dan penyiksaan-penyiksaan iblis yang ada di sana.

Lalu, Gabriel menunduk pada jiwa Theressa yang diambil di usianya yang baru menginjak sebelas tahun. Ia berpikir, anak kecil itu masih berhak untuk hidup lebih baik.

.


🌹 Gabriel 'de Seraphim 🌹

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top