7. Red Rose
Efek dari kejadian di hutan pinus waktu itu masih kurasakan hingga sekarang. Bagaimana aku yang selalu senyum-senyum sendiri kala mengingat saat Arun mengatakan aku cantik, atau aku yang terkadang melamun membayangkannya yang menggandeng tanganku ketika kami pulang dari sana.
Perasaan berbunga-bunga yang awalnya asing, kini mulai terbiasa aku rasakan. Bahkan, sekarang aku selalu bersemangat saat hendak berangkat ke sekolah, berbeda dengan dulu yang mana aku selalu merasa tertekan dan takut. Semua itu demi melihat dan bertemu dengan Arun. Meski sikapnya tetap dingin dan tak acuh ketika berpapasan denganku, tapi ada saat-saat di mana tatapan itu melembut saat mata kami tak sengaja bertemu.
Efek jatuh cinta itu ternyata luar biasa.
Seperti pagi ini, ketika aku hendak ke kantin seperti biasa untuk menyetor jualan bersama Illana yang berjalan di sebelahku. Aku melihat Arun yang datang dari arah berlawanan. Dia seperti biasa. Berjalan tanpa mengindahkan apa pun di sekitarnya.
Seketika aku mengulum senyumku sendiri. Jantungku berdebar, bahkan darahku rasanya juga berdesir saat dengan sengaja Arun berjalan melewatiku dan menyentuh pelan jemari tangan kiriku yang menggantung bebas. Seperti ada aliran listrik statis yang memberikan efek kejut ketika kulit kami bersentuhan.
Spontan aku mengangkat lengan kiriku dan meletakkannya di depan dada. Napasku mulai tersengal. Aku seperti terkena serangan jantung dadakan.
"Hai, kamu kenapa, Tha?" tanya Illana seraya menyenggol pinggangku dan menoleh ke belakang sekilas.
"Ah, nggak apa-apa, kok," jawabku sambil berusaha menstabilkan degup jantungku.
Illana memicingkan mata. "Kayaknya si Arun akhir-akhir ini lebih sering muncul di sekolah, ya? Dia habis mukulin anak kelas sepuluh di sekolah, harusnya dia di-DO atau minimal kena skorslah."
Apa Illana sedang bertanya soal Arun kepadaku? Dari nada bicaranya seolah sedang memancingku untuk mengatakan sesuatu yang kusembunyikan. Jujur saja, aku memang tidak bercerita tentang aku dan Arun ke Illana, sebab jika Illana tahu pasti dia akan jadi pihak paling tidak suka.
"Aku nggak tahu, Lan," jawabku jujur. Ya, aku memang tidak tahu kenapa. Apa karena aku atau karena hal lain. Entahlah.
Aku melanjutkan langkahku ke kantin yang sempat terhenti tadi. Illana mengikutiku dari belakang. Sepertinya dia belum puas dengan jawabanku.
"Yakin, Tha? Kemarin aku lihat kamu waktu mau bolos bareng dia." Kalimat Illana sukses membuatku tak berkutik. Aku menghentikan kembali langkahku yang tinggal dia langkah lagi mencapai kantin.
"Udah aku bilang, kan, Tha. Jangan dekat-dekat Arun. Dia bahaya!" kata Illana setengah berbisik.
"Aku—"
Belum sempat aku membela diri, tiba-tiba kurasakan baju seragamku ditarik paksa. Aku terkejut melihat Jennifer dengan tatapan marah mencengkeram bagian depan kemeja putihku.
"Wah, Si Nol Persen sekarang jadi Upik Abu yang mendamba pangeran rupanya," ejek Jennifer tepat di depan wajahku. Aku terpaksa sedikit mendongak sebab perbedaan tinggi antara aku dan dia.
"Ngapain kamu senyum-senyum sama Arun? Mentang-mentang dia pernah gendong kamu waktu itu, lalu kamu ganjen sama dia? Hah?! Jawab!"
Aku yakin bentakan Jennifer menggema seantero koridor. Beberapa pasang mata yang kebetulan lewat menatap kami dengan rasa penasaran. Kali ini Jennifer sendiri, mungkin karena hari masih pagi dan bel masuk baru akan berbunyi lima menit lagi, teman-temannya yang lain belum datang.
Illana yang melihatku langsung berusaha melepas cengkeraman Jennifer. "Lepasin nggak!"
Entah karena diselimuti emosi, Jennifer terlihat tidak peduli dengan Illana dan malah semakin mempererat genggamannya pada seragamku.
"Kamu jangan sok cantik dan centil, ya?! Arun nggak bakal melirikmu sedikit pun! Mana mau dia sama cewek cupu sepertimu?!"
Aku kembali merasakan ketakutan. Meski sendirian, tapi Jennifer malah terlihat lebih menakutkan seperti biasa. Di saat-saat seperti ini, aku kembali teringat dengan perkataan Arun.
"Mulai sekarang, kamu harus lebih percaya diri! Jangan takut pada mereka yang bully kamu!"
Kalimat Arun yang terngiang di pikiranku seolah menjelma sebagai sebuah mantra yang tiba-tiba memberiku keberanian. Ya, aku harus melawannya.
"Me—memang kenapa kalau aku sama Arun? A—apa urusannya denganmu? Ka-kamu bukan pacarnya, kan?" tantangku walau sedikit terbata-bata dengan suara bergetar.
"Wah, udah berani nyolot, ya?" Aku tahu Jennifer sekarang sudah berada pada puncak emosinya. Sebentar lagi dia pasti akan bertindak brutal.
Benar saja. Jennifer mengalihkan tangannya untuk menjambak rambutku. Rasa pedih dan panas langsung menjalari kulit kepalaku. Rasa-rasanya seperti akan mengelupas. Air mataku sudah turun karena menahan rasa sakit. Di sebelahku, Illana berusaha melepas jambakan Jennifer padaku, tapi sia-sia. Tanganku berusaha menggapai rambut lurus milik Jennifer untuk balas menjambaknya.
Akan tetapi, sejurus kemudian, aku merasakan kulit kepalaku mengendur. Tidak ada lagi jambakan di rambutku. Apa Jennifer sudah menghentikan aksi gilanya?
"Sekali lagi kamu berani menyentuhnya, aku nggak akan ragu bikin kamu masuk rumah sakit. Paham?" Sebuah desisan penuh ancaman terdengar.
Lalu aku menyadari bahwa Arun sudah dalam posisi memiting lengan Jennifer ke belakang. Ekspresi Arun tidak terbaca, entah. Sedangkan Jennifer terlihat kesakitan. Dia meronta-ronta minta dilepaskan.
"Kamu paham Bahasa Indonesia, kan?" tanya Arun sarkastis pada Jennifer yang langsung mengangguk-angguk. "Lalu, apa peringatanku yang kemarin belum cukup juga?"
Eh, peringatan apa maksudnya?
"Maaf, Run. Aku hanya nggak suka—Ah!!" Kalimat Jennifer berakhir dengan sebuah jeritan. Sepertinya Arun semakin memiting lengannya. "I—ya baiklah. Aku nggak akan ganggu dia lagi. Janji."
Setelah berjanji seperti itu, Arun melepaskan Jennifer yang langsung mengambil langkah seribu. Sepertinya dia benar-benar tidak mau membuat urusan dengan Arun.
"Sejak kapan kamu berubah jadi sok pahlawan?" tanya Illana sarkastis.
Aku menoleh ke arahnya dan mendapati Illana yang menatap sengit pada Arun.
"Bukan urusanmu," jawab Arun dingin.
Entah hanya perasaanku saja atau memang ada aura permusuhan yang sangat kuat di antara mereka, terutama dari Illana.
"Dasar Botol Kecap!" maki Illana yang ditujukan kepada Arun. "Jangan dekati Bitha dan bawa pengaruh buruk ke dia!"
Aku lihat Illana berkacak pinggang dan sedang memasang raut gahar. Sedangkan Arun tersenyum miring seolah mengejek Illana.
"Kayaknya kamu iri kalau aku mendekati temanmu. Kenapa? Kamu masih sakit hati karena pernah aku tolak dulu?" Kalimat Arun sukses membuat wajah cantik Illana merah padam.
Aku sendiri terkejut mendengar pernyataan Arun. Jadi, dulu Illana pernah menyukai Arun dan ditolak begitu? Kenapa selama ini Illana tidak pernah menceritakannya kepadaku?
"Aku nggak peduli kalau kamu mau suka atau dekati cewek mana pun, asal bukan Tabitha. Dia terlalu polos buat jadi mainanmu," kata Illana.
Aku merasa seperti obat nyamuk di antara mereka berdua. Ah, bahkan aku yang menjadi obyek pembicaraan mereka. Mereka seolah tidak sadar bahwa ada aku. Di sini aku melihat interaksi Arun dan Illana yang begitu cair meski saling ejek. Jujur saja, itu membuatku sedikit sesak.
"Sejak kapan aku mainan cewek?" tanya Arun dengan tawa mengejek. "Aku serius."
Arun mengerling sekilas dan memamerkan senyum tipis di wajah dinginnya kepadaku. Apa maksud dari kata serius tadi? Apa... Apa Arun memang menyukaiku? Aku sungguh tidak berani berspekulasi macam-macam. Aku takut, jika yang kupikirkan bukanlah kenyataan, tapi hanya angan-angan saja.
"Cih, dasar Botol Kecap!" Illana mengumpat Arun dengan panggilan yang dia beri. Tanpa babibu, dia langsung menyeret lenganku untuk menjauhi Arun.
Beberapa langkah, aku pun menoleh kembali ke arah laki-laki berambut setengah gondrong berwarna coklat tua itu. Dia masih berdiri di sana dan tersenyum tipis melihatku. Ah, aku benar-benar menyukai tatapannya yang lembut itu. Membuatku selalu ingin terlihat di matanya.
***
Hari ini Illana tidak henti-hentinya membicarakan tentang Arun. Semua hal buruk dia katakan mengenai dirinya. Illana juga mewanti-wantiku agar menjauhi Arun meski laki-laki itu mendekatiku. Aku hanya bisa mendengarkan saja, tanpa berniat sedikit pun untuk menuruti permintaan Illana.
Bagiku, Arun tidak seperti yang orang lain pandang. Meski sikapnya preman, tapi dia memiliki sisi lain yang lembut. Semua orang memilih untuk tidak berurusan dengannya, sedangkan aku ingin sekali berada di dekatnya.
Kalian pasti tahu tentang dongeng-dongeng di mana seorang gadis biasa yang berakhir bahagia dengan pangeran. Sejak aku tahu dongeng-dongeng itu, aku mulai bermimpi suatu ketika aku bisa merasakan jatuh cinta pada seorang pangeran yang menyelamatkannya dan memiliki akhir yang bahagia dengannya. Sekarang, Arun-lah pangeranku. Orang yang mampu menyelamatkanku dari suramnya masa remaja.
"Hei, melamun terus," tegur Illana saat kami sudah sampai di depan sekolah.
Aku mengerjap. Tidak menyadari Illana yang sedari tadi celingak-celinguk seperti mencari sesuatu. Depan sekolah ini mulai penuh dengan murid yang hendak pulang. Kebanyakan dari mereka menunggu jemputan, hanya sebagian kecil saja yang menunggu angkutan lewat.
"Nggak lagi mikirin Arun, kan?" tanya Illana tepat sasaran.
"Memang kenapa kalau aku mikirin Arun?" Aku sedikit merengut sebal. Tidak habis pikir kenapa Illana begitu tidak menyukai Arun. Bukan karena dia pernah ditolak, kan? Aku yakin alasannya lebih dari sekadar itu.
"Anak ini dibilangin malah nantang." Illana membuat gerakan seolah-olah akan memukulku. "Turuti saja kata-kataku, Tha. Kamu nggak bakal berakhir bahagia kalau sama Arun seperti khayalanmu itu. Suatu saat kamu pasti ditinggalkan oleh si Botol Kecap itu."
Aku mendengkus. Malas untuk berdebat dengannya. Seharian ini aku sudah mendengar banyak ceramah darinya. Jangan sampai kami bertengkar hanya gara-gara hal ini.
"Duh, Pak Mul mana, sih? Belum jemput juga," gerutu Illana seraya melirik jam tangannya.
Aku tidak mengomentari keluhannya. Memang tidak biasanya sopir Illana telat menjemput. Pak Mul—nama sopir Illana—selalu datang satu jam sebelum bel pulang berbunyi.
Aku pun ikut celingak-celinguk. Bukan ikut mencari keberadaan Pak Mul, tapi menunggu bis yang akan membawaku pulang ke rumah. Saat itu, mataku berserobok dengan sepasang mata hitam yang tajam di seberang. Arun ada di sana, di atas motor sportnya, memberi isyarat agar aku ikut dengannya.
Ketika aku ingin menyeberang jalan, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depanku dan Illana. Sejurus kemudian, seseorang keluar dari pintu pengemudi. Seorang laki-laki bertubuh tinggi dan berambut cepak, dengan kacamata hitam yang membingkai wajahnya. Aku sedikit meneleng, dan bertanya-tanya siapa dia dalam hati. Hingga suara serak milik Illana menyadarkanku.
"Kak Ivan," teriak Illana. Dia tampak kegirangan lalu menghambur ke arah laki-laki yang dia sebut sebagai kakak itu.
Illana memeluk erat laki-laki yang kuperkirakan berumur awal dua puluhan itu. Laki-laki itu juga membalas pelukan Illana tak kalah erat. Seperti dua orang yang sedang melepas rindu.
"Ih, kok Kak Ivan ada di sini?" tanya Illana setelah melepaskan pelukannya.
"Mau jemput kamulah, Sayang," jawab laki-laki itu seraya mencubit ujung hidung Illana.
"Kasih tahulah kalau Kakak yang mau jemput. Kan, Lana bisa tunggu di dalam sekolah biar adem nggak panas-panasan di sini." Illana merenggut kesal yang disusul oleh tawa renyah si laki-laki.
Aku yang menonton adegan itu memutuskan untuk segera beranjak dan hendak menghampiri Arun yang sudah menunggu di seberang. Namun, langkahku tertahan oleh sebuah suara.
"Bitha, sini." Illana meraih lenganku dan menariknya agar berdiri berhadapan dengan laki-laki tersebut. "Kenalin. Ini kakak kesayanganku."
Laki-laki itu mengulurkan tangan kepadaku. "Ivander," kenalnya sambil melepas kacamata hitamnya dengan sebelah tangan.
"Tabitha," balasku seraya menyambut uluran tangannya untuk berjabat tangan.
Saat itulah aku melihat sepasang mata berwarna coklat yang begitu bening dan meneduhkan. Sepasang mata yang mampu membuat seseorang jatuh dengan mudah. Juga sebuah senyum menawan yang ditawarkan oleh sepasang bibir itu mampu membuatku tertawan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top