3. Orange Blossom
Sembilan tahun lalu.
Aku sudah tidak tahan lagi. Kedua kakiku rasanya sudah gemetar, hampir tidak mampu lagi menopang beban tubuhku. Kepalaku pun terasa begitu berat seperti dihantam sesuatu, pun pandanganku sudah mulai mengabur. Menyisakan silau cahaya putih yang tertangkap samar oleh mataku.
Terik matahari menyengat kulit, membuatku tambah kepayahan. Tenggorokanku juga terasa kering-kerontang. Sangat menyiksa. Aku ingat, ini hari Kamis dan aku yang sedang berpuasa melewatkan makan sahur sebelum subuh tadi.
Aku mencoba menggerakkan tangan dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya. Walaupun aku tahu, hal itu mustahil akan mampu membuat ikatan pada pergelangan tanganku kendur dan bisa membuatku meloloskan diri.
Tidak ada siapa-siapa di sini. Hampir tidak ada murid yang lewat di sini, bahkan jika hanya sekadar iseng. Di belakang sekolah ini begitu terlantar. Hanya terdapat lapangan basket yang tidak pernah digunakan lagi selama bertahun-tahun. Sisanya berupa belukar dan tumpukan meja serta kursi rusak.
Harapanku untuk bisa lepas dari ikatan ini begitu tipis. Punggungku yang menempel pada besi penyangga ring basket terasa panas. Aku tidak tahu sudah berapa lama di sini. Namun, karena matahari sudah berada tepat di atas kepala, bisa dipastikan bahwa aku sudah ditinggal dalam keadaan terikat di sini selama tiga jam.
Tiga jam yang membuatku merasa ingin mati saja. Ini bukan pertama kalinya aku diperlakukan seperti sampah yang bisa diinjak-injak dan dibuang seenaknya. Hampir tiap hari aku begini. Mungkin kali ini yang terparah sejak mereka—geng yang menyebutkan diri sebagai The Venus Triplets—melakukan perundungan terhadapku.
Aku tidak tahu kenapa mereka begitu membenciku. Kadang aku bertanya-tanya sendiri, apa salahku di mata mereka hingga tega menyiksaku setiap hari. Tidak ada satu pun di dalam diriku yang pantas mereka irikan hingga membuat mereka membenciku sedemikian rupa.
Aku bukanlah murid yang bisa dikatakan pintar, tidak pula gadis yang cantik. Aku juga berasal dari keluarga kelas bawah. Aku hanya gadis biasa yang beruntung mendapat beasiswa untuk bersekolah di sini. Tentu saja, aku tidak bisa disandingkan dengan mereka.
Lihatlah, di mana saja Deana yang cantik jelita karena berdarah biru itu berjalan selalu menjadi pusat perhatian para siswa. Atau Helga yang menjadi kesayangan guru-guru karena prestasinya menjadi juara pertama nasional pada lomba pidato bahasa Inggris. Lalu, Jennifer—pemimpin mereka—yang anak orang kaya dan selalu disegani semua orang.
Merobek buku tugasku, menyiramku dengan air soda, menempelkan permen karet di bangkuku, mencemooh dan mencaciku di depan semua orang. Itu adalah makanan sehari-hariku di sini dari mereka. Hingga yang paling parah adalah saat ini.
Aku diikat di sini, kemudian mereka melempariku dengan telur dan tepung. Seolah aku ini bahan adonan kue yang siap mereka masak, lalu meninggalkanku sendirian di sini. Apa kata mereka? Mereka bilang karena hari ini adalah ulang tahunku. Aku menangis, tentu saja. Apakah jika ini memang hari ulang tahunku mereka bisa seenaknya memperlakukanku seperti ini?
Air mataku sudah kering karena menangis. Suaraku sudah habis sebab berteriak minta tolong. Namun, tidak ada seorang pun yang datang membantu. Beginilah hari-hari aku jalani sebagai murid di sini. Jika saja bisa, aku ingin pindah sekolah saja. Akan tetapi, bagaimana aku bisa meluruhkan harapan Mbah Putri agar aku bisa bersekolah yang tinggi dan layak? Mbah Putri adalah satu-satunya keluarga yang kupunya. Beliau yang mengasuh dan merawatku dari umur dua tahun. Semenjak ibuku pergi entah ke mana, sedangkan bapak sudah meninggal.
Kembali aku menangis. Aku benar-benar sudah tidak kuat lagi. Aku berharap ada seseorang yang datang ke sini dan membebaskanku meski harapan itu tipis. Mungkin nanti sore atau bahkan nanti malam aku baru bisa bebas dari sini ketika Pak Dirman—sang penjaga sekolah—berkeliling rutin.
Mataku sudah hampir terpejam. Kesadaranku juga sudah mulai habis. Efek kepanasan dan puasa yang kujalani hari ini, membuat tubuhku benar-benar tak berdaya. Aku pasrah jika aku harus mati sekarang. Tidak apa-apa. Mungkin itu lebih baik dari pada aku menjalani hidup penuh risak seperti ini.
Saat aku sudah menyerah, tiba-tiba aku merasakan ikatan di tanganku terlepas. Sebuah dada bidang menyambut tubuhku yang sudah lemas tak berdaya. Telingaku jatuh tepat di dada kirinya, membuatku bisa mendengar detak jantungnya. Sebuah aroma citrus segar samar tercium indraku dari tubuhnya.
Aku ingin mendongak untuk mengetahui siapa yang telah melepaskan ikatanku dari sini. Namun, kepalaku benar-benar terasa berat, pun penglihatanku yang mengabur karena kacamataku yang entah ada di mana, juga efek pusing. Aku sama sekali tidak bisa mengenali siapa sosok berdada bidang ini.
“Siapa?” tanyaku dengan suara lemah.
Seseorang itu tidak menjawab dan aku malah merasakan tubuhku sedikit melayang. Dada bidang itu kini diganti oleh bahu yang terasa hangat sebagai sandaran kepalaku. Aku tahu, aku sedang digendong belakang olehnya. Nyaman. Hanya itu perasaan yang tiba-tiba kurasakan saat berada di punggungnya. Entah ke mana dia akan membawaku. Aku tidak tahu. Setelah itu semuanya terlihat gelap.
***
Aroma minyak kayu putih menguar di indra penciumanku. Kegelapan yang tadi kurasakan perlahan-lahan menjadi terang. Aku masih merasakan pening di kepala. Pandanganku juga mulai terlihat jelas, meski tetap buram karena tidak memakai kacamata.
Aku merasakan bahuku sedikit diguncang. Sebuah suara yang tidak asing pun kudengar memanggil namaku.
“Bitha,” panggil suara itu.
Perlahan aku membuka lebar mataku dan hal yang pertama kulihat adalah langit-langit putih.
“Bitha, kamu nggak apa-apa?” tanya suara itu lagi.
Aku menoleh ke arahnya dan mendapati Illana yang sedang menatapku dengan wajah cemas. Aku mencoba tersenyum dan mengangguk kecil sekadar untuk mengurangi rasa khawatirnya.
Illana mengembuskan napas lega. Dia merupakan satu-satunya murid di sini yang mau berteman denganku. Di saat semua murid di sini menjauhiku, dialah murid yang mau duduk semeja denganku.
“Aku di mana?” tanyaku kemudian. Hal terakhir yang kuingat adalah aku sedang berada di atas panggung seseorang yang menggendongku.
“Di UKS,” jawab Illana singkat. Raut wajah leganya berubah menjadi amarah. “Siapa yang melakukan ini sama kamu?”
Aku tidak menjawab. Pasti Illana tahu siapa yang sering melakukan perundungan padaku.
“Jennifer dan kroco-kroconya yang sok manis itu?” tebak Illana yang kusambut dengan anggukan.
“Mereka harus dikasih pelajaran biar nggak seenaknya terus. Dia pikir ini sekolah milik nenek moyangnya apa?” Illana mengepalkan tangannya. Jelas terlihat amarah di wajah manisnya.
Illana sepertinya berniat untuk pergi, tapi aku menahan lengannya. “Jangan!” Aku menggeleng. “Kekerasan nggak bisa dibalas dengan kekerasan. Itu hanya akan merusak.”
Dia membelalakkan mata. Aku tahu sebentar lagi Illana akan meledak. “Mereka sudah keterlaluan, Tha! Kamu dilempari telur dan tepung seperti ini dan bikin kamu hampir mati, tapi kamu masih nggak mau membalasnya? Wow!”
Illana memutar bola matanya dengan lebay. Aku tahu, aku seharusnya melawan mereka. Namun, jika harus melawan dengan kekerasan juga, aku akan menolak. Balas dendam dengan cara seperti itu tidak akan berdampak baik bagi siapapun.
“Aku nggak mau bikin kekacauan, Lan,” ucapku sambil berusaha untuk duduk.
Illana dengan sigap membantu menempatkan bantal di belakangku agar aku bisa nyaman bersandar.
“Tapi sekali-kali kamu harus melawan, Tha! Jangan mau diremehkan mereka!” Illana menyodorkan segelas teh manis hangat yang sepertinya sudah ada di atas nakas dekat tempat tidur di UKS ini.
“Kalau bukan karena aku lihat Arun gendong dan bawa kamu ke sini, mungkin aku nggak bakal tahu kamu di belakang sana lagi sekarat.”
Aku hampir tersedak teh hangat mendengar kalimat Illana. Dia bilang apa tadi? Arun? Maksudnya Arun Pawana?
“Arun?” tanyaku memastikan bahwa pendengaranku masih berfungsi normal. Illana melipat kedua tangannya di depan dada dan mengangguk. “Arun yang itu?”
Lagi-lagi Illana mengangguk.
“Arun yang mana lagi? Memang di sekolah kita berapa orang yang punya nama Arun? Cuma dia aja, kan?” jawab Illana dengan nada sedikit ketus.
Aku menjauhkan bibir gelas dari mulutku. Tenggorokanku sudah terasa lebih baik setelah ada air yang mengalirinya. Pun pusing di kepala sedikit berkurang setelah mendapat asupan kalori dari manisnya gula.
“Kamu nggak diapa-apain sama dia juga, kan?” tanya Illana penuh selidik.
“Hah? Maksudmu?” Aku tidak mengerti maksud pertanyaannya.
“Kalau kamu sampai diapa-apain sama si Arun, aku bakal hajar dia. Masa bodoh dia anaknya mafia atau bukan.”
Arun Pawana. Tidak ada yang tidak mengenal nama itu seantero SMA ini. Selama setahun lebih bersekolah di sini, baru beberapa kali aku melihat sosoknya secara langsung. Selebihnya hanya sebuah rumor yang beredar yang menyebutkan bahwa dia adalah anak seorang gangster atau semacamnya. Gosip lain juga menyebutkan dia pernah menghajar kakak kelas hingga masuk ICU.
“Kamu nggak diapa-apain sana dia, kan, Tha?” Illana mengulang pertanyaan dengan hati-hati. Mungkin karena melihatku sedikit melamun, dia mengira aku sudah 'diapa-apain' oleh Arun. Meski aku tidak tahu dengan jelas maksudnya apa.
“Kalau maksud kamu diapa-apain itu adalah dia yang menyelamatkan aku dari ancaman dehidrasi dan heat stroke, maka iya.”
Lagi-lagi Illana memutar kedua bola matanya. “Bicara sama kamu bikin tambah emosi, deh.”
Aku tahu dia hanya bercanda. Illana memang selalu begitu, pura-pura marah di depanku. Aslinya dia juga pasti tidak ingin cari masalah dengan The Venus Triplets ataupun dengan seorang Arun Pawana. Walaupun Illana begitu sok ingin menghajar mereka.
“Terima kasih, Lan. Sepertinya cuma kamu yang mau berteman sama orang aneh sepertiku.”
Aku terisak. Hari-hariku begitu sulit di sini, tapi ada seseorang yang bisa menguatkanku untuk terus bertahan. Meski aku tahu, Illana termasuk salah satu orang yang tidak akan berani macam-macam ketika melihat aku sedang dirundung oleh mereka.
Illana menghela napas. Raut wajah tegang dan emosinya sudah mengendur. “Cepat habiskan tehmu! Setelah ini, kamu harus membersihkan diri dan berganti baju.”
Aku melihat sekujur tubuhku. Seragam sekolahku bagian depan sudah penuh tepung dan berbau amis telur. Belum lagi rambutku yang lengket. Bagaimana aku mengatakan pada Mbah Putri saat pulang nanti?
Rasanya ingin kembali menangis. Aku begitu bodoh dan lemah karena tidak mampu melawan perundungan yang mereka lakukan. Bagaimana aku bisa bertahan di sekolah ini hingga lulus?
“Tha,” panggil Illana kembali. Kali ini suaranya lirih. “Kamu jangan berurusan sama Arun, ya? Jangan berpikir buat berterima kasih sama dia. Pokoknya jangan dekat-dekat dengannya.”
“Kenapa?” Aku mengusap air mata yang sudah membanjiri pipiku.
“Meski wajahnya datar dan sikapnya sedingin kutub selatan, tapi Arun itu ibarat api yang bisa membakarmu jika dekat dengannya,” jawab Illana dengan tubuh dicondongkan ke arahku.
Entah kenapa aku meneguk ludahku sendiri. Apakah Arun memang berbahaya seperti itu jika didekati? Padahal aku benar-benar ingin mengucapkan terima kasih karena sudah menolongku. Kalau bukan karena dia, mungkin sekarang aku masih ada di area belakang sekolah sendirian dalam keadaan terikat dan heat stroke.
Aku hanya merasa bahwa apa yang dikatakan Illana dan dipikirkan orang tentang sosok Arun adalah salah. Aku merasakannya tadi, saat dia menggendongku. Bahu dan punggungnya terasa begitu nyaman. Dia bukan seperti api ataupun sedingin es. Dia seperti semilir angin yang menyejukkan. Ah, entahlah. Aku hanya merasakan seperti itu. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top