26. Primrose
Mata tajam itu awas mengamati. Tersembunyi di balik dinding bangunan usang yang hampir roboh di belakang sekolah. Rambutnya yang agak panjang berwarna cokelat sedikit bergoyang tertiup angin. Tubuh tinggi menjulang itu dibalut seragam putih abu-abu yang ditumpuk dengan jaket denim.
Arun terus mengawasi gerak-gerik mereka; Jennifer dan kawan-kawannya yang sedang asyik mengikat seorang gadis yang sudah dibalur terigu dan telur mentah pada tiang ring basket yang mulai berkarat. Dia terlihat meronta. Namun tentu saja, tenaga dari tubuh mungilnya tidak sebanding dengan kekuatan tiga perundungnya.
Perempuan yang sedang dirundung itu, Arun mengenalnya. Siapa juga yang tidak tahu Tabitha seantero sekolah? Siswi yang selalu jadi bahan bulan-bulanan oleh geng The VenusTriplets. Arun menyeringai. Rupanya dia berhasil membuat nama Tabitha terkenal!
Jennifer, Helga, dan Deana; mereka bertiga sudah menyelesaikan aksinya. Meninggalkan Tabitha yang terus memohon untuk dilepaskan. Melenggang begitu saja dengan senyum penuh kemenangan.
"Aku udah lakukan apa yang kamu suruh. Aku harap kamu juga masih ingat janji kamu," kata Jennifer saat berpapasan dengan Arun yang bersandar pada tembok kumuh; dengan cat putih yang telah mengelupas.
"Tunggu aku sepulang sekolah di tempat biasa," jawab Arun dingin.
Senyum merekah di bibir merah jambu Jennifer. Hatinya tengah berbunga-bunga lantaran kasmaran yang dia rasakan pada Arun, laki-laki yang telah menjadi kekasihnya itu. Walaupun mereka menyembunyikan status pacaran dari orang lain—bahkan Helga dan Deana pun tidak tahu—tapi Jennifer tidak peduli. Dia bahagia asal Arun tetap di sisinya.
Jennifer kembali melangkah diikuti oleh dua sahabatnya yang lain. Meninggalkan Arun yang tetap tak beranjak dari tempatnya berdiri. Sepasang mata tajam itu memicing; mengawasi Tabitha lewat ekor matanya.
Arun ingat bagaimana pertama kalinya dia melihat Tabitha di sekolah ini. Seorang gadis yang terlihat berbeda dari kebanyakan siswi di sini. Dandanan lugu dengan wajah polos itu selalu berjalan tertunduk. Gerak-geriknya bagai domba yang berada dalam kawanan serigala; takut bisa dimangsa kapan saja dan tak percaya diri. Kikuk saat berhadapan dengan orang lain.
Lihat saja saat Tabitha berjalan di koridor kelas. Kepalanya setengah tertunduk, dengan sebuah baki tertutup yang berisikan kue-kue donat yang dia bawa menuju kantin sekolah. Saat tak sengaja seorang siswi menabraknya dari belakang dan menyebabkan seluruh isi bakinya tumpah seluruhnya; tak ada ucapan maaf dari si penabrak yang menyunggingkan senyum mengejek. Malah Tabitha-lah yang kemudian berkali-kali mengucapkan maaf sebab gula-gula putih tersebut mengotori sepatu si penabrak.
Memuakkan. Wajah polos yang selalu mengharapkan iba. Dia membencinya. Orang-orang yang teraniaya, tetapi tidak berusaha melawan—padahal mereka bisa. Sama menyebalkan seperti ibunya. Ekspresi yang meminta dikasihani. Menjijikkan.
Baiklah. Arun akan membuatnya menampilkan raut seperti itu setiap saat. Wajah lugu yang selalu berharap untuk diibakan. Dia pun lalu meminta Jennifer untuk merundungnya tiap ada kesempatan. Bukankah dia juga tidak menyukai Tabitha yang menurutnya amat mengganggu pemandangan sekolah elite ini?
Siang merangkak naik. Panas matahari mulai membakar kulit. Arun masih mengamati gadis yang diikat pada tiang penyangga ring. Tabitha terlihat kepayahan. Bibirnya kering mengelupas. Bahkan tak ada lagi keringat yang bercucuran. Kelopak matanya tertutup. Sebuah pemandangan yang cukup mengenaskan.
Rasa khawatir mulai menyelinap masuk ke dalam hati Arun. Melihat gadis itu tak sadarkan diri. Bagaimana jika dia mati di sini? Pikiran Arun mulai kalut tatkala dia menyadari bahwa inilah batasan yang dimiliki Tabitha.
Bergegas dia menghampiri tubuh Tabitha. Melepaskan ikatan yang melilit tangan dan kakinya. Lalu, dalam satu entakkan badan kurus milik gadis itu telah berhasil berada di atas punggungnya. Segera langkah kakinya menuju ke ruang kesehatan.
Arun menyadari sesuatu bahwa tubuh Tabitha begitu kurus. Bahkan terasa lebih ringan dari yang dia duga. Dia merasa seakan sedang menggendong anak kecil. Apakah gadis ini sebegitu menderitanya?
***
Jennifer nyalang. Kakinya tergesa menghampiri Arun yang berada di samping gimnasium. Tubuh jangkungnya dalam posisi berjongkok. Dia sedang melakukan ritualnya; memberi makan kucing-kucing liar kesayangannya.
"Apa maksud kamu?" tanya Jennifer tanpa basa-basi.
"Aku nggak ngerti," jawab Arun dingin tanpa mengalihkan perhatian ke Jennifer. Tangannya masih sibuk mengelus-elus pucuk kepala anak kucing yang baru berusia dua bulan.
"Kenapa kamu malah membebaskan Si Nol Persen?" gerutu Jennifer sambil berkacak pinggang. Seekor anak kucing berusaha mendekati kakinya, tapi dengan segera ditendang menjauh. Dia benci kucing, apalagi kucing liar semacam ini.
"Karena dia hampir mati, Je," geram Arun.
Arun tampak kesal melihat perlakuan Jennifer. Dengan lembut dia lalu mengambil anak kucing malang itu dan menggendongnya.
"Biarin aja dia mati. Nggak ada ruginya buat kita, kok."
Kini Arun benar-benar terlihat marah. Laki-laki itu pun berdiri dan menghadap tubuh Jennifer secara langsung. Anak kucing dalam gendongannya sedikit menggeliat karena gerakan yang tiba-tiba. Sepasang mata gelapnya menatap tajam ke arah Jennifer.
"Kamu mau masuk penjara?" tanya Arun dengan gigi-gigi bergemeletuk.
Jennifer bersedekap. Dia membuang pandangannya. Gadis itu sama seperti orang lain yang selalu takut menatap ke dalam mata Arun langsung. Ada sesuatu di sana yang membuatnya tak nyaman. Namun, dia tidak tahu apa itu.
"Kalau aku masuk penjara, kamu juga bakal ikut, Run. Karena kamu yang nyuruh aku buat bully dia," ancam Jennifer.
"Kamu mengancam aku?" Suara Arun terdengar seperti sebongkah es yang menempel di kulit, terasa begitu dingin menyengat.
Jennifer diam. Entah kenapa dia sama sekali tidak sanggup membalas ucapan Arun.
Arun membungkuk, lalu melepaskan anak kucing dalam gendongannya. Setelah itu, tubuhnya pun kembali menegak.
"Dengar, Je," panggil Arun seraya meraih dagu Jennifer agar mau menatapnya langsung. "Kamu nggak bisa melakukan hal itu sama aku. Mengerti?"
Setiap kata yang diucapkan Arun terasa penuh intimidasi, hingga Jennifer tidak kuasa untuk tidak menganggukkan kepalanya.
"Good girl," puji Arun yang diikuti oleh kecupan singkat di sudut bibir Jennifer.
"Thanks. Aku akan lakukan apa pun yang kamu suruh, Sayang."
Jennifer kembali tersenyum, lalu memeluk tubuh jangkung Arun yang diam-diam menyeringai.
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata dan telinga lainnya yang berada di sana. Illana yang baru saja selesai latihan senam indah dan ingin berganti pakaian pun diam-diam bersembunyi di balik tembok gimnasium, lalu mencuri lihat sekaligus dengar percakapan mereka berdua. Dia mengepalkan tangan dan memukul dinding, benar-benar merasa marah dan kesal. Apalagi terhadap Arun yang tak disangkanya ternyata sebrengsek itu. Padahal Illana mulai sedikit mengubah pandangan tentang laki-laki itu semenjak dia menolong Tabitha. Namun, rupanya kebrengsekan Arun tidak tertolong lagi.
***
Kabar burung itu dengan cepat tersebar seantero sekolah. Bagaimana tidak menjadi bahan omongan yang heboh, jika seorang siswa yang terkenal paling bandel dan siswi yang sering ditindas bolos bersama? Siapa lagi kalau bukan Arun dan Tabitha. Ada biang gosip yang tak sengaja melihat mereka diam-diam menyelinap keluar sekolah saat jam pelajaran masih tengah berlangsung. Mulutnya yang ceriwis langsung cuap-cuap ke mana pun, kepada siapa pun orang yang dia temui. Orang itu adalah Helga, salah satu anggota geng The VenusTriplets.
Tak ayal berita itu membuat Jennifer bagai kebakaran jenggot. Dengan rasa kesal dan amarah yang memuncak, dia menemui Arun di tempat biasa laki-laki itu menghabiskan waktu sepulang sekolah, bengkel motor pinggir jalan yang terletak tak jauh dari sekolah.
Jennifer sudah biasa ke tempat itu, maka tanpa permisi lagi dia langsung menerobos. Jujur saja, dirinya sedikit jijik saat memasuki bengkel yang kotor tersebut. Gelap dan pengap. Bau ban-ban bekas, besi-besi tua karatan, dan oli bekas bercampur menjadi satu. Jennifer harus menahan sedikit napasnya jika tidak ingin aroma-aroma tak sedap itu membuatnya pusing dan muntah. Tak habis pikir, bagaimana Arun dapat betah berada di bengkel tersebut bahkan bisa dengan santai tidur di sebuah bilik kecil yang terdapat di belakang.
Jennifer menemukan Arun di sana. Seperti biasa, laki-laki itu berbaring terlentang dengan tangan sebagai bantalan di atas kasur kapuk tipis yang sudah tampak kehitaman dan menguarkan bau apak. Meski kelopak matanya terpejam, tapi gadis itu tahu kalau Arun tidak sedang benar-benar tidur.
"Kita perlu ngomong!" ucap Jennifer kesal dan tanpa basa-basi.
Arun hanya menggeliat sedikit tanpa membuka matanya, lalu mengubah posisi tidur menjadi miring menghadap dinding di sisi kanannya.
"Ngapain kamu ke sini? Pulanglah! Aku lagi nggak mau ngomong sama kamu," usir Arun dengan suara serak.
Jennifer tidak mematuhi perintah Arun untuk pergi.
"Nggak! Kita harus ngomong. Aku nggak akan balik sebelum semuanya jelas," kata Jennifer sambil menarik lengan Arun agar laki-laki tersebut mau bangun dari rebahannya.
"Kamu butuh penjelasan apalagi, Je?" tanya Arun yang mulai dibuat kesal oleh sikap Jennifer yang menurutnya kekanakan. Mau tidak mau, akhirnya kini dia bangun dan duduk bersila di atas kasur.
Jennifer diam sesaat untuk mengatur napasnya yang terengah-engah karena emosi tingkat tinggi yang sedang dia alami.
"Ngaku, Run! Kamu suka sama Si Nol Persen, kan?" cecar gadis itu kemudian. Jennifer tidak bisa menyembunyikan rasa cemburu dari nada suaranya.
Arun menyisir rambut gondrongnya dengan tangan, lalu mengikatnya."Kesimpulan dari mana itu?"
"Sikap kamu," jawab Jennifer singkat.
"Sikapku yang bagaimana?"
"Aku sering melihatnya. Sikap kamu ke dia begitu lembut, beda sama ke aku, Run." Jennifer berusaha menahan air matanya yang hampir jatuh. "Kamu bahkan berani bela dia tepat di depan muka aku."
"Lalu?" Arun menggedikkan bahu, cuek saja menanggapi ocehan Jennifer.
"Kemarin Helga bilang lihat kamu pergi bareng dia. Semua murid di sekolah sudah tahu itu."
Arun bergeming. Tidak terlalu terkejut berita itu begitu cepat tersebar jika yang melihatnya tanpa sengaja adalah sahabat Jennifer yang itu.
"Kenapa diam? Jawab, Run! Kamu suka 'kan sama dia?" tuntut Jennifer butuh konfirmasi.
Arun masih diam saja. Hanya sepasang matanya yang tajam itu menatap gadis cantik di depannya.
"Kamu menyembunyikan hubungan kita, tapi terang-terangan mendekati Si Nol Persen itu. Apa maksud kamu? Kamu sebenarnya nggak pernah suka sama aku atau bagaimana, sih, Run?" cerca Jennifer. Air matanya kini tidak bisa ditahan lagi. Pertahanan egonya runtuh, terbakar oleh cemburu dan rasa sakit hati.
"Udahlah. Lebih baik kita akhiri aja, ya, Je," ucap Arun sesaat kemudian dengan suara dingin.
"Apanya? Maksud kamu hubungan kita?" tanya Jennifer hampir tak percaya.
"Iya." Arun mengangguk singkat.
Jennifer ternganga. Tidak percaya. Semudah itukah Arun memutuskan hubungan mereka yang sudah terjalin hampir satu tahun?
Saat ini amarahlah yang mulai menguasai Jennifer.
"Brengsek kamu, Run! Kamu nggak bisa seenaknya gitu. Kalau kamu putusin aku, aku bakal bilang ke dia kalau selama ini kamu yang nyuruh aku buat bully dia. Kamu bisa bayangin gimana reaksi dia? Kalau kamu masih punya hati. Kamu bakal jauhin dia."
"Wah, kamu sekarang udah pintar ngancem rupanya," sindir Arun dengan menyeringai seraya berdiri.
Mendadak Jennifer merasa takut saat Arun dengan langkah perlahan mulai mendekatinya. Seringai pada bibirnya, juga sepasang mata hitam yang kelam itu yang begitu disukai gadis itu tiba-tiba terasa sebagai sebuah ancaman. Refleks, dia pun melangkah mundur demi menghindari Arun hingga punggungnya membentur dinding kusam kamar.
"Ma-mau apa kamu?" tanya Jennifer saat dirinya sudah terpojok. Dia berusaha untuk kabur, tapi dengan cepat kedua lengan Arun mengungkungnya.
"Dari dulu aku memang udah nggak punya hati dan kamu tahu itu," desis Arun. "Tapi kamu tetap nekat untuk memintaku jadi pacar kamu. Kamu tahu resikonya."
"Ka-karena aku yakin kamu bisa balik menyukaiku suatu saat," balas Jennifer dengan suara bergetar.
Arun mendecih. "Aku nggak pernah menjanjikan akan balik jatuh cinta sama kamu."
"Tapi, kamu bilang akan menyukaiku kalau aku mau menuruti semua perintahmu, termasuk mem-bully Si Nol Persen."
"Antara lugu dan bodoh ternyata beda tipis, ya?" Arun tertawa sinis. "Aku cuma meminta kamu untuk sedikit mengerjainya, tapi kamu sepertinya malah kebablasan."
Jennifer menggeleng. "Aku nggak bodoh. Aku mungkin hanya salah satu di antara sedikit orang yang percaya bahwa kamu masih punya hati nurani, walaupun sedikit dan aku percaya bisa memenangkan hati kamu itu. Tapi—"
"Lagi-lagi kamu salah sangka, kan?" Arun memotong ucapan Jennifer. "Karena aku memang nggak punya hati."
"Tapi, kamu malah jatuh cinta sama Si Nol Persen," lanjut Jennifer lirih. Hatinya begitu sakit saat mengucapkan hal itu.
"Aku nggak jatuh cinta sama dia."
"Nggak usah menyangkalnya, Run. Aku udah kenal kamu bertahun-tahun, dari SMP. Cara kamu menatapnya selalu beda dari cara kamu memandang orang lain, dan tatapan itu mengingatkan aku sama kamu kalau lagi sama mama kamu."
Kali ini giliran Arun yang tertegun sesaat. Saat Jennifer menyingkirkan lengannya yang mengungkung tubuh gadis itu dan meloloskan diri, Arun hanya membiarkan saja. Laki-laki itu sedang berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Jennifer.
Benarkah apa yang dikatakan oleh Jennifer? Apakah dia mulai jatuh cinta dan menyukai Tabitha? Arun belum yakin benar dengan hatinya. Namun, satu hal yang dia tahu bahwa dia ingin sekali, teramat ingin melindungi Tabitha dari semua gangguan yang mengancamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top