22. Lavender
Aku bisa merasakan beratnya langkah Arun saat memasuki halaman sebuah rumah mewah bergaya klasik dengan pilar-pilar tinggi berwarna putih yang terletak di pinggir jalan yang memang terkenal dengan rumah-rumah orang kaya lama di kota ini. Tangannya yang sedang aku genggam terasa begitu dingin dan berkeringat. Dari samping, aku juga dapat melihat ketegangan yang tampak sangat jelas di wajah laki-laki itu.
Setelah menerima telepon dari Sang Ayah tadi, Arun mengaku kepadaku bahwa kedatangannya ke kota kami adalah untuk menemui papanya. Hal yang sebenarnya tidak begitu dia inginkan, tapi harus dihadapi. Suka atau tidak.
Saat itu aku jadi teringat tentang rumor yang beredar saat sekolah dulu, bahwa ayah Arun adalah seorang 'mafia' yang memiliki pengaruh begitu kuat dan luas. Melihat kenakalan yang selalu dilakukan Arun yang jarang tersentuh oleh hukuman, juga cerita-cerita yang disampaikan oleh Arun tentang kekerasan dalam rumah tangga yang dia serta ibunya alami, aku bisa menyimpulkan bahwa rumor itu bukan hanya sekadar gosip biasa.
"Aku takut." Begitulah yang diaku oleh Arun dengan nada lirih.
Lagi-lagi, yang bisa kulakukan hanyalah menggenggam erat tangannya, berusaha untuk menyalurkan ketenangan dan menunjukkan kepedulianku.
"Semua akan baik-baik aja, Run," kataku berusaha berpikir positif.
"Nggak, Tha." Arun menggeleng. "Meski Papaku tidak lagi seburuk di masa lalu, tapi rasa takut saat berhadapan dengannya masih saja aku rasakan meski berbagai terapi sudah aku jalani."
Tidak ada yang bisa lagi aku katakan kemudian. Jujur, aku tidak tahu harus bersikap atau berkata-kata seperti apa untuk membuat perasaan Arun lebih baik. Meskipun aku juga berasal dari keluarga yang sama berantakannya dengan Arun, tapi paling tidak Mbah Kakung dan Mbah Putri yang membesarkanku, memperlakukan aku dengan sangat baik.
"Kamu tetap masih mau menemui papamu?" tanyaku sesaat setelah kebisuan Arun selama beberapa menit. "Aku rasa, kamu nggak perlu memaksakan diri untuk bertemu dengannya jika belum siap."
Lagi-lagi Arun menggeleng. "Dokterku bilang, aku bisa bertemu dengan Papa dan menghadapi traumaku saat aku udah siap."
"Dokter?" Aku mengernyit.
"Psikiater. Terkadang aku masih harus meminum anti-depresan di saat-saat tertentu," jelas Arun.
Aku terenyuh. Apakah luka yang tidak terlihat itu begitu besar dan dalam, hingga susah sekali disembuhkan?
"Lalu saat ini, apa kamu udah siap?" tanyaku.
Aku merasakan genggaman tangan Arun yang mengerat. "Aku pikir, aku akan siap karena ada kamu di sini bersamaku sekarang."
Aku memberikan senyuman paling tulus yang aku miliki untuk laki-laki yang aku cintai itu—yang kemudian dibalas dengan ucapan terima kasih dan kecupan ringan di bibirku oleh Arun. Mendengar kalimatnya barusan, benar-benar menghangatkan hatiku di tengah dinginnya suhu di hutan pinus. Ah, aku semakin jatuh cinta saja padanya.
Kemudian, kami pun pergi. Arun mengajak aku pulang ke rumahnya—rumah papanya yang ternyata jauh lebih besar dan mewah daripada dugaanku sebelumnya.
Aku tidak bisa terlalu memperhatikan detail eksterior rumah itu. Hanya gerbang dan pilar-pilar tingginya yang kokoh dan terkesan begitu jemawa seakan-akan ingin menunjukkan kepribadian dari si pemilik. Taman depannya pun hanya dihiasi rumput dan perdu-perdu hijau yang dipangkas artistik. Sebuah kolam air mancur berada di tengah-tengah dengan hiasan sesosok bayi gendut menggemaskan yang sedang merentangkan busur panah—Cupid.
"Semuanya akan baik-baik saja. Kamu pasti bisa mengalahkan ketakutanmu, Run," kataku berusaha memberikan kekuatan pada Arun yang semakin menegang.
Arun menghentikan langkahnya dan menghadapku tepat ketika kami telah sampai di teras.
"Butuh pelukan lebih dulu?" tawarku sambil merentangkan tangan dan mengulas senyum lebar.
Arun sedikit tertawa sebelum merengkuh tubuhku dalam pelukannya.
"Apa pun yang terjadi nanti, aku harap kamu nggak akan pernah melepaskan genggaman tanganmu dari aku, Tha," pinta Arun dengan suara nyaris berbisik.
"Tentu saja." Aku mengangguk dan menikmati aroma citrus yang selalu menjadi ciri khas Arun yang sudah kukenali dari SMA.
Saat kami masih berpelukan, tiba-tiba saja sepasang daun pintu berukuran raksasa di depan kami terbuka.
"Mas Arun," sapa seorang wanita paruh baya setengah berteriak. Aku bisa mendengar dengan jelas nada kebahagiaannya.
Wanita itu langsung menghampiri kami. Dia meraih tangan Arun lalu menggenggamnya dengan erat. Sepasang matanya berkaca-kaca.
"Alhamdulillah. Akhirnya kamu pulang ke rumah ini lagi, Mas. Mbak kangen banget sama kamu," lanjut wanita paruh baya itu.
Aku perhatikan sesaat penampilan wanita itu. Dia berambut pendek dengan helai-helai yang tampak mulai memutih. Wajahnya yang mulai terlihat berkeriput dipoles make up tipis. Dia juga mengenakan setelan blus batik dengan celana panjang khaki, juga sebuah kalung manik-manik yang terlihat modis di usianya yang tidak lagi muda.
"Gimana kabarnya, Mbak Yaya?" sapa Arun semringah—juga tidak mampu menyembunyikan kebahagiaan dari suaranya.
"Baik, baik. Kamu sendiri gimana, Mas? Sehat-sehat saja, kan?"
Arun mengangguk.
Pandangan mata Mbak Yaya lalu memindai seluruh tubuh Arun, dari ujung kepala hingga kaki. Hingga dia melihat bekas luka lebam di sudut bibirnya.
"Kamu berantem lagi, Mas?" Kali ini nada cemas yang keluar dari mulut Mbak Yaya. Jelas tampak kekhawatiran di matanya.
"Enggak kok, Mbak. Aku mana berani berantem lagi? Ini kena pukul orang," jawab Arun sembari terkekeh.
Entah kenapa aku jadi merasa takjub. Arun yang biasa berbicara dengan nada dingin, saat ini caranya tertawa kecil terlihat begitu alami dan manusiawi.
"Aku sudah dengar apa yang terjadi sama kamu," ujar Mbak Yaya kali ini penuh simpati.
Arun tidak menimpali ucapan Mbak Yaya dan menggantinya dengan ulasan senyum.
"Andai aku bisa berbuat sesuatu untuk melunakkan hati Bapak, Mas," keluh Mbak Yaya sambil mengembuskan napas panjang.
"Mbak Yaya nggak perlu melakukan apa-apa. Aku udah senang kalau Mbak mau mencemaskan aku," balas Arun.
Aku yang masih berdiri diam di samping pun sengaja menarik ujung kausnya. Arun sedikit tersentak dan kembali menyadari keberadaanku. Dia menoleh kepadaku sebentar, lalu memperkenalkan aku dengan Mbak Yaya.
"Tha, ini Mbak Yaya. Kepala asisten rumah tangga di sini." Jeda sejenak. Arun lalu mengalihkan pandangan ke Mbak Yaya. "Ini Tabitha, Mbak. Pacarku."
Ucapan Arun berhasil membuat jantungku kembali berdebar-debar kencang dan memompa aliran darah dengan cepat ke seluruh tubuh, terutama ke wajahku hingga tampak merona merah.
"Salam kenal, Mbak," sapaku sambil mengulurkan tangan.
Namun, tanpa aku sangka, Mbak Yaya malah langsung menarikku ke dalam pelukannya.
"Aku yakin kamu gadis yang baik," bisik Mbak Yaya sambil mengelus-elus punggungku.
Hanya beberapa detik Mbak Yaya memelukku, lalu melepasnya. Perhatiannya kini kembali beralih ke Arun.
"Bapak sudah nunggu kamu," ucap Mbak Yaya.
Sejurus kemudian, kami sudah diajak ke dalam rumah. Hal pertama yang aku lihat saat masuk ke lobi adalah sebuah foto berukuran besar dengan pigura berwarna emas tergantung di atas credenza. Foto itu terlihat biasa saja. Sebuah potret keluarga yang tampak hangat—saling merangkul dan tersenyum bahagia di hadapan kamera—terdiri dari sepasang suami istri dan anak laki-laki yang mirip dengan Arun, tapi dalam versi kecil.
Diam-diam aku tersenyum. Ternyata dulu Arun pernah memiliki keluarga yang begini bahagia saat dia masih kecil. Entah apa yang terjadi hingga dalam cerita Arun, ayahnya berubah menjadi kasar dan sering memukulinya.
Arun berhenti sebentar dan memandangi potret itu dengan tatapan yang sulit untuk aku jelaskan maknanya. Yang jelas, pandangannya terlihat nanar. Tangannya terkepal seperti sedang menahan amarah.
Aku sendiri jadi ikut mengamati gambar tersebut dengan saksama dan baru menyadari bahwa anak laki-laki dalam potret itu bukanlah Arun. Meskipun memiliki garis wajah yang hampir sama, tapi caranya tersenyum sungguh berbeda dari Arun. Anak kecil dalam foto tersebut, lebih terlihat seperti adik Arun.
"Itu istri kedua Bapak dan adik tirinya Mas Arun," bisik Mbak Yaya menjawab kebingungan yang aku yakin terlihat jelas dari ekspresiku.
Wajah Arun terlihat menegang. Apalagi saat wanita dalam foto itu tiba-tiba saja muncul, entah dari mana, diikuti oleh seorang anak kecil berseragam dan menenteng tas yang sepertinya baru pulang sekolah.
"Wah, kejutan besar. Ada anak tukang bikin onar di rumah ini lagi," sindir wanita itu kepada Arun, alih-alih sapaan.
Wajah lembut wanita itu yang terlihat dalam foto, kini menghilang sama sekali dan digantikan oleh wajah masam yang tidak bersahabat.
"Anak tukang bikin onar? Siapa yang kamu maksud?" geram Arun.
Wanita itu mengabaikan Arun begitu saja seolah sosoknya yang tinggi menjulang tidak terlihat dan malah bertanya kepada Mbak Yaya, "mau apa dia ke sini, Mbak?"
"Bapak yang minta Mas Arun datang ke sini, Bu," jawab Mbak Yaya sopan.
"Oh, bikin masalah apalagi dia sampai Bapak manggil ke sini?"
Huh. Rasanya aku ingin menarik lidah tajam wanita itu kuat-kuat agar putus. Aku yang hanya mendengar kalimatnya saja sudah begitu jengkel dan sakit hati, apalagi Arun yang menjadi obyeknya langsung. Diam-diam aku melirik laki-laki yang berdiri di sampingku ini.
"Saya kurang tahu, Bu."
"Aku nggak mau, ya, dia di sini terus dekat-dekat Levi. Nanti anakku ketularan gila kayak dia dan mamanya yang sudah mati itu."
Rahang Arun terlihat mengeras. Tangannya yang terkepal siap untuk melayangkan pukulan. Namun, aku rasa Arun sekuat tenaga berusaha menahan emosinya.
"Aku dan mamaku bukan virus yang menyebarkan penyakit," geram Arun dengan gigi yang bergemeletuk. "Justru kamulah yang bikin penyakit di keluargaku kayak sel kanker yang diam-diam menggerogoti."
"Apa kamu bilang?" Wanita itu mulai naik pitam. Dia mending jari telunjuk ke arah Arun. "Jaga mulutmu! Dasar, Anak Nakal!"
"Seharusnya itu yang aku katakan kepadamu. Jaga mulutmu, Perebut Suami Orang!" sengit Arun.
Aku bisa merasakan suasana di lobi menegang. Arun dan wanita itu berdiri berhadapan seolah siap untuk saling baku hantam. Sampai sebuah suara bernada bariton menghentikannya.
"Ada apa ribut-ribut begini?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top