19. Lisianthus

"Tapi, perasaan kamu ke aku nggak berubah sama sekali." Arun menyunggingkan senyum tipis dan memberikan tatapan lembut yang berhasil membuatku tersipu.

"Itu pengecualian." Aku menunduk dengan suara yang lirih, hampir tak terdengar bahkan oleh telingaku sendiri.

Hening kembali mengisi kekosongan. Hanya bunyi desik yang menjadi lagu latar di antara kami. Suara itu pun memberi kesan kedamaian. Sangat cocok untuk citra pemakaman ini.

"Kamu tahu sebutan untuk ini, Tha?" tanya Arun tiba-tiba. "Suara angin yang berembus seperti bisikan."

"Apa?"

"Psithurism."

"Judul buku kamu?"

Arun mengangguk. "Salah satu suara yang aku sukai."

"Kenapa?" tanyaku mulai penasaran.

"Karena itu bisa memberiku ketenangan, Tha."

Aku mengangguk-angguk mengiyakan. Setuju dengan ucapannya, sebab aku pun merasakan hal yang serupa.

Arun menyunggingkan senyum kecil. Netranya kini sudah beralih dariku ke bunga-bunga teratai di danau. "Gimana hubungan kamu sama pacar kamu itu?"

Tenggorokanku tiba-tiba serak, hingga aku harus berdehem beberapa kali sebelum menjawab, "memutuskan sebuah hubungan ternyata nggak semudah itu, Run. Kak Ivan ... sepertinya dia masih nggak rela buat pisah dariku."

"Hm ... begitu, ya?"

"Kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Aku janji akan segera menyelesaikannya, kok."

"Aku tahu. Aku harap kamu nggak menyesal nantinya," gumamnya.

"Kenapa aku harus menyesal?" Aku sedikit heran sebab Arun selalu berkata soal menyesal.

Arun mengedikkan bahu. "Masih ada kesempatan kalau kamu mau menjauhiku."

"Aku sudah mengambil langkah terlalu jauh, Run. Sulit rasanya kalau harus mundur lagi." Sepasang mataku menatap kedua iris hitamnya, berusaha meyakinkan bahwa aku tidak akan menyesali apa pun.

Arun tidak berkata apa pun. Bibirnya membisu. Ekspresi wajahnya dingin dan sulit aku baca.

Aku membuang napas. Kualihkan pandangan dari sepasang matanya. "Sekarang giliranku buat tanya."

"Hm, oke. Aku yakin kamu punya banyak pertanyaan buatku," lirih Arun berpadu dengan suara angin yang lembut.

Ya, aku memang punya segudang tanya tentangnya yang ingin aku dapatkan jawabannya. "Kenapa dulu kamu tiba-tiba pergi tanpa kabar?"

Arun menghela sejenak. Dia mengulum bibir bawahnya. Terasa sekali tarikan napasnya yang berat. "Setelah mama meninggal, waktu itu kondisi mentalku turun. Aku harus menjalani berbagai macam terapi untuk mengembalikan keadaan psikisku hingga akhirnya diputuskan aku dibawa ke tempat omku di Wellington. Jauh dari sini."

Aku tersentak mendengar penuturan Arun. "Kalau boleh tahu, mama kamu meninggal karena apa?" hati-hati aku bertanya.

"Bunuh diri ...." Dia menjeda sejenak kalimatnya sebelum melanjutkan, "setelah belasan tahun hidup bersama papa yang selalu menyiksanya. Bahkan, rasanya saat itu pun aku juga ingin menyusul mama mati. Mama satu-satunya alasan yang membuatku bisa bertahan hidup di saat papa berkali-kali menghajarku."

Ada getir yang aku rasakan di tiap katanya. Matanya yang selalu menyorot penuh duka itu pun, aku yakin berasal dari ayahnya. Luka fisik memang akan cepat memudar. Namun, goresan yang ada di batinnya pasti akan terus ada dan membekas. Ah, rasanya aku ingin sekali memeluknya saat ini. Arun yang terlihat tegar, tapi ternyata sangat rapuh.

"Aku benci dikasihani," kata Arun menyentakku.

"Sekali-kali nggak apa-apa terlihat lemah di depan orang lain. Adakalanya kita akan terlalu lelah jika terus berdiri tegar sendirian. Kita butuh seseorang untuk mendengarkan setiap keluh kesah, bahkan menyediakan bahu untuk sekadar menyisipkan tangis."

Arun kembali menatapku lekat. Sebentuk senyum kecil terbit di kedua bibirnya. "Makasih, Tha."

"Nih, aku bersedia, kok, jadi bahu sandaran kalau kamu mau nangis," candaku sambil menepuk-nepuk bahu kananku.

Arun tertawa sejenak. Tawa pertama yang aku dengar meluncur dari mulutnya. Suara tawa yang menyenangkan. Namun hanya sekejap, tiba-tiba dia kembali diam. Kedua bola matanya kini menatapku dengan luka.

"Maaf, Tha," bisiknya.

"Untuk?" Aku mengerutkan dahi.

"Semuanya," ucapnya lebih lirih.

Aku menghela napas panjang. Dia kembali mengingatkanku dengan semua sikap absurdnya. "Kamu memang harus minta maaf, Run. Yang kamu lakukan itu keterlaluan. Selalu berbuat sesukamu. Menarik ulur perasaanku seolah sedang main layangan. Kamu yang bilang agar kita menjaga jarak, bersikap seolah-olah nggak saling mengenal. Tapi, apa? Nyatanya kamu tiba-tiba jadi perhatian. Aku terkadang bingung dengan sikapmu itu."

Aku berusaha mengatur napasku kembali. Aku tidak ingin momen damai ini tiba-tiba berubah tikai. Aku tidak mau mengeruhkan keadaan.

Arun sendiri masih menatapku lekat. Matanya seolah ingin bicara sesuatu. Hingga akhirnya mulutnya berucap. "Aku memang menyukaimu, Tha. Baik dulu maupun sekarang," ujarnya berjeda. Aku menahan napas, menantikan dengan debar apa kalimat lanjutannya. "Tapi, ada hal-hal yang nggak bisa aku jelaskan ke kamu kenapa aku terus menahan diri dari kamu."

Aku ingin memakinya sungguh. "Kenapa harus ditahan, Run? Kenapa kamu harus menghindariku?"

Aku melihat ke dalam matanya yang tajam. Berusaha mencari-cari jawaban yang aku inginkan. Namun, matanya bagai kabut yang pekat. Hanya ada guratan sesal di sana.

"Aku nggak bisa jawab alasannya, Tha. Nggak buat sekarang."

"Kamu tahu, Run. Selama sembilan tahun ini kamu udah bikin aku gila. Nggak ada satu hari pun, aku nggak memikirkan kamu. Berharap suatu saat kamu kembali di hidupku. Bahkan Kak Ivan sama sekali nggak bisa menggantikan posisimu di hatiku." Tenggorokanku tercekat. Aku sedang berusaha mati-matian agar tak mengeluarkan air mata. "Kenapa, sih, Run, kita nggak coba buat membebaskan perasaan kita?"

Aku menatapnya nanar. Berharap dia mengerti bagaimana perasaanku selama ini. Aku menyukainya. Sangat. Dan mungkin rasa suka itu telah bertransformasi menjadi cinta setelah menjadi bagian rahasiaku selama sembilan tahun ini.

Arun hanya terdiam. Namun, tangannya terulur meraih wajahku; melepaskan masker yang sedari tadi aku pakai. Jemarinya dengan lembut mengelus pipi, menelusuri rahangku. Hingga sampailah ia di sudut bibirku. Laki-laki itu pun memangkas jaraknya denganku. Kemudian tak ada lagi jeda di antara kami. Semuanya terasa melayang bagiku kini.

***

Meskipun masih dihinggapi rasa bersalah karena hubungan dengan Kak Ivan belum sepenuhnya berakhir, aku tetap merasa menjadi perempuan paling bahagia saat ini. Bunga-bunga di hatiku tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Renjana di kalbuku pun tak mampu dibendung lagi.

Semua alasan ini cuma satu, yaitu Arun.

Sudah diputuskan bahwa aku akan tegas dengan keputusanku. Itu berarti aku harus berbicara lagi dengan Kak Ivan dan putus dengannya—setuju ataupun tidak. Aku bahkan tidak memikirkan bagaimana reaksi orang tua Kak Ivan saat tahu aku mengakhiri hubungan dengan putra mereka. Masa bodohlah. Aku tidak peduli lagi pada perasaannya.

Memang benar, cinta bisa membuat orang mabuk hingga melakukan hal-hal di luar nalar. Begitu pun yang terjadi padaku saat ini. Arun telah menyedot semua akal warasku.

Bagaimana caranya menyentuhku sangat hangat dan lembut, berbanding terbalik dengan sosoknya yang selama ini terlihat dingin dan kasar. Membuatku sungguh kepayang. Dia berhasil menjadi penawar rinduku selama bertahun-tahun.

Bahkan ketika kini aku berhadapan dengan Kak Ivan, sama sekali tidak ada rasa sesalku karena telah berkhianat darinya. Hanya ada sedikit perasaan bersalah. Anggaplah aku memang perempuan jahat dan kejam. Tak apa jika tuduhan itu tersemat padaku. Memang kenyataannya seperti itu. Aku mengakuinya.

Wajah Kak Ivan terlihat lelah. Dalam sorot matanya terlihat amarah yang seakan ingin menelanku. Aku baru saja menginjakkan kaki di rumah saat petang, ketika aku lihat pria dengan pakaian kerja formal tanpa dasi dan jas itu mondar-mandir di beranda depan. Sepertinya dia sedang menunggu aku pulang.

"Kamu ke mana aja, sih, Tha?!" tanyanya buru-buru ketika melihatku datang. "Kata Yasmin kamu sakit dan di rumah. Tapi, pas aku ke sini, kamu malah nggak ada dan sulit dihubungi. Aku sudah cari kamu ke mana-mana tahu!" cecarnya.

"Kenapa Kak Ivan ke sini? Tadi aku keluar buat cari udara segar. Ponselku juga ketinggalan," ujarku datar tanpa melihat ke arahnya. Entah kenapa, aku seperti menghindari tatapan tajam dan menyelidiknya.

"Cari udara segar butuh waktu seharian?" interogasinya penuh penekanan. Kak Ivan menyugar rambutnya dengan sedikit kesal.

"Kenapa Kak Ivan ke sini?" Aku mengulang pertanyaanku.

"Aku udah kayak orang gila cari kamu. Tapi, kamu malah asyik sama—" Kalimatnya tertahan, menggantung di udara yang tiba-tiba terasa sesak di antara kami.

Aku tahu Kak Ivan berusaha sedang menahan amarahnya. Diam-diam aku melirik. Wajahnya yang tampan tampak merah padam. Pun dengan keteduhan di matanya yang sirna. Dia menghela napasnya untuk meredakan emosi.

"Ya, udahlah. Toh, kamu juga kelihatan sehat-sehat saja. Sia-sia kalau aku khawatir," ucap Kak Ivan dengan nada lelah.

"Kak Ivan tahu, kan, aku pergi sama siapa? Aku rasa," tuturku pelan, masih tidak memiliki keberanian untuk menatap matanya. Entah, aku merasa akan ada sesuatu yang meledak saat pembicaraan ini berlangsung.

"Aku tahu, Tha." Ucapannya terasa dingin dengan penekanan di setiap huruf. "Aku tahu semuanya. Aku nggak sebodoh itu buat nggak sadar kalau kamu nggak pernah cinta sama aku."

Aku menggigit bibir bawahku. Tidak aku sangka, Kak Ivan selama ini hanya bersikap pura-pura saja. "Karena itu, Kak. Aku mohon lepaskan saja aku," cicitku.

"Melepaskan kamu?" Dia berdecih. "Jangan harap semudah itu, Tha. Kalau kamu begitu inginnya putus dariku, bicarakan hal itu di depan orang tuaku. Jangan lupa, ajak juga dia dan akui kalau kalian sudah berselingkuh di belakangku."

Aku hampir ternganga tidak percaya. Apa yang sebenarnya ingin dilakukam Kak Ivan?

"Sudahlah. Kamu istirahat saja. Pasti capek, kan, jalan-jalan seharian?" ketus Kak Ivan hendak beranjak.

"Tapi, Kak ..." panggilku saat dia baru beberapa langkah meninggalkan.

Kak Ivan berhenti dan melihatku dengan pandangan menusuk. "Aku menantikan kamu menerima tantanganku, Tha."

Aku membisu. Lagi-lagi Kak Ivan berkata dengan ketus. Kali ini bahkan disertai dengan tatapan yang membuat bulu kudukku meremang takut.

Bayangan punggungnya lalu menghilang di balik pagar rumah dalam sekejap. Hanya menyisakan aku yang terduduk dengan bahu melorot.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top