11. Anthurium
Rasa kantuk masih menyergapku saat Kak Ivan datang selepas zuhur. Enggan rasanya berpisah dengan kasur empukku yang baru dua jam aku tempeli setelah pulang dari toko. Sedikit memaksa kelopak mataku untuk tetap terbuka, aku menemui laki-laki itu di teras rumah.
Sebenarnya aku berencana untuk membatalkan acara kencan kami di hari Minggu ini. Atau paling tidak, bisa diundur sore nanti. Akan tetapi, sepertinya aku lupa untuk mengirimkan pesan untuknya tadi sebab aku yang langsung ketiduran begitu pulang.
Kak Ivan menyambutku dengan senyuman secerah mentari andalannya. Aroma musk dari parfum yang dia pakai menguar, mengantarkan kesan maskulin yang cukup kuat. Meskipun harus kuaku bahwa wangi itu sedikit menusuk penghiduku.
"Kamu belum siap-siap, Tha?" tanya Kak Ivan begitu melihatku muncul dengan rambut masai dan muka bantal.
Aku menggeleng lemah. Lidahku hampir mengatakan untuk membatalkan janji. Akan tetapi, wajah penuh pengharapan yang dipasang Kak Ivan selalu bisa membuatku tak berkutik untuk menolaknya.
Ya, ekspresi itu pula yang dipakainya saat memintaku untuk menjadi pacarnya delapan tahun lalu. Aku yang bodoh memang, kan? Bahkan aku tidak kuasa untuk sekadar mengatakan tidak saat Kak Ivan telah memasang wajah pengharapan tersebut.
"Maaf, Kak. Aku baru bangun," jawabku seadanya.
Setelah menyapa Kak Ivan sebentar, aku pun segera pamit untuk mandi dan bersiap-siap terlebih dahulu. Aku butuh guyuran air yang menyegarkan seluruh tubuhku agar tidak dilanda rasa kantuk lagi. Baru setelah itu, kami pun telah menyusuri jalanan ibukota dengan Mini Cooper berwarna putih yang menjadi kesayangan Kak Ivan.
"Maaf, Tha. Sebelum jalan, kita mampir ke Kemang dulu, ya?" tutur Kak Ivan sembari membelokkan mobilnya ke arah tol dalam kota.
"Mau apa, Kak?" tanyaku sedikit penasaran. Tidak biasanya Kak Ivan pergi ke daerah selatan ibukota itu.
"Ada perlu sama kerjaan di sana sebentar. Nggak apa-apa, kan?" Kak Ivan menolehkan kepala sejenak ke arahku sebelum berhenti di depan palang masuk tol yang masih tertutup.
Aku membuang muka. Berusaha mengerti akan kegilaannya dalam bekerja.
Ah, Kemang, ya? Aku jadi teringat Nina yang katanya akan pergi ke workshop idolanya di sana. Semoga saja fotografer itu menyukai buket bunga yang aku buat.
"Kamu marah?" tanya Kak Ivan melihat reaksiku.
Kugelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Kak Ivan. Aku sebenarnya sama sekali tidak marah atau kesal kepadanya. Hanya saja, Kak Ivan sepertinya hanya mementingkan pekerjaannya saja. Tidak, bukan maksudku tidak ingin mengerti dirinya. Hanya saja, hari ini aku merasa kelelahan dan butuh istirahat.
Tidak ada pembicaraan lagi di antara kami setelahnya. Pria di belakang kemudi itu fokus ke jalanan. Musik bernuansa jazz mengalun dari seperangkat audio yang terpasang di mobil mewah ini. Membuatku tak kuasa untuk tidak memejamkan mata.
Aku tertidur dan sontak terbangun begitu deru mesin mobil dimatikan. Kelopak mataku terbuka, lalu yang kulihat pertama kali adalah sebuah bangunan berlantai dua dengan fasad kaca di bagian luar. Di lantai atas, aku bisa melihat meja dan kursi yang berjejer, ditata sedemikian rupa dengan beberapa muda-mudi yang sedang asyik duduk bercengkerama.
Sebuah kafe? Aku mengerjap beberapa kali.
"Pules banget tidurnya, Tha," ujar Kak Ivan sembari mengacak rambutku gemas.
Aku mencebik. Berpura-pura kesal. Kusingkirkan tangan besar Kak Ivan dari puncak kepalaku.
"Rambutku jadi berantakan tahu, Kak!" Aku merogoh mini backpack yang berada di atas pangkuan untuk mengambil ikat rambut di dalamnya. Menyisir sebentar dengan jemari, lalu membuat kucir bergaya messy bun.
Kak Ivan tergelak melihatku ekspresiku. "Bibirnya itu, loh. Tolong dikondisikan, Tha. Biar aku nggak khilaf cium kamu di sini."
"Nggak lucu!" Aku memukul lengannya kuat-kuat. Membuat tawa Kak Ivan semakin pecah. "Berhenti tertawanya!"
Aku merengut kesal. Dia tidak tahu apa, jika aku lebih sensitif jika kurang tidur?
Aksi protesku berhasil membuat Kak Ivan berhenti tertawa. Jemarinya lalu memencet tombol unlock untuk membuka kunci pintu mobil.
"Ikutan turun, yuk, Tha," ajak Kak Ivan. "Kayaknya aku bakalan agak lama di sini. Kamu bisa ngopi-ngopi dulu di dalam, atau kalau mau juga bisa baca-baca buku dulu."
Dahiku berkerut dalam. Sambil mengikuti gerakan Kak Ivan membuka pintu mobil, mataku kembali mengamati gedung itu lebih saksama. Di bagian sisi kanan yang tidak berdinding kaca, terdapat plat nama tempat ini.
Dedaunan: Toko Buku, Kedai Kopi, dan Galeri.
Lantas kakiku lalu bergerak, mengekor di belakang Kak Ivan yang melangkah lebar-lebar. Sepasang mataku masih mengamati ke arah bangunan yang sebentar lagi akan kumasuki. Lantai dua—yang merupakan sebuah kedai kopi—tampak ramai. Mungkin karena hari Minggu, banyak anak muda yang memutuskan untuk sekadar nongkrong di sini.
"Sebenarnya ke sini mau apa, sih, Kak?" tanyaku kembali, masih penasaran apa yang akan dia lakukan di sini.
"Ingat resort perusahaan yang baru di Batam itu, Tha?"
Aku berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Bagaimana aku tidak bisa tidak melupakannya? Hanya saja yang membuatku penasaran bukan itu. Namun, tujuan pekerjaan yang dimaksud Kak Ivan.
"Nah, kami rencana pengin mengundang influencer pas soft opening, sekalian promo gitu."
"Terus?"
"Dia lagi ngadain workshop di sini." Kak Ivan memandang bangunan atas. "Dia salah satu influencer yang idealis dan susah dinego, sih, tapi follower-nya cukup banyak."
Workshop? Influencer?
Entah kenapa di pikiranku tiba-tiba terlintas nama yang disebut Nina sebagai Angin Pagi. Bukankah gadis itu juga sedang menghadiri workshop idolanya di Kemang? Jangan-jangan tempatnya di sini.
Ocehan dalam pikiranku terhenti sekejap saat kami masuk melewati pintu kaca. Aroma citrus yang diembuskan oleh pendingin ruangan langsung menyambut kami. Wangi yang menyegarkan dan membangkitkan semangat, bercampur bau kertas dari buku baru yang memikat. Rasanya sudah lama aku tidak menghidu wewangian seperti ini.
Meskipun di lantai bawah adalah toko buku, tapi didesain secara apik dan aku yakin akan membuat betah pengunjungnya. Mataku lantas mengedarkan pandang. Cukup terkesan dengan interior yang dipakai oleh toko buku ini. Oh, tidak. Akan tetapi, seluruh bangunan memiliki gaya yang sama.
Dindingnya bercat abu-abu, menimbulkan kesan maskulin yang kuat. Rak-rak mahoni disesaki oleh buku-buku baru yang dipajang sedemikian rupa. Langit-langit di sini cukup tinggi, dengan kuda-kuda terbuat dari besi yang dibiarkan terekspos begitu saja. Lampu gantung berbentuk bohlam dipasang di beberapa titik, membuat efek pencahayaan yang hangat. Lantainya hanya berupa acian. Pada beberapa sudut terdapat tanaman hijau dalam pot, seperti aglaonema, anthurium, hingga philodendron, yang memberikan kesegaran tersendiri. Sebuah tangga dari kayu berpelitur berada di tengah ruangan, menghubungkan bagian bawah dan atas.
Kak Ivan menepuk bahuku. Membuyarkan kekagumanku pada setiap sudut bangunan.
"Mau ikut ke atas atau kamu mau di sini?" tanya Kak Ivan seolah menyadari bahwa aku tengah terpesona oleh desain interior yang digunakan oleh toko buku ini.
"Aku di sini aja, Kak," jawabku. "Kebetulan udah lama nggak ke toko buku."
Pria yang saat ini terlihat santai dengan mengenakan kemeja flanel dipadu celana jin itu pun mengangguk. "Kalau udah bosen di sini, kamu bisa ke atas aja, Tha. Ada workshop di sana. Siapa tahu kamu minat."
Kak Ivan kembali mengacak rambutku. Kebiasaannya yang sedikit menyebalkan. Aku mencebik, mengiringi langkah lebarnya saat menaiki anak tangga dan menghilang dari pandangan.
Baiklah. Akhirnya aku putuskan untuk sekadar melihat-lihat. Siapa tahu ada buku menarik yang bisa kubaca.
Berjalan di antara rak-rak yang dipenuhi buku. Dikelompokkan sesuai kategori. Sebuah meja bundar besar berada agak di sudut dengan vas berisi bunga krisan kuning yang terlihat mencolok. Tampak di sana, buku-buku best seller ditata apik supaya menarik perhatian.
Aku melewatinya dan lebih tertarik dengan barisan meja dengan setumpuk buku bertuliskan new arrival. Netraku menelusuri judul demi judul yang tertera pada sampul depannya. Mencari sesuatu yang kiranya akan aku baca, bahkan membelinya. Hingga sepasang mataku melihat tumpukan di ujung sana.
Buku dengan kover yang pernah aku lihat beberapa waktu lalu—di salah satu hall hotel milik keluarga Kak Ivan. Aku tidak bisa melupakan sensasi kala pertama kali melihatnya. Juga judulnya yang sedikit aneh dan asing bagiku. Psithurism.
Aku meraih salah satu dummy dari tumpukan benda kertas berbentuk persegi yang cukup besar itu. Sedikit berat saat tanganku mengambilnya. Aku membuka halaman pertama dan langsung mengetahui bahwa buku tersebut merupakan kumpulan hasil jepretan kamera. Ada nama yang tercetak di sana, Angin Pagi. Membuat rasa penasaranku semakin membesar.
Bukankah itu nama yang akhir-akhir ini sering disebut Nina?
Tanganku kembali membuka halaman berikutnya. Satu foto yang menampilkan pemandangan jalan setapak lurus beralas tanah dengan pohon-pohon raksasa nan rindang yang berjajar di pinggirnya. Lanskap alam itu membentuk terowongan unik seolah mengajakku melewatinya untuk bisa masuk ke sebuah negeri antah-berantah. Jalinan kata pun terangkai manis di atasnya.
"Angin berbisik. Daun berdesik-desik. Nyanyian alam yang akan kaudengar sebentar lagi. Serupa lullaby. Membawamu menjelajah pergi. Psithurism."
Aku seolah tersihir oleh kalimat-kalimat itu. Membuat tubuhku berdiri kaku. Jantungku secara aneh juga langsung berpacu.
Ada apa ini? Aku seperti jatuh cinta pada rangkaian kata tersebut. Lalu, jemariku seolah menggiring untuk membalikkan buku itu hingga ke halaman terakhir.
Aku terkesiap. Sangat. Tatkala mataku tanpa sengaja melihat foto dari profil Si Penulis. Aku mengenalnya. Sungguh. Wajahnya dingin, hampir tanpa ekspresi. Orang itu baru saja aku temui lusa lalu. Laki-laki yang selama sembilan tahun ini tidak mau beranjak dari hati.
Ya, dia Arun Pawana.
Seketika darahku berdesir.
Tanganku sedikit gemetar. Kuletakkan benda itu kembali ke atas tumpukan, lalu mengambil buku lain yang masih terbungkus plastik. Aku mendekapnya sangat erat. Lekat dengan dada dan jantung yang berdegup kencang. Mataku lantas melirik ke lantai dua. Hatiku berkata bahwa aku harus ke sana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top