1. Cotton Flower


Udara panas nan menyengat kulit langsung terganti dengan sejuknya pendingin ruangan saat aku memasuki lobi salah satu hotel di bilangan Menteng. Langkahku sedikit tergesa, berkali-kali kulirikkan mata ke arah arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri. Jarumnya sudah beranjak dari angka dua, membuatku semakin mempercepat ayunan kaki.

Saat menunggu lift terbuka, ponselku tiba-tiba berdering kembali. Dengan sedikit kesusahan, ku rogoh benda pipih itu dari dalam tote bag yang tersampir di bahu kanan. Aku melihat nama yang tertera pada layar, lalu segera menjawabnya. Dari seberang sana, suara lembut milik Mbak Yasmin terdengar memberikan salam secara buru-buru.

“Iya, Mbak. Aku udah sampai di lobi, nih,” jawabku seraya melirik buket bunga awetan yang berada dalam dekapan tangan kiriku.

Alhamdulillah. Kamu langsung ke hall lantai tiga aja, Tha,” seru Mbak Yasmin terdengar lega.

Dentingan lift terbuka seiring berakhirnya panggilan singkat dari Mbak Yasmin. Segera kakiku melangkah masuk ke dalam benda berbentuk kotak yang akan membawaku ke lantai tiga sesuai petunjuk wanita paruh baya itu.

Aku mengeratkan dekapan pada buket yang kubawa; sebuah karangan bunga awetan cukup besar. Tangan kananku yang bebas mengusap perlahan permukaan halus bunga kapas yang menjadi dekorasi utamanya. Senyumku merekah, melihat betapa cantiknya mereka. Putihnya berpadu dengan lavendel ungu, juga hijau daun eucalyptus. Beberapa helai alang-alang kering juga menjadi aksen tambahan nuansa rustic yang menjadi temanya.

Pintu lift kembali terbuka di lantai tiga. Langkahku segera berbelok ke kanan tanpa melihat petunjuk yang tertera di dinding. Aku memang cukup familier dengan hotel milik keluarga Aryasatya ini sebab mereka adalah salah satu pelanggan yang biasa menggunakan jasa Jasmine Florist & Decoration tempatku bekerja. Selain itu, Kak Ivander, laki-laki yang kini tengah menjadi kekasihku adalah anak pemilik properti di sini.

Mbak Yasmin menyambutku di depan salah satu hall. Beberapa standing flower dengan berbagai ucapan berjajar rapi di sana. Suara percakapan melalui mikrofon samar terdengar dari pintu aula yang sedikit terbuka.

“Maaf, ngerepotin kamu, Tha,” ucap Mbak Yasmin, wanita dengan balutan hijab merah muda itu, saat aku mengangsurkan buket ke tangannya.

“Nggak masalah, Mbak. Udah jadi tugasku di sini bantu Mbak Yasmin. Lagian aku lebih suka dapat ucapan terima kasih daripada kata maaf.” Aku tersenyum lebar, berusaha untuk sedikit bercanda dengannya.

Mbak Yasmin yang notabene adalah pemilik dari Jasmine Florist & Decoration itu mengusap lenganku. “Sekali lagi terima kasih ya, Tha? Mau repot nganterin sendiri padahal ada Si Aa.”

“Nggak apa-apa, Mbak. Lagian aku lebih puas kalau bisa antar bunga hasil kreasi sendiri.” Aku terkekeh. Lagi-lagi berusaha mengurangi ketegangan yang tampak di wajah Mbak Yasmin.

“Calon Nyonya Aryasatya emang berdedikasi, deh. Mau aja panas-panasan di luar. Ivander nggak akan gorok aku, kan, kalau tahu?” tanya Mbak Yasmin sedikit berbisik.

Sontak aku terkekeh. Mbak Yasmin pasti tahu kalau aku tidak akan pernah keberatan berpanas-panas di jalan untuk mengantarkan ini-itu. Menantang terik juga debu polusi di ibukota sudah menjadi rutinitasku selama tinggal di sini beberapa tahun. Namun, beda halnya dengan Kak Ivan yang akan terus mengomel saat aku turun ke jalan menantang debu dan polusi.

“Mereka, nih, tiba-tiba aja minta buket bunga kapas kering,” keluh Mbak Yasmin sambil ekor matanya yang melirik sebentar ke dalam hall.

Gerak-gerik Mbak Yasmin membuatku serta-merta ikut melirikkan mata. Meski aku tidak bisa melihat sepenuhnya apa yang terjadi di dalam sana. “Launching buku siapa, sih, Mbak? Heboh banget kayaknya sampai sewa hall dan segala tetek-bengeknya?”

Aku tidak mampu memendam rasa penasaranku. Hari ini, toko kami mendapatkan pekerjaan mendekorasi venue untuk peluncuran sebuah buku dengan tema rustic. Sedari pagi Mbak Yasmin bahkan sudah berada di lokasi ini guna menghias ruangan seperti desain yang telah disepakati sebelumnya.

Sebenarnya cukup mengherankan untukku. Sebab yang aku tahu, biasanya acara peluncuran seperti ini akan dilakukan di toko buku atau jika ada event pameran. Jarang sekali yang melakukannya di hotel besar.

“Biasalah, Tha. Bukunya orang terkenal dengan follower lebih dari setengah juta,” jawab Mbak Yasmin mengedikkan bahu. “Kamu udah makan siang?”

Pertanyaan Mbak Yasmin seketika mengingatkan bahwa aku telah melewatkan makan siang. Mendadaknya permintaan untuk sebuah karangan bunga yang kini berada dalam dekapan wanita itu, membuatku tidak sempat memberi makan pada perutku. Menyadarkan jika saat ini aku tengah kelaparan.

“Belum, Mbak.” Aku menggeleng seraya menampilkan senyum lebar.

“Cepetan makan dulu sana, Tha! Aku nggak mau nanti Ivan ngamuk-ngamuk kalau calon istrinya sakit gara-gara telat makan,” perintah Mbak Yasmin seraya mengibaskan tangan seakan mengusirku.

Aku hanya tertawa lebar. Sedangkan Mbak Yasmin langsung berpamitan untuk kembali masuk ke hall yang kini riuh tepuk tangan.

Aku berencana untuk mencari makan terlebih dahulu sebelum kembali ke toko. Akan tetapi saat badanku hendak berbalik arah, mataku memindai sesuatu yang berhasil menarik perhatianku. Sebuah easel stand dipajang tepat di samping pintu aula. Benda yang terbuat dari kayu dan berkaki tiga itu menampilkan sebuah poster layaknya kover buku yang dicetak lebih besar.

Kakiku seakan bergerak sendiri untuk mendekatinya. Rasanya ada sesuatu yang menarik dari gambar tersebut untuk aku amati lebih saksama. Sebuah potret bernuansa hitam putih dengan beberapa bagian berwarna hijau pekat yang menampilkan dalamnya belantara. Berkas sinar kecil juga menyeruak dari sela-sela dedaunannya menambah kesan misterius. Satu kata sebagai judul tertulis di atasnya, Psithurism.

Dahiku mengernyit. Bukan hanya karena judulnya yang terdengar begitu asing. Namun, juga rasa yang kutangkap dari potret itu hampir serupa dengan gambar yang dilihat Nina tadi—yang berhasil membuatku bernostalgia sesaat.

Pintu hall masih sedikit terbuka. Sebuah keinginan untuk mengintip ke dalam terasa sangat kuat. Aku melihat siluet seorang laki-laki yang berada di atas panggung, sebelum akhirnya ada suara yang begitu mengejutkanku.

“Selamat siang, Nona Manis,” sapanya tepat di belakangku. Membuatku sedikit berjingkat kaget dan spontan menoleh.

Aku terlonjak kaget mendapati seorang laki-laki sedang menampilkan senyum lebarnya di sana. Guratan wajah tampannya seperti biasa, selalu tampak menyenangkan dipandang. Mata coklatnya yang teduh juga selalu bisa menenangkan perasaan. Tubuh tegapnya berbalut pakaian formal dengan kemeja putih lengan panjang yang terkesan ditata berantakan dan celana bahan berwarna hitam.

“Kak Ivan, bikin kaget aja! Aku kira ada hantu yang lagi nongol siang-siang.” Aku menggeplak bahunya yang lebar dengan gemas. Kebiasaannya yang selalu mengagetkan belum pernah berubah semenjak bertahun-tahun lalu saat kami memutuskan pacaran hingga saat ini aku menjadi calon istrinya.

Kak Ivan terkekeh sambil mencubit hidung bangirku. “Masa ada hantu ganteng begini?”

Aku hanya berdecak-decak dan menggeleng-gelengkan kepala. Narsisnya juga tidak pernah berubah meski usianya sudah tiga puluh tahun. “Iya, Tuan Aryasatya yang gantengnya tujuh turunan.”

Delapan tahun bersamanya ternyata mampu membuatnya menularkan sikap jenaka kepadaku. Kak Ivan terbahak-bahak mendengar candaku.

“Kok, Kak Ivan tahu aku ada di sini?” tanyaku sedikit keheranan karena yang kuingat, aku tidak mengirimkan pesan kepadanya jika aku ada di hotel keluarganya.

“Tadi aku lihat kamu pas jalan di lobi,” jawab Kak Ivan ringan.

Ah, betul juga. Sebagai anak laki-laki dari keluarga Aryasatya, Kak Ivan juga bekerja di sini.

“Terus?”

“Ya, karena aku kangen kamu, aku samperin, deh. Sekalian mau ajak kamu late lunch.” Kak Ivan mengedipkan sebelah matanya dengan genit.

Senyumku menyimpul. “Ayo. Kebetulan aku juga belum makan siang, Kak.”

Wajah Kak Ivan tiba-tiba mengerut. Terlihat ada sedikit kekesalan di sana. “Yasmin kenapa kejam banget, sih, sama kamu? Masa kamu disuruh kerja rodi sampai nggak sempat makan?”

Kali ini dahiku ikut mengernyit. “Lalu apa bedanya sama Kak Ivan yang selalu kerja kayak orang kesetanan dan lupa waktu?”

Kak Ivan kembali tertawa kecil mengiyakan kalimatku. Bahkan dirinya lebih workaholic daripada aku. Sejurus kemudian, laki-laki yang menjadi kekasihku itu mengajak beranjak. Tangannya meraih jemariku untuk digenggam dan menggandengnya.

Aku, sekali lagi berusaha mengintip ke dalam hall. Berusaha mengenali seseorang yang tengah berbicara di atas panggung sana. Entah kenapa, tiba-tiba hatiku berdesir halus kala melihat sekelebat bayangannya.

***

Setelah sesi interogasi ditambah omelan panjang lebar, akhirnya kami sudah ada di sebuah restoran yang menyajikan menu beragam mi. Kak Ivan masih sedikit kesal karena aku terlalu bekerja keras hingga lupa meluangkan sedikit waktu untuk mengisi perut. Bukan hanya itu, tapi juga karena aku nekat menggunakan ojek daring saat mengantar bunga. Tidak aku saja yang kena gerutunya, tapi juga Mbak Yasmin.

“Lain kali jangan lupa makanlah, Sayang. Nanti kalau kamu sakit, aku yang repot,” perintah Kak Ivan sambil Membolak-balikkan buku menu.

“Iya,” jawabku sedikit malas untuk mendebatnya.

“Debu dan polusi di Jakarta juga nggak sehat, Tha.”

“Semua debu dan polusi juga nggak sehat, Kak,” sungutku

“Udahlah.” Kak Ivan mendengkus. “Cepat pesan makanannya.”

Aku kembali semringah. Perutku memang sudah kelaparan dari tadi. Dengan semangat aku memesan mi ayam jamur pangsit dengan taburan keju favoritku di sini. Kak Ivan memang selalu tahu kesukaanku.

“Jumat besok kamu jadi ke Jawa?” tanya Kak Ivan kemudian.

“Iya. Nanti langsung pulang, kok. Nggak menginap di sana,” jawabku.

Aku tahu, sebenarnya Kak Ivan keberatan aku pulang ke tempat kelahiranku tanpa dirinya. Akan tetapi, itu adalah hari kematian Mbah Putri lima tahun lalu. Aku, seperti tahun-tahun sebelumnya, ingin mengunjungi makamnya.

Selepas aku SMA, Mbah Putri yang tubuhnya semakin renta pun digerogoti penyakit, terutama stroke. Aku sampai harus merelakan impianku untuk kuliah agar bisa mencari uang demi pengobatan beliau. Setelah beliau meninggal, aku kemudian memutuskan untuk melanjutkan hidupku di sini, dekat dengan Kak Ivan yang menjadi sandaranku satu-satunya.

“Nggak bisa ditunda, Tha? Kita bisa ke sana bersama hari Sabtu atau Minggu gitu,” bujuk Kak Ivan.

“Hari kematian Mbah Putri itu Jumat besok, Kak. Sabtu-Minggu jadwal toko full. Lagi musim orang nikahan. Mbak Yasmin nggak mungkin kasih izin cuti.” Aku menggeleng tegas.

“Tapi, kamu ke sana sendirian, Tha.”

“Biasa juga sendirian.”

Kak Ivan menghela napas. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dengan beludru berwarna merah dari saku celananya. Tampak sebuah cincin dengan taburan berlian berdesain sederhana begitu kotak itu dibuka.

“Paling nggak, kamu mau pakai ini, ya?” pinta Kak Ivan seraya menyodorkan cincin itu kepadaku. “Biar kalau ada yang tiba-tiba naksir kamu di sana, dia tahu bahwa Tabitha Sahila itu sudah menjadi milik Ivander Aryasatya.”

Aku memandang nanar cincin di dalam kotak itu. Taburan berlian yang melingkarinya tampak berkilau tertimpa cahaya lampu di restoran. Desainnya yang sederhana terlihat cocok dengan aku. Kak Ivan pasti sudah memilihnya dengan saksama.

Harusnya aku senang, bukan? Otakku berkali-kali mengatakan hal itu saat Kak Ivan secara langsung maupun tidak melamarku. Akan tetapi, ragu itu tidak mampu dihindari oleh hatiku.

Aku tahu, aku menjadi wanita kejam di sini. Bagaimana bisa aku menggantungkan perasaan Kak Ivan seperti ini. Bahkan wajahnya yang kini terlihat memohon dengan sangat, sungguh menyakitkan hatiku.

“Uh, so sweet sekali, nih, Abang Pacar,” jawabku akhirnya, berusaha tersenyum lebar dan sedikit menggodanya.

Kak Ivan langsung menghadiahiku dengan matanya yang membola. Membuatku terkikik geli saat melihat ekspresinya. Aku tahu Kak Ivan tidak suka ketika aku berlagak dengan suara yang dimanis-maniskan.

“Tha?!” geram Kak Ivan yang melihatku masih cekikikan sendiri.

Wajahnya memang terlihat sangat menggemaskan di mataku ketika sedang kesal. Karenanya, terkadang aku suka menggoda Kak Ivan demi bisa melihat ekspresi kesalnya yang lucu. Sangat kontras dengan raut wajah menyenangkannya.

“Iya iya, Kak.” Akhirnya aku berhenti terkikik karena wajah Kak Ivan yang mulai merah padam. “Sini aku pakai.”

Aku terima cincin itu dari Kak Ivan, lalu memakainya di jari manis. Sangat pas ukuran. Aku memamerkan jari yang sudah berhias cincin itu kepadanya.

“Gimana? Cantik?” tanyaku.

Kak Ivan tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. Dia mengangguk. “Cantik, sih. Tapi yang pakai jauh lebih cantik lagi.”

Aku terkekeh sedikit malu. Rayuannya sejak dulu selalu ampuh membuatku tersipu-sipu. Dasar tukang gombal. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top