Four💤
Ikutin kata hati bukan katanya.
Happy Reading ❤️
~•°'•°π•°•'~
Gue terbelalak melihat sosok yang tengah duduk sambil meminum habis mineral yang tadi gue belikan.
Kalian tahu tidak siapa dia? Ternyata yang bikin gue parnoan tadi hanya seorang bocil yang berusia kurang lebih sepuluh tahun. Ketika gue bertanya pada dia kenapa ngikutin ternyata anak itu tidak tahu arah jalan pulang. Tapi yang bikin gue heran, kenapa tadi bayangannya seperti orang dewasa? Walau anak ini sebenarnya juga tinggi tapi gue yakin gak sebesar bayangan yang gue liat.
Aneh.
Anak laki-laki itu terlihat pucat dan kembali memberikan botol kosong itu pada gue. Aelah dek udah habis juga ngapain di balikkan lagi. Gue membuang botol itu tepat di tempat sampah yang kebetulan ada di samping gue. Kita sedang duduk di pinggiran dekat minimarket kecil.
"Eum.. dek rumahnya dimana?"
Anak itu menggeleng. Gue pikir gak punya rumah kali yah, tapi sedetik kemudian anak itu mengangguk.
Kenapa sih?
"Hah?"
"Aku mau pulang kak...."
Gue mendengkus kesal. Perasaan dari tadi gue tanyain rumah dia dimana kaga ada di jawabnya. Terus gimana gue mau antar dia coba? Dasar bocil.
"Rumahnya dimana? Biar kakak antar aja deh. Lagian kamu kok bisa nyasar sampe kesini. Ingat jalan pulang gak?" tanya gue berturut turut. Capek gue kalau ngomong berulang-ulang mending di tanyakan semuanya.
Tapi, anak itu menggeleng lagi dan menatap gue dengan sendu.
Buset dah. Lumayan cakep nih anak. Siapa dah mak bapak nya.
"Aku mau ikut kakak boleh?"
Lah lah nih bocil sok kenal sok dekat ternyata. Karena gue gak mau emosian dulu akhirnya gue tersenyum tipis ke anak itu.
"Engga boleh. Nanti orang tua kamu nyariin. Mending kakak antar aja deh, kamu masih ingat kan apa nama komplek rumah kamu? Atau mungkin gang? Atau lainnya lah."
Lagi lagi anak itu menggeleng.
Kampret! Tuh bocil bisanya apa sih selain geleng-geleng? Harusnya seusia dia hapal jalan pulang. Apa jangan-jangan dia idiot? Tapi orang idiot juga masih pinter ngingat jalanan.
"Aku mau ikut kakak. Aku takut sendirian."
Gue membalas dengan gelengan lagi lagi dan lagi. "Engga boleh. Lo itu anak orang bukan anak gue. Mana mungkin gue bawa balik anak orang, entar keluarga lo pada nyariin dek." Ucap gue dengan nada kesal.
Tiba-tiba saja gue melihat raut wajah anak itu yang semakin sedih. Kenapa yah? Gue salah ngomong? Apa yang tadi itu nyakitin hati dia. Gak mungkin lah.
"Kenapa?"
Gue langsung kaget saat anak itu malah sesegukan. "Eh eh kenapa dek? Jangan nangis dong, ini udah malam entar orang-orang yang lewat pada ngira gue ngapa-ngapain lo."
"A-aku ... aku gak punya ke-keluarga lagi kak. M-mereka ninggalin aku." Ucapnya sesegukan.
Gue panik dan bingung. Maksud dia apa sih? Otak gue belum nyampe.
"Maksudnya? Kamu di buang?" celetuk gue yang malah di geleng-geleng anak itu. Terus apa dong?
"Mereka mati."
Deg.
Seketika jantung gue dugun-dugun. Rasa tegang dan kaku dadakan membuat gue tak tahu lagi harus mengatakan apa. Beberapa menit gue terdiam masih mencerna ucapannya. Sedangkan anak itu masih sesegukan.
"Mati? Coba kamu jelaskan gimana sih? Sumpah dek jangan bercanda, ini udah malam. Kamu ngomong horor banget sih." Ucap gue masih rada takut-takut.
Anak itu menghentikan isakkan nya. Sepertinya dia sangat sedih.
"Rumah aku di rampok. Mereka ada tiga. Saat itu aku sedang tidur. Tapi aku kebangun karena suara berisik. Lalu aku keluar dari kamar dan melihat kedua orang tuaku di tusuk oleh perampok nya. Mama masih sadar dan nyuruh aku untuk keluar bersama adikku."
Gue dengerin ceritanya dengan khidmat. Sesekali anak itu berhenti untuk mengatur nafasnya. Kasihan juga.
"Ketika aku ingin membawa adik perempuan ku tiba-tiba perampok itu nahan tangan adikku. Kami berteriak minta tolong, sayangnya gak ada satupun yang datang. Lalu aku berusaha keras untuk melepas cekatan di tangan adikku. Setelah berhasil lepas aku menarik adik untuk keluar rumah. Tapi semua pintu terkunci. Para pembantu sedang di liburkan dan satpam yang berjaga juga tidak tahu kemana. Aku dan adik ketakutan. Kami memutuskan untuk lari ke kamar aku.
Aku pikir dengan mengunci pintu kamar mereka tidak akan bisa masuk. Ternyata aku salah, mereka dengan kasarnya mendobrak pintu itu hingga hancur. Aku tidak tau lagi harus lewat apa untuk keluar. Adikku menarik-narik bajuku dan menunjuk ke arah balkon. Saat itu yang ada di otakku, aku harus keluar lewat situ. Dan mungkin adikku juga berfikir seperti itu. Aku memeluk adik karena dia sangat ketakutan sampai menangis. Hingga satu perampok menembak adikku tepat di dahinya. Aku berteriak-teriak karena adikku sudah jatuh. Dia memukul pelan tanganku agar aku segera turun kebawah. Sebelum itu dia menunjukkan kalau ada tali yang tergantung di pagar besi balkon. Aku meninggalkan adikku yang sudah mati, nyawanya gak tertolong lagi akhirnya aku melompat lewat tali itu dan berhasil kabur dari perampok."
Hiks...
Tiba-tiba tetesan air bening jatuh begitu saja dari tempatnya. Mendengar cerita anak itu bikin gue mewek. Kasihan masih kecil tapi harus menyaksikan adegan yang tragis menimpa keluarga nya. Bahkan rasanya dada gue terasa sesak, tidak kebayang bagaimana jika gue yang ada disana? Mengapa ada manusia keji yang melakukan tindak kejahatan pada anak seusianya. Kira-kira gue harus apa? Menolongnya dan bawa pulang atau tinggalin?
Mungkin, kalau aku di posisinya... Aku pasti akan sama seperti anak ini.
Bahkan aku bakal menangis lebih parah darinya...
Jadi sekarang?
Gue harus apa?
__Bersambung__
°Jangan jadi readers yg sombong. Habis baca di vote juga!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top