8. Hari-Hari Berikutnya Pasti Merepotkan

PARA PENGHUNI rumah pohon sudah kembali, lengkap tanpa ada yang menghilang satu pun walau bukan pada waktu yang berbarengan. Lewat pohon-pohon, Alex mengetahui proses penuaan Shaun merepotkan nenek tua itu, jadi dia harus jalan duduk jalan duduk. Berjalan dua langkah sudah seperti dua ratus meter, sedangkan duduk dua menit tak ada bedanya. Menggunakan sapu terbang dan melintasi langit agaknya kurang memungkinan mengingat sihirnya kini menguras banyak tenaga. Kasihan kondisinya. Sebab karakter Shaun ialah serba sok ingin segala sendiri, jadi Alex membawa pulang anak-anak duluan dengan iming-iming mendongengkan sesuatu di tempat tidur, tapi itu tak semudah yang dibayangkan. Barangkali sebuah karma sebab sebenarnya tak ada yang ingin Alex dongengkan pada mereka.

"Bagaimana dengan Mama? Dia belum bersama kita, 'kan?" tanya Allysa, masih cemas sewaktu Alex mengajak pulang. "Kita harus mencarinya."

Dan Alex membalas seperti ini: "Aku bisa merasakan sihirnya dan dia baik-baik saja. Tenanglah, Shaun sedang ada keperluan. Dia bisa menjaga dirinya. Kalian pikir sudah berapa lama ia hidup?"

"Keperluan macam apa yang Nenek lakukan di hutan?" Giliran Ray menyuarakan rasa penasarannya. Anak-anak mana yang tidak akan tertarik pada pernyataan misterius? Ray mengerutkan dahinya, seolah-olah sedang berpikir keras kendati itu cuma jebakan supaya Alex segera memberi tahu kebenaran. Beruntung dia tak penasaran akan sihir yang dirasakan Alex.

Tapi tentu naga terbang tak akan mengkhianati kawan tuanya, disogok memakai apa pun itu tak akan berhasil. Allysa dan Ray tetap ingin mencari Shaun, jadi Alex terpaksa mengancam akan meninggalkan mereka di hutan. Ancaman tersebut lumayan ampuh mengingat Shaun melarang bermain sendirian di hutan. Mereka sama-sama tak ingin Shaun khawatir. Untuk kali ini, sebagai contoh manusia yang baik, mereka harus menurut meski makhluk yang memberi perintah lumayan menyebalkan.

Tadinya Alex berpikir tak akan ada masalah lagi, tapi ia lupa mereka tetaplah anak-anak yang hiperaktif. Sepanjang perjalanan pulang, kepala Alex jadi tambah sakit mendengarkan racauan anak-anak. Fokusnya terbelah jadi dua: satu untuk situasi di sekitarnya dan satu untuk mendengarkan pohon yang menjelaskan situasi dan kondisi Shaun. Bagaimana kepalanya tak serasa mau meledak? Sebelumnya ia tak pernah berjumpa dengan manusia seintens ini. Nasihat keturunannya bilang manusia itu makhluk yang tak bisa ditebak, berbahaya, dan harus berhati-hati jikalau berhadapan dengan mereka. Walau Allysa dan Ray belum sepenuhnya menjadi manusia dewasa, otak kecil mereka saja sudah mengerikan.

Tak heran sewaktu pertama kali berjumpa Alex lumayan kaku terhadap kehadiran mereka. Tur berkunjung ke rumah pohon awalnya cuma pura-pura. Alex paham betul bagaimana menyenangkan hati anak kecil. Pemikirannya itu berubah tatkala ia mengetahui masa penuaan Shaun dan rahasia-rahasianya, lalu sedikit terkontaminasi oleh hasutan Ray mengenai kutukan hutan dan kota. Jujur saja, ia sendiri pun menjadi penasaran dan ingin berpetualang bersama-sama. Sudah lama sekali sejak Alex berkelana ke sama kemari sebelum menghabiskan hari-hari dengan tidur.

Di lain sisi, anak-anak itu menggemaskan, terutama Invi beserta kucingnya.

Kehidupan yang seperti ini tak masalah, pikir Alex. Sekarang ia cuma perlu berbicara serius pada Shaun terkait masa penuaan, lalu rencana penjelajahan yang sudah pasti tak akan berjalan mulus. Alex belajar merancang kata-kata bagus supaya Shaun melarang anak-anak. Tidak boleh ada aktivitas melelahkan dalam waktu dekat ini, tidak untuk sekarang. Kesehatan Shaun lebih penting, dia harus beristirahat. Urusan mementingkan masa pertumbuhan anak-anak biar diurus belakangan atau pikirkan cara lain.

Apa pun asal bukan menjelajah, bukan mencari kebenaran di balik kutukan, dan sesuatu yang menguras energi kehidupan Shaun. Bah, Alex jadi memutar otak keras sekali sampai betulan ingin meledak. Sebelumnya ia jarang menggunakan anggota organ dalam yang satu itu mengingat hidupnya belakangan cuma dihabiskan untuk tidur.

Ketiganya pun pulang pada saat matahari mulai meredup. Allysa yang pertama mengecek kondisi rumah langsung panik bukan kepalang. "Mama belum pulang. Wendy juga menghilang!" serunya, melompat-lompat, menguncang bahu Ray, dan mondar-mandir. "Kita harus cari dia!"

Sekarang Alex jadi paham mengapa Shaun begitu mencintai anak-anak ini. Hati anak-anak begitu lembut, karakter yang polos, penuh ketidaktahuan yang diisi keingintahuan, ditamnah belum menyadari betapa beratnya hidup. Semuanya masih terasa menyenangkan bagi mereka bahkan meski mara bahaya menanti. Kalau sudah begini Alex tambah yakin untuk berkata pada Shaun janganlah izinkan kegiatan menjelajah atau semacam itu. Mereka bisa melakukannya saat sudah dewasa nanti dan kondisi Shaun sebagai penyihir yang bertanggungjawab pulih.

Entah bagaimana jadinya, berkat bantuan sang adik, Allysa sudah tenang. Bersama dengan Invi, mereka berkumpul di kasur untuk mendengarkan dongeng sesuai janji si naga terbang. Ray berseru dia lapar, tapi karena Shaun belum pulang dan Allysa hanya bisa membuat segelas susu dan roti panggang, maka hanya itulah camilan mereka.

"Sebetulnya aku masih cemas Mama dan Wendy tidak ada," tutur Allysa tatkala berbaring di kasur. "Mereka tidak biasanya seperti ini. Tapi kurasa Ray benar, mereka tidak asing dengan hutan sehingga bisa menjaga diri. Selain itu Alex juga bisa merasakan sihir mereka, jadi kalau ada sesuatu yang aneh-aneh kita bisa segera mencari mereka."

Bagi Alex, ia menghargai rasa khawatir anak-anak ini. Tapi sepertinya mereka sedikit terpengaruhi antah-berantah penduduk kota. Hutan juga memancarkan sihir dan berbahaya pada saat-saat tertentu, dan tidak semengerikan yang dibayangkan. Tak ada gunanya terus-terusan memikirkan hal tersebut.

"Aku tidak ingin kalian terus bersedih," ujarnya, "sebab kita tahu mereka baik-baik saja. Nah anak-anak kalian tahu kan hanya sebagian kecil yang aku ingat? Aku tak menjanjikan apa pun, tapi apa yang ingin kalian dengar? Kisah berpetualang? Sayangnya yang kulihat cuma angkasa biru beserta si putih awan."

Ray cemberut mendengarnya, padahal ia berharap bisa mendapat dongeng yang lebih luar biasa. Siapa tahu kan, buku-buku tua yang sudah usang tak akan mampu menampung kisah tersebut. "Pembohong!" rengeknya seraya membalikkan badan.

Tidak ada kisah dongeng yang dijanjikan naga terbang, yang ada hanyalah lelucon konyol yang saling dilemparkan sampai gelap tiba dan dua penghuni yang ditunggu muncul juga. Begitu Shaun dan Wendy membuka pintu, kehadirannya dapat dirasakan sehingga Allysa buru-buru menyambut ke bawah. Ia melompat-lompat senang dan memeluk Shaun. "Aku pikir Mama kenapa-kenapa," lirihnya.

Dan Shaun akan membalas dengan senyum paling indah miliknya. Ia tampak sehat, tak kewalahan dan sakit, atau apa pun yang membuat anak-anak khawatir. Alex berpikir nenek tua itu pasti memakai sihir untuk mengelabui, tapi ia tak merasakan sihirnya atau memang sihir semacam itu menggunakan energi yang sedikit? Shaun pasti sedang memaksakan diri.

Jadi sewaktu penghuni rumah pohon sibuk pada jam makan malam, diam-diam Alex menggiring Wendy untuk berbicara di luar. Hubungan mereka memang tak cukup baik, namun bukan berarti saling mengabaikan dan tak peduli. Sepertinya Wendy juga menyadari apa yang hendak naga terbang sampaikan.

"Aku tahu apa yang terjadi," kata Alex tanpa basa-basi. "Entah mengapa aku terhubung dengan para pohon, itu terjadi tiba-tiba dan aku tidak bisa mengalihkan pikiranku."

Wendy tak begitu bereaksi, tampangnya kusut. Ia memandang Alex lekat-lekat. "Lalu? Menurutmu apa yang harus kita lakukan?"

"Membuatnya istirahat. Jangan izinkan anak-anak menjelajah."

"Aku setuju, tapi itu akan sulit sekali," balas Wendy lemah. Sebetulnya perihal menjelajah, kutukan, atau apalah itu Wendy tak masalah. Toh sudah jelas ia tak akan terlalu sering berpartisipasi dan lebih memilih tidur. Bisa mendengarkan cerita anak-anak tatkala pulang saja sudah menyenangkan. Tapi jika kondisi Shaun memburuk, jelas itu akan menjadi masalah.

Anak-anak nanti dalam bahaya, dan tak ada yang bisa menjaga mereka dari kecelakaan selain Shaun.

Jikalau nanti sudah dilarang, anak-anak pasti kecewa melihat Shaun yang tak teguh pendirian. Mereka akan merengek, bersikap konyol, atau diam-diam pergi. Shaun lemah akan kepolosan anak-anak yang menginginkan pertanyaan dalam benak mereka terisi. Tapi jika ia bersikeras ingin membiarkan, maka yang menjadi bahaya adalah kondisi kesehatannya sendiri. Pilihan yang mana pun itu rasanya tak ada yang menguntungkan dan terdapat resiko masing-masing.

Mendadak Wendy ikut bingung. Meski ia memang belum hidup berabad-abad dan menghabiskan banyak waktu bersama Shaun, rasanya kucing hitam itu sudah hapal betul bagaimana karakter sosok yang menyelamatkannya dari kematian.

Setidaknya ini sedikit mirip dengan balas budi.

"Bagaimanapun caranya, kita harus pikirkan cara supaya dia istirahat dan mencari pengalihan pada anak-anak," tambah Alex, terbang naik turun di atas kepala Wendy. Bisa-bisanya mereka sejalan dalam perbincangan kali ini, ia benar-benar tak mengira. Padahal beberapa jam lalu saja mereka masih sempat-sempatnya mempermasalahkan posisi kasur. Menurut Alex terlalu dekat jendela yang jikalau siang terik matahari bisa sangat menyengat, sementara bagi si kucing memang sengaja demikian supaya dapat berjemur.

Kemudian saat berangkat perdebatan itu terlupakan begitu saja. Begitu pulang kemari membawa topik baru dan secara ajaib mau bekerja sama. Yah, sudah dikatakan bukan? Mereka tak benar-benar membenci, dan sama sekali tak bermaksud terbawa suasana dengan perdebatan yang tak kira-kira itu. Cuma candaan yang lucu, barangkali? Respons keduanya dalam berdebat juga lumayan menggemaskan, mereka jadi keterusan.

Walau keduanya sama-sama berharap bisa menyakinkan si Nenek Penyihir, bukan bermaksud pesimis tapi Wendy sebisa mungkin menahan diri untuk tidak mengatakan: tetap tidak akan berhasil dan pembicaraan sederhana ini sia-sia.

**

SHAUN BISA mengetahui apa yang tengah naga terbang dan kucing hitamnya bicarakan di luar. Kerongkongannya serasa tercekat dan pikirannya sedikit tidak jernih. Nah, nah. Jadi begini rasanya dibicarakan di belakang? Pantas hawanya terasa tidak enak, walau itu bukan perbincangan yang buruk sih. Ia tahu kedua kawannya cuma khawatir, tapi tidak enak membuat mereka memikirkan sesuatu untuk menolong dirinya. Shaun ingin menghampiri keduanya dan memastikan kalau ia baik-baik saja.

Kondisi seperti ini bukan masalah, cepat atau lambat ia pasti pulih. Shaun akui ini memang mengganggunya, apalagi ia menjadi tak begitu bebas. Apa pun itu Shaun terlatih melewati segalanya dengan keoptimisan. Namun terkadang orang lain selalu berpikir terlampau jauh dan menyimpulkan yang tidak-tidak─itu jadi mempengaruhinya dan bukanlah hal bagus.

"Ma! Mama memikirkan apa?" Itu suara Allysa. Ia makan dengan lahap dan sepertinya segala yang mengganggu pikirannya sudah padam.

Shaun sontak menggeleng. "Bukan apa-apa, Sayang. Tak perlu dipikirkan."

"Ngomong-ngomong Nenek belum cerita," timpal Ray, yang sudah berkutat dengan susu hangatnya. Ia menenguknya pelan-pelan. "Apa yang Nenek lakukan? Aku tahu Nenek memang sering berkeliaran di hutan, tapi sampai meninggalkan kami ... itu lumayan menakutkan. Untung ada Alex." Disusul anggukan kepala sang kakak.

Diapit pada dua situasi yang sama-sama mengkhawatirkan kondisinya ... Shaun betulan tak enak hati. Terlebih, anak-anak ini tak tahu apa-apa. Mereka masih terlalu kecil untuk melakoni hidup orang dewasa. Nah, Shaun jadi setuju dengan dua sohibnya. Ia harus melarang anak-anak menjelajah hutan. Tidak untuk sekarang. Usia mereka belum cukup matang untuk menguak ihwal yang besar, dan lagi kondisinya memang sedang tak bagus.

Atau bisa saja, proses penuaannya berujung pada kematian.

Suatu kesimpulan yang mengantarkannya pada bencana. Shaun mengerang. "Anak-anak, ayo tidur," tuturnya, membersihkan mulut Invi dan menggendongnya. "Kalian pasti lelah. Cepatlah tidur dan biarkan saja piringnya di meja."

Ia berjalan duluan ke kamar diikuti si adik kakak, menaruh Invi ke ranjang terpisah, lalu menyelimuti sisanya. Tak lupa mematikan lampu dan kecupan manis di dahi. Biasanya Shaun sering berlama-lama, tapi kali ini ia punya urusan lain.

Seusai memastikan anak-anak ambruk di kasur, Shaun beranjak pergi dan menghampiri kedua sohibnya yang masih di luar. Situasinya pasti canggung dan aneh, tak enak dan merasa bersalah. Shaun mungkin tidak memiliki kesempatan lain lagi untuk bicara, jadi ia keluar.

Ketika kakinya menginjak lantai kayu di luar, Alex dan Wendy tampak tak begitu terkejut. Keduanya saling pandang dengan tatapan sulit, seolah-olah segala tutur kata yang barusan dirancang dan rasa khawatir di hati sulit didefinisikan.

"Hai," cicit Alex begitu lembut, tak seperti biasanya yang kasar dan serampangan. Ia menunjukkan betapa dirinya menganggap kehadiran Shaun cukup berarti. "Kau sudah tahu situasinya, bukan?"

"Bagaimana dengan anak-anak? Mereka sudah tidur?" timpal Wendy, mendekatkan dirinya pada sang pemilik.

Shaun mengangguk lemah, sebagai tanda jawabannya sudah mewakili untuk masing-masing pertanyaan. Mendadak ia juga jadi kehilangan kemampuan merangkai kata. Padahal hatinya berbicara ini dan itu paling banyak dan saling bertabrakan, tapi begitu mencapai ujung lidah hanya kebisuan yang ada. Bahkan sihir pun tak mampu membantunya.

Mengapa aku tampak begitu bodoh? Hatinya terus menjerit.

Alex menempatkan diri pada bahu si penyihir. "Shaun ... ini masa yang sulit untukmu. Tapi sebesar apa pun keinginanmu untuk membuat anak-anak bahagia, kau tak perlu memaksakan diri. Dan lagi mari pikirkan sejenak, keputusan awalmu sudah tepat; melarang bermain di hutan. Mereka belum cukup umur. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka ... aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya."

Sudah lama sekali sejak Alex bertutur bijak, dan si penyihir bisa merasakan kehangatan hatinya. Shaun memaksakan diri untuk tersenyum. "Alex ... maafkan aku. Sepertinya aku tak bisa mengembalikanmu menjadi raksasa. Nah, apa yang harus kulakukan?"

Alex pasti marah, pikir Shaun. Sudah seharusnya seperti itu. Salahnya yang bermain-main duluan. Awalnya sih beranggapan akan sangat repot jika Alex tetap dalam ukuran raksasanya, anak-anak juga pasti ketakutan. Tapi mendadak ia menyesal. Padahal dengan ukuran itu, jika terjadi apa-apa pada anak-anak Alex bisa mengatasinya sehingga Shaun tak perlu cemas.

Di lantai kayu yang dingin, Wendy dapat melihat sorot keterkejutan yang tiada tara dari naga terbang. Itu pasti menyakitkan, dan ini bukan salah Shaun sepenuhnya. Wendy menegahi, "Kalau begitu untuk mengembalikan tubuh Alex, istirahat adalah prioritas terpenting. Ah, sebenarnya istirahat yang kita maksud tentu adalah tidur lama yang dilindungi sihir untuk menstabilkan kembali tubuh. Dan kau cemas terkait respons anak-anak ... aku bisa memahami hal itu. Tapi jika terus dibiarkan nantinya kau akan menderita sendiri."

"Satu-satunya pilihan paling bijak adalah jujur pada mereka. Lalu kau istirahat, lalu biarkan kami menjaga anak-anak," tambah Alex. "Aku yakin hati mereka sudah cukup dewasa untuk memahami kondisimu."

"Biarkan aku memutuskan," lirih Shaun, kemudian mengajak keduanya masuk. Angin malam mulai berkelebat tak karuan dan ia dapat merasakan sihir yang agak berbahaya. Di dalam rumah pohon tentu aman, tapi rasanya sihir itu tak biasa. Ah, Shaun berusaha untuk tidak memikirkannya. Ia punya pekerjaan rumah yang lebih menguras pikiran.

Sepanjang berabad-abad hidup, berada di ambang akankah esok mati atau tidak sungguh merepotkan, begitu pun hari-hari berikutnya. Anggaplah sedikit serakah dalam menjalani kehidupan, Shaun masih memiliki banyak hal yang ingin dilakukannya. Ini pertama kalinya ia berpikir hidup tidaklah membosankan dan terus mendamba hari esok menyambut. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top