7. Penyihir Antagonis Tetaplah Antagonis

TETUA JEFFERSON jatuh sakit, sejak dua hari yang lalu dan tidak menampakkan diri. Kabar ini sampai dari telinga menuju telinga begitu cepatnya. Para penduduk kota khawatir. Mereka mengirimkan banyak makanan dan buah-buahan, dan menjadi lebih sering memanjatkan doa supaya Tetua mereka tercinta diberkahi Tuhan agar cepat sembuh. Tidak jarang mereka melakukan ini demi pemimpin baik hati di kota.

Akan tetapi, masalah yang lain timbul.

Tahanan-tahanan di kota Vurch melarikan diri dari sel penjara. Sebanyak satu lusin yang bertampang sangar dan penuh luka di wajah. Mereka mengacaukan beberapa tempat seperti: pasar, kebun, daerah pembangunan, bagian depan rompok Tetua, klinik, taman kota, dan lain-lain. Akibatnya, kota Vurch kembali terbelah dan mempertanyakan kesejahteraan hidup mereka. Sudah dihantui kejahatan penyihir dan kutukan, kini tempat bermukim sendiri tidak memberikan kenyamanan? Lebih baik mengungsikan diri ke kota lain sejak lama. Terkutuk sekali hidup mereka, seakan-akan di segala penjuru terdapat kutukan.

Para Tetua tidak bisa diandalkan sebab mereka tidak terbiasa membereskan hal ini dikarenakan kasus tahanan mengamuk itu tidak pernah ada. Barangkali pernah terjadi, mungkin tidak parah dan begitu mudah dibereskan. Atau mereka memang tak berpengalaman?

Tidak ada yang tahu bagaimana para tahanan itu melarikan diri. Sebab seharusnya di dalam sel penjara, mereka disiksa dan menjadi tak berdaya lalu mengakui kesalahan dan berjanji tak akan mengulanginya. Tak ada catatan di masa lalu jika penghuni tahanan mengadakan pesta balas dendam, atau sekadar mengacau dan mencari perhatian. Ini sangat tidak wajar.

Sedangkan penduduk kota sendiri, para lelaki jantan sudah berusaha untuk menghentikan namun berakhir terpental dan tulang menjadi patah. Istri-istri mereka panik dan ketakutan, sehingga yang dapat mereka lakukan hanyalah bergerombol, menonton, bersua meminta pertolongan, marah-marah, tanpa berani mendekati para tahanan. Supaya korban-korban tak berjatuhan, jika mereka harus berkilah.

"Mereka merusak kebun semangkaku yang telah aku rawat sepenuh hati!" protes seorang kakek paruh baya di dekat rompok para Tetua. "Lakukanlah sesuatu, wahai Tetua yang senantiasa kami andalkan!"

"Percuma! Mereka tidak mendengar kita, barangkali perlengkapan mereka juga dirusak tahanan-tahanan itu!" seru wanita berbadan tinggi.

"Kota kita yang malang!"

"Saya jadi tak ingin hidup!"

"Kasihan suamiku! Kakinya patah dan bagaimana ia bekerja demi anak kami nantinya?!"

"Bagaimana kita akan menang melawan penyihir?!"

"Ayo suarakan terus keluhan kalian!"

Di balik jendela kecil, Tetua Jefferson dapat mendengar seruan-seruan tersebut. Semuanya menyiratkan amarah, kejengkelan, keresahan, serta ketakutan. Kalau sudah begini, naluri alaminya yang selalu ingin membantu mulai aktif. Akan tetapi, badan jangkungnya sedang terkulai lemah di atas kasur. Ia betulan sakit, dan tidak dapat bangun sebab tubuhnya dirasa amat sangat lemah sekaligus migrain menyerang. Berpikir jernih saja tidak mampu. Tetua Jefferson yang cemas ingin memastikan keadaan di luar.

Ia jadi rindu masa kecil. Dahulu barangkali begini. Ayahnya─yang juga merupakan Tetua─kewalahan menghadapi penduduk kota yang membutuhkan pertolongan. Tetapi semua itu dilakukan atas rasa sayang pada penduduk. Sebelum beliau meninggal dunia, Tetua Jefferson ingat ayahnya berpesan untuk selalu mengutamakan penduduk. Hanya mereka-lah harta para Tetua satu-satunya. Barangkali, hanya ayahnya dan Tetua Jefferson saja yang berpikir demikian. Meski begitu, ia tak akan pernah melepaskan tanggungjawab tersebut.

Pintu kamarnya terbuka. Muncul Tetua Gloe membawakan nampan berisi semangkuk bubur dan teh hangat. "Isilah perutmu supaya tak semakin lemas," tuturnya halus.

"Ah, trims," balas Tetua Jefferson. Ia hendak duduk dan menyandarkan punggung ke sandaran kasur, namun mengangkat diri saja tetap tak sanggup. Alih-alih menyerah lantas memilih memejamkan mata, Tetua Jefferson bersikukuh ingin mengunyah sesuatu di lidah. "Sepertinya aku akan makan seperti ini."

"Tidak. Cara seperti itu barangkali membuatmu cepat mati. Para Tetua harus menerapkan kebiasaan yang baik, ingat? Setidaknya dengan bantal kau bisa bersandar pada sesuatu yang lebih tinggi dan empuk." Tetua Gloe membantu merapikan persoalan bantal dan secara hati-hati menuntun Tetua Jefferson meletakkan kepala, tetapi ia tak berhenti sampai di sana. Sejatinya teman yang sedang sakit perlu lebih dikasihani. "Butuh bantuan suapan?" tawarnya.

"Tidak, trims. Aku bukan anak kecil," sunggut Tetua Jefferson yang mulai makan. Satu suapan berhasil masuk mulut dan menggelitiki lidah. Bah, terasa hambar dan pahit. Ia ingin memuntahkannya. Maka setelah susah payah mengunyah rasa yang menjadi tak sedap, Tetua Jefferson tak menyentuh makanannya kembali.

Dilema orang sakit sungguh sederhana. Mereka harus makan supaya cepat sembuh dan tenaga terisi, namun indera pengecap mereka lebih dominan tak bisa diajak kompromi. Segala makanan dan minuman terasa membohongi lidah, lantas siapa pun menjadi tak nafsu makan. Kalau ada yang bertanya bagaimana orang sakit sembuh, jawabannya barangkali tidur sepanjang hari dan meminum obat─dengan begitu indera pengecap berangsur-angsur terbiasa pada kondisi ini dan mereka akan makan.

Tetapi sejak awal, mengisi perut bukanlah tujuan utama Tetua Jefferson jika ada yang datang. Jadi, ia menarik napas dalam supaya bicaranya tak tersendat dan menatap Tetua Gloe lekat-lekat. "Apa yang terjadi di luar sana? Mengapa penduduk kita sedari tadi berisik?"

"Kau ini selalu saja mengkhawatirkan orang lain," gerutu Tetua Gloe, mengambil kembali nampan makanan dan menyimpannya di kenap samping kasur. "Para tahanan melarikan diri dan mengacau. Tidakkah itu ajaib? Lain kali kita harus rajin mengganti gembok dan selnya, sekaligus memeriksa barangkali ada lubang atau semacamnya."

"Untuk apa mereka melakukan itu? Balas dendam? Mengapa kalian tidak segera membereskan masalah ini?"

Tetua Gloe menggeleng lemah sebagai jawaban. Mendadak, pening yang dirasa bertambah berat seolah memaksa agar segera terlelap. Ia tak boleh berada di atas kasur terus-menerus. Meski hanya perkara tahanan tak tahu diri yang mengacau, tetap saja, penduduk kota membutuhkan para Tetua. Dan apa barusan? Mengapa mereka tak mau turun tangan? Menurutnya sih, Tetua Gloe pasti bakal menyelesaikannya demi penduduk. Barangkali ia punya tugas lain─menjenguk Tetua Jefferson, misalnya? Nah kalau sudah begitu, Tetua Jefferson serta-merta ingin cepat-cepat mengutusnya pergi.

Maka sebelum bunga tidur merenggut kesadarannya, Tetua Jefferson sudah memastikan Tetua Gloe supaya pergi menyelesaian perkara di luar. Setidaknya orang itu bisa dipercayai. Tatkala tak ada siapa pun dan ia ditinggalkan seorang diri, kelopak matanya perlahan menutup dan suara lirih itu terdengar lagi, "Tidakkah kau juga harus memikirkan dirimu sendiri, Tetua Jefferson?"

**

PADA SUATU pagi menjelang siang, Nizsm yang mulanya selalu bekerja di ladang, kini tertahan bersama para penduduk yang berkerumun di setiap titik kota mana pun. Lubang hidungnya mengerut sebab bau amis keringat di mana-mana. Di sini sesak, di sana sesak. Memang kapan sih penduduk kota Vurch bisa waras? Diberi masalah sedikit hebohnya bukan main. Nizsm tak habis pikir. Sebegitu menakutkannya, ya, berada di bayang-bayang kutukan yang bahkan mereka tidak tahu ada atau tidak. Manusia dan segala spekulasinya pantas untuk diwaspadai.

Kekacauan para tahanan yang melarikan diri merupakan kesalahannya. Ah, benar. Nizsm tak pernah merencanakan hal ini. Lebih-lebih karena ia tak suka keributan dan masalah besar. Kemarin sewaktu mengelabui Tetua Jefferson dengan benang-benang sihir, tanpa ia sadari sihirnya melebar sembarangan. Itu efek karena sudah lama ia tak menggunakan sihir. Sama seperti membuka lemari tua untuk mengambil sesuatu, pasti akan dikejutkan dengan debu-debu yang beterbangan dan terbatuk atau bersin.

Nah, kemarin saraf median Nizsm agak terkejut diharuskan mengalirkan benang sihir dalam skala minim namun berefek besar. Sehabis meninggalkan rompok Tetua, Nizsm bisa merasakan jemarinya terus bergetar tak karuan. Benang-benang sihirnya bergerak bebas ke sana kemari tanpa diminta. Siapa sangka para tahanan yang mendekam di sel penjara terkena imbasnya. Mereka mendapat sebibit kekuatan untuk menghancurkan apa saja, karena itulah mereka menggila. Berbeda dengan apa yang Nizsm lakukan pada Tetua Jefferson, yang satu ini benang sihirnya mengalir masuk pada tubuh manusia─para tahanan itu. Manusia bukanlah wadah yang tepat untuk menampung sihir, sehingga cepat atau lambat efek sampingnya akan berakibat fatal.

Atau mati, lebih tepatnya.

Dan jikalau mereka sungguhan mati dengan mendadak pingsan atau meledak (mungkin) atau apalah di depan para penduduk, bisa-bisa kota Vurch semakin tak terkendali. Selain itu, sebagai penyihir yang bertanggungjawab di kota ini, Nizsm pasti akan dikenai hukuman. Padahal baginya tak masalah membiarkan para tahanan itu mati, hitung-hitung membereskan sampah masyrakat dan toh bukan urusannya juga. Sebelum hal itu terjadi, ia harus bergegas membereskan kekacauan ini.

Masalahnya adalah bagaimana menarik kembali sihir-sihir tersebut? Ia tak bisa terang-terangan melakukannya di depan semua orang. Energi yang diperlukan lebih besar dan benang sihirnya pasti menampakkan diri. Menunggu sampai malam tiba? Astaga, seiring waktu kekacauannya kian parah dan siapa tahu mereka mati duluan. Sejenak di sana, Nizsm kesal lantaran para Tetua hingga kini tak berkontribusi apa pun untuk meredakan kekacauan. Mereka itu betulan pemimpin di kota Vurch bukan, sih?

Setelah mengamati dengan saksama, para tahanan itu sepertinya setengah tak sadar. Sihir-sihirnya membuai pikiran, menjadikan seolah-olah mereka tengah berhalusinasi. Menghancurkan ladang atau merusak material rumah di mata mereka tidaklah demikian. Jadi, berbicara baik-baik pada mereka tak akan berbuah apa pun. Nizsm terpaksa melakukan kekerasan yang dianggap wajar oleh seluruh pihak sambil mengelabui dengan benang sihir. Berbicara soal kekerasan dan penduduk kota Vurch yang ramah pada siapa saja, Nizsm kepikiran cara lain sekaligus diam-diam mengelabui. Tidak banyak yang harus dikeluarkan dalam benang sihir, namun nanti ia pasti sedikit kewalahan sebab arahnya berlawanan. Kali ini ia harus memastikan benang sihirnya tak melebar supaya tak timbul masalah lain yang lebih besar.

Ini merepotkan, koarnya agak jengkel.

Jadi dia melangkah maju, mendekati dua tiga tahanan yang tengah merusak toko permen kesukaan anak-anak. Ia mengabaikan beberapa penduduk yang berbisik untuk jangan bertindak ceroboh. Salah satu tahanan menyadari kedatangan dan tertawa. Ia memandang remeh pada Nizsm. "Apa? Kau juga mau berlagak jadi pahlawan? Kau tak akan bisa menandingi kami," ujarnya. "Benar begitu, Jerx?"

Jerx─salah satu kawan tahanan yang dimaksud─menoleh. "Uh, yeah, kurasa," balasnya, tampak sedikit mual.

Ini bagian yang tak disukai oleh Nizsm. Manusia itu jika mendapat sesuatu yang membuatnya tampak hebat pasti langsung besar kepala. Padahal para tahanan tak mengetahui dari mana kekuatannya berasal, tetapi sudah berlagak seperti diberkati Tuhan dan tak tertandingi. Manusia yang jarang jarang memakai otak seperti mereka sih sudah senang duluan tanpa berniat mencari tahu lebih lanjut. Sudah begitu, kadar kebodohan mereka bertambah. Untuk apa merusak seisi kota? Ingin jadi penguasa ya, hah?

"Ah, jadi kalian yang mendapat kekuatan, ya?" Nizsm bertanya santai, sengaja tidak dikecilkan sebab toh penduduk kota di belakangnya sibuk ribut sendiri dan tak akan mengerti. "Coba beri tahu aku, dari mana kalian mendapatkannya? Bisa bagi tips?" Menurutnya, ia tidak salah, toh kekuatan itu berasal darinya.

Sesaat berikutnya, Nizsm merasakan pipi kirinya dihantam sebongkah kepalan tangan. Keras dan sakit, tapi itu bukanlah sesuatu yang harus dicemaskan. "Apa kau bilang?" Tahanan tadi murka, bersiap untuk melayangkan tinju lagi tetapi ditahan oleh Jerx.

Mendengar amukan penduduk yang kemudian mengelilingi Nizsm sambil menghalau dan berseru kasar, Jerx kepalang panik. "Wo, wo, hentikan Pill! Santai, Bung! Bukankah seharusnya kau tidak memukul orang sembarangan?" Ia berusaha menarik Pill mundur sebelum penduduk melakukan hal yang lebih aneh.

"Dasar manusia tak tahu diri!" seru seorang nenek yang memegangi bahu Nizsm. "Kukutuk kalian semua jadi batu!"

Pada saat itulah, seukir senyum tipis Nizsm mengembang. Waktu seolah berhenti dan suasana sekitar jadi senyap, tak ada yang buka suara sampai tersadar Pill si preman sungguhan menjadi batu. Nah, apa itu barusan? Nenek yang tadi memegangi bahu Nizsm lepas tangan dan bokongnya menghantam tanah. Tidak, tidak mungkin. Jerx mundur selangkah, menatap tak percaya. "Nek? K-kau ... betulan mengutuk... nya?"

Seluruh pasang mata tertuju pada si nenek. Ngeri. Takut. Gelisah. Beberapa orang mulai bergerak menjauh, sementara si nenek sendiri tubuhnya gemetaran. Ia masih syok. Kini hanya ada Nizsm di depannya, memasang tampang polos seolah tak tahu apa-apa seperti yang lain.

"Pe... penyihir!!!"

Jeritan tersebut seolah menjadi ajakan untuk kembali ribut-ribut.

"Tidak!!! Ada penyihir di kota ini!!!"

"Selama ini dia bersembunyi!!!"

"Cepat bunuh sebelum dia mengutuk kita semua!!!"

"Tetua tolong selamatkanlah kami!!!"

"Penyihir lebih berbahaya dari tahanan!!!"

Seruan-seruan itu saling bersahutan, membentuk harmoni nada yang utuh. Besar, kecil, tinggi, rendah, bersama-sama menyudutkan makhluk yang sama seperti mereka. Padahal sebelumnya mereka masih bersatu untuk menyudutkan tahanan. Nizsm terdiam tanpa berbuat apa-apa. Perlahan ia juga menjauhi si nenek yang kini mulai ditarik-tarik atau dilempari batu. Tak peduli seberapa tuanya si nenek, penduduk kota tak akan memberi ampun. Penyihir tetaplah tokoh antagonis dalam kehidupan mereka dan harus dimusnahkan.

Sebenarnya bagaimana mereka tak akan panik? Dihantui kejahatan penyihir dan kutukan dari balik kota terhadap hutan, nyatanya ada penyihir yang bersembunyi di antara mereka. Ya, ada, tetapi sayangnya bukan nenek malang itu.

Walau berlalu cepat sekali, rencana kecilnya sukses dan benang sihirnya tak melebar. Ternyata tak sesulit yang dibayangkan, mereka cuma seonggok debu di lantai. Dikarenakan sudah ada korban tahanan yang menadi batu, para tahanan yang lain pasti berhenti mengacau dan diam-diam ia bisa menarik kembali benang sihirnya. Nizsm mendesah lega sekaligus merasa miris. Manusia itu makhluk yang bodoh. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top