6. Kenangan yang Terus Dikenang

BERTEPATAN DENGAN semak-semak yang bergoyang, perlahan Shaun membuka matanya. Teduh dedaunan pohon melindunginya dari terik matahari yang membara. Di atas sana tampak daun-daun berserta ranting menempel pada batang yang menjulang tinggi. Butuh beberapa detik sampai kesadarannya bangkit kembali setelah tertidur entah berapa lama, dan Shaun menggerutu.

"Aku tidak boleh tidur," ucapnya, tapi itu sia-sia sebab ia mengatakannya setelah tidur nyenyaknya selesai. "Aku harus mencari anak-anak," lanjutnya.

Shaun mencoba berdiri, lalu punggungnya berbunyi 'krek' begitu keras. Dan Nenek Penyihir itu kembali berada dalam posisi semula. Masa penuaan yang begitu menyiksa (walau tak sepenuhnya sakit). Seharusnya ia menikmati sisa hidup di rumah pohon. Shaun membayangkan bagaimana para manusia tua melewati hidupnya. Hari-hari yang mereka lalui pasti lebih buruk darinya, seperti ditimpa berbagai macam penyakit dan anak-anak serta cucu-cucu mereka sebagian besar enggan merawat para kolot. Pasti menyesakkan didera rasa kesepian yang amat sangat.

Semak-semak di belakangnya masih bergoyang dan Shaun berujar pelan, "Aku tahu itu kau, kucingku Sayang."

Seekor kucing hitam lantas melompat dari sana dan mendarat tepat di samping pinggang Shaun. Ia menjilati tangannya sebentar seraya menatap Shaun penuh iba. Jika ditanya bagian manakah yang Shaun sukai dari Wendy, tentu saja sepasang manik matanya. Kini si kucing memberikan tatapan yang lembut. Biasanya, Wendy tidak pernah begitu sekalipun dia adalah seekor kucing yang apatis.

"Ternyata Wendy tidak sedih, mungkin Shaun yang sedih," ucap salah satu pohon.

Mendengarnya Shaun bertanya, "Kau sedang sedih?"

"Tidak," jawab Wendy. "Pohon itu bilang Shaun-lah yang sedih."

"Tapi tadi dia bilang 'Ternyata Wendy tidak sedih' yang berarti sebelum berada di sini kau sedang sedih," sanggah Shaun. Kali ini ia mencoba untuk duduk dan syukurlah tidak ada bunyi 'krek' berikutnya. Tangannya memangku Wendy dan mengelus bulu-bulunya perlahan. "Kenapa kau ada di sini? Seharusnya kau menjaga Invi."

"Dia sedang tidur."

"Ya, bagaimana jika dia terbangun dan popoknya basah?"

Wendy mengerang. "Oh, ayolah! Kucingmu yang berbakti ini mencarimu karena … eh, di mana anak-anak?"

"Aku tidak tahu," Shaun berkata jujur, "tapi mereka pasti baik-baik saja. Ada Alex di sisi mereka."

"Naga bodoh itu tidak bisa menangkal sihir."

Shaun terkekeh pelan. "Ya, tapi dia bisa mengenali sihir dan membawa anak-anak menjauh."

Ucapan Shaun benar, Wendy tidak membantah kenyataan itu. Ia mungkin hanya sedikit kesal dengan Alex yang dirasa mengganggu. Menurutnya Alex hanyalah naga terbang yang bodoh. Dia pembuat masalah, dalam satu hari yang mereka lalui bersama. Dia hanya mencari perhatian pada anak-anak. Tetapi, Wendy tidak dapat memungkiri jika Alex adalah naga terbang yang baik.

Bahkan seingatnya, sewaktu pertama kali bertemu Shaun, Penyihir Tua itu selalu menceritakan banyak hal soal naga terbang. Sesekali ia akan menceritakannya sambil menitikkan air mata. Tidakkah itu aneh? Alex merupakan sosok naga terbang yang berarti bagi Shaun? Lalu kenapa mereka harus berpisah? Dan di masa sekarang, mengapa hubungan mereka menjadi begitu rumit?

Wendy tidak percaya jika hal itu dikarenakan faktor usia, bagaimana semakin lama ingatan mereka semakin tumpul dimakan waktu. Andaikata benar, Wendy tetap bersikukuh pasti ada alasan lain yang tidak ia ketahui.

"Lantas …." Kucing hitam itu memperhatikan sekeliling. "Kenapa kau ada di sini?"

Nenek Penyihir menepuk jidatnya. "Aku tidak sengaja tertidur di sini. Tubuhku sangat lelah maka mataku mengantuk ketika angin rindang itu menerpaku. Tidurku pulas, tanpa mengkhawatirkan anak-anak, dan bermimpi, dan mimpi yang indah. Lalu aku terbangun dan tertampar kenyataan pahit jika hidupku sudah mengalami masa penuaan. Lalu ... lalu kau datang dan …."

"Woah, tenang, tenang," tutur Wendy, menyadari jika Shaun berkata begitu cepat tanpa jeda.

Sesungguhnya Shaun tidak begitu suka mengingat, apalagi jika itu adalah kisah tragis. Dia hanya tidak ingin sihirnya merembes ke mana-mana dan mengakibatkan kekacauan, lalu hutan bertambah berbahaya, dan semakin banyak orang yang hilang, atau anak-anak itu terluka. Bahkan, lebih dari yang Ray kira, Shaun menyimpan sesuatu. Tetapi, ia tidak ingin mengingatnya dan mendoktrin diri sendiri hidupnya tidak seperti penyihir kebanyakan.

Shaun tidak berdusta, begitulah kenyataannya. Ia tidak terlibat, hanya mengetahui sebagian kecil. Tetapi sebagian kecil itu hilang dimakan waktu dan Shaun mengingatnya samar-samar. Bukan salahnya, bukan salah waktu, bukan salah penyihir lain, bukan salah siapa-siapa. Ia bersumpah dalam darah yang megandung sihir, ia ingin membesarkan anak-anak dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Hanya itu. Tidak kurang tidak lebih. Begitulah kenyataannya. Ia tidak berdusta.

Hanya itu.

Ah … masa penuaan mengusiknya terlalu dini.

"Aku ingat pertemuan pertama kita," kata Wendy mulai bercerita. "Aku sedang sekarat dan hampir mati, tapi kau datang dan menyelamatkanku. Aku sungguh berterima kasih padamu."

"Sayang, sebaiknya jangan ceritakan itu."

"Kenapa tidak?" tanya Wendy terheran-heran.

"Karena aku mulai melupakannya. Maaf. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu, tapi begitulah kenyataannya." Nenek Penyihir itu menarik Wendy ke pelukannya. "Kau kucing milikku yang manis, itulah yang kuingat. Selamanya."

Pohon di sekitar mereka menimpali, "Oh ternyata benar, Wendy-lah yang sedang sedih."

"Dia merindukan kenangannya bersama Bibi Shaun."

Pohon-pohon itu benar, dan Wendy tidak bisa membohongi hatinya. Hatinya tenggelam di lautan tanpa dasar, tak berdaya. Dadanya semakin sesak dipaksa menyelam. Tidak, ia tidak boleh menyalahkan Shaun setelah apa yang diberikannya pada Wendy. Rumah, kasih sayang, belaian lembut, kehangatan, kemudian gelak tawa manis anak-anak. Tidak peduli jika Shaun seorang penyihir, bagi Wendy dia adalah penyelamatnya.

Dan Wendy ingin terus setia berada di sisi penyihir itu sampai kapan pun. Bahkan jika Shaun melupakannya ... tak apa, sungguh. Ah tunggu, sepertinya Wendy berbohong. Hatinya menjerit-jerit, sama sekali tidak menerima dirinya dilupakan oleh sang penyelamatnya.

Pada suatu masa, ada seekor anak kucing hitam yang baru saja lahir. Sepertinya, sang ibu melahirkannya di atas pohon dan anak kucing tersebut terjatuh. Tubuh kecilnya tertusuk oleh ranting pohon dan terhantam ke tanah. Si bayi kucing sekarat, hampir kehilangan harapan untuk hidup. Tak lama, datanglah sang penyihir. Ia diberi tahu oleh pohon-pohon jika ada bayi kucing malang yang hampir mati. Penyihir tidak ingin melihat makhluk lain selain dirinya menderita. Dibawanya si bayi kucing. Lalu untuk menyelamatkannya, sang penyihir memberi sihir seperti pada naga terbang.

Bayi kucing itu ia beri nama Wendy, nama yang terlintas di benaknya hanya Wendy. Sang penyihir merawat Wendy sebaik yang ia mampu, tetapi tanpa sadar di tengah waktu luang, ia akan menceritakan kesedihannya mengenai naga terbang. Selalu dan berulang-ulang. Itulah dari kenangan masa kecil yang Wendy ingat; perihal Shaun yang menangisi naga terbang.

Tetapi Wendy yang masih terlalu kecil pun tidak sepenuhnya mengingat isi cerita Shaun. Maka dari itu, Wendy sendiri bertanya-tanya apa yang membuat Shaun sesedih itu terhadap Alex.

"Wendy pasti sedih? Marah? Kecewa? Kau bisa mencari pemilik baru yang lebih ramah padamu," hibur Shaun tersenyum pahit.

Wendy tidak bisa memaksakan Shaun menjadi pemiliknya yang selalu ramah. Penyihir itu sudah tua, hidup lebih dari sepuluh abad. Dan wajar saja ingatannya tumpul. Sihir pun tidak bisa menangkalnya. Lagi pula, bukankah mereka sudah melewati 49.320 hari bersama? Seharusnya lebih dari cukup untuk merajut kenangan, bukan?

Wendy menggeleng. "Mana mungkin aku mengkhianatimu. Tak akan kubiarkan Bibi Shaun menderita sendirian." Ia menggesekkan kepalanya pada lengan Shaun.

"Terima kasih, Wendy."

"Apa kau melupakan pertemuan dengan anak-anak juga?" tanya si kucing.

Shaun menggeleng pelan. "Sedikit. Yang kuingat waktu itu adalah wajah ketakutan dan tangisan mereka di tengah hutan yang kebetulan sedang aktif. Sejak saat itu, aku berjanji untuk merawat dan membesarkan mereka demi kebahagiaan anak-anak."

"Kenapa kau berjanji seperti itu?"

Shaun memandang ke atas, di mana langit biru tertutup daun-daun pohon. "Kenapa, ya? Aku yakin punya alasan kuat, tapi aku tidak ingat." Lalu dialihkannya si pandangan pada Wendy. "Aku menyayangi kalian semua, sungguh. Aku melakukan apa pun yang kubisa, demi kalian, keluargaku."

Penyihir Tua yang baik, tinggal di hutan. Mengurus anak-anak dan mempunyai peliharaan seekor kucing sihir. Apa yang penduduk kota takutkan? Dia bahkan terlalu baik.

Kutukan hutan oleh penyihir? Bah, Wendy tidak percaya pada mitos sekuno itu yang mana mungkin ada! Baginya, penyihir seperti Shaun tidak mungkin memantrakan kutukan yang keji. Lalu, apa Wendy peduli pada nasib manusia yang hilang? Tidak, kucing itu tidak peduli. Menjadi sedikit egois tidak apa-apa. Lagi pula, dia itu kucing; barangkali asas kemanusiaan tak ia miliki di lubuk hatinya. Kecuali pada anak-anak di rumah pohon, mereka pengecualian untuk suatu alasan.

Melihat senyum Shaun merekah, Wendy turut senang dan dadanya dihinggapi kupu-kipu. "Sekarang hampir sore, ayo kita pulang," ajaknya.

"Tapi Wendy, kau belum mengatakan padaku kenapa kau mencariku sampai ke sini."

"Aku lupa," keluhnya. "Di hutan aku bertemu seekor monyet. Dia menyebalkan sekali bahkan berani-beraninya mengejekku dengan kutu!"

"Bukankah dia temanmu?" timpal salah satu pohon.

"Heh, apa? Mana mungkin aku punya teman seekor monyet macam dia!" sanggah Wendy. Ia sedikit kesal pohon-pohon itu tidak mau berpikir.

"Monyet?" ulang Shaun memastikan.

"Ya, dan aku mencarimu karena kukira monyet itu punya sihir. Aku dapat merasakannya."

Raut wajah Shaun menunjukkan tanda-tanda tidak senang telah mendengar kabar mengenai seekor monyet yang memiliki sihir. Ia mengulum senyum pahit, lantas mulai berjalan.

**

ALEX BISA mendengar bisik-bisik pohon yang membincangkan Shaun dan Wendy; mereka sedang bernostalgia mengenai kenangan yang telah berlalu. Ah pohon-pohon itu saling terhubung satu sama lain sehingga mereka mengetahui beragam kejadian. Sebenarnya Alex tidak mau memikirkannya, tetapi nama "naga terbang" dan "kesedihan" disebut-sebut.

Firasatnya berkata itu kabar buruk, sebab segala sesuatu tentang kenangan yang berhubungan dengan Shaun semenjak mereka berpisah sama sekali bukan kenangan indah. Ya, Alex juga tak tahu pasti tapi, dia sadar begitulah kenyataannya.

Anak-anak berlari menghampirinya setelah misi pencarian Shaun tak kunjung membuahkan hasil. Setelah menyuruh mereka memetik apel, dia menghilang begitu saja dan sekarang tak ada tanda-tanda dia akan kembali dalam waktu dekat.

"Mungkinkah dia tersesat?" Awalnya Allysa mengira demikian, tapi hal itu disanggah Ray: "Nenek kan penyihir, mana mungkin."

Pada akhirnya mereka mencari-cari Shaun. Ray yakin jika penyihir tua itu tak akan jauh-jauh dari kawasan pohon apel, dan Allysa menurut untuk mencari di sekitarannya. Hanya Alex yang bermalas-malasan dan sibuk mendengarkan gosip dari sang pohon. Ia tidak kaget mengapa Shaun hilang, toh dia pasti baik-baik saja dan Alex percaya itu.

Perihal sebuah kenangan, Alex pun punya kenangan yang berakhir tragedi. Sayangnya, dia tidak juga ingat bagaimana tragedi tersebut bermula atau berakhir. Tidakkah itu menyedihkan? Ingatannya selalu samar-samar. Sepanjang dia terus memikirkan, seolah semakin menjauh dari jawaban yang ia cari.

"Aku takut Mama tak bisa kita temukan," rengek Allysa menutup wajahnya.

Sang adik berusaha menghiburnya, "Dia pasti baik-baik saja!"

Dia memang baik-baik saja.

"Kalian, kemarilah sebentar," panggil Alex pada akhirnya. "Apa kalian mengingat sesuatu tentang masa kecil kalian?"

"Kenapa? Kau menanyakan itu di saat yang tidak tepat," protes Ray.

Berbeda dengan Allysa yang tertarik, ia menghampiri Alex dan benih penasaran tampak jelas di wajahnya (ternyata dia tidak menangis, hanya sedih dan khawatir). "Kenapa Alex bertanya seperti itu?"

"Aku yakin kalian pasti anak-anak yang berbahagia di kota. Nah, ceritakan padaku, apa yang kalian ingat?"

Allysa dan Ray saling berpandangan barang sedikit. Lalu karena Allysa tidak bisa menjelaskan, Ray-lah yang menjawab, "Kami tidak ingat apa pun selama tinggal di kota, Alex."

"Bahkan keluarga sendiri pun tidak. Kilas balik memori yang tidak jelas? Jangan harap, yang seperti itu tidak kami dapatkan," tambah Allysa. "Yang kami ingat hanyalah tiga tahun belakangan hidup di hutan, bersama Nenek Shaun."

Kenapa kasus hilang ingatan sering terjadi, sih? Alex kan jadi menyangka hutan ini memang dikutuk betulan. Ia tidak begitu ingin menjadi seperti Ray yang selalu ingin tahu, dan itu gawat. Alex tidak mau membuang banyak tenaga di sisa hidupnya yang entah kapan berakhir. Ia sedikit malas untuk berpikir memecahkan masalah. Hidupnya sudah sangat tua.

Alex bertanya, "Kalian tidak penasaran pada masa lalu kalian?"

"Sedikit." Allysa menjawab jujur, membiarkan rambutnya tertiup angin. "Tidak ada yang perlu disesali. Kalau sekarang aku dan Ray baik-baik saja, itu sudah lebih dari cukup. Makanya, aku mendukung Ray untuk mencari tahu mengenai kutukan ini. Walau perjalanan kita masih tergolong santai, tak apa. Lagi pula, kita akan selalu bersama-sama."

Tak ada yang perlu ditakutkan. Kita akan selalu bersama-sama.

Kalimat itu kedengarannya familiar di telinga Alex. Dia pernah mendengarnya. Tetapi, ia tidak ingat di mana dan kapan. Selalu seperti ini. Padahal sepertinya meripakan sesuatu yang berperan besar dan ia tidak bisa mendapatkan jawabannya. Kalimat itu terus mengusik kepalanya, bahkan ketika mereka memutuskan untuk segera pulang ke rumah pohon ditemani racuan para pohon. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top