5. Tentang Banyak Hal yang Penuh Tanda Tanya
NIZSM SANGAT yakin jika kota Vurch berubah hampir mencapai titik seratus persen. Di pagi yang tenang, para penduduk selalu berbincang mengenai rencana apa saja yang memungkinkan berhasil. Oh ia bahkan sempat ikut mengemukakan pendapat, dan Nizsm membenci wajah-wajah penuh harap yang menatapnya. Di siang yang terik, mereka mulai bekerja sebagaimana mestinya dan melupakan sekelebat rencana konyol. Lalu pada petang hari menuju malam, mereka akan meledak; tentang ketakutan yang menjadi nyata dan ketidakberdayaan atau kepastian palsu mereka akan selamat. Lihat, tidak yang serius selain Tetua Jefferson itu sendiri.
Bodoh. Benar-benar bodoh.
Bisa jadi Nizsm terlalu cepat khawatir. Untuk apa repot-repot bergerak cepat sementara para penduduk itu kelewat bodoh dan tak dapat menandinginya? Justru mereka tidak menyadari sedang diawasi dan barangkali bahaya yang lain segera menjemput. Satu bulan bagi mereka tak cukup untuk menyiapkan rencana matang. Astaga, menyenangkan sekali menjadi penyihir berkuasa dalam bayangan.
Nizsm akan berterima kasih pada kakeknya, yang telah mempercayakan kota Vurch pada dirinya. Dalam waktu dekat ia harus menemuinya. Nizsm dapat berubah menjadi burung kecil atau tupai atau tikus atau kekuatan itu sendiri yang menandingi kecepatan agar sampai lebih cepat. Hanya saja sihir miliknya tidak begitu sempurna; sangat mudah merembes ke objek yang disentuhnya dalam bentuk perubahan. Jejak kakinya akan bersinar, udara di sekitarnya akan terasa menyenangkan, lalu benang sihirnya mengendap ke bawah tanah untuk disimpan dan menggunakan sihir yang lebih besar.
Alasannya yang lain yaitu Nizsm masih harus mengawasi kota Vurch. Dalam daftar panjangnya, Tetua Jefferson itu berbahaya dan ia harus menyingkirkannya. Kendati sihirnya cukup kuat untuk mengutuk orang, Nizsm bukan lagi penyihir yang bengis─itu catatan sejarahnya di masa lalu sebelum terdampar di sini. Ia senang bermain, dan Tetua Jefferson adalah teman yang menyenangkan.
Sebelum matahari membenamkan dirinya di ujung bukit, Nizsm mengunjungi rompok Para Tetua. Ia akan berpura-pura ramah atau ketakutan atau tidak berdaya di depan Para Tetua. Tetapi, wajahnya tidak cocok berlagak seperti demikian. Begitu tangannya mengetuk pintu, Tetua Defran muncul di baliknya pun kemudian, keduanya membungkuk─saling mengucapkan salam untuk sekadar formalitas. Nizsm memaksa untuk menjabat tangan dan Tetua Defran membalasnya secara kasar.
Pelan-pelan Nizsm memulai aktingnya. "Boleh aku menemui Tetua Jefferson?"
"Oh, orang itu menjadi yang paling dicari belakangan ini." Tetua Defran menguap, seolah Nizsm hanyalah tebu tak terlihat. "Dia ada di atas, naik saja tangga di ujung sana lalu belok ke kiri dan kau akan menemukan ruangannya."
"Terima kasih," ucap Nizsm, memaksakan diri mengulas tersenyum. Ya, ampun! Bahkan Tetua tidak memperlakukan tamunya dengan sopan! Makhluk menjijikan seperti itu diangkat menjadi Tetua? Atau Para Tetua di sini sebenarnya cukup letih untuk mengabdi pada kota?
Ia melangkahkan kakinya sesuai arahan yang diberikan Tetua Defran, setidaknya untuk yang satu ini Nizsm tahu dia tidak sedang dibohongi. Langkah-langkah kakinya terurai benang sihir, tersembunyi di balik lantai dan tembok. Untuk berjaga-jaga Nizsm memberi rompok ini apa yang dimilikinya sepanjang bertahan hidup.
Tetua Jefferson ada di sana, menghadap jendela di depan ruangannya. Nizsm menebak, Tetua yang satu itu tengah memasang tampang gusar. Sosok yang menjadi 'musuh utama' berada di hadapannya sekarang. Keberadaan Nizsm disadari lebih cepat, Tetua Jefferson berbalik dan─seolah─merentangkan tangannya lebar-lebar untuk menyapa tamu. Ia tampak lelah, berkeriput dan juga tua, tapi wajahnya sedemikian rupa bersahabat.
"Ada perlu denganku?" tanyanya.
Ini pertama kalinya Nizsm menghadap langsung dengan Tetua Jefferson, secara empat mata. Seumur hidup, berurusan dengan manusia itu merepotkan─sepertinya semua penyihir berpikiran sama. Nizsm harus rela menelan pemikiran itu pahit-pahit sebab pekan berikutnya pun ia akan menjadi lebih sering berinteraksi dengan manusia, terutama Tetua Jefferson. Ckck menyebalkan!
"Ya, Tetua Jefferson?" jawab Nizsm.
"Silakan masuk."
Ruangan Tetua Jefferson tidak terlalu kecil dan bernuansa cokelat tua. Meja kerjanya dipenuhi buku-buku tebal dan catatan tangan yang ditulisnya sendiri. Ckck, memangnya catatan macam apa yang harus ia tulis? Nizsm tebak paling isinya tak jauh dari laporan. Di sebelah kanan ruangan terdapat dua sofa dan satu meja kecil di tengahnya, dan satu bingkai jendela kecil di dinding yang menampakkan pemandangan rumah-rumah penduduk. Ruangan yang suntuk.
Tetua Jefferson mempersilakan Nizsm duduk di sofa. Ia membawakan teh khas kota dan kue-kue kering. Diletakkannya jamuan itu di atas meja kecil, lalu dengan nada sopan Tetua Jefferson berkata, "Nikmati saja dan anggaplah rumah sendiri."
Nah, batin Nizsm berseru senang. Ini baru sopan!
"Perkenalkan dirimu," tutur Tetua Jefferson. Nadanya masih terdengar lembut dan wah, apakah Nizsm terbuai olehnya? "Apa kau yang bekerja di ladang?"
"Ya, saya─"
"Sebaiknya jangan formal begitu," Tetua Jefferson menyela, "dan tak usah kaku."
Sebagai balasan, Nizsm tersenyum masam. "Nama saya Nizsm dan benar, saya─ maksudnya aku yang bekerja di ladang. Tetua Broli selalu memesan hasil panenku dalam jumlah lusinan. Aku di sini ingin berterima kasih atas keberanianmu. Aku tertarik dengan rencanamu, Tetua Jefferson. Dan ada hal yang ingin aku bicarakan."
"Banyak sekali yang berkata seperti itu," respons Tetua Jefferson. "Semoga aku tidak mengecewakan kalian." Ia menyeruput tehnya dan menampakkan tampang gusar.
Ini kesempatanku, batin Nizsm menerawang. Benang-benang sihirnya sudah hampir meledak, tetapi ia tidak ingin membuat masalah dan berakhir diusir dari kota atau digantung mati (walau ia tidak akan mati digantung dengan tali murahan). "Tetua Jefferson sepertinya sedang ada masalah. Apa aku mengganggu? Lebih baik aku pamit kalau begitu," tutur Nizsm berhati-hati.
"Tak usah pedulikan aku, Anak Muda. Aku tak apa. Nah, apa yang ingin kau bicarakan?"
"Tahun ini memang tahun yang berat untuk kita semua, dan aku mengerti kenapa Tetua Jefferson mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk kami─para penduduk─yang membutuhkan perlindungan." Nizsm mendesah. Ia merasak jijik sudah bercakap demikian. "Dan sampai berkorban seperti ini, aku sungguh merasa kecewa, Tetua Jefferson."
Mendengar hal itu, Tetua Jefferson memandang ke luar jendela. "Lalu apa yang harus aku lakukan, Anak Muda? Kau tahu, aku juga mempertanyakan banyak hal."
"Tidakkah kau juga harus memikirkan dirimu sendiri?" Nizsm menggerakkan jari-jarinya tanpa Tetua Jefferson sadari.
Orang lain.
Penting.
Tetapi.
Diri sendiri.
Lebih penting.
Terutama jika itu menyangkut soal kesejahteraan dan sesuatu yang tidak jelas asal-usulnya, melindungi diri sendiri lebih baik.
Bersikaplah egois.
Benang-benang sihir Nizsm bekerja; menyelimuti secara halus mulai dari indera pedengeran dan membisikkan puisi-puisi apatis untuk kemudian menguasai Tetua Jefferson itu sendiri. Semudah berceloteh omong kosong mengapa hati manusia dikuasai oleh sihir, dan itulah sebabnya para manusia tidak bisa bertahan hidup di hutan.
Bukan sihir yang menyebabkan para manusia menghilang, tetapi bagian dari manusia itu sendiri jawabannya.
**
"KENAPA KITA harus memetik apel?" Allysa bersungut-sungut melihat keranjang yang dipenuhi buah seukuran tangan berwarna merah. Bukannya ia tak suka apel, tetapi sekarang bukan jam makan siang dan Allysa ingin terbang ke angkasa.
Ini bukan rencana perjalanan yang dibuat Ray, justru seharusnya mereka pergi ke bebatuan tempat Alex tinggal dahulu. Ray sudah membaca buku-buku tua Shaun yang lain, yakni tanah di bebatuan menyimpan sihir dan juga sejarah masa lalu. Itu bisa menjadi petunjuk besar, pikir Ray. Tetapi Shaun secara halus melarang dan hati Ray dipatahkan begitu saja. Sebagai gantinya, dia menjadwalkan acara memetik apel untuk dimakan di perjalanan dan sisanya bisa dijadikan pie apel di rumah.
Allysa melirik Ray di ujung pohon yang sama dongkolnya. Ia melambai dan memberikan senyuman pada adiknya itu. "Nanti kita pasti ke bebatuan, kok," ucapnya, memberikan secercah harapan dan Ray mengangguk. Lagi pula, memetik apel tidaklah membosankan. Walau menurutnya, bermain bersama sapu terbang lebih mengasyikan.
Mereka sama-sama menyadari jika ketegasan Shaun bukan tanpa alasan. Beliau menyayangi mereka. Meski tidak berbahaya, berada di hutan tetap perlu berhati-hati. Benang sihir tertanam di dalamnya, terkumpul secara penuh dan sewaktu-waktu bisa meledak kapan saja (meski penjelasan Shaun pada saat-saat tertentu). Untuk ukuran manusia yang lemah pada sihir, mereka akan melebur dan menghilang dari permukaan. Itulah yang Shaun cemaskan. Barangkali, itu juga alasan kenapa penduduk kota mengutuk hutan ini.
Anggaplah asumsi itu benar, maka dari mana benang-benang sihir di hutan itu mengalir? Dari penyihir seperti yang dikatakan Alex? Tapi untuk apa? Shaun adalah penyihir, dan dia tidak mengurai benang sihirnya ke hutan.
Alex tiba-tiba bertanya di tengah keseriusan mereka memetik apel. "Anak Kecil, apa kau sedang berpikir?"
"Um, ya?" sahut Ray.
"Kenapa hutan ini begitu menarik di matamu?" lanjut Alex, terbang secara cepat mengitari Ray dan berakhir terdiam di keranjang. "Aku sudah berabad-abad hidup di sini, sudah cukup tua. Dahulu aku lebih sering mengelilingi dunia lebih dari yang kau kira. Bahkan jika kutukan itu ada, aku tak peduli."
"Mengelilingi dunia?" Pupil mata Ray membesar.
"Ya, dan jangan tanya itu. Aku suka terbang mengelilingi dunia, tapi aku melupakan momen penting dan hanya sebagian kecil yang aku ingat." Pernyataan Alex mematahkan hati Ray untuk kedua kalinya.
Tapi kali ini Ray tidak menyerah. Tangannya mengangkat Alex tinggi-tinggi dari keranjang. "Ceritakan padaku sebagian kecil yang kau ingat itu!"
Si naga terbang memutar bola matanya, menggerutu kesal sudah salah bicara. Ia melupakan fakta jika Ray adalah anak yang serba ingin tahu dan seharusnya Alex tidak membicarakan masa lalunya.
"Ayolah, ayolah! Ceritaku padaku, Alex!" desak Ray, kini memeluk Alex di depan dadanya cukup kuat.
"Baiklah, baiklah, baiklah!" seru Alex, mencoba meloloskan diri. "Tolong jangan tekan tubuhku seperti itu, sakit tahu!"
Ray membebaskan Alex dan membiarkan naga terbang itu mengambil posisi nyaman. Ia menengok ke segala penjuru arah, mencari keberadaan Shaun. Dia tidak ada di mana-mana, jadi Alex boleh mengisahkan anak-anak tentang sesuatu. Meski Alex yakin pohon-pohon di sini hisa menjadi saksi mata dan membocorkannya pada Shaun, biarlah.
"Kau ingin dengar sesuatu yang luar biasa, Nak?" Alex mulai mendongeng. "Pada zaman dahulu kala, hiduplah seekor naga kecil berwarna merah yang menetas setengah abad kemudian setelah telurnya dilahirkan. Untuk ukuran naga terbang, dia masih sangat kecil. Meski begitu, seharusnya dia sudah bisa mengepakkan sayapnya dan mengikuti saudara-saudaranya menyapa awan. Tetapi, itu tidak terjadi kepadanya."
"Wah, Alex pandai mendeskripsikan diri sendiri!"
"Dia selalu memaksakan diri supaya bisa terbang, namun karena jatuh berkali-kali tubuhnya dipenuhi lebam. Ia hampir cacat dan kehilangan sayap, tetapi para saudaranya tidak mau peduli. Ia sangat sedih, sehingga pada malam hari naga tersebut menyendiri di bebatuan, menatap cahaya bintang dan bulan. Pada pandangan pertama, ia terpesona pada mereka. Lantas setiap malamnya, dia selalu pergi ke bebatuan untuk melihat bintang dan bulan dan malam dan semilir angin yang sukses menghapus rasa sedihnya. Lalu pada malam di usianya yang menginjak satu abad, datanglah penyihir kecil."
"Itu pasti Nenek Shaun!" tebak Ray sumringah.
Mengabaikan Ray yang─tentu saja─benar, Alex melanjutkan, "Penyihir kecil itu berkata: 'Jangan lihat bintang dan bulan, mereka punya sihir'. Dan naga kecil tidak menggubrisnya, masih menatap langit dengan air mata berlinang. Bahkan bintang dan bulan punya sesuatu yang spesial. 'Apa kau sedang sedih?' Si penyihir kecil bertanya, lalu lebih dari yang naga kecil bayangkan, si penyihir kecil itu mengisahkan banyak hal demi menghiburnya. Sampai akhirnya, setiap malam mereka selalu bertemu di bebatuan itu. Beberapa malam berlalu, setelah naga kecil merasa nyaman, barulah ia menceritakan keresahan hatinya.
"Si penyihir kecil menaruh hati padanya, dan sebagai hadiah rasa sayangnya, dia memantrai tubuh naga kecil dengan sihir. Sejak saat itu, akhirnya dia bisa terbang. Naga kecil sangat berterima kasih, dan dia bahagia mempunyai teman seorang penyihir. Kendati telah mendapat apa yang diinginkan, naga kecil tidak memutuskan tali pertemanan mereka begitu saja." Alex menjeda dan memikirkan sudah sejauh mana ia bercerita. Kisah hidupnya yang sepanjang itu tidak luput dari ingatan? Bagus, ternyata Alex sama sekali tidak pikun seperti yang selalu disebutkannya.
Allysa menghampiri sambil membawa dua keranjang apel yang telah penuh. "Sepertinya menyenangkan," cibirnya, merasa kesal dirinya tidak diajak.
"Namun pada sekitar abad ketiga, mereka harus berpisah karena keluarga penyihir mengadakan konferensi akbar secara tertutup. Si penyihir berjanji pada naga terbang bahwa ia akan kembali secepatnya. Sambil menunggu, naga terbang pun memutuskan untuk merantau seorang diri," imbuhnya. "Tetapi, begitu pulang ke bebatuan dia tidak bisa mengingat apa yang sudah dia lalui selama perjalanan panjang tersebut. Sebuah akhir yang tragis."
Detak jantung Ray berpacu lebih cepat. Ada yang terjadi selama Alex mengelilingi dunia, bertepatan dengan konferensi akbar keluarga penyihir secara tertutup. Apakah ... Shaun terlibat dengan kutukan yang dimaksud? Tidak! Pasti bukan Shaun! Ray menggeleng.
"Alex, berapa umurmu?" tanya Ray.
"Sebelas abad setengah."
"Namun pada sekitar abad ketiga, mereka harus berpisah ...," ulang Ray, berpikir lebih keras. "Aha!" teriaknya, begitu kencang. Ia menatap Allysa lekat-lekat. "Allysa, aku tahu! Jika isi buku tua milik Nenek Shaun benar bahwa ada yang terjadi beberapa abad silam, itu artinya kutukan hutan ini bermula sejak para penyihir mengadakan konferensi akbar! Dan gagasan ini didukung kuat oleh hilangnya ingatan Alex."
"Bocah," panggil si naga terbang, "aku setuju denganmu. Tapi kuharap kau tidak mencurigai Shaun, kasihan dia. Satu hal yang pasti, dia tidak terlibat dengan semua ini. Aku tahu itu. Sebab hari di mana kita berjumpa kembali, dia menangis sambil memelukku. Shaun sempat mengatakan sesuatu, tapi aku melupakannya. Satu hal yang aku yakini, itu adalah kabar baik."
Allysa ikut berpikir. "Kalau Mama terlibat dengan kutukan itu, mana mungkin dia mau merawat kita─manusia yang notabene tidak disukai oleh hampir seluruh penyihir."
"Tunggu dulu," desis Ray, lalu Allysa dan Alex sama-sama menatapnya. "Ternyata kalian memang berteman dekat seperti keluarga. Sampai dipeluk begitu, aku jadi terharu."
Itu benar, Alex tidak bisa menyangkalnya. Bahkan dia merindukan masa kecilnya bersama Shaun dan semua kenangan yang mereka lalui. Alex berharap ada secarik puisi dari sihir waktu yang menuliskan kebersamaan mereka. Atau cerita di buku tua yang penuh debu. Apa saja asal kenangan mereka tersimpan dan abadi. Lalu ketika usia mulai menumpulkan semua ingatan, mereka dapat mengenangnya kapan hari. Sebetulnya, Alex merindukan Shaun yang dulu, begitu juga sebaliknya. Mereka tidak lagi sedekat apa yang telah direkam masa lalu. Sama sekali tidak. Kini mereka hidup dengan kecurigaan satu sama lain. Meski mereka masih saling menerima, hanya saja tidak lagi seperti dahulu.
Alex juga mulai melupakan kenangan ikatan pertemanan mereka terjalin. Hal-hal yang mendetail seperti, bagaimana bentuk sapaannya, apa yang selalu dibawanya, bagaimana ia memberinya sihir, berbagi kisah apa saja. Padahal, itu adalah momen yang paling penting. Jika ada makhluk yang bersikukuh ingin hidup abadi, dengan senang hati Alex akan menginjaknya supaya mati. Ha, hidup abadi apanya? Kau malah akan tersiksa oleh waktu yang semakin membunuhmu.
Sama seperti anak-anak, dia juga punya pertanyaan yang disimpannya sendiri. Apa, siapa, mengapa, kapan, di mana, dan bagaimana? Jelas-jelas terdapat partikel tanda tanya di otaknya. Tetapi memang, dalam beberapa kesempatan, pertanyaan itu tetaplah menjadi tanda tanya tanpa pernah terjawab, bahkan oleh waktu sekalipun. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top