3. Kota yang Terselubung Bayang Ketakutan
PARA TETUA bergiliran masuk menengok penduduknya yang sedang berduka. Di rumah kecil yang dipenuhi barisan orang, tertimbun makanan-makanan dari tetangga dan doa-doa tersemat. Bersama tampang belas kasihan, mereka mendoakan keselamatan masa depan. Dan bersama duka lara yang menjerit dalam hati, mereka mendoakan kebahagiaan datang menyertai.
Ini ulah penyihir.
Tetua Jefferson membulatkan pipinya. Anak-anak itu diculik, bukan menghilang. Namun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, grafik hilangnya menaik drastis seolah kutukan hutan beralih menjadi kutukan kota. Upaya pencegahan tampaknya tidak berguna. Ia tahu semua orang menjadi resah dan dilanda ketakutan yang cukup besar.
Bisa jadi di tahun-tahun yang akan datang, begitu mentari menyinari dunia, tak akan ada kehangatan di balik sepiring roti bakar cokelat dan secangkir susu hangat. Tak akan ada kecupan manis di dahi sebelum berangkat sekolah. Tak akan datang sepatu kotor tercebur lumpur ulah anak-anak yang bermain. Tak akan ada suara berdenting alat masak di dapur. Tak akan ada nyanyian pengantar tidur dan lampu hias yang indah.
Tak akan ada kebahagiaan.
Lalu, dunia berubah menjadi entitas berpuaka yang dihuni penyihir. Guram selalu datang menyelimuti dan ketakutan merajalela. Oh, astaga! Tetua Jefferson sudah membayangkan semua kemungkinan terburuk. Apa-apaan sih, sejarah masa lalu itu? Ia sama sekali tidak mengerti. Siapa sih penyihir? Berani-beraninya setega itu.
"Terima kasih sudah datang berkunjung," kata si pria tua, pemilik rumah kecil itu. "Kebaikan kalian akan selalu kami ingat."
"Ini sudah menjadi tugas kami," balas Tetua Jefferson. Ia menatap iba wanita di samping si pria tua, yakni sang istri. Wanita itu tampak kusut, matanya tak usai menitikkan air mata dan wajahnya pucat pasi.
Keluarga kecil ini hanya bertiga, bersama seorang gadis yang tumbuh dewasa. Usianya barangkali baru menapak delapan belas tahun. Di sekolahnya, ia sangat ramah dan disenangi semua orang. Cukup aktif bersosialisasi, nilai-nilai yang fantastis. Hidup gadis itu dipenuhi kasih sayang. Ia punya segalanya.
Namun, kemarin sore, gadis itu disadari telah menghilang. Setelah meminta izin ibunya untuk pergi di pagi hari, ia tak kunjung pulang dan biasanya tidak pernah berpergian lama. Orang tuanya cemas dan mereka menghubungi teman-teman si gadis: tidak ada yang menjawab gadis itu ada bersama mereka, atau jejak di hari itu sang gadis berkunjung. Ke manakah dia?
Terlanjur panik, ayahnya melaporkan kejadian ini pada Tetua─yang tentu saja dijawab 'gadis itu diculik penyihir' seusai mendengar skenarionya. Tak ada alasan yang masuk akal lagi selain itu. Memangnya siapa yang mau sengaja repot-repot bermain petak umpet dari keluarganya? Tidak ada.
Siapa yang akan baik-baik saja setelah kehilangan anak gadisnya. Siapa? Tinggal bersama selama belasan tahun, menebar kebahagiaan, melewati masa-masa sulit dan saling menyemangati, rumah yang hidup. Jika dalam sebuah perpisahan tak ada janji akan berjumpa berkembali, maka itu adalah perpisahan menyakitkan.
Sang wanita berucap, "Padahal dia punya cita-cita besar dan sangat bersemangat menggapainya. Padahal ... dia berjanji padaku untuk─hiks─memper ... " Ia merintih. Seketika bayangan bagaimana anak gadisnya memeluknya hangat menghampiri.
"Sayang, sudah cukup." Si pria tua menenangkan dan memeluk istrinya erat. Pemandangan yang menyayat hati.
Semoga kebahagiaan menanti kalian selalu, batin Tetua Jefferson, mengaitkan kedua tangannya dalam gumpalan doa. Semoga kota kita aman.
Seusai menengok, Tetua Jefferson berinisiatif mengumpulkan kesebelas Tetua di rompok Tetua yang utama. Perkara ini semakin parah dan tidak bisa dibiarkan; mereka tidak boleh menganggap remeh, kesejahteraan penduduk harus kembali ditegakkan. Sehingga, Para Tetua harus berkumpul dan merundingkannya; tentang apa yang harus mereka perbuat ke depannya.
Akan tetapi, tidak ada Tetua yang benar-benar serius. Bahkan sejak mereka pergi menengok, Tetua Jefferson menyadari sebagian besar dari mereka menginjakkan kaki karena terpaksa. Golongan seperti itulah yang memasang tampang belas kasihan palsu.
"Jefferson, aku tahu kau begitu khawatir. Tapi kau berlebihan, tidak ada yang bisa kita lakukan terhadap kutukan ini," kata Tetua Frank, yang duduk dengan manis di kursi kebesaran sambil menyeruput teh. "Jadi bersikaplah tenang seperti anjing kecil."
"Dan kita berperilaku seperti pelayan penyihir yang seenaknya pada kita?" sindir Tetua Jefferson.
Beberapa Tetua menatapnya dengan dahi mengkerut, sementara Tetua Frank meletakkan cangkir tehnya lembut. Ia tersinggung, sebetulnya. "Lalu, kau punya sesuatu yang bisa kita lakukan untuk mengusir para penyihir?"
"Uh, dengan─"
"Kalau tidak ada, sumpal mulutmu itu dan jangan banyak beromong kosong!" Tetua Frank mencak-mencak memakinya, bahkan menunjuk secara tidak sopan.
Tetua Gloe berdeham. "Tuan-tuan, tenanglah dahulu. Nah, Jefferson, apa yang ingin kau jelaskan pada kami?"
Di antara Tetua yang lainnya, beruntung ada Tetua Gloe yang peduli─sudah seperti sosok seorang ayah, yang tertua di antara yang tua. Sayang, sebentar lagi ia akan pensiun dan Tetua Jefferson menyesal kenapa tidak lebih dulu berusaha dekat dengannya. Dulu sekali ia beralasan "usia yang terpaut dua puluh tahun" membuatnya tak ingin mengakrabkan diri. Seiring berjalannya waktu, Tetua Jefferson menyadari jika Tetua Gloe berhati baik dan penuh kasih sayang. Ia mengetahui kisah masa lalu Tetua Gloe yang sudah lama memperjuangkan kota ini. Barangkali, berargumen dengannya sedikit lebih baik ketimbang Para Tetua lain.
"Aku rela memikirkan ini demi penduduk kita, dan apakah kalian selalu memikirkan mereka? Apakah kalian peduli? Kita tidak bisa membiarkan penduduk yang hilang terus terjadi," Tetua Jefferson memulai, "dan aku tahu sudah banyak upaya pencegahan yang kita lakukan. Namun kurasa, kita harus melakukan sesuatu yang lebih, lebih dari yang sudah-sudah. Aku punya dua usul: bagaimana jika kita mengungsi ke kota lain untuk mencari tahu apakah di sana pun penduduk yang hilang semakin banyak?" Matanya menatap Para Tetua yang lain penuh harap. "Bagaimana?"
"Jefferson, benar-benar deh, kau memang nekat." Salah satu Tetua menggeleng.
Tetua Defran sebagai yang termuda menimpali, "Aku pikir itu terlalu … berbahaya. Jumlah penduduk kita ada banyak sekali, dan membawa seluruhnya? Astaga, sinting."
"Defran! Jaga mulutmu!" hardik Tetua Gloe.
Berikutnya mereka saling melemparkan argumen apakah usulan Tetua Jefferson yang pertama dapat mereka laksanakan. Setelah hampir satu jam, mereka sepakat, mengungsikan diri ke kota lain terlalu berisiko. Belum tentu kota tersebut mau menerima penduduk kota Vurch, dan juga siapa yang akan menjaga kota di ujung gerbang? Sejarah tidak akan membiarkan kota ini menjadi kota tua tak berpenghuni.
Tetua Jefferson sudah mempertimbangkan ini, sehingga tidak ada cara lain selain mencari si penyihir. Tentu saja itu melanggar poin, tapi mari lihat betapa cerdasnya dia menyusun rencana. Ia sudah muak dan tak ingin kehilangan para penduduknya lebih banyak.
"Kalau begitu … mari lakukan usulan upaya pencegahanku yang satu lagi. Untuk mencapai keberhasilan, harus ada yang berkorban. Percayalah padaku, ini akan membuahkan hasil," imbuhnya.
**
ADA SEORANG lelaki bernama Nizsm yang tidak tertarik dengan kutukan hutan penduduk kota seperti kebanyakan. Posturnya jangkung, tidak terlalu berotot, rambut merah kecoklatan, dan wajah yang kaku. Ia bekerja di ladang, dan menyetorkan panennya ke pasar setiap akhir pekan. Desas-desus selalu memenuhi indera pendengarannya acapkali berada di kerumunan penduduk. Alih-alih penasaran dan turut merasa resah, ia sama sekali tidak peduli.
Beberapa orang yang mengenalnya memberikan julukan "kurang bersosialisasi" atau "pemuda berhati dingin" dan bahkan lebih aneh lagi: "pemuda dari goa". Nizsm tidak terganggu atau merasa tersinggung, ia setuju saja dirinya dicap demikian. Lelaki itu hanya peduli pada ladang dan kerja keras, dan pada rahasia-rahasianya.
Sudah berapa lama ia menetap di kota Vurch? Nizsm tidak ingat kapan pertama kali ia berada di sini dan memutuskan untuk tinggal. Kepalanya tidak pernah diasah untuk mengingat hal-hal kecil, tetapi ia cukup pandai untuk memikirkan masa depan, alih-alih masa lalu.
Banyak hal yang telah Nizsm lewati, sehingga ia memutuskan untuk tak perlu repot-repot mengakrabkan diri dengan orang lain. Tapi Nizsm tidak sedingin itu, terkadang ia harus memasang tampang ramah demi hasil panennya. Ia juga harus menyapa para sesepuh yang sedang berolahraga di pagi hari. Lelaki itu hanya membatasi diri, bukan membenci.
Walau sejujurnya, ia membenci Para Tetua untuk beragam alasan.
Namun kesialan menghampirinya. Ada sebuah wara-wara yang menyiarkan pesan dari para Tetua di tengah kota. Kertas-kertas serupa pun ditempel di papan pengumuman dan dinding-dinding rumah. Nizsm menemukan kertas itu seusai bekerja, terinjak-injak di tanah. Singkatnya, para penduduk diundang ke rompok Para Tetua. Nizsm ingin berpura-pura tidak pernah membaca atau mendengar wara-waranya. Tapi jika tidak mampir, barangkali harinya akan tertimpa masalah dan berikutnya menjadi lebih buruk.
Dalam benaknya sudah terdoktrin jika ia tidak boleh berurusan hal apa pun dengan Para Tetua. Nizsm sendiri merasa was-was diundang seperti ini. Yah, entah ada dendam kesumat apa tapi, kadar kebenciannya memang sudah mendekati seratus persen─sangat sulit untuk dihilangkan.
Sangat tidak baik, tapi apa boleh buat? Nizsm mendatangi rompok itu tanpa menunjukkan ketertarikan yang berarti. Para penduduk yang lain juga di sana. Mereka berkumpul secara berdesak-desakan di sebuah ruangan yang terhimpit dan di depannya terdapat sebuah balkon kecil. Nizsm tidak menyukai situasi macam ini. Udaranya sesak dan ia hampir tidak bisa menapas. Bising suara tak jelas memenuhi indera pendengarannya sehingga telinga Nizsm agak kesakitan. Bau amis keringat tercium, uh menjijikkan. Seharusnya ia berdiam diri di pintu masuk.
"Saudara-saudara sekalian, mohon maaf atas ketidaknyamanannya." Ada Tetua Gloe berbicara di atas balkon. "Kalian diundang bukan tanpa alasan dan bukan tanpa pertimbangan. Aku harap kalian menyimaknya dan mengerti kenapa kita harus melakukan ini.
"Seperti yang kita ketahui, penduduk kita semakin banyak orang yang hilang. Kita dilanda ketakutan dan berharap bisa memeluk orang yang kita sayangi setiap saat agar tak hilang." Matanya terlihat sayu, lalu sesaat kembali tersulut oleh keberanian. "Sejak dahulu, penyihir adalah musuh kita," tegasnya.
Beberapa orang mulai berbisik-bisik. Nizsm menaikkan sebelah alisnya, pidato yang keren itu membuatnya tertarik sekarang. Baiklah. Apa yang ingin kalian─Para Tetua─katakan?
Di samping Tetua Gloe, ada Tetua Jefferson yang sepertinya pidato tersebut akan diserahkan kepadanya. Wajah Tetua Jefferson sempat ragu, Nizsm menyadarinya. Oh, ya ampun. Ini lebih menarik dibanding drama musikal sekolah.
Tetua Jefferson meneruskan, "Aku tahu ini kedengarannya aneh dan kemungkinan tidak bisa kalian terima. Tapi ini demi kesejahteraan penduduk kita. Baiklah, langsung saja. Usulan ini sudah kami diskusikan matang-matang dan kalian bebas menerimanya atau tidak."
Apa? Apa? Sebenarnya apa itu?
"Kami sudah membuat rencana. Dan kita, berdasarkan rencana tersebut, akan memasuki hutan dan menemukan si penyihir atau apa pun yang mencurigakan."
Hening menyelimuti. Butuh beberapa detik sampai kalimat itu dipahami baik-baik. Memasuki hutan, katanya? Bukankah hutan itu berbahaya? Bukankah Para Tetua selalu melarang para penduduknya untuk pergi ke hutan? Sekarang mereka menelan pahit-pahit omongan mereka sendiri?
"Aku tahu di masa lalu ekspedisi ini pernah dilakukan, dan berakhir tidak ada yang selamat," sambung Tetua Jefferson. "Tapi kita tidak bisa berdiam diri. Kita harus melakukan sesuatu. Dan percayalah padaku, pada kami, demi kita semua."
Ruangan kembali ramai. Banyak yang bersorak setuju, beberapa masih ada yang takut dan menolak. Semuanya bercampur aduk. Pasti, mereka mengharapkan perubahan dengan tidak ada lagi orang-orang hilang. Tidak ada lagi duka karena kehilangan orang-orang tercinta. Tidak ada lagi … ketakutan yang berlebihan.
Mereka menginginkan kebebasan.
"Demi kita semua!!!" sorak seseorang.
"Kembalikan kebahagiaan kami!!!" tambah yang lain.
Namun, Nizsm tak habis pikir. Itu terlalu nekat, dan apa mereka tidak tahu jika hutan itu penuh sihir? Untuk apa poin-poin larangan itu dibuat? Kenapa dengan bodohnya mereka menyetujuinya?
Gila. Benar-benar gila.
Apakah orang-orang yang hilang membuat seluruh penduduknya kehilangan kewarasan mereka?
Jadi inikah alasannya? Aha, Nizsm sangat berterima kasih dapat mendengar kabar ini secara langsung. Senyum picik menghiasi bibirnya. Nizsm tidak bisa membiarkan orang-orang itu memasuki hutan walau besar kemungkinan mereka akan hilang dan ia tidak peduli. Hanya saja, bahkan, rasa ketidakpedulian itu terkalahkan oleh ego rahasianya sendiri. Sebab disangkal bagaimanapun, dan seantinya bersosialisasi, ia adalah seorang penyihir yang bertanggungjawab di kota ini.
Dan Nizsm tidak bisa meletakkan tugasnya begitu saja. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top