10. Tentang Janji Tanpa Kepastian dan Adik Kakak Itu

TIDAK ADA yang lebih membosankan pada titik kehidupan kecuali rutinitas pagi stagnan; bangun, merapikan tempat tidur, mencuci muka dan menggosok gigi, sarapan, mandi, jalan-jalan sampai bersenandung riang─cukup, itu cuma Alex (tentu naga terbang tak perlu melakukan aktivitas kedua dan ketiga, dan kelima kadang-kadang). Sebetulnya setelah diingat-ingat, Alex lumayan bosan menjalani hari. Mencari sesuatu yang berarti tidak semenyenangkan masa muda. Semakin dewasa dan semakin lama hidup, kau akan kehilangan antusiasme kehidupan.

Namun kini, ada sahabatnya yang memerlukan bantuan, juga anak-anak nakal yang perlu dilindungi.

Bagaimanapun, masalahnya sangat jelas, sejelas rumah pohon mereka yang dapat dibedakan. Pada hari pertama mereka bertemu, Alex merasakan perbedaan dalam diri Shaun, lalu anak-anak dan rasa ingin tahunya yang menyebalkan pasti merepotkan. Mereka bahkan sudah bermain-main dengan sapu terbang untuk menjelajah hutan. Alex jadi rindu memori masa mudanya─ketika dia merantau di angkasa dan menyaksikan pemandangan indah di bawahnya.

Entah pagi yang keberapa, hari ini mereka berkumpul di halaman rumah pohon, duduk dengan manis─termasuk Invi yang mengemut jarinya di pangkuan Allysa.

Ray tentu berpikir mereka akan segera menjelajah, seluruh anggota keluarganya pergi bersama. Tetapi ia tidak menemukan tanda-tanda Shaun ataupun Alex mempersiapkan penjelajahan mereka. Terlebih, sebetulnya, Ray rasa selama ini mereka hanya bermain-main biasa─sama sekali tak menemukan kutukan atau apalah yang menjadi misteri. Meski begitu, Ray akui semua itu menyenangkan.

"Hari ini kita akan ke mana, Ma?" tanya Allysa sumringah, telah mewakili perasaan Ray yang mengendap. Si adik menunggu jawaban dari Shaun penuh harap.

"Anak-anak," panggil Shaun, menopang diri pada tongkat sihirnya. Benda yang satu itu jarang dipakai olehnya, tetapi kini ia memerlukan sihir yang teralir di sana (sekaligus menopang tubuhnya). "Ada sesuatu yang harus kujelaskan. Bisakah kalian duduk manis dan dengarkan aku?"

Shaun merasakan dadanya dihimpit kuat. Ia tak kuasa memandang anak-anak itu─tentang keceriaan mereka, rasa ingin tahu mereka, semuanya. Bagaimana respons mereka nantinya? Dahulu, di awal pertemuannya dengan anak-anak, mereka tampak rapuh dan lemah. Shaun bangga mampu membesarkan mereka dengan baik. Tubuh-tubuh mereka menjadi sehat dan gemuk, makan lahap, dan tidur nyenyak.

Tetap saja, hutan memang tidak berbahaya, tetapi akan menjadi sebaliknya bagi manusia dalam beberapa kasus. Berapa kali Shaun harus mengingatkan dirinya sendiri?

"Kalian masih ingat soal kesepakatan kita mengenai menjelajahi hutan?" Shaun memulai, suaranya meredup karena ragu.

"Tentu! Kita baru saja melakukannya beberapa kali," jawab Allysa. Ia menyikut siku adiknya. "Benar kan, Ray?" Namun Ray tidak menyahut, ia masih berharap-harap cemas.

"Sebetulnya, Sayangku, aku tidak bermaksud menyakiti hati kalian. Setelah mempertimbangkan, terlebih kondisiku belakangan ini, kita tidak bisa ... menjelajah." Shaun terdiam sejenak. Ia betulan mengatakannya! "Tidak sekarang. Tanpa pengawasanku, hutan berbahaya bagi kalian yang tak memiliki sihir. Sekarang aku tidak bisa." Pandangannya beralih pada Alex yang mengerti maksudnya. Frasa 'tidak bisa' itu akan semakin memburuk alih-alih membaik.

Barangkali Shaun tidak akan pernah menempati janjinya pada anak-anak.

"Kalian harus mengerti," tambah Alex pada anak-anak. "Kalian─bukan─kita ini keluarga. Mengertilah kondisi Shaun. Sebelum ada aku, kalian bisa kembali bermain seperti dulu, hanya di sekitar rumah pohon ini."

Allysa dan Ray saling pandang, masih terheran-heran. Si Nenek Penyihir dan naga terbang sedang berbicara serius, yang jarang sekali terjadi. Alex bahkan tampak lebih tak biasa mengingat sifatnya yang kurang sopan, tetapi kini sopan dan dewasa. "Apakah Mama ssakit?" tanya Allysa, matanya berkaca-kaca. "Sakit keras?"

"Oh, tidak, tidak," jawab Shaun seraya menggeleng panik. Ia tak ingin membuat sedih anak-anak terkait kondisinya. "Ini terjadi di setiap penyihir sepertiku, cepat atau lambat. Masa penuaan. Manusia juga sama, tetapi aku sudah hidup lama sekali─"

"Dan Nenek akan mati," sela Ray, "lalu meninggalkan kami."

"Apa? Tidak. Tidak seperti itu!" Bukan Shaun ataupun Alex yang menanggapi. Itu suara milik Wendy, melengking seperti hendak marah. Ia tidak senang Ray berbicara lancang, meskipun ia menyadari dirinya juga sama. "Maksudku, semua makhluk hidup pasti akan mati, dan Shaun ... dia penyihir, kalian ingat? Masa penuaannya lebih lama dari manusia, jadi masih ada waktu."

Mendadak Ray berdiri, tampak terluka sekaligus marah. "Dan seiring waktu, Nenek tidak akan kuat. Tidak akan ada penjelajahan lagi." Ia menutupi wajahnya, lalu berlari masuk ke rumah pohon.

Shaun hampir kehilangan rasa panik. Bersama Alex dan Wendy, mereka sudah menduga mereka tidak bisa merahasiakannya lebih dari ini. Cepat atau lambat, kebenaran akan terungkap dan anak-anak akan kecewa padanya. Ini wajar, mereka masih dalam fase pertumbuhan dan pemberontakan. Seharusnya mereka tidak tinggal di hutan. Seharusnya Shaun membawa mereka kembali ke kota, meninggalkan mereka pada tempat yang semestinya ditinggali oleh manusia. Seharusnya─oh betapa semua itu menyelimutinya menjadi penyesalan. Shaun takjub bagaimana hatinya, hati Alex dan Wendy, juga hati anak-anak berubah.

Namun rasa sayangnya tidak akan berubah, seperti Allysa yang masih di sini bersamanya; memberi tatapan lembut penuh pengertian, dan seperti Ray yang menjauh darinya; hanya terkejut dan memerlukan waktu sendiri. Shaun percaya anak itu akan kembali lagi untuk berbicara padanya.

Allysa mendekat dan memeluk Shaun. "Mama sakit," lirihnya, mengatakan apa yang mau ia deskripsikan dari masa penuaan. "Maafkan aku, Ma. Nanti biar aku saja yang bicara pada Ray."

"Tentu, Sayang," sahut Shaun, membelai rambut Allysa. "Aku belum sesakit itu. Aku masih sanggup berjalan, memantrakan sihir, melakukan rutinitas, semacamnya. Hanya saja kesanggupanku semakin berkurang, dan bepergian jauh ...."

"Mama tidak sanggup," kata Allysa.

"Tapi ini bukan masalah besar," sangkal Shaun, berusaha sekuat tenaga tidak membuat anak-anak khawatir. Tangannya beralih memegangi bahu Allysa erat sehingga pelukan mereka berakhir. "Hanya butuh istirahat saja dan melakukan apa yang mesti kulakukan. Nah, sekarang, masuk dan bicaralah pada adikmu."

Karena Allysa tidak punya pilihan lain, meski ragu-ragu ia tetap menurut. Sebetulnya terlintas gagasan "mari bicarakan bersama", tetapi mengingat suasana hati Ray yang ekstrem, si adik tak akan mendengarkan─tidak untuk sekarang. Biasanya Ray harus didiamkan selama beberapa hari; membiarkannya kalut dalam pikiran sampai tenang sendiri. Lalu, hubungan mereka akan kembali seperti sedia kala. Jika Ray bersinggungan dengan Allysa, Wendy atau Shaun-lah yang akan bicara. Kini, setidaknya Allysa bisa membantu.

Terkadang situasi ini menyakitkan bagi Shaun. Tiga tahun lalu, ia kira akan menyaksikan bagaimana anak-anak itu tumbuh dewasa dan ... mati. Mereka-lah yang akan meninggalkannya duluan, bukan sebaliknya. Penyihir seharusnya hidup lebih lama dari ini, lebih dari sebelas abad. Kalau begitu mengapa masa penuaannya menghampiri lebih cepat? Usianya bahkan tergolong dalam tahap nenek-nenek awal─sama sekali belum setua itu. Tengoklah Alex yang berbeda setengah abad darinya. Ia masih tampak segar dan bugar. Meskipun ia seekor naga, perhitungan usia antara penyihir dan naga terbang tidak berbeda jauh.

"Sekarang apa?" tanya Wendy begitu Allysa sudah masuk rumah pohon. "Apakah kita mengacaukan semuanya?"

Shaun mendesah. "Tidak. Rencananya memang memberi tahu mereka. Percayalah mereka akan baik-baik saja, segalanya akan baik-baik saja. Sekarang aku mau berjemur. Kalian mau ikut?"

"Bodoh," dengus Alex, meskipun nadanya tidak menjengkelkan dan tetap mengikuti. Ia terbang rendah di atas kepala Shaun. Menjadi kecil membuatnya lebih sering menggerakkan sayapnya, sekaligus lebih leluasa dalam terbang di langit-langit. Sementara ketika tubuhnya raksasa, ia harus mempertimbangkan posisinya agar tak merusak macam-macam.

Namun tetap saja. Seandainya Alex memiliki tubuh raksasanya, ia akan─

"Tidak bisakah kita pergi ke kota penyihir? Ke kampung halaman Shaun?"

─membawa Shaun bertemu penyihir-penyihir lain, seperti kata Wendy.

Perhatian semacam itu tidak luar biasa. Malahan, semenjak mengasuh anak-anak, ia mati-matian tak ingin bertemu para penyihir. Sudah lama sekali sejak ia memutuskan ikatan dengan keluarganya sebagai sesama penyihir. "Kalian tahu," ujarnya, "aku masih berusaha mengumpulkan benang-benang sihirku menjadi lebih kuat. Demi anak-anak. Dan demi tubuh raksasa Alex."

Alex mengernyit disebut-sebut. Ia terbang ke depan wajah Shaun dan melihat ekspresi wajahnya. Kelabu. "Kita sudah membicarakan ini, ingat? Berhentilah menyesal."

"Pertanyaanku adalah, kenapa di hari pertama pertemuan Alex dan anak-anak, kau bisa repot-repot mengubahnya?" tanya Wendy menimpali, ia berlari-lari kecil sebelum berhenti di semacam tempat terbuka di mana sinar matahari bisa ditangkap. "Sihirmu sebesar itu dan dalam satu minggu memburuk?"

Shaun ambil posisi. Ia duduk membelakangi matahari. Punggungnya harus menyerap vitamin D sebanyak mungkin. Ditariknya napas dalam-dalam, lantas diembuskan perlahan. Tahap meditasi. "Seperti kata Alex, kita pernah membicarakannya. Sampai kini aku tidak tahu, ingat?" Shaun menirukan gaya bicara si naga terbang, tapi lebih frustrasi.

Namun Alex ikut-ikutan frustrasi. "Menjadi kolot sungguh meresahkan."

"Aku setuju," ringis Shaun.

"Gelar 'makhluk hidup abadi' sebaiknya dihilangkan. Itu berlebihan. Kita cuma hidup lebih lama dan panjang."

"Abadi berarti tetap awet muda, segar bugar. Bagian tidak enaknya, kesepian. Sedangkan kita? Duh, selain masa penuaan, ingatan pun perlahan sirna."

Kedua sahabat tua itu masih melanjutkan timpalan-timpalan satu frekuensi mereka, menunjukkan sebuah afeksi kedekatan. Wendy mengerti mengapa mereka bisa dekat, dan hal tersebut terpampang jelas di sini. Ia tak ingin mengganggu lantaran sinar matahari membuatnya mengantuk (kucing selalu mengantuk, asal kau tahu). Wendy sudah merebahkan diri di rerumputan yang agak jauh, bersiap menjemput bunga tidur, sebelum salah satu bunga kecil layu berbicara kepadanya.

"Apa kau tidak merasa ada yang berbeda dari hutan ini?"

Telinga Wendy berdiri seketika. Ia melirik sebentar ke arah Shaun dan Alex, mereka masih asik sendiri. "Kenapa?" balasnya, kepada si bunga.

"Para pohonnya. Sejak semalam."

Ini bukan pertama kalinya Wendy berbicara dengan tumbuhan berakal─meskipun sangat jarang ditemukan yang seperti itu. Segala tutur kata mereka bisa jadi kebenaran, bisa juga tidak akibat terlalu banyak berpikir. Wendy harus hati-hati, ia berusaha berpikir keras. "Tidak kurasakan, sayangnya. Apa kau mencoba memberi kode?" Wendy mendengus. "Ayolah, hutan ini tidak dikutuk."

Kendati tak memiliki wajah, aura si bunga berubah sedih. Tampaknya tak butuh waktu lama sampai waktu hidupnya habis. Sinar matahari tidak bisa membantu tubuhnya yang sudah sangat layu. Melihat itu, Wendy merasa bersalah. "Kau ingin mengatakan apa, Kawan?"

"Hanya merasakan hawa perbedaan."

Agak memalukan karena si kucing tetap tidak mengerti. Ia tidak merasakan apa-apa. Untuk menutupi ketidakpahamannya, Wendy mengalihkan topik, "Sejak kapan kau mulai layu?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mengingat banyak hal," jawab si bunga dengan nada kesedihan serupa.

Kata menyebalkan itu dilontarkan lagi, membuat Wendy memutar bola mata bingung. Nah, apa barusan? Mengapa kasus 'kepikunan' merajalela, bahkan kepada bunga kecil malang yang layu itu? Apakah layu serupa dengan masa penuaan? Astaga! Wendy gemas sendiri, ia ingin mengorek lebih banyak informasi tapi apa yang harus ditemukannya? Paling-paling si bunga akan menjawab 'aku tidak tahu' yang membosankan itu.

Namun ia tidak akan membiarkan kawan barunya bermonolog.

Sayangnya, sebelum Wendy sempat menanggapi, si bunga layu sudah mati.

**

SETIAP KALI sesuatu yang menghancurkan suasana hatinya muncul, Ray pasti mengurung diri di kamarnya; melamun ke luar jendela atau langit-langit kayu kamar, membaca buku-buku, bahkan tidur. Jadi jika dia merasa tersakiti pagi hari barusan dan tidak keluar hingga matahari tergelincir, berarti kadar kekecewaannya sangat parah. Bisa dimaklumi. Anak-anak selalu seperti itu.

Beruntungnya, matahari belum tergelincir.

Dan Allysa menunggunya, terpisah di balik pintu.

"Coba kuperjelas, ya," bersut Ray, memandang ke bawah pintu kamar di mana bayangan Allysa menyembul. "Tahu tidak, sih, rasanya dikhianati?"

"Tapi Mama punya alasan, Ray," sahut si kakak dengan suara serak. "Kita tidak bisa memaksakan keadaan, terutama bila keadaannya buruk."

"Lalu kenapa Nenek menyetujuinya dari awal?"

"Karena dia menyayangi kita," jawab Allysa, mengetuk pelan pintunya. "Itu menandakan dia mendengarkan permintaanmu dan tak ingin menyakitimu. Mama membuat janji supaya dia bisa bertahan, tapi ... keadaannya tidak mendukung."

Untuk sesaat Ray tidak mengatakan apa-apa. Ia berbalik dan memperhatikan seisi kamarnya. Nah, dari mana Shaun mendapatkan semua ini? Apakah semuanya hanya tipuan sihir belaka─yang barangkali batu-batu disihir menjadi perabotan rumah? Ray mendadak kesal sedari dulu tak menyadarinya.

"Tolonglah." Allysa masih memohon dari balik pintu. "Kita kan keluarga seperti kata Alex, sudah sepantasnya saling memahami dan memaafkan. Mama tidak jahat. Dia masih menyayangimu, Ray."

"Tolonglah," tiru Ray, nada memohonnya terdengar lebih kental. Ia mendekati lemari dan membukanya. "Aku butuh waktu untuk sendiri. Tinggalkan aku."

Allysa kembali ragu-ragu, hatinya terlalu rapuh. Ia selalu mengutamakan orang lain, dan tak kuasa menolak permintaan mereka. Wajahnya pun berubah muram. Pada akhirnya ia tidak dapat 'bicara' pada sang adik. "Baiklah," tandasnya agak kecewa. "Jangan lupa keluar untuk makan siang. Kalau kau tidak mau, maka keluarlah saat makan malam. Sampai nanti, Ray."

Sampai nanti, adalah frasa yang sangat tepat untuk diucapkan pada situasi menjengkelkan ini. Oh, kakaknya yang malang. Mendadak Ray diselimuti rasa bersalah. Setelah memastikan Allysa sudah tidak menunggunya, ia menarik napas dalam. Detak jantungnya semakin berdebar-debar. Haruskah kulakukan? Ray baru saja memikirkan gagasan gila lain─oh kapan memangnya ia pernah berhenti berulah? Perlahan-lahan keberaniannya terkumpul, tetapi di satu sisi juga lahir ketakutan dari segala kemungkinan terburuk.

Dalam satu sentakan kaki, Ray sudah memutuskan hendak berpihak pada pilihan yang mana. Sorot matanya pun bagai dipenuhi bara api. Ia sudah cukup muak dijejali janji-janji, atau bahkan terjebak di hutan ini. Allysa memang ada benarnya. Shaun masihlah menyayangi mereka, dan Ray sangat berterima kasih pada si penyihir yang sudah merawat mereka. Namun ia ingin pergi, ia ingin pertanyaan-pertanyaannya segera terjawab, dan Ray harus melakukannya tanpa membawa rasa kecewanya pada Shaun.

Ia mengambil tas ranselnya yang dibuat oleh Shaun; memasukkan beberapa pakaian, sedikitnya dua buku tua milik Shaun (yang entah untuk apa), pisau lipat, lampu corong kecil, terakhir Ray butuh air dan makanan. Jadi ia mengendap-endap menuju dapur, melirik kanan kiri, lalu mengambil secukupnya. Makanan praktisnya hanya tersedia apel dan beberapa anggur, tak masalah. Rumah pohon cukup sepi, barangkali para tiga serangkai masih di luar dan Allysa sedang bermain dengan Invi. Buru-buru Ray kembali ke kamar.

Matanya mencuri pandang sesaat ke ruangan Shaun, sempat berharap ia dapat menemukan peta. Tentu saja, tidak ada orang yang bertualang tanpa peta! Tetapi, jangan harap. Shaun tidak menyimpan yang seperti itu di ruangannya, penyihir bahkan tak perlu peta─mereka tidak pernah tersesat. Makhluk-makhluk hidup di sekitar selalu memberi tahu mereka. Ray harus mencapai tujuannya sebelum para pohon melapor Shaun.

Tanpa surat perpisahan apa pun, Ray melompati jendela kamarnya yang tingginya hanya lima meter di atas tanah. Kemudian kakinya berlari menerobos hutan yang arahnya berlawanan dari pintu masuk, dan berlari, dan terus berlari. Menciptakan jarak merupakan prioritas. Hmph! Atmosfer seperti inilah yang─

"Aha! Aku tahu kau akan pergi!"

Hampir tersandung akar-akar pohon yang mejalar di atas permukaan, Ray menoleh ke belakang dan memperlambat lajunya. "Allysa?!" Matanya melotot. "Apa? Kenapa─oke, tapi mengapa?!" Ia memperhatikan Allysa yang terengah-engah dan punggungnya yang juga membawa ransel. "Kau akan ikut denganku?!"

"YA!" seru Allysa kencang, mendorong Ray supaya tetap berlari. Ia mati-matian menarik napas demi mengejar adiknya. "Mana mungkin kutinggalkan kau sendiri!"

Rasa-rasanya ini hampir tidak mungkin, walaupun awalnya gagasan gila Ray disetujui Allysa. Si kakak lebih berpihak pada sang nenek, ia anak yang lumayan penurut. Kali ini Ray bertanya lirih, "Kenapa?"

Allysa mengambil tangan Ray lalu menggenggamnya erat. Ini semacam kesempatan untuk berbaikan. "Karena kau adikku," jawabnya, "dan kita tak akan terpisahkan." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top