4. Terjebak
4. Terjebak
Saat kau ada di sisiku, perasaanku menjadi takut, entah takut kehilanganmu, atau takut bahwa ini hanyalah ilusi semata
--
Entah Diandra harus merasa senang atau merasa sedih dengan keadaan dan situasi sekarang, Diandra yang hanya diam duduk di samping Azlan yang tengah dilayani oleh Rafin, sialan, dari sekian banyak karyawan dan karyawati di toko ini, kenapa Rafin yang malah melayani Azlan?
Kira-kira, kalo Diandra bisa meminjam alat doraemon, ia akan segera melakukannya, ia akan meminta doraemon mengeluarkan pintu kemana saja, atau jubah penghilang, ia ingin sekali menghilang dari tempat ini, sekarang juga.
Diandra tanpa segan memandang Rafin yang menjelaskan harga, kegunaan, juga manfaat dari berbagai macam benda yang ada di hadapannya kepada Azlan, Diandra hanya diam sambil memandang Rafin yang hari ini terlihat manis sekali, rambut laki-laki itu disisir rapi ke sebelah kanan, menampilkan kesan yang sangat rapi juga ah tampan, pakaian laki-laki itu juga harum dan bersih, hidung mancung juga mata sayu Rafin lagi-lagi membuat Diandra tak bisa memalingkan wajahnya – selagi Rafin tak mendapati Diandra yang sepertinya terpesona dengan Rafin.
Sialan kenapa Rafin malah menggangu otak Diandra sampai seperti ini.
Panggilan dari ponsel Diandra membuat Rafin melirik perempuan itu, tak berbeda dengan Azlan, Azlan langsung menahan lengan Diandra yang ingin beranjak dari tempatnya duduk.
"Dari Mbak Mocik, Lan," jawab Diandra sambil menepis tangan Azlan, tapi perempuan itu tetap tidak bisa lepas dari Azlan, tangan kiri Azlan yang bebas kembali menahan tangan Diandra, untuk tidak pergi dari tempatnya.
Diandra menyerah ia kembali ke tempat duduknya, sebelum telpon dari Mbak Monic – editor novel yang tengah Diandra kerjakan terputus, ia dengan cepat menerima panggilan telpon itu.
Yah, bukan hanya sebagai staf Adminitrasi, Diandra juga mencoba peruntungannya di dunia letrasi sebagai penulis novel, perempuan yang tingkat hayalnya tinggi itu, kini tengah mengejarkan novelnya yang kelima, sebenarnya prosesnya memang sudah ditahap revisi ending, perempuan itu masih berkonsultasi tentang akhir cerita di novel itu.
Dari empat novel yang sudah terbit, Diandra memang membuat akhir cerita yang teragis, Diandra sama sekali tidak menyatukan dua tokoh utama di novelnya, Diandra selalu saja membuat ending yang biasanya pembaca sebut sad padahal bagi Diandra itu bukan lah ending yang sedih.
Diandra hanya ingin realistis, kita harus sadar dengan keadaan, kadang kebahagiaan yang kita pikir bisa kita raih dalam hidup, bisa saja tidak akan terjadi, seperti yang akhir-akhir ini Diandra rasakan.
Ia pikir ia bisa bahagia hanya dengan berdiri di samping Azlan, tanpa bergandengan atau tampa ikatan dengan Azlan, tapi ternyata tidak, Diandra tidak bisa bahagia akhirnya, karena tanpa sadar Azlan bediri di sampingnya entah sebagai bayangan atau memang nyata, Diandra sama sekali tidak bisa menebak akhirnya, entah Azlan akan menggandeng tangannya atau akan pergi meninggalkannya.
Diandra ingin bahagia, tapi bisa saja kan akhir yang ditulis Tuhan untuk dirinya dan Azlan akan berpisah, tidak menyatu?
Setelah mendapatkan cekalan dari Azlan mau tidak mau Diandra menerima telpoon dari Mbak Monic di samping Azlan yang sam asaja di hadapan Rafin.
Diandra diam saat mendengarkan ceramah dari Mbak Monic, perempuan yang berbeda sembilan tahun dengan Diandra itu masih bersikeras untuk membujuk Diandra untuk mengubah akhir dari ceritanya itu.
"Mbak bukannya menggurui kamu, tapi setiap kamu meluncurkan novel, itu akhir ceritanya mengenaskan, enggak mau coba ending bahagia?" kalimat pertama dari telponnya membuat Diandra mendengus, Mbak Monic memang tidak salah saat memberi saaran begitu, lebih-lebih jalan cerita yang ditulis oleh Diandra sejak awal sudah sangat mandi untuk dua tokoh utama, yang pastinya akan lebih manis untuk berakhir bahagia.
"Mbak," jawab Diandra. "Mana ada sih di dunia ini akhir yang bahagia?" katanya yang membuat Azlan memalingkan wajahnya kearah Diandra, Azlan sebebanrnya memang sudah tahu apa masalah yang tengah dihadapi oleh Diandra, karena yah sering kali Diandra diteror oleh Mbak Monic untuk memikirkan jalan dari kisah ceritanya lagi.
Diandra menarik napas saat Azlan tiba-tiba menatapnya dan menahan tangan Diandra yang ingin menjauh lagi, Diandra muak, bukan kah Mbak Monic harusnya mengerti tentang tulisan yang Diandra kerjakan itu, itu bukan hanya tentang dua tokoh dan beberapa tokoh pendukung di dalam cerita itu, cerita itu bukan hanya naskah yang berisikan kata-kata bualan atau rayuan saja, naskah itu sebenarnya isi dari ketakutan hati Diandra sendiri, ia takut kisahnya akan berakhir setragis itu, hingga tanpa sadar Diandra menuliskannya lebih dahulu, mencoba berdamai dengan keadaan mulai sekarang.
"Nanti aku coba revisi deh Mbak," jawab Diandra akhirnya, lalu tanpa keraguan perempuan itu menutup panggilan dari Mbak Monic, Diandra tahu perasaannya sudah tidak mood saat melihat Rafin di depannya, dan itu harusnya aneh, harusnya Diandra merasa bahagia. Harusnya Diandra merasa senang karena bertemu laki-laki itu.
Wajah Diandra tak lagi menampilkan senyum sama seperti ia masuk ke dalam toko ini, wajah Diandra telrihat tidak bersahabat, ia itu juga tak membuka percakapan kepada Azlan selagi Azlan menunggu beberapa alat lagi yang tengah diambilkan oleh Rafin.
Diandra hanya diam, perempuan itu menaruh wajahnya ke dalam tangkupan dua tangannya yang bertumpu di meja etalase, tatapan mata Diandra mengiring Rafin yang berjalan kearahnya, lebih tepatnya kearah Azlan yang duduk di sampingnya.
"Maaf Mas sebelumnya, stocknya kosong, tapi seandainya Mas mau menunggu bisa saya ambilkan ke toko lain, dan kalo Mas tidak bisa menunggu saya juga bisa mengantarnya ke rumah Mas," jelas Rafin yang kini membuat Azlan menatap Diandra, sedangkan Diandra entah mengapa tak memalingkan wajahnya sama sekali dari Rafin.
"Kalo gitu saya ambil aja barangnya, nanti dikirimnya ke rumah Mbak yang ini aja," kata Azlan sambil menunjuk Diandra yang duduk di sampingnya dengan dagunya. "Yaudah totalnya berapa?" tanya Azlan lagi yang membuat Rafin mengatakan silahkan ikut dia ke kasir sekalian meminta alamat untuk pengantaran barang yang akan diantar.
"Ikut sana," kata Azlan menyuruh Diandra untuk membuntuti Rafin ke kasir. "Ini, kartu debit, pinnya masih tanggal lahir kamu," katanya lagi.
Diandra duduk di depan kasir yang di belakang kasir itu Rafin berdiri, laki-laki itu terdengar memastikan kembali barang yang dipesan oleh Azlan ada di toko yang lain.
"Bisa minta alamatnya Mbak, dan nomor telponnya, nanti kalo saya sudah jalan ke rumah Mbak, saya akan kabri Mbak," kata Rafin sambil memberikan secarik kertas dan juga polpen kepada Diandra.
Diandra mengangguk lalu mengambil kertas juga polpen yang disodorkan oleh Rafin, setelah menuliskan alamatnya juga nomor telponnya dengan lengkap – karena ia juga tidak mau Rafin tersesat ia mengembalikan secarik kertas itu kepada Rafin.
Pembayaran di kasir pun selesai, Rafin tersenyum hangat saat Diandra dan Azlan pergi dari toko tempatnya bekerja, tak lama dari itu pun Rafin bersiap untuk ke kantor cabang satunya untuk mengambilkan barang yang dipesan oleh Azlan, dan mengantarkan ke rumah Diadnra.
***
Terima kasih sudah membaca sampai sini.
21 januari 20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top