9. Hei, Jelaskan
Eden is not a place,
it's a state of being.
***
"Nanti lagi, jangan tiba-tiba kayak gitu, tolong," protes Rav. "Kami juga 'kan butuh paham kamu mau ngapain. Agaknya bakal gimana gitu, kalau ada kesalahpahaman saat lagi kayak gini."
Steven mengangguk dengan pandangan yang tertuju pada ujung alas kakinya. "Iya, Teh."
"Kita seumuran," sanggah Rav.
"Iya T---Rav."
"Nah. Kok kamu memutuskan buat nyerang langsung?" tanya Rav seraya berkacak pinggang.
"Itu ...," Steven memainkan jemarinya sebentar, "saya enggak tahu cara ngejelasinnya gimana, soalnya. Tapi pas lihat kalian, enggak ada yang lihat ke 'Kak Eris' kayak saya. Kecuali Yemi dan Kang¹ Kripik.
"Jadi, karena bingung dan sedikit ngeri duluan, saya diem dan memutuskan buat langsung serang aja. Makanya tadi saya masuk ke kios Auntie Anne's buat ambil spatula pastry. Eh tahunya adanya yang lebar gitu."
Rav menganggukan kepalanya. "Kata aku sih lain kali, kalau ada yang kayak gini lagi, kamu tinggal speak up aja. Semuanya ya tinggal speak up, jangan kalau ada yang aneh, diem-diem. Kita semua di sini bareng."
Sekali lagi, Steven mengangguk masih dengan pandangan yang tertuju ke bawah. "Iya, Teh."
"Kita seumuran," sanggah Rav.
"Iya T---Rav."
Rav kini menghadap ke arah Aldo yang sudah cengengesan. "Kamu juga sama, Do. Kalau tahu sesuatu, bilang. Bukan cuma senyam-senyum. Ini bukan lagi main game WW yang butuh drama."
"Hehe, sorry," ucap Aldo. "Aku cuma enggak mau bikin kalian panik aja. Toh, 'kan agak banyak hal yang terjadi. Syok enggak sih kalau dituangin plot twist terus-terusan? Jadinya, aku mau pelan-pelan. Aku enggak bermaksud, kok."
"Ini bahaya," ucap Diva. "Gimana kalau tadi itu ilusinya sebaliknya?"
"Maksudnya?" tanya Chita.
"Maksud aku, gimana kalau yang kita lihat normal sebenarnya makhluk?" jelas Diva.
Sebuah helaan napas tajam terdengar tak jauh dari mereka. Catris adalah orang yang menghasilkan suara tersebut. Orang-orang yang mengelilingi Steven dan abu bekas makhluk kini menoleh ke arah Catris.
Catris berdiri, berjalan mendekati mereka dengan kaki yang masih pincang. "Walau itu terjadi, mereka enggak akan bisa sepenuhnya membuat ilusi itu ke semua orang."
Semua orang terdiam menunggu Catris melanjutkan kalimatnya. Namun, alih-alih melanjutkan, Catris malah memainkan ujung-ujung kukunya sembari terlihat berpikir.
"Oke ... Kak Icha tau dari mana?" tanya Key.
Ragu-ragu, Catris mulai memutuskan untuk memberikan mereka informasi seperlunya saja; apa yang terjadi, yang berkaitan dengan apa yang dia sampaikan.
"Aku enggak sengaja nguping tadi, kalau kalian ketemu sama cewek lusuh yang muncul dan hilang entah ke mana. Aku, waktu berpisah sama kalian, juga ketemu sama dia.
"Cuma ... aku enggak dicegat, dan dia enggak muncul gitu aja di hadapan aku. Gimana, ya, jelasinnya?"
***
Catris menjelaskan bahwa ketika teman-teman yang lain terdistraksi oleh anak-anak yang terjatuh, sementara yang lain fokus ke pandangan di hadapan mereka, sesuatu menariknya ke bawah.
Dia mendarat di permukaan kasar yang menyerupai aspal. Ketika kedua kelopak matanya membiarkan sepasang manik cokelat itu memandangi sekitar, Catris menyadari bahwa dia memang telungkup di aspal jalanan, di sebuah kota mati antah berantah.
Gedung-gedungnya mulai menjadi bangkai, tidak ada satu tanaman pun yang tumbuh. Kota itu dipenuhi oleh pohon-pohon kering tanpa daun, dengan kendaraan roda empat yang sudah berkarat dan terbalik.
Langit-langit yang menyelimuti kota dipenuhi dengan awan-awan kelabu dan sinar matahari yang temaram, memberikan nuansa sepi dan sendirian.
Catris menyampaikan kepada teman-temannya bahwa dia mencoba untuk mengidentifikasi kota itu, tetapi dia tidak mengenalinya. Maka, dia mencoba untuk mencari jalan kembali ke mal tempat komunitas FLC bertemu. Namun, selama apa pun dia melangkah, secepat apa pun dia berlari, sesering apa pun dia berbelok, dia tidak bisa menemukan mal yang dimaksud.
Pengakuan Catris membuat teman-temannya mengernyitkan dahi dan melirik satu sama lain. Kedengarannya memang tidak mungkin, tetapi melihat Catris yang bercerita dengan tangan bergetar, mereka iba.
"Aku merasa ... aku terperangkap di kota itu selama enam hari. Seingatku, matahari terbit dan terbenam sebanyak enam kali," ujar Catris.
Fuyu menautkan kedua alisnya. "Di sana ganti hari sebanyak itu?"
Catris hanya mengangguk.
Gadis itu menyampaikan bahwa di hari keenam, dia mencoba untuk kembali mencari mal. Dia tidak merasakan lapar maupun haus; hanya kelelahan dan pegal-pegal.
Di depan sebuah rumah dengan tanaman merambat yang mengering, seorang perempuan muncul tiba-tiba. Kemunculan tersebut membuat Catris terkejut. Ketakutan, dia berlari dan akhirnya tersandung batu gaib. Lututnya terluka, tetapi rok yang menutupi tidak rusak sama sekali.
Di titik itulah, Catris menyadari bahwa dia tidak sedang berada di tempat yang memiliki hukum fisika sesuai pemahaman manusia.
Catris mendeskripsikan perempuan yang ditemuinya dengan deskripsi yang sama persis seperti perempuan yang ditemui oleh rombongan Rav, Kripik, dan Eris; rambut cokelat kemerahan dengan baju lusuh.
"'Aku mencoba untuk menjelaskan perangkap dan mimpi buatan untuk memancing kalian mewujudkan kecintaannya terhadap rasa sakit abadi,' kata perempuan itu," ucap Catris sembari memeluk diri sendiri.
"Pokoknya," Catris menghela napas, "dia menyampaikan banyak informasi dengan tata kalimat yang somehow puitis dan beberapa di antaranya enggak terlalu aku pahami. Aku sempat nolak dan memohon kepadanya untuk ... akhiri saja ... aku---"
"Chacha." Yemi mendekati Catris dan menggenggam tangan gadis itu lembut.
Catris tersenyum miring. "Aku frustrasi, Yem. Kota itu enggak berujung. Tiap malamnya, aku enggak bisa berhenti mendengar suara-suara aneh yang enggak bisa aku gambarkan. Aku enggak bisa ke mana-mana, aku sendirian, aku enggak bisa melakukan apa-apa. Aku enggak mau terjebak di situ terus-terusan."
Hening mengganjal jeda di udara. Kemudian, napas Catris kembali berderu.
"Dia menolak, tentu saja. Dia bilang, aku orang yang paling mudah digapai; entah artinya apa. Dia bilang, aku bisa menyampaikan ini kepada kalian walau aku enggak akan sepenuhnya ngerti dia menyampaikan apa karena, katanya, dia enggak bisa berbicara dengan lugas."
Aldo mengangguk. "Kamu bisa ngulang apa yang dia sampein dengan lebih detail soal dia yang enggak bisa bicara jelas, enggak, Cat?"
Catris mengangguk lesu, masih dengan Yemi yang menggenggam tangannya, memberikan sedikit kehangatan pada kulitnya yang daritadi dingin karena keringat.
"Aku bisa coba. Kata dia, seingatku, 'Bicaraku tidak akan bisa kaupahami; aku tidak mampu memberikan kelugasan pada kisah yang ingin kusampaikan. Ketahuilah bahwa kerongkongan dan mulutku masih terjerat dia yang ada di bawah, di balik genggaman Si Manis.'
"Jujur, waktu dia bilang kayak gitu, aku udah pasrah dan dengerin aja. Mungkin, dengan aku mendengarkan, dia bakal biarin aku pergi atau balikin aku ke sini. Pokoknya, dia menekankan aku enggak bisa ngasih informasi ini ke sembarang orang.
"Jadi, ini cuma informasi sepotong yang menurut aku, kalian harus tahu. Yang pertama, monster-monster itu cuma bisa dibunuh kalau kita nyerang kepala mereka. Kalau mau selamat, kalau enggak mau mereka regenerasi, jangan serang anggota tubuh lain selain kepala.
"Kecuali kalau misalkan kita terdesak---entah kenapa dia bilang begitu---enggak apa-apa kita meminimalisir serangan mereka dengan menyerang anggota tubuh lain.
"Kedua, monster-monster ini enggak punya pikiran. Mereka hanya memiliki hasrat berburu dan nafsu makan yang 'enggak berujung'. Jadi, kalau mereka bisa bertindak di luar sifat itu, berarti mereka bukan monster, melainkan 'jiwa-jiwa putus asa yang menggaruk-garuk tepian tebing untuk memanjat.'"
Steven memiringkan kepalanya ke arah kanan. "Maksudnya, jiwa-jiwa, itu apa? Saya ngerti mereka pengen bebas, tapi mereka itu apa?"
Catris menggelengkan kepalanya.
Key membuka suara. "Mungkin, sebelum kita, ada orang lain yang pernah terjebak juga?"
Elin mengangguk-angguk. "Bisa jadi, sih, Kak. Berarti mereka terperangkap, kayak si cewek ini?"
"Tapi yang ngebedain cewek ini sama jiwa-jiwa lain tuh apa?" tanya Chita. "Aku ngerti dia mau bantu, 'kan? Tapi, apa untungnya bagi dia?"
"Bebas lah, maka bebaskan aku," celetuk Kripik. "Dia ngomong gitu ke aku sama Eris sebelum bantu kami keluar dari tangga darurat."
"Oh yang ngebantu Aa tuh dia?" tanya Fuyu yang dijawab dengan anggukan singkat oleh Kripik.
"Jadi kalau kita bebas, kita bisa bebasin dia juga?" tanya Haru.
"Mending dengerin dulu lanjutannya dari Catris," timpal Aldo. Dia menatap gadis bernama Catris itu lalu memberikan isyarat berupa sebuah anggukan kepala.
Catris balas mengangguk. "Pokoknya, jiwa-jiwa ini, kata dia, punya kekuatan terbatas. Mereka cuma bisa memancing ... apa, ya? Dia bilangnya sih, 'kepalsuan dan tirai tak kasat mata,' jadi mungkin maksudnya kita lagi dikasih ilusi gitu di sini."
"Saya enggak setuju," ujar Rizal. "Dia pakai kata 'memancing' sebelum kepalsuan dan tirai tak kasat mata. Berarti, maksudnya mengelabui kita? Kayak tadi Kak Eris yang bukan Kak Eris."
"Itu kayaknya lebih masuk akal." Rei mengangguk-anggukan kepala.
Catris mengedikkan bahunya. "Bisa jadi. Soalnya tadi dia bilang kan monster bisanya makan. Berarti hal lain yang terjadi selain monster pemakan manusia itu, ya jiwa-jiwa itu. Nah maksud aku 'enggak bisa sepenuhnya bikin ilusi ke semua orang' itu, ini. Mereka punya kekuatan terbatas."
"Mereka itu siapa? Kenapa gitu ke kita?" tanya Yemi.
"Aku enggak nanya waktu itu, Yem, aku terlalu capek. Tapi, mungkin ada sangkut pautnya sama Si Manis."
"Si Manis ini terus-terusan disebut," Resti mengerutkan dahi seolah berpikir, "apa dia ada ngejelasin Si Manis itu apa?"
Catris terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya mengembuskan napas panjang. "Bukan apa, tapi siapa. Dia bilangnya, Si Manis ada di antara kita. Dia bilangnya, Si Manis yang membantu makhluk dengan hati penuh jeruji dan tangan-tangan terkutuk pemakan jiwa.
"Dia bilangnya, Si Manis itu boneka Sang Beldam yang dia buat untuk memancing korban-korban lain.
"Dia bilang, Si Manis adalah boneka ketiga.
"Dia bilang, dua boneka lain diasingkan oleh Sang Beldam karena, entah bagaimana, kesadaran mereka akan kehidupan manusia dan jiwa-jiwa malang bangkit tanpa dipinta.
"Dia bilang, harapan kita satu-satunya adalah Si Netral dan Ksatria Gugur.
"Tapi, dia juga bilang, Si Manis bergerak tanpa bertindak."
Catris menelan salivanya lamat-lamat.
"Dan dia hanya perlu menarik benang-benang yang menjerat leher kita untuk menyelesaikan tugasnya."
***
1571 kata.
Penulis mah baik, ngasih banyak klu.
¡Kamus Amigos!
¹ Kang; Akang; panggilan ke laki-laki yang lebih tua; Kakak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top