34. Hai, Susunlah

for every desire you've had,
more hope will light your path.

'Tolong berikan aku setidaknya setengah dari kebebasanmu untuk mengontrol Epiphany---sekali pakai aja.'

Saat suara permintaan Eris terdengar, aku berhenti melalukan kegiatan yang tengah kutekuni. Tidak seperti permintaan-permintaannya yang lain, kali ini, permintaan Eris tidak disertai penjelasan mengapa maupun untuk apa.

Biasanya, Eris akan langsung meminta sesuatu yang spesifik. Seperti kali pertama dia meminta peta ground floor. Atau saat itu ketika dia ingin tombak Riq berpindah ke tangannya (aku mengabulkan permintaan itu sambil menegurnya).

Bahkan saat itu ketika Eris meminta perisai tak kasatmata agar dia bisa mendekati monster yang memakai mayat temannya sebagai boneka. Atau saat dia memindahkan Andrew dan memintaku menyimpan surat di dalam saku pria itu sesuai dengan pesan yang didiktenya.

Atau ketika dia memintaku untuk memberikannya kemampuan agar bisa membebaskan teman-temannya yang terperangkap dalam raga monster.

Atau ketika dia meminta kemampuan untuk menyembuhkan bengkak pada kaki Catris (aku sempat ingin menegurnya, tetapi Eris bilang ini penting agar dia dapat membujuk wanita itu, entah maksudnya apa).

Atau ketika dia meminta informasi lengkap yang kutahu tentang Eldorath agar dia bisa memberikan arahan yang jelas kepada Qila dan Andrew dengan Hicchan sebagai saksi.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama Eris meminta sesuatu yang kurang jelas. Sebelum ia meminta informasi tentang Eldorath, dia juga meminta kemampuan untuk memindahkan seseorang yang dia panggil Daki sesuai keinginannya (aku memberikan teguran kedua setelahnya).

Akan tetapi, yang ini berbeda dengan kasus pemindahan Daki---siapa pun itu. Permintaan yang ini terlalu besar; terlalu lebar. Aku sempat menolak karena tidak diberikan kejelasan, tetapi Eris menekankan dan memohon; berjanji bahwa apa yang dipintanya bukan sesuatu yang buruk.

Aku tidak menyukai fakta bahwa Eris meminta dengan sangat menggebu-gebu, seolah dia dikejar oleh sesuatu atau tidak bisa menunggu. Benak Eris tidak pernah terdengar sepanik itu sebelumnya, bahkan ketika dia meminta informasi tentang apa yang sedang terjadi di lantai satu.

Merasa terganggu dengan apa yang sebenarnya sedang mereka lalui, aku memutuskan untuk mengecek dan membuka lubang spektator dari tempatku saat ini.  Lubang spektator merupakan salah satu hal yang bisa kuciptakan dari sisa Epiphany-ku untuk sesekali memperhatikan para pemain bersandiwara.

Ini lebih aman daripada membiarkan Beldam mengetahui aku sedang di mana dan ke mana saja.

Ketika lubang itu membelah udara dan menampilkan lantai satu, aku dapat melihat 23 orang secara bergerombol masuk dari halaman luar mal.

Mereka terlihat berkeringat dan kelelahan, darah terciprat pada baju sebagian orang, hampir semua dari mereka dipersenjatai oleh---kelihatannya---tombak buatan, rantai, dan pisau. Di area yang beberapa ubin lantainya retak, Andrew, Karvin, dan Qila sedang berbincang dengan tiga orang lain yang kelihatan setengah sadar.

Ketika aku mendapati kain seolah seprai dengan corak-corak bunga abstrak menutupi sesuatu di tengah ruangan, di mana cairan merah membuncah di udara, aku tahu mereka baru saja menghadapi seekor monster.

Setelah kuhitung jumlah mereka---sejak kelima orang yang tidak sempat diselamatkan saat mereka kali pertama memijakkan kaki di Eldorath---kelompok itu kekurangan enam anggota.

Aku tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui apa yang terjadi. Karena setelah 23 orang masuk dan kembali membentuk lingkaran, Kripik menyampaikan apa yang mereka lalui dengan air wajah muram pada enam orang yang kelihatannya tidak pernah ikut keluar.

Cece, Mezu, Niina, kemudian Diva tumbang---dan sepertinya, satu orang lagi yang ditutupi oleh kain di tengah lobby. Sementara itu, Steven diceritakan berubah. Serangan monster "boneka kayu" itu mengenai dadanya.

Mela tidak sampai tepat waktu untuk mencegah kelakuan Beldam, ya?

Yemi kelihatan merangkul Key erat, tatapan wanita berkacamata itu terlihat sangat lesu. Jejak-jejak air mata nampak pada pipinya, mengindikasikan bahwa dia baru saja menangis.

Eris nampak kalut dalam pikiran sendiri, sementara itu, yang lainnya menekankan bahwa mereka harus menyusun rencana agar mereka bisa membebaskan diri.

"Key enggak ikut," celetuk wanita yang masih menatap kosong entah ke mana, "Key di sini aja, tunggu Steven."

Tidak ada yang menjawab. Semuanya tertunduk, beberapa dari mereka bahkan terlihat sengaja mengalihkan pandang agar tidak perlu menatap Key. Setidaknya, sampai Yemi berdeham.

"Amour-chan," Yemi mengelus pundak Key, "mau tunggu Steven ... sendirian, di sini?"

Key hanya mengangguk. "Steven nanti balik lagi, 'kan? Dia masih ada, 'kan? Cuma enggak kelihatan. Jadi, Key tunggu aja. Key di sini. Kalau enggak ada yang nunggu, nanti pas Steven balik lagi, dia bakal bingung."

Yemi tidak jadi mengatakan apa pun yang ingin ia katakan sebelumnya.

Kini, nampaknya Tara ingin mencoba untuk berbicara. "Aku rasa Steven enggak akan mau kamu nungguin dia di sini, Key. Bukannya---bukannya dia tipe orang yang bisa nyusul walau kita jalan duluan?"

Semua orang mengangguk-angguk, membuat satu suara yang sama.

"He'll ... he'll know where to find us," tambah Chita yang terduduk berseberangan dengan posisi Key.

Suasananya kelihatan tidak mengenakan. Key memang tidak kelihatan sedih, tetapi ekspresi yang datar dan tatapan kosongnya itu tidak terlihat penuh harapan. Dan kurasa yang lain tidak sampai hati untuk menyampaikan pendapat mereka mengenai kondisi Steven.

Kenapa ini bisa terjadi? Semuanya terlihat terlalu cepat dan instan. Ke mana Mela? Seharusnya dia bisa membantu meminimalisir hal seperti ini.

"Iya, Steven imouto pintar, udah besar," ucap Eris memecahkan ketegangan. "Berarti, kita harus susun rencananya sesuai pola Steven imouto."

"Pola Steven?" Key membeo.

"Biar Steven imouto langsung ngerti. Kira-kira, Steven imouto bakal ngerti rencana yang kayak gimana, Keytipen?" tanya Eris.

Alih-alih menjawab, Key kembali menatap lantai dengan tatapannya yang semu. Mereka semua kembali hening, beberapa terlihat gelisah. Apabila aku ada di situasi seperti itu, aku pun akan sangat kebingungan. Key kelihatannya sangat bergantung dan dekat dengan Steven.

Catris mengangkat tangan. Dengan suaranya yang bergetar, dia berkat, "A-aku boleh bicara, enggak?"

Yang lain mempersilakannya untuk membuka suara. Wanita berhijab tersebut mengangguk dan berterima kasih. "Daripada caritahu apa yang ... Steven, bakal pahami, kenapa enggak kita lempar aja semua rencana dan nanti Key pilih yang paling ... Steven?"

"Boleh," Kripik mengangguk, "aku enggak keberatan kayak gitu. Yang lain?"

Mereka semua sepertinya setuju dengan usulan Catris. Aldo menatap temannya itu dan bertanya, "Kamu punya masukan, Cat?"

Sebelum dia menjawab pertanyaan Aldo, Catris menatap Eris yang memberikan anggukan kepala singkat. Seolah mendapatkan izin, Catris kemudian kembali kepada Aldo dan mengangguk kecil.

"Aku ... mau nyampein kenapa aku bohong soal kunjungan enam hariku ke kota mati," ucap Catris.

Elin mengernyitkan dahinya. "Oh, iya, saya ingat. Tapi pas sesi ngobrol Eldorath tadi, Kak Icha kayak enggak mau jelasin itu kenapa?"

"Aku masih ragu dan Eris belum ngasih tahu kalau itu waktu yang tepat. Intinya, aku bohong soal kunjungan enam hari itu karena aku enggak di sana---di sana, sih, tapi itu setelah aku ngulangin kematianku sebanyak enam kali di parkiran basement.

"Buat kalian yang mau tanya, 'kok bisa?', aku juga enggak tahu. Waktu lagi merhatiin anak-anak yang setengah jatoh sama temen-temen deket Gramedia, aku tiba-tiba pindah tempat ke parkiran basement. Sempet coba buat buka-buka pintu tangga darurat, tapi enggak tahu kenapa enggak bisa dibuka. Aku coba pergi ke jalan keluar buat mobil itu, lo, tapi malah balik lagi ke depan lift.

"Setelah agak lama, barulah aku ketemu sama perempuan yang bajunya lusuh. Rambutnya pendek, sedikit ikal. Dia lebih pendek dari aku. Aku sengaja ngasih deskripsi biar ... kalau ada yang ketemu perempuan lusuh lain, enggak ketuker."

Apa-apaan itu.

Gadis berambut pendek ikal?

Tidak mungkin.

"Nah, Si Rambut Ikal ini bilang, kita lagi terjebak di suatu tempat yang bersandingan sama bumi, namanya Eldorath. Aku enggak sempet nanya banyak ke dia soal itu waktu itu karena terlalu kaget, tapi dia ... dia ngejanjiin aku letak-letak pintu keluar yang bisa kita gapai dari mal ini.

"Dia bisa bantu kita, katanya, dengan ngasih kemampuan khusus dan arahan buat nyampe ke pintu keluar. Aku enggak percaya langsung, tapi dia ngaku dia yang narik aku ke parkiran itu. Di situasi itu, aku mikir, yah masa dia bisa narik aku tapi enggak bisa ngasih apa yang dia janjiin?

"Tapi, aku harus bisa nyelamatin diri sendiri biar aku membuktikan kalau aku tuh bisa mengontrol diri dan nyampein kemampuan yang bakal dia kasih ke FLC. Jadi, aku iyain. Bodoh, aku tahu. Tapi, aku enggak bisa nolak tawaran dia. Ekspresinya tulus banget, intonasinya juga welcoming. Aku ngerasa, dia jujur dan kita punya kesempatan buat bebas.

"Terus, aku malah gagal terus-terusan sebanyak enam kali. Pas aku mau pasrah aja, ada perempuan lusuh lain yang nampakin diri dan narik aku ke kota mati. Nah, aku dapet informasi lebih soal Eldorath dari dia. Aku kesandung batu karena lari itu enggak bohong, aku sempat trust issue sama gadis asing kayak dia.

"Aku dapet informasi soal pintu-pintu juga dari dia, walau aku awalnya enggak terlalu ngerti karena bahasa dia tuh mirip puisi gitu, lah, bikin pusing.

"Nah, kenapa aku enggak langsung bilang? Pertama, aku enggak terlalu ngerti maksud pesan dia soalnya tata kalimat dia bikin pusing. Aku takutnya kalian salah paham sama penyampaian aku, atau aku salah menerjemahkan. Jadi, aku banyak diem karena mencoba buat nyari arti dari ucapan dia yang bisa dipahami.

"Kedua, karena perempuan lusuh kedua ini---Fani, ya, dipanggil Eris---nyampein kalau kita harus hati-hati dalam berucap. Katanya, ada ... mata dan telinga Beldam, di mana-mana. Bisa-bisa celaka. Mati, bahkan. Aku enggak mau salah bicara dan ... gitu. Aku takut, karena kesalahanku, kalian harus nanggung kematian.

"Dan kalian udah tahu lah, ya, Beldam itu siapa. Makanya, aku takutnya ... gitu, lah. Sekarang, kita enggak punya pilihan selain ngomongin ini. Punya sih, tapi nanti bakal terus-terusan di sini, capek juga. Eris udah bilang informasi ini bakal aman aja, harusnya. Jadi, ya gitu."

Catris meluruskan bahwa dia tidak bermaksud untuk merahasiakan informasi seperti itu dari teman-temannya karena sengaja, melainkan karena dia was-was.

Mengetahui mereka diawasi sesuatu yang asing bernama Beldam membuatnya terlalu banyak berpikir mengenai skenario terburuk dan mencoba memperbaiki itu semua sendirian dalam benaknya.

Selama Catris menjelaskan, Eris mengangguk-angguk seolah menyampaikan bahwa pilihan Catris sudah tepat. Teman-teman mereka yang lain pun manggut-manggut, meminta Catris untuk menyampaikan perihal pintu-pintu itu.

"Ada tiga gerbang, katanya." Catris menampilkan tiga jari pada tangan kanan untuk teman-temannya.

Gerbang pertama, merupakan gerbang yang paling aman untuk diakses. Catris menyampaikan bahwa terjemahan Eris bilang, gerbang ini bisa diakses melalui suatu jalur khusus. Mereka menyebutnya Jalan Tikus.

Jalan Tikus memiliki banyak cabang, dan tiap cabang ada penjaga yang menunggu mereka datang. Untungnya, setiap penjaga memiliki keahlian yang berbeda-beda. Satu di antara penjaga-penjaga ini ada yang paling lemah.

Jalan menuju jalur yang dijaga oleh penjaga terlemah akan terlihat lebih suram dan tidak bisa dipercaya. Ditandai dengan sulur-sulur aneh dan jalan yang semakin menyempit, maka mereka bisa bertemu dengan penjaga yang tubuhnya menang tinggi saja.

Sayangnya, untuk mengakses Jalan Tikus, diperlukan jiwa yang bocor. Mereka bisa saja mengakses Jalan Tikus melalui jalan belakang. Catris menyampaikan, bahwa Eris menerjemahkan, kalau Fani tidak menjelaskan dengan detail di mana jalan belakang ini berada. Dia hanya menyebutkan lantai dua, dekat lorong hidup.

Resti kemudian menyela. "Mungkin ke Mr. DIY? Aku inget waktu lewat satu lorong yang banyak mainan action figure gitu, lampunya kedap-kedip."

Rara mengernyit. "That's weird. Bukannya semua di sini berhenti, ya?"

"Makanya," celetuk Rav. "Kami juga agak keanehan waktu itu. Mungkin ke sana?"

"Bisa jadi," ucap Catris. "Tapi harus hati-hati. Kedengarannya mencurigakan ada lorong yang lampunya mati-nyala, padahal yang lainnya enggak kayak gitu."

Gerbang kedua, bisa mereka temukan di parkiran basement. Mereka tidak perlu menyusuri Jalan Tikus untuk mengakses gerbang ini, tetapi mereka harus melawan beberapa monster yang memiliki akal lebih dari monster lain.

Yang ini lebih berbahaya dibanding gerbang pertama karena mereka harus melawan monster-monster yang ada di sana, mengingat Fani menyampaikan bahwa mereka tersebar seperti jejak roti milik Hansel dan Gratel.

Gerbang ketiga, ada di rooftop. Gerbang ini merupakan gerbang yang paling berbahaya untuk diakses karena mereka harus melewati dua lantai penuh monster untuk mencapai rooftop saja.

Untungnya, gerbang yang ada di sana mudah untuk ditemukan. Gerbang itu memang sedikit tersembunyi, tetapi ada di balik sebuah huruf yang berdiri tegak tepat di sisi-sisinya, mengeja nama mal yang mereka singgahi.

Setiap gerbang akan terlihat menyala terang, memancarkan berbagai macam cahaya yang unik dengan berbagai bentuk. Apabila mereka menemukan gerbang tua yang tidak bercahaya, maka itu bukanlah gerbang yang tepat.

"Oke," Rizal menganggukan kepala, "kita pilih yang paling aman aja, enggak, sih?"

"Bentar dulu," Karvin menyela, "memangnya kalau udah nyampe di gerbang, kita ngapain? Dibuka aja, gitu?"

Eris menggelengkan kepalanya. "Kita harus mencari Keytipen."

"... Yang serius."

"Mungkin," Resti menyela, "kita harus cari kuncinya? Emang, kuncinya kayak gimana?"

"Kuncinya jiwa-jiwa yang malang," jawab Eris.

Mereka semua terdiam, mengerutkan dahi sekencang yang mereka bisa sampai Resti berkata, "Pakai jiwa kita?"

"Benar."

"Hah, harus mati, gitu?" tanya Kemal.

"Salah," timpal Eris. "Harus bisa sirkus."

"... Yang punya skill, maksudnya?" tanya Resti. "Sejauh ini, ya, Eris, 'kan? Kamu kayaknya punya sesuatu. Andrew dan Qila bisa ke Jalan Tikus itu. Sisanya?"

"Eris bawahan Fani," ucap Eris sekenanya. "Andrew imouto dan Qila kerja sendiri. Karvin kerja sendiri."

"Aku enggak ngerti," ucap Karvin.

"Aku juga," tambah Tara.

Pria dengan kemeja bergaris itu akhirnya cengengesan. "Eris punya Fani, Eris nanti bisa membentuk kunci. Andrew imouto, Qila, dan Karvin juga bisa membentuk kunci. Kuncinya nanti bentuknya kayak bola, tinggal dipikirin aja, terus ditendang ke gawang, goool."

Karvin mengernyit, begitupun dengan teman-teman mereka yang lain. Pria itu lalu berkata, "Jadi, nanti tinggal mikirin bola aja terus pas ada bola muncul, kita lempar ke pintu?"

"Bola ini maksudnya bola apa, Ris?" tanya Aldo.

"Bola-bola cokelat bergizi."

"Ris, tolong."

"Eris serius, kalau bergizi nanti kuat."

Resti mengernyit. "Maksud Eris, gerbangnya bisa kamu, Andrew, Qila, dan Karvin hancurin karena kalian punya energi yang memadai buat gerbang---mungkin setara sama energi tempat ini?"

Tanpa mengatakan apa pun, Eris tersenyum dan mengangguk kecil.

"Anjay, Kak Res penerjemah Eris." Aldo manggut-manggut. "Menurutku, sih, kita jangan pilih satu gerbang. Dari penjelasan Catris sama Eris tadi, kedengarannya enggak harus semua orang dateng ke satu gerbang, 'kan? Kita cuma perlu nyampe gerbang, hancurin gerbang, beres."

Eris mengangguk.

"Berarti kalau kita bagi kelompok, dan siapa pun yang nyampe gerbang pertama terus bisa ngehancurin, sama aja dong kita bisa bebas?" tanya Aldo.

Eris mengangguk.

"Iya, ya. Jatuhnya jadi gambling," gumam Aldo. "Tapi, lebih baik bagi-bagi grup aja, sih."

"Kenapa?" tanya Andrew. "Aku bukan enggak setuju, cuma bukannya lebih aman kalau bareng-bareng?"

"Enggak juga," RZ menimpali, "kita punya terlalu banyak orang, dan susah kalau buat manage orang sebanyak ini di satu tempat sempit yang sama. Kita ber-29 sekarang. Kalau semuanya ke Jalan Tikus misalkan, atau ke parkiran, atau ke rooftop, bakal agak susah."

"Bener," Aldo menjentikkan jari, "kalau kita di satu tempat yang sama, itu memudahkan Si Beldam ini buat nangkep kita, enggak, sih? Mainin aja, harusnya. Bikin dia kewalahan. Kita ambush semua jalan."

Kelihatannya, teman-teman yang lain tidak keberatan dengan usul dari Aldo. Namun, Eris tetap menoleh kepada Key dan bertanya, rencana mana yang akan Steven sukai?

Wanita itu tidak menatap wajah Eris; dia tidak menatap wajah siapa pun. Masih dengan tatapan kosong, Key menjawab dengan suara setengah serak, "Kelompok."

***

"Aku boleh, deh, di kelompok Andrew. I know how to bite," ucap Chita.

Elin mengangkat tangannya. "Saya juga bisa ke tim Kak An. Walau enggak bisa syat-syat, saya bisa bantu defense."

Mereka tengah membagi kelompok sesuai dengan keahlian masing-masing.

Mengingat hanya ada empat orang yang dipercaya memiliki kemampuan, tetapi gerbang yang ada hanya tiga, mereka membagi kelompok menjadi tiga. Satu kelompok berjumlah sembilan orang dan dua kelompok berjumlah sepuluh orang.

Masing-masing dari tiga kelompok memiliki satu orang yang mendapatkan kemampuan, disesuaikan dengan gerbang masing-masing.

Pada gerbang satu, kelompok Qila yang akan menyusuri jalurnya. Kelompok ini terdiri dari Qila, Rara, Kemal, Catris, Tara, Ibrahim, Ari, RZ, Tiara, dan Sura.

Pada gerbang dua, kelompok Andrew yang akan turun. Kelompok ini terdiri dari Andrew, Kripik, Andin, Haru, Chita, Elin, Lemon, Chacha, dan Yemi.

Sementara itu, pada gerbang tiga, kelompok Karvin yang naik. Kelompok ini terdiri dari Karvin, Eris, Resti, Rav, Key, Hicchan, Rizal, Riq, Aldo, dan Fuyu.

"Kenapa aku jadi ketua kelompok?" tanya Karvin. "Aku enggak tahu aku bisa apa."

"Nanti Eris ajarin," celetuk Eris. "Eris butuh Karvin di sisi Eris."

Wajah Karvin mengerut seolah telah menjilat buah lemon. "Geli."

Fuyu tertawa. "Tapi bener, lo, Eris masih harus ngejelasin dikit soal skill kalian ini."

Setelah membagi kelompok, mereka mengimbau satu sama lain untuk kembali merakit senjata dengan sisa-sisa perkakas yang masih ada untuk mempersenjatai diri. Mereka tidak bisa bergantung kepada mereka yang memiliki kemampuan.

Sambil merakit senjata, Kripik mengusulkan agar mereka melakukan briefing terlebih dahulu sebelum mereka benar-benar turun ke medan tempur dan mengeksekusi rencana yang telah disusun. Sedikitnya latihan menyerang pun tidak akan merugikan.

Dilihat-lihat, sepertinya mereka memiliki semangat baru untuk bertahan hidup. Mungkin karena ada kebenaran baru yang terungkap dan kemungkinan lain agar bisa selamat. Mereka berbincang sambil melilit ujung mata pisau pada linggis, beberapa di antaranya sudah bisa berbincang dan bersenda gurau.

Sungguh hidup, sungguh manusia.

Aku senang melihat mereka mulai memperjuangkan hidup mereka semua.

Kututup lubang spektator, lalu mengembuskan napas pelan. Kedua tanganku masih gemetar sejak Catris menjelaskan perihal kejadian parkiran basement.

Hanya ada satu gadis lusuh berambut pendek yang ikal.

Dan aku tidak melihatnya di mana pun dari lubang spektator tadi.

Mela punya banyak penjelasan yang harus dia berikan. Aku hanya berharap dia tidak melakukan apa yang kupikir sedang dia lakukan.

2.838 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top