33. Hei, Putus Asa, Ya?

when the ashes is blown,
the light within
will be dimmed.

Andin berlari sekencang yang ia bisa, menarik atensi si monster boneka kayu hitam itu. Sang gadis menubruk Catris, memeluknya erat dan membiarkan tubuh mereka berguling-guling di ubin halaman mal.

Perempuan lincah itu berusaha untuk memberikan isyarat kepada Catris yang meronta karena panik, menyampaikan kepada wanita tersebut untuk tidak bergerak. Si monster yang berdiri di belakang Andin mendengus, memekik kecil sebelum akhirnya tersenyum.

Tangan kanannya terbelah, bergeliut, bergerinjul, kemudian kembali menyerupai tangan manusia normal. Telunjuk kanan monster itu tertuju kepada Resti yang menggenggam gergaji kayu ukuran sedang pada tangan.

"Jangan bergerak!" teriak Resti sambil menahan tangis. "Kalau kalian enggak gerak, monster ini cuma bisa lihat aku."

Suara lantang wanita bersurai hitam itu menggema ke seluruh telinga rekan-rekannya. Mereka mencoba sebisa mungkin untuk menyerupai manusia-manusia mematung yang ada di sekitar mal, sesekali melirik ke teman-teman lain yang ada di sekitar.

"Aku bisa bicara, enggak?" bisik Aldo yang berdiri menyerong di kiri Resti.

Resti tidak memberikan isyarat tubuh apa pun, pandangannya masih tertuju kepada monster yang tersenyum dan melompat-lompat kegirangan.

"Enggak tahu, ya," gumam Aldo. "Screw it."

Pria itu menarik napasnya dalam-dalam, lalu berteriak dari dada untuk menarik atensi teman-teman mereka yang ada di halaman mal. Ketika gelombang suaranya berhenti bergetar, monster itu masih menatap Resti sambil bergumam tidak jelas.

Aldo paham bahwa si monster ternyata tidak bisa melihat gerakan tubuh ketika mereka tidak bergerak. Pikirnya, apabila mereka tetap di tempat dan tidak memutarkan badan atau membuat gerakan ekstrem, monster itu tidak dapat mendeteksi mereka.

Setelah informasi itu disampaikan kepada yang lain, Aldo berhenti sejenak untuk berpikir. Kedua bola matanya menatap Andin dan Catris yang masih terbujur kaku sekitar 5 meter di kanan serong si monster, lalu beralih kepada si monster, Resti, dan teman-temannya yang lain.

Dia menganggap Resti umpan yang cocok untuk monster berakal di hadapan mereka. Resti merupakan wanita yang cukup gesit, maka mengumpan si monster menjauh dari mereka akan memberikan peluang untuk menyerang dari belakang.

Kelompok ini kelihatannya tidak mau menyerah tanpa perlawanan. Tanpa harus memperhatikan ekspresi mereka pun, kentara mereka ketakutan.

"Kak Res, bisa lari biar si monster ngejauh dari kita, enggak? Ke arah parkiran; ke belakang," ucap Aldo.

Resti mengangguk, mengeratkan cengkeramannya pada gergaji kayu.

"Yemi, Lemon, sama Rara tadi dapet rantai ya?" tanya Aldo.

Tanpa bergerak maupun menoleh, Yemi menjawab, "I-iya!"

"Oke. Siapa di antara kalian yang paling panjang?"

Lemon membuka suara, berdiri di barisan kedua di samping Eris. Dia tidak berani untuk mengangkat rantai yang digenggamnya, tetapi dia mengatakan bahwa rantai itu perlu dililit beberapa kali ke lengannya agar tidak mengenai ubin halaman mal.

"Kira-kira bisa bikin lawan kita kesandung, enggak?"

"Bisa sih," Rav yang menjawab, "lawan kita enggak segede itu, dia tingginya kalau dikira-kira mungkin ... 190-an?"

"Bisa jadi," Rizal menganggukan kepala, "nanti mau dicegat sama Lemon dan siapa biar titajong?"

"Lunturkan Sunda-mu, Zal. Titajong apaan?" tanya Resti.

"Aduh, apa ya?"

"Kesandung." Kripik menimpali.

"Nah, iya."

"Aduh, lama!" protes Riq. "Intinya nanti bakal bikin dia jatoh terus kita serang dari punggungnya, 'kan? Ya udah, ayo. Kita mulai."

"Tenang, jangan gegabah." Kemal memutar bola matanya. "Emangnya kamu doang yang enggak mau kejebak di situasi kayak gini? Sama, aku juga. Mending nulis 10 bab Indonesia 2075."

Pertikaian kecil itu menumbuhkan perasaan ragu dan ketidaknyamanan. Mereka belum pernah melakukan ini; berperang dengan monster asing dan berargumen karena memiliki pendapat yang berbeda dalam bertahan hidup.

Eris berdeham, entah bagaimana bisa memenuhi telinga mereka semua. "Bisa yuk, udah ini kita jajan es krim. Jangan Lemon, Eris aja."

Aldo tertawa kecil. "Buat menyandung monsternya?"

"Benar," timpal Eris. "Haru temenin Eris, mau?"

Pemuda yang ada di belakang pria itu mengangguk walau dia tahu Eris tidak bisa melihatnya. "Nanti, Kak Res lari, kita ambil?

"Oke."

"... Haru nanya."

"Oke."

Haru mengedikkan bahu. "Oke."

Resti melirik Aldo, tatapan wanita itu disambut oleh anggukan kecil. Dia lalu berbalik secara tiba-tiba dan berlari menjauh, membuat si monster berhenti melompat. Bibirnya yang menggantikan kepala kini menyerupai bentuk bulan sabit, berlari menyusul Resti.

Dengan sigap, Lemon bertukar senjata dengan Eris; pisau daging dan rantai yang cukup panjang. Eris melemparkan ujung lain kepada Haru, mereka lalu menjauh ke arah yang berlawanan.

Sementara itu, rekan-rekan mereka berlari ke arah menuju lobby. Ketika si monster sudah mendekat, Eris dan Haru berjongkok dan menaikkan kedua tangan yang menggenggam rantai dengan kuat.

Sesuai yang telah mereka rencanakan, kedua kaki yang menyerupai badan pohon itu tersandung akibat perangkap yang digenggam oleh Haru dan Eris.

Aldo memekik, meminta para rekan yang memegang tombak untuk maju dan menusuknya sekeras yang mereka bisa. Dengan ragu, Niina maju setelah sepuluh lainnya memberanikan diri.

Mereka berdiri di belakang monster boneka kayu yang tengkurap akibat tersandung. Kaki-kakinya yang kelihatan tebal berhasil ditusuk beberapa kali oleh sebelas orang.

"SAkIt! SaKIt!" lolong si monster sembari sesekali menyakar ubin-ubin halaman mal dengan tangannya. Dia meronta, memukul-mukul ke sembarang arah; mengeluarkan cahaya hitam yang menyerupai asap ke segala penjuru.

Kedua kakinya diayun-ayunkan ke atas dan ke bawah, mencoba untuk menghilangkan sensasi nyeri yang dia rasa akibat tusukan-tusukan pisau dan gergaji yang ditempelkan pada beberapa pipa bahkan tongkat sapu.

Enam dari sebelas tombak buatan mereka menyangkut, sehingga mereka yang menusuk kaki si monster kini mundur secara perlahan.

Kaki si monster kini menendang-nendang udara kosong seolah hendak menggugurkan tombak-tombak yang masih menancap. Sayangnya---

BRAK!

Tendangan-tendangan dari makhluk yang tidak sabaran itu mengenai tubuh Niina. Walau dia kelihatannya tidak sebesar, selebar, bahkan setinggi monster lain yang telah mereka hadapi, tenaganya terbilang cukup kuat.

Gadis bernama Niina itu terhempas jauh, mendarat di dinding mal. Segera setelah tubuh sang gadis terlempar, cairan-cairan merah menyiprat di udara, apalagi dari kepala bagian luarnya.

Tubuh sang gadis tidak bergerak; tetap terbujur kaku, menatap mereka semua dengan tatapan penuh ketakutan dan kepanikan, dikelilingi oleh cipratan darah merah.

"Niina!" Diva berseru. Dia ingin maju dan membunuh monster yang ada di hadapannya, sungguh, tetapi yang dia pegang saat ini hanyalah linggis yang kedua ujungnya diakhiri dengan dua mata pisau yang berbeda.

Linggis memang panjang, sayangnya tidak cukup untuk dibuat sebagai senjata pertarungan jarak dengan.

"Jangan gegabah," tegur Ibrahim yang kebetulan berdiri di samping Diva. "Aku tahu kamu mau maju. Tapi monster itu masih tantrum."

"Kalau kita nunggu dia tenang, lama lagi," balas Diva dengan tatapan yang tajam ke arah monster di hadapan mereka yang tengah mencoha untuk bangkit dari posisi telungkupnya.

Eris memberikan sinyal kepada Haru. Mereka mengangguk kepada satu sama lain. Dua pria itu berjalan dengan cepat mendekati kaki-kaki si monster yang sekarang sudah tenang dan menyelipkan rantai yang mereka miliki ke bawah kaki-kaki si monster.

Haru berlari ke arah Eris, sementara Eris sebaliknya.

Mereka mengikat kaki monster itu.

Dua pria tersebut menahan rantainya agar tetap kencang dan tidak lepas. Permukaan rantai yang dingin menyentuh kulit si monster, membuatnya kembali memekik.

"sAkIT! SAkIT!"

Kaki-kakinya mencoba untuk meronta, tetapi tenaga Eris dan Haru---secara mengejutkan---cukup kuat untuk menahan agar dua tungkai itu tidak naik-turun maupun menendang ke sana dan kemari.

Tanpa titah dari Aldo, mereka yang memiliki senjata panjang maju.

Riq menumpu berat tubuhnya pada kedua kaki, melompat ke arah pinggang si monster dan mendarat dengan mulus di atas sana. Karena terlalu banyak bergerak, pria itu membutuhkan waktu agar bisa menyeimbangkan diri. Dengan kedua alis menyatu, Riq mengangkat linggis bermata duanya tinggi-tinggi, lalu menghunuskan benda itu ke tubuh si monster.

Tidak berhenti di sana, pria tersebut menarik senjata tajam itu ke depan tanpa mencabutnya; menghasilkan luka panjang pada punggung si monster dengan cairan hitam yang mengalir. Dia lalu berpegangan, merasakan tubuh makhluk yang dipijaknya bergetar dan kembali meronta.

"SaKiT! SaKit!"

"Kang, turun!" seru Steven. Seolah tahu ucapan Steven adalah pilihan yang paling tepat, Riq melompat turun dari tubuh si monster.

Walau Riq sudah menjauh, Steven masih berdiri tidak jauh dari tangan kiri si monster yang menggebuk ubin halamam mal. Tangan tersebut terangkat, hendak menghantam Steven, tetapi sang pemuda dengan sigap menahannya menggunakan tombak yang ia miliki.

Tombak itu menusuk tangan si monster yang hendak mendarat ke arah Steven. Dia dapat melihat tombaknya segera dilumuri oleh cairan-cairan hitam yang keluar dengan cepat. Senjata itu cepat-cepat ia gerakkan ke depan, sepertinya mencoba untuk mendaratkan tangan itu ke ubin.

Setelah tangan kanan si monster terkapar, Steven mencabut tombak yang menghunusnya dan menjauh secepat yang ia bisa. Tubuh si monster yang tidak terlalu besar maupun tinggi agaknya membuat mereka merasa mudah untuk menyerang.

Mereka terlalu percaya dengan kekuatan Eris dan Haru.

Rantai yang mereka pegang akhirnya lepas akibat tenaga yang dikeluarkan oleh si monster. Mereka semua terhempas, beberapa membentur dinding tak kasat mata yang meminimalisir medan pertempuran penuh darah itu.

Si monster memukul-mukul ubin tempat mereka berpijak, lalu merentangkan tangan dan berputar-putar. Dari tangan-tangannya yang direntangkan, sesuatu berwarna hitam yang menguarkan aura bercorak senada ditembakkan.

Dengan si makhluk berdiri tegak, mereka bisa melihat di mana monster tersebut terluka.

Resti memekik. "Jangan sampai kena! Apa pun itu, aku lihat bisa menyebar. Kalau kena ke tubuh, bahaya!"

Satu dari benda itu mengenai tangan Hicchan ketika sang wanita hendak mengelak. Panik, Hicchan mencoba untuk mengibas-ibaskan tangannya seolah hendak mengeringkan baju yang basah. Namun, benda hitam itu merayap dan menyebar secara perlahan.

Tidak asing. Walau demikian, benda itu pasti membuatnya panik.

Eris menyadari itu. Tanpa membuang waktu lama, dia beranjak dari posisi terlentangnya dan melesat ke arah Hicchan sambil menghindari tangan si monster yang berputar-putar.

"Shiso, tangan!" seru Eris seraya mencoba untuk menggapai tangan Hicchan secepat mungkin. Wanita yang setengah panik itu tidak berpikir panjang untuk memberikan tangan kirinya yang terkontaminasi.

Pria dengan kemeja bergaris tersebut menggenggam batas lengan Hicchan yang terkontaminasi benda hitam, lalu menarik benda itu ke arahnya. Hanya dengan satu tarikan, benda tersebut menghilang. Lengan Hicchan pun terlihat bersih.

Wanita tersebut mengerjapkan mata beberapa kali, mengatur napasnya yang tadi sempat memburu. Pandangan Hicchan yang tertuju kepada lengan kirinya sendiri diiringi dengan kerutan pada dahi.

Sementara Eris menyisir kondisi medan tempur dengan dua pasang matanya, Diva memasang kuda-kuda untuk melempar senjata miliknya. Wanita itu menarik linggisnya ke belakang, lalu melempar sekencang yang dia bisa.

Linggis itu melesat, menusuk dada si monster di mana bulatan-bulatan putih yang kelihatan redup berada. Monster itu berhenti berputar, melolong lebih keras dari yang sudah-sudah, kemudian mencabut linggis itu dari dadanya.

Dari bentuk bibirnya, mereka kini tahu si monster marah.

"Kak Diva, menyingkir!" seru Elin. Jaraknya yang lebih dekat dengan parkiran bawah tanah membuat Diva kesulitan untuk mendengar.

Ketika orang-orang lain berbondong-bondong berlari ke dua arah yang berlawanan---bahkan melompat---Diva yang tidak memiliki kelincahan mumpuni terlambat untuk mengelak.

Tangan kanan si monster sempat membesar seolah bengkak, lalu lengannya memanjang; terentang ke arah Diva. Semua itu terjadi secepat kilat, bahkan Diva yang diraup seolah bola-bola nasi.

KrAaAk.

Mereka semua dapat mendengar suara tulang patah pada cengkeraman monster itu. Tangan hitamnya ditarik ke arah mulut, melempar tubuh Diva yang kelihatan remuk, meninggalkan jejak-jejak darah di udara.

KrAaK.

Mereka semua menatap si monster dengan horor.

Diva lenyap begitu saja.

Monster itu marah.

Tempat di mana kali terakhir Diva berdiri hanya menyisakan jejak-jejak darah.

"We need a new strategy, ambush is not the answer," celetuk Aldo. Dia berada di hadapan Andin dan Catris; agak jauh dari area serangan si monster.

Kedua wanita itu telah berdiri, kini mampu bergerak karena lawan mereka jelas-jelas sedang emosi, kembali berputar-putar untuk menembakkan banyak benda hitam yang menguarkan aura senada. Benda-benda tersebut menempel pada dinding-dinding luar mal bahkan dinding tak kasat mata.

Pada sisi kanan, Aldo, Steven, Andin, Catris, Haru, Yemi, Tara, RZ, Ibrahim, Hicchan, Chita, dan Kemal berkumpul. Sementara itu, sisanya ada di sisi kiri bersama Resti yang mengarah ke parkiran bawah tanah.

"Titik lemah," celetuk Steven.

Kemal memgangguk. "Tadi aku lihat, pas Diva ngelempar linggis dia, kena area dada yang ada putih-putihnya. Kita cuma harus nyerang itu."

Nampaknya, mereka masih mau memperjuangkan para jiwa-jiwa gugur dengan menyelesaikan urusan monster di hadapan mereka.

"Itu kayaknya titik lemah," ucap Resti kepada rekan-rekannya yang berada di sisi kiri.

"Setuju." Kripik menganggukkan kepala. "Kira-kira, butuh berapa serangan? Tombak yang kita punya terbatas---itu Steven kenapa maju?!"

Mereka semua dapat menyaksikan Steven yang berlari untuk menghadapi si monster, ditemani oleh Andin dan Kemal dengan senjata serupa; tombak buatan.

"Hei," seru Kemal ke arah tim sisi kiri, "serang dadanya! Kalau kami bertiga beres, giliran kalian!"

Belum sempat sisi kiri menjawab, monster itu menarik atensi mereka semua dengan berhenti berputar.

Ada yang salah dari cara si monster dengan bibir tertekuk yang menganga berhenti.

Steven, Kemal, dan Andin mendapati cairan putih yang bercampur dengan hitam mengalir dari arah tusukan linggis milik Diva. Monster itu kelihatan terhuyung, seolah pria mabuk di samping jalan.

"Minggir," bisik Steven kepada dua rekannya.

"Mending diem anjir," elak Kemal. "Dia enggak ngapa-ngapain, kok."

"Dia lagi diem, kita punya kesempatan. Kalau enggak sekarang, mau kapan? Nyerang waktu dia lagi muter-muter belum tentu kena dada dan kita punya sedikit tombak." Steven mengeratkan pegangannya pada tombak di tangan.

"Tapi, kayaknya ada yang salah," ucap Andin. "Tangan dia---"

Eris berlari mendekat, berteriak setengah berbisik kepada mereka bertiga. Kemal dan Andin menangkap suara itu, sedangkan Steven tidak. Pria tersebut terlalu fokus dengan momentum yang mereka miliki.

Steven menarik tombaknya ke belakang dengan tangan kanan, masih tidak menggubris teriakan Eris yang kini ditambah oleh teriakan Andin.

Sekarang waktu yang tepat, bukan?

Ketika tombak itu melesat cepat dan membelah angin, si monster menembakkan benda hitam yang tercampur bola-bola putih.

Tombak itu menghunus dada si monster, cukup dalam sehingga batangnya pun terkubur hampir semuanya.

Benda hitam itu mengenai dada Steven, membuatnya terlempar ke belakang, bersamaan dengan tumbangnya tubuh si monster.

Eris berhenti berlari beberapa sentimeter jauhnya dari Steven. Dia melirik ke arah si monster, mendapati cahaya-cahaya putih yang redup itu tidak ada di dadanya.

Makhluk itu kelihatan mengeras, terbujur kaku di udara. Dari tempat tombak Steven mencuat, sesuatu berwarna kelabu merambat dan menyelimuti tubuhnya seolah batu.

"STEVEN!" Key memekik. Wanita tersebut berlari sekencang yang dia bisa, berlutut segera setelah dia berada di hadapan Steven.

Apa pun yang monster itu tembakkan, kelihatannya mirip dengan apa yang menempel dan menjalar bagai jaring di dinding-dinding mal, serupa pula dengan apa yang mengenai lengan kiri Hicchan.

"Oh." Steven menatap torsonya yang hampir ditutupi dengan benda aneh itu. Berbeda dengan yang lain, yang ini memiliki cahaya-cahaya putih, persis seperti yang ada di balik dada si monster.

"Oh, no," Key menggelengkan kepalanya, "no, no, no, no."

Rekan-rekan mereka yang lain mendekat, menyaksikan bagaimana benda hitam itu menjalar dari dada ke perut Steven, kemudian ke pundak, lalu ke lengan bagian atas sang pria.

Sesuatu terjadi kepadanya dan mereka tidak bisa melakukan apa pun. Lima orang tumbang dalam pertempuran singkat ini, dan satunya lagi mengalami sesuatu yang tidak mereka pahami.

Situasi seperti ini adalah situasi yang memberatkan jiwa. Ketika kamu tidak bisa melakukan apa pun untuk temanmu, tidakkah kamu akan merasa seperti sampah?

Key dapat merasakan kedua matanya memanas. "You're going to be oki, right? It's no ouchie, so it's oki. Right?"

Wanita itu menoleh ke arah Eris yang sepasang matanya membelalak. Pria tersebut menatap Steven dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Kak Eris bantu Steven, 'kan? Tadi Key lihat, Kak Eris juga bantu Hicchan."

Sang pria tidak menjawab, dia bahkan tidak mengalihkan pandangnya untuk Key. Hal tersebut membuat senyum tipis yang dipaksakan pada wajah sang wanita luntur. Dia menoleh kembali ke arah Steven, mencoba untuk menyentuhnya, tetapi pria itu bergerak mundur.

"Stay ... away, from me," bisik Steven.

Benda hitam itu kini telah menutup leher dan kedua paha Steven.

"It's fine, it's okay," Key mencoba sekeras mungkin agar perasaan panik dan tangisnya tidak membuncah, "Kak Eris will help, right? He did the same thing to Hicchan. You're going to be okay."

"Ai," panggil Steven.

"This is nothing. You're not hurt. Whatever this is, it won't affect you in any way, right?"

"Ai."

"You're going to be okay," ucap Key seraya kembali mencoba untuk meraih Steven. Namun, pria itu menepis tangan sang wanita yang hampir menyentuh benda hitam pada tubuhnya.

Aldo mengernyit. "Kenapa yang Steven lebih cepet nyebarnya?"

"Tadi ...," Yemi menegak salivanya lamat-lamat, "tadi ukurannya lebih besar."

"Ada sesuatu yang berbeda juga dari sana," Rav mengernyitkan dahi, "ada semacam putih-putih gitu. Yang ngenain Hicchan tadi enggak ada."

Key menoleh ke arah Eris yang masih menatap Steven dengan kerutan pada dahinya. "Kak Eris, do something! You did something earlier, why aren't you doing anything now?"

"Ai."

Key kembali kepada Steven, berusaha untuk mengatur napasnya. "Let me take it off of you, Steven, please. I can take this off of you, and you'll be okay then."

"Ai," suara Steven kini terdengar lebih tegas, "look at me, please."

Walau ragu, wanita berkacamata itu melakukan apa yang Steven pinta. Dia dapat melihat kerutan pada alis sang pria, pandangannya yang kelihatan semu, senyuman tipisnya yang seolah dipaksakan, dan jaring hitam yang terlihat lengket menutupi lehernya.

"No," lirih Key. "No ...!"

"I love you," bisik Steven. "Please, live longer for me."

"Steven, please!" Key mencoba untuk menarik benda hitam yang kini membalut tubuh Steven sepenuhnya, tetapi Eris menahan Key. Dia meminta teman-teman yang lain untuk menarik wanita itu dari sana, dan dipatuhi oleh Yemi serta Lemon.

"Enggak!" Key mencoba untuk meronta, tetapi akhirnya menyerah juga.

Sesuatu terjadi pada Steven.

Setelah benda itu menyelimutinya seutuhnya, benda tersebut berubah seolah kepompong kupu-kupu. Kepompong itu lalu menghilang, menjadi abu, menampakkan makhluk hitam dengan kepala yang menyerupai balon.

Tangan-tangannya terlihat lebar, seolah sirip pada ikan, tetapi lebih menggembung. Makhluk itu berdiri dengan lunglai, menopang tubuh menggunakan kedua lengannya, menampakkan sesuatu berwarna jingga bersinar di balik dadanya.

Tidak ada dari mereka yang mengatakan apa pun; hanya mata yang membelalak dan isakan tangis Key yang menggema.

"Ai ...," makhluk itu membuka mulutnya yang kelihatan lengket, "ja ... uh."

"Steven ...!" Key kembali mencoba untuk melepaskan pegangan Yemi dan Lemon. "Steven masih---"

Eris menepuk tangannya sembari tertunduk. Kedua mata pun terbuka, menatap Steven dengan tatapan tajam. Dia lalu berbisik, "Kara."

Bersamaan dengan bisikkan Eris, cahaya pada dada Steven memancarkan sinar yang sangat terang. Sinar itu pun merambat ke sekujur tubuhnya, membuat retakan-retakan yang menguarkan cahaya yang membutakan; tidak menyisakan hitam.

Lalu, ledakan cahaya terjadi.

Keheningan bertengger di antara mereka.

Semua orang mengedipkan mata, mencoba kembali beradaptasi dengan atmosfer cahaya di sekeliling mereka.

Tempat di mana Steven seharusnya berdiri kosong, seolah pria itu tidak pernah ada di sana.

Key mengernyitkan kening, berhasil lepas dari tahanan Yemi dan Lemon. Dengan terhuyung, dia berjalan mendekati Eris yang kini berbalik menghadapinya.

"What did you do?" tanya Key. "Steven mana?"

Eris mengepalkan tangan, seolah enggan mengatakan apa pun.

Wanita itu memukul dada Eris berkali-kali dengan sisa-sisa energinya yang entah menguap ke mana, berteriak dan mengeluh sampai suaranya serak.

Tangisan sang wanita memecahkan keheningan. Teman-temannya mendekat, mencoba untuk menenangkan Key. Namun, Key menolak untuk disentuh.

Dia menarik-narik ujung baju Eris, meraung, tanpa mengatakan apa pun.

Kehilangan orang terkasih adalah sesuatu yang cukup menyiksa. Dengan satu orang bereaksi sekuat Key atas kehilangan, mereka semua akan merasa sakit dan bersalah. Ketidakmampuan untuk membantu temannya yang berubah menjadi monster tentu akan selalu menghantui.

Melihat Key yang masih menarik-narik ujung baju Eris, dan Eris yang tidak menolak maupun menenangkan, membuat mereka semua ikut merasa iba. Mereka tahu, konflik internal tidak akan bisa dielak setelah kejadian itu. Apalagi apa yang sudah dilakukan oleh Eris.

Dia bisa saja menghilangkan benda itu dari Steven, seperti apa yang dia lakukan pada Hicchan. Namun, dia seolah menolak, 'kan?

Bukankah itu aneh?

"Jalan Tikus itu masih kebuka, 'kan?" tanya Kripik. "Kita susun rencana."

"Kita harus keluar dari sini."

3.240 kata.

I DON'T EVEN KNOW DUDE 😭 I'M SO SORRY AKSJALHS.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top