3. Hei, Berjinjitlah

Придет серенький волчок,
И ухватит за бочок.
Он ухватит за бочок,
И потащит во лесок.

***

Makhluk bertubuh hitam legam itu menarik kembali tangannya yang tadi memanjang. Hening sejenak, kemudian makhluk tersebut berteriak frustrasi; terdengar seolah dia kesal karena tidak menemukan mereka.

Makhluk hitam itu terlihat seolah menenangkan diri.

"TaDi, TaDi, TAdI ...."

Orang-orang yang sedang tiarap di depan Gramedia tidak kunjung bergerak. Mereka terlalu terkejut, ketakutan, dan kebingungan bahkan untuk dapat menggerakan ujung jari saja.

Key mendapati Hika di samping rak dekat pintu Gramedia, sedikit lebih dekat dengan monster yang berada di antara rak buku. Suara yang tadi menyuruh mereka untuk tiarap adalah Hika.

Hika memberikan isyarat kecil dengan kedua tangannya, meminta mereka yang di luar untuk pergi dari toko buku itu. Namun, Eris menggelengkan kepalanya pelan, mengernyit kepada Hika, entah ingin mengatakan apa.

Gadis itu berdiri perlahan. Dia berencana untuk keluar dengan mengendap-endap, tetapi batal ketika ekor matanya menangkap sosok Lav dan Ren yang sedang bersembunyi di balik rak yang berseberangan.

Posisi Lav dan Ren terlalu dekat dengan monster hitam tak diketahui itu. Hika memberikan isyarat supaya mereka berpindah tempat. Ren mengerti dengan perintah Hika, dia kemudian menarik Lav untuk pergi dari posisi mereka.

Sayangnya,

Ah, tidak.

Ada sedikit kendala yang harus mereka hadapi.

Ren tidak sengaja menjatuhkan buku dari rak di sampingnya.

Monster itu menoleh cepat ke arah Ren dan Lav. Mulutnya yang bergigi runcing menyeringai lebar, dia lalu merentangkan tangan kanan ke arah kedua remaja itu dan tangannya---

"TIDAK!" pekik Hika.

---juga mengenai Hika.

Orang-orang yang masih ada di pintu masuk toko buku mulai berpencar, merangkak dengan susah payah tanpa membuat suara walau pandangan mereka tak luput dari tubuh Hika, Ren, dan Lav yang sekarang tertusuk tangan hitam itu. Darah terlihat menyiprat ke mana-mana.

"HIKA ...!" seru Shia setelah dia berhasil mencerna apa yang sedang terjadi. Semua orang di sana dapat menyaksikan bagaimana cepatnya kepala monster itu menoleh ke arah Shia. Sebelum Shia berhasil mengelak, tangan kiri monster itu menembus dada si gadis.

Shia sempat terbatuk, mengeluarkan darah dari mulutnya. Tubuhnya terlihat kejang-kejang, kemudian lemas seketika.

Perlahan, kedua lengan monster itu membawa keempat tubuh yang telah dia tusuk lalu mengendus-endus seolah ingin mengidentifikasi manusia seperti apa yang telah ditangkapnya.

Mulutnya yang tadi menyeringai kini terbuka lebar ... dan semakin lebar, dan semakin lebar, dan semakin lebar---hingga akhirnya keempat tubuh di kedua lengannya dapat dia lahap dalam satu kali suap.

Kraus.

Suara tulang belulang patah.

Kraus.

Suara daging dan tengkorak tergiling.

Glek.

Suara tubuh mereka yang ditelan seolah permen karet tak sengaja tertelan.

Nisha menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia terduduk di samping Rizal yang juga menyaksikan kengerian itu. Seolah tidak puas dengan makanan yang baru saja disantap, monster di dalam sana menoleh ke kanan dan ke kiri.

Rizal berbisik serendah mungkin, "Apa ... apa dia enggak puas?"

"Hei," Nisha balik berbisik tanpa menoleh maupun menatap Rizal yang ada di sampingnya, "kamu bantu aku bisa, 'kan?"

"Bantu apa, Kak?" tanya Rizal.

"Bantu aku jauhkan teman-teman kita yang lain. Mereka tidak terlalu jauh, 'kan?"

Rizal memberanikan dirinya mengubah posisinya menjadi setengah duduk. Kepalanya menyembul dari balik rak buku obral tak jauh dari pintu masuk toko buku. Pandangannya menangkan Fuyu dan Yemi yang ada di depan sebuah kardus bertuliskan nama toko buku, 50 langkah jaraknya dari Rizal dan Nisha.

Selain Fuyu dan Yemi, Rizal juga mendapati Eris dan Diva yang tak berkutik di depan kios berondong jagung yang berseberangan dengan pintu masuk toko buku.

Sementara itu, di belakang mereka ada tumpukan buku obral 75%, dan di tengahnya terdapat Key, Steven, dan Rei.

Rizal kembali terduduk dengan perlahan. "Enggak, Kak," bisiknya.

Nisha mengangguk. "Siapa yang paling dekat? Ayo kita hampiri mereka."

Setelah menyampaikan bahwa Key, Steven, dan Rei adalah yang paling dekat, mereka merangkak bersama secara perlahan. Sampai di hadapan tiga teman mereka, Nisha menjelaskan bahwa mereka harus segera pergi dari sana.

"Rei enggak bisa gerak, Kak," bisik Rei seraya memperlihatkan tangannya yang bergetar. "Rei enggak bisa ...."

"Saya bisa gendong kamu, Rei, kalau mau. Enggak apa-apa, 'kan?" Steven balas berbisik. "Kalau kamu ngerasa kurang pantas, mungkin Kak Nisha sama Ai bisa bantu kamu jalan nanti."

Nisha mengangguk. "Iya, kami bisa bantu. Tapi mungkin aku enggak akan bisa bantu, bahuku sakit tadi karena cepat-cepat merangkak."

"K-Key ...," Key berbisik dengan suara hampir tercekat, "Key bisa."

"Enggak, maaf, saya berubah pikiran. Di saat seperti ini, lebih efisien kalau kamu digendong, Rei. Di punggung bisa, kok. Kalau dibopong, takutnya kelamaan. Saya yakin kalian enggak mau lama-lama terekspos di depan sana," bisik Steven seraya menunjuk ke arah pintu masuk toko buku.

Rizal mengangguk. "Kedengarannya memang lebih aman seperti itu. Key sendiri gimana? Bisa jalan, enggak?"

Key mengangguk pelan tanpa melihat ke arah Rizal.

"Rei enggak apa-apa, 'kan?" tanya Nisha.

Rei menarik napas dalam. "Memangmya Kak Steven enggak apa-apa?"

"Kamu yang harusnya saya tanyain kayak gitu. Enggak apa-apa saya gendong?" tanya Steven.

Setelah berpikir untuk beberapa detik, Rei menggelengkan kepalanya pelan. "Rei ... Rei kayaknya bisa berdiri sekarang, Kak. Enggak usah digendong."

"Rei yakin?" tanya Key. "Kalau enggak enak karena Steven cowok, Key bisa gendong Rei."

"Enggak apa-apa, Kak. Rei bisa, beneran, kok." Rei memperlihatkan tangannya yang kali ini tidak terlalu bergetar. "Rei udah enggak terlalu gemetar. Rei bisa."

"Rei, nanti pegangan sama Key, ya?"

Rei mengangguk pelan.

"Oke." Nisha berbalik dan mencoba untuk mencari sosok Eris dan Diva, karena dari posisi itu, merekalah yang terdekat. "Steven, Rei, Key, ikutin Rizal, ya. Rizal, kamu tuntun mereka ke Fuyu dan Yemi bisa?"

Rizal mengangguk, begitu pun tiga teman mereka yang lain. Mereka kini dalam posisi setengah berdiri, bersiap untuk berjinjit menuju tempat Eris & Diva terduduk.

Ketika monster itu bergerak secara lamban seolah sedang mencari mangsa selanjutnya, Nisha memimpin jalan kemudian berhenti ketika makhluk hitam dalam toko buku mengeluarkan suara seolah tikus terjepit perangkap beruang.

Ketika sampai di hadapan Eris dan Diva, mereka cepat-cepat mengajak kedua temannya. Eris dan Diva tentu saja setuju tanpa pikir panjang, mereka pun mendekat ke arah Fuyu dan Yemi yang ternyata sedang menangis tanpa bersuara.

Diva memeluk Yemi setibanya mereka di hadapan Fuyu dan Yemi. Yemi membalas pelukan Diva dengan singkat, kemudian mereka melepaskan pelukan satu sama lain ketika Nisha memanggil dengan bisikan yang sangat rendah.

"Aku rasa sebaiknya kita keluar dari sini ke sebelah kanan," bisik Nisha. "Kalau ke sana, kalian bakal nyampe ke Mr. DIY, 'kan?"

Diva mengangguk. "Seingat Diva, iya. Di sana ada Mr. DIY."

"Tapi bukannya agak jauh?" tanya Fuyu.

"Nanti kita bisa lari kalau udah melewati dinding itu, 'kan?" tanya Key balik seraya menunjuk dinding lorong yang akan menjadi rute melarikan diri mereka.

Eris menggelengkan kepalanya pelan. "Enggak bisa gitu, kita enggak tahu 'kan batas pendengaran makhluk di dalam sana sampe mana?"

"Bagaimana kalau sekarang," Nisha menarik atensi mereka, "kalian berjinjit sampai seenggaknya di ujung lorong mall section itu?"

Steven mengernyit. "'Kalian'? Kakak enggak ikut apa gimana?"

Seketika itu juga, teman-teman yang lain menatap Nisha dengan tatapan horor dan tidak percaya.

"Hei, tenang. Tadi, aku lihat ada teman-teman kita yang lain di lorong sebelah kiri datang ke sini," ucap Nisha. "Aku hanya ingin memberitahu mereka soal keadaan ini, oke? Aku bakal baik-baik aja."

"Yang bener, Kak?" tanya Rizal.

Nisha mengangguk. "Rizal, tuntun mereka sampai ujung, ya. Jangan berhenti, aku enggak akan kenapa-kenapa."

Tidak ada dari mereka yang bergerak, semuanya bergeming dan menatap Nisha dengan tatapan ketidakpercayaan. Nisha tersenyum tipis, memaksakan ketenangan sekecil apa pun yang tersisa dalam hatinya terpampang dalam wajah.

"Beneran. Masa kalian mau biarin temen-temen kita yang lain melewati ini? Kita beruntung tadi ada Hika yang memperingati, dan bahkan memberikan pemahaman bahwa makhluk apa pun di dalam sana peka terhadap suara.

"Mereka yang ada di sebelah kiri, 'kan enggak punya keberuntungan yang sama kalau kita semua pergi?"

Key mengangguk. "Ya udah kalau gitu, Key ikut."

"Kamu harus jaga Rei."

"Aku bisa," ucap Fuyu.

"Enggak. Rei butuh support lebih daripada Key."

"Saya bisa ikut." Steven mengajukan diri.

"Ayolah, ngaku aja deh. Emang kamu mau jauh-jauh dari Ai-mu? Aku bisa sendiri. Kalian enggak percaya sama aku? Yang tadi mimpin kalian sampe bisa berkumpul sekarang siapa? Aku, 'kan?"

Keheningan---kecuali suara apa pun yang dihasilkan oleh monster di dalam toko buku---menyelimuti mereka. Pada akhirnya, semua mempercayai Nisha unuk memperingati teman-teman lain yang katanya sedang menuju ke sini dengan syarat Nisha harus mengatakan siapa saja yang dia lihat.

"Hm, enggak tahu tapi aku cuma lihat Chita sama Elin. Mereka katanya memang mau ke Timezone, 'kan? Timezone setahuku ada di sebelah kiri, lorong kedua, lurus dikit," jawab Nisha masih dengan berbisik.

Cukup menyakinkan bahwa kesaksian Nisha adalah kejujuran, akhirnya, mereka berpisah.

Nisha berjinjit sampai dia melewati kios berondong jagung dan buku-buku obral 75%, sampailah dia di depan lorong pertama di sebelah kiri, tak jauh dari anak-anak yang minumannya hampir terjatuh.

Pandangannya tertuju kepada teman-teman yang telah masuk ke lorong di seberangnya. Kini, yang terlihat hanya punggung Eris; orang yang berjalan paling belakang.

Lalu, suara botol plastik yang diremas terdengar.

Suara benda yang tak sengaja terinjak itu menggema. Di ujung sana, Fuyu tak sengaja menginjak kemasan gelas plastik air minum karena terlalu fokus dengan apa yang ada di depan.

Monster itu terlihat menyeringai, lengan kirinya memanjang, mengarah ke Eris yang sekarang telah berbalik dan menatap makhluk bertubuh hitam itu lamat-lamat. Namun, lengannya tak sampai.

Lengan itu kemudian ditarik kembali ke dalam. Si monster berjalan dengan langkah kaki yang kini terdengar berat, menerobos pintu toko buku, bahkan membuatnya pecah karena tingginya yang melebihi ambang pintu.

Eris mengisyaratkan kepada teman-temannya untuk segera berlari sekencang mungkin.

Saat itulah, teriakan seseorang terdengar.

"Itu ... itu bukannya ...?" Yemi enggan menyelesaikan kalimatnya, menolak untuk mempercayai gelombang suara yang baru saja merambat ke seluruh lantai mall ini.

Mereka mendekat ke Eris, yang menahan teman-temannya untuk keluar dari lorong.

Monster itu kini ada di hadapan Nisha yang perutnya tertusuk lengan hitam nan tajam milik makhluk terebut. Kepala Nisha menoleh ke arah teman-temannya. Dengan senyuman kecil dan darah di ujung bibir, Nisha menyuruh mereka untuk lari.

Nisha berbohong.

Walau berat untuk berbalik dan melangkah menjauh, Eris mengangguk kemudian menuntun teman-temannya pergi dari sana. Yang lainnya menurut, walau mereka gemetar---sarat akan kengerian dan rasa bersalah.

Dia tidak pernah melihat Chita dan Elin mendekat.

***

1688 kata.

Hola, ¡amigo!

Penulis tahu kalian pasti bingung sama posisi tokohnya. Jadi, ini penulis gambarin:

Hehen't.

Terima kasih 🙏🏻

Adiós, ¡amigo!

A i s h i p i t.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top