28. Hei, Keluar
it is not fight or die
as you have no choice
other than to fulfill your contract
signed by The Death himself.
Kedua kaki Qila tiba-tiba kelihatan kaku.
Gadis itu berhenti bergerak seraya menggenggam keras lengan hoodie kiri Andrew tanpa menatap sang pria. Kedua pandangannya tertuju pada apa yang ada di hadapan, berkerut dan terlihat ragu.
Andrew mengerjap beberapa kali, melirik Qila dan halaman mal yang ada di hadapan mereka secara bergantian. "Kenapa, Qil?"
Qila tidak menjawab. Kedua matanya jelalatan ke mana-mana, melirik ke segala arah; pupil mengecil seolah terkejut dan takut. Bibirnya terbuka sedikit, bergetar, mengeluarkan napas pendek yang cukup memburu.
"Kak ...." Suara Qila menciut, tidak terdengar dengan baik.
"Apa?" Andrew mengernyitkan kening sembari membungkukkan badan dan mendekatkan telinga kepada Qila, tetapi gadis tersebut tidak kunjung mengatakan apa pun. Sang pria kembali menatap ke hadapan mereka, mendapati hanya halaman mal yang nampak. Dia menatap Qila, menanyakan kembali apa yang sedang gadis itu lihat.
"Kak," Qila mulai berdiri tegang, tangan kanannya kini mencengkeram lengan kiri Andrew, "itu ngelihatin. Kita harus apa, lari?"
"Qila, aku enggak bisa ngelihat apa yang kamu lihat. Bisa tolong kasih tahu aku, kamu lihat apa?"
Rekannya menggelengkan kepala pelan. Kedua pandangan tidak luput dari pemandangan di hadapan mereka. Bulir-bulir keringat kering nampak mulai muncul pada kedua sisi pelipis Qila.
Ini merupakan fenomena yang cukup aneh. Ketika Andrew hanya mendapati halaman mal dengan bercak darah Steven yang menguarkan cahaya putih yang pudar, Qila sebaliknya.
Dia bisa melihat lebih.
Di hadapan mereka, nampak halaman mal yang terikat dengan suatu permukaan menyerupai daging-daging manusia yang seolah telah dikunyah sekenanya. Daging-daging itu berdenyut, mengeluarkan asap, bahkan bergerak sesekali.
Warna dari permukaan yang menempel dengan ubin-ubin halaman mal terlihat begitu tidak natural; merah dengan sedikit hitam.
Di beberapa titik permukaan daging itu, Qila mendapati beberapa sulur terbentuk. Sulur-sulur itu tidak terlihat seindah mata cahaya miliknya; menyerupai usus dengan guratan-guratan menjijikan. Sulur-sulur itu menjulur ke atas, tetapi memudar di penghujungnya.
Benda-benda menggelikan yang panjang itu terlihat menggeliut dengan sangat pelan, menguarkan cahaya-cahaya hitam yang kelihatannya seperti sekumpulan serangga hingga membuat efek buram, seolah televisi yang kehilangan sinyal. Benda aneh tersebut tersebar di segala penjuru, tetapi terlihat tidak terstruktur dan tidak pasti panjang-pendeknya.
Apabila Qila mendongak ke atas, langit-langitnya dipenuhi dengan berpuluh-puluh pasang mata tanpa bulu mata; melirik ke sana dan kemari, tetapi kedipannya vertikal seolah hewan melata. Dari langit hitam keunguan itu, sesekali muncul tangan-tangan berjari runcing mencakar udara kosong, seperti mencari sesuatu.
Mata-mata di langit ditemani oleh awan berwarna ungu kehitaman yang menyala; menyilaukan jiwa. Awan tersebut bergerak-gerak, seolah bernapas; dada manusia. Tersebar pada kanvas hitam yang tidak layak disebut langit, awan-awan yang terlihat kelam itu menyerupai nebula di angkasa luar sana.
Tidak hanya itu, jika Qila menyusuri daratan yang menyerupai neraka tersebut, dia akan melihat begitu banyak manusia-manusia dengan postur tubuh yang tidak wajar bertebaran.
Makhluk-makhluk itu tidak terlihat seperti manusia, tetapi masih memiliki fitur manusia, seperti tangan dan kaki. Wajah-wajah mereka dipenuhi oleh lubang; pada kedua rongga mata, rongga hidung, dan mulut yang menganga lebar.
Beberapa di antara mereka berjalan terseok-seok. Sesekali, tangan-tangan mereka---yang seolah ditekuk ke arah berlawanan dari sendi engsel pada sikut---meremas wajah-wajah mereka yang menampakkan kulit meleleh.
"Ma ... ma." Satu makhluk yang kelihatannya mengenakan rok pendek bertubuh kecil dan kerontang bergerak dengan tubuh yang terbalik; melengkung membuat setengah lingkaran.
Makhluk itu masih berjalan dengan kaki, tetapi kedua kakinya terbalik. Rambut hitam si makhluk telah menghilang separuhnya, menyisakan kepala yang berlubang dan membusuk.
"Ma ... ma, mana ...?"
Akan tetapi, bukan semua itu yang kiranya membuat Qila berkeringat dingin.
Ketika makhluk-makhluk paling dekat dengan halaman mal hanya berjalan, merangkak, bahkan berdiri diam seolah kehilangan arah, ada satu sosok dari kejauhan tengah menatap Qila dan Andrew.
Qila bisa merasakan tatapan makhluk itu dari jauh, dia pun sepertinya bisa melihat sosok si makhluk dengan jelas. Sosok tersebut berdiri dengan punggung yang melengkung ke belakang, kepala mendongak dan tangan-tangannya yang terlihat lemas.
Tubuh si makhluk menghadap ke Timur, tetapi kepalanya terlihat seolah sedikit menoleh ke arah Qila dan Andrew berdiri. Tangan-tangannya tidak terlihat seperti tangan-tangan makhluk lain; nampak tipis dan seolah terbuat dari sesuatu yang dapat merefleksikan cahaya, seolah permukaan besi yang mulus.
Sementara itu, kaki-kakinya menyerupai laba-laba. Yang membedakannya adalah ujung-ujung dari kaki milik si makhluk terbentuk begitu runcing dan terlihat retak, seolah boneka porselin yang rapuh.
Sayangnya, wajah Si Monster terhalangi sebagian oleh rambutnya yang hitam dan acak-acakan. Walau demikian, Qila dapat melihat ekspresi yang dipasang oleh makhluk itu.
Senyum.
Ah, tidak.
Seringai.
Kepala si makhluk kini bergerak terpatah-patah, seolah boneka kayu yang sulit digerakkan.
Semua makhluk mengenaskan yang tadinya luntang-lantung mulai berdiam diri. Mereka menyingkir ke sisi-sisi daratan menjijikan di hadapan mereka.
Lalu, makhluk berkaki laba-laba itu berjalan dengan cepat menuju Qila dan Andrew tanpa melepaskan pandangan dan seringaian lebarnya.
Panik, Qila hendak menarik Andrew ke dalam untuk berlari. Namun, pria tersebut menahannya dan mengatakan bahwa Karvin ditemukan di luar, di sisi mal yang lain.
Makhluk berambut gila itu semakin dekat dengan perbatasan halaman mal dan daratan menyerupai neraka.
"Monster, Kak!" Qila berseru dengan bahasa tubuh yang kentara kegelisahannya.
"Oh, maaf." Andrew langsung menarik tangan Qila dan berlari ke dalam mal, menuju arah Barat. Dia berpikir, mereka bisa keluar melewati parkiran bawah tanah yang bisa diakses dari tangga darurat.
Mereka melewati retakan-retakan lantai bekas serangan monster bermata puluhan, menghindari runtuhan pilar yang sempar dihancurkan oleh monster yang sama, tanpa melihat ke belakang.
Sementara tangan kirinya menggenggam tangan kanan Qila, cahaya tangan kanan Andrew memancarkan cahaya yang lebih bersinar. Andrew menyadari hal tersebut sebelum mereka berbelok ke lorong toko-toko optik dan perlengkapan tidur; mereka berhenti.
"Kak," cicit Qila dengan kaki yang tidak bisa diam. Sesekali, pandangannya melirik ke arah kiri seolah mengisyaratkan dengan tergesa-gesa bahwa mereka harus segera pergi.
Kedua alis Andrew bertaut, menatap tangan kanannya yang berkedip-kedip cahayanya. Kian lama, kedipan cahaya itu semakin cepat.
"Sisa-sisa dari Karvin ngedeketin kita," tutur Andrew setengah berbisik.
Qila menghela napas berat. "Kak, ada monster tinggi-aneh yang lari ke sini!"
Tatapan Andrew beralih kepada Qila. "Monster tinggi-aneh?"
Mereka bisa merasakan sebuah getaran berasal dari lobby lantai satu. Ketika napas Qila terdengar lebih pendek dan memburu, Andrew malah mengernyit lebih kentara dan melirik arah dari getaran tersebut.
Getaran lain kembali terasa.
"Qila," Andrew memanggil rekannya tanpa membubuhkan tatapan pada sang gadis, "monsternya ... rambutnya panjang, acak-acakan enggak?"
"Iya," jawab Qila setengah berbisik.
Andrew meminta sang gadis berkacamata untuk bersandar pada dinding di hadapannya; sebuah usaha untuk bersembunyi.
"Tangannya kayak jarum jahit, enggak?"
"Mungkin?" Sang gadis mengerjapkan mata, menatap lantai seolah sedang mencari-cari sesuatu. "Tangannya mengilap."
Sebelum Andrew sempat bertanya lebih lanjut, sebuah suara bergema yang terdengar serak dan cukup dalam terdengar.
"KeluAr, kEluar, bermainLah bersAma paRa keMAtian yaNg meNAri-naRi di nEraka abADImu; keSENDirian dAN keGElapan BEnak tiAda AkhiR."
"Qila," Andrew berbisik seraya mundur beberapa langkah agar tidak berdiri di koridor terbuka yang bisa mengeksposnya ke lobby, "aku panik, kamu juga panik. Tapi kita enggak bisa panik, soalnya kayaknya sisa-sisa dari Karvin ada di makhluk itu, deh."
"Maksudnya?"
"Makhluk itu punya kaki kayak laba-laba yang retak-retak gitu, 'kan?"
Qila mengangguk pelan.
"Itu makhluk yang sama yang aku lihat waktu pertama kali ke sini buat bawa Karvin balik," sambung Andrew.
Tatapan pada mata Qila sarat akan horor dan teror. Dengan bibir bergetar, dia berbisik, "Kita harus ngelawan makhluk itu, gitu?"
Pria berkacamata di hadapan gadis berhijab itu menarik napas panjang. "Do we have a choice?"
Punya.
Kalian bisa keluar dari situ dan tinggalkan sisa-sisa dari jiwa Karvin.
Jiwa itu sudah menjadi miliknya; Si Laknat Voranthis.
"Kita enggak bisa keluar dari sini," Qila menggelengkan kepala, "kita enggak bisa mundur dan ninggalin Karvin."
Bisa.
Kalian bisa pergi dan tinggalkan Karvin di sana.
"Kamu benar." Andrew menganggukkan kepala. Dia mendekatkan diri pada dinding yang menghalangi sosok mereka dari apa pun yang kedengarannya ada di lobby; melangkah dengan sangat pelan sehingga menciptakan suara derap kaki yang tajam.
Tinggalkan saja tujuan yang merepotkan itu.
Cahaya tangan kanan Andrew semakin memancarkan sinar yang tidak lagi pantas disebut redup, begitupun dengan cahaya pada mata kiri Qila.
Tinggalkan saja.
"Gelut, yuk, Kak," ajak Qila sedikit berbisik.
Tinggalkan saja.
Andrew tersenyum miring. "Takut, sih, tapi enggak apa-apa."
Tinggalkan saja, SIALAN!
"Kak Eris percaya sama kita. Kita juga harus percaya sama diri sendiri."
***
Andrew mendekap Qila dengan cepat, lalu berputar untuk memunggungi dan menahan serangan jemari jarum jahit Si Laknat Voranthis menggunakan tangan kanannya yang bercahaya terang.
Suara besi yang menyayat permukaan besi lain terdengar menggema dari arah titik tangkisan Andrew. Walau jemari runcing si makhluk tidak menembus tangan kanannya yang terbuat dari sulur-sulur cahaya, sang pria masih menahan erangan sakitnya.
Qila membelalak, menatap ke arah tangan Andrew berada.
Makhluk itu tertawa.
Tawa yang menggema dan menusuk atma.
"HohoHAhaHahAha! Hidup, hidup yang penuh keraguan dan ketidakpastian. HidUP yANg mEmBOsanKAN."
Dengan satu gerakan kilat, jemari jarum yang berhasil ditangkis Andrew itu ditarik ke belakang. Qila dan Andrew menganggap itu sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan jarak antara mereka dan Si Laknat Voranthis.
Andrew melepaskan Qila dari dekapannya, menyuruh sang gadis berlari sebelum dia membuntuti.
Akan tetapi, belum sempat mereka berlari lebih jauh, tangan lain Si Laknat Voranthis menyakar udara kosong; siap menyergap kedua manusia yang ada di hadapannya.
"Awas!" teriak Qila seraya mendorong Andrew ke sisi kanan.
Pemuda yang terhempas itu menaikkan kedua alisnya penuh dengan rasa ngeri; tatapannya tidak luput dari sang rekan.
"QILA!"
1.580 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top