26. Hei, Menyingkir

when the ticking has stopped,
and the darkness consume
what's faltering,
your plea will not be heard.

"Yang lainnya di mana?" Wanita yang bajunya dikotori oleh darah dan cairan aneh berwarna ungu itu menghela napas, melempar tas yang dijinjingnya ke lantai, menyapu pandang dengan kening yang mengerut.

Key---yang bertugas untuk menjaga teman-teman yang masih terluka---menoleh, mendapati Resti dan Rav yang pergi untuk mencari peralatan guna membuat senjata. Rav, di sampingnya, juga memiliki cipratan berwarna ungu yang terlihat lengket pada baju yang ia kenakan.

Gadis berkacamata itu beranjak dari hadapan teman-temannya yang pingsan, lalu berjalan mendekati Rav dan Resti. Ketika dia mendekat, keberadaan Andin, RZ, Cece, dan Mezu baru disadarinya.

Mereka bercengkerama; sesekali berpelukan singkat karena menghindari lendir-lendir ungu yang menyiprat pada baju-baju mereka. Banyak yang Key tanyakan kepada mereka; seperti bagaimana mereka bisa ke lantai dua saat seharusnya mereka ada di Ace---yang berada di basement.

Walau keempat perempuan itu tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Key dengan jelas, gadis tersebut tetap kelihatan senang. Sayangnya, Rav dan Resti tidak terlihat sesenang sang gadis.

"Key," panggil Resti. Kedua matanya tidak memandang Key.

"Kenapa---oh, pundak Kakak!" seru Key ketika dia menyadari luka berlubang pada pundak kiri Resti. Darah yang merembes keluar pada kaos merahnya kelihatan memiliki warna yang senada, diikuti oleh sepercik hitam.

Sebelum Key berhasil berbalik, Resti menahan gadis itu. Masih dengan pandangan yang sepertinya sengaja menghindari wajah Key, Resti menghela napas panjang.

"Key, maaf."

Key mengernyit. "Maaf kenapa?"

Perempuan itu kemudian melirik sedikit ke arah Rav yang sama-sama membuang muka dan memasang ekspresi yang kurang lebih mirip seperti milik Resti; kerutan pada dahi serta bibir yang ditekuk.

"Kak Resti? Rav?" Kedua tangan Key menggenggam satu sama lain; kelihatannya cukup gelisah karena ekspresi yang dipasang oleh kedua temannya.

"Steven---"

"Oh!" seru Key sebelum Resti menyelesaikan kalimatnya. Seruan itu membuat sang wanita dan lima rekannya yang lain mengernyit, menatap Key serempak.

Dalam satu tarikan napas dan senyuman tipis pada bibir, Key berkata, "Steven ditarik monster jadi terpisah sama Kak Resti dan Rav, 'kan?"

Rav mengangguk. "Kok ... kok kamu tahu?"

"Steven cerita," senyuman Key kini terlihat kikuk, "dia nyampe beberapa waktu lalu ke sini. Kakinya pincang sih, kepalanya juga berdarah. Tapi dia isoke! Katanya, Kak Fuyu udah ngobatin, jadi Steven no ouchie. Tuh, sekarang dia lagi di luar, sama temen-temen yang lain."

Penuturan Key membuat Resti dan Rav melongo, begitu pun dengan keempat rekan mereka yang lain. Gadis berkacamata dengan sweater biru dongker itu menarik mereka untuk duduk di area tempat teman-teman yang lain terluka.

Sementara itu, Catris berdiri dari duduknya, membuntuti ketujuh rekannya dan menyapa mereka satu per satu. Setelah bertegur sapa, sesekali berpelukan, dan memberikan senyuman yang kelihatan seolah terpaksa, Catris ikut terduduk dalam lingkaran yang mereka buat.

Bola-bola mata Andin mendapati delapan orang yang terlentang, sekujur tubuh mereka terlihat lemas. Seolah tertarik, gadis itu menoleh ke arah Catris seraya bertanya, "Mereka ... apa enggak apa-apa, Kak?"

"Aku enggak tahu cara jelasinnya," Catris tertawa kecil seolah terpaksa, "tapi kata Eris, sih, mereka enggak apa-apa."

"Oh, Eris udah balik?" tanya Resti. Pertanyaan singkat itu dijawab singkat pula oleh Catris; sebuah anggukan.

"Semuanya udah di sini," Catris memainkan ujung bajunya, "kecuali beberapa orang. Kayak Kak Chacha, Kak Tara ... siapa lagi, ya?"

"Niina," tambah Key. "Rian ..., eh."

Cece mengernyitkan keningnya. "Kita 'kan ada 44 orang. Yang udah terkumpul berapa?"

"Di sini?" Key mengesot ke arah Rav. Dia meraih tangan Rav yang tidak terbalut oleh kain, memperlihatkan luka yang memerah dan begitu berantakan; penuh oleh darah.

Cece mengangguk. "Iya, di sini."

"Di luar ada 13 orang, lagi mengecek sesuatu. Kak Aldo dan Steven nemuin sesuatu yang janggal. Di sini, ada delapan kalau yang pingsan. Yang jagainnya ada enam termasuk Key.

"Selain Key, ada Kak Icha, Chita, Lemon, Rara, dan Haru. Chita dan Rara lagi ngambil lebih banyak obat-obatan di sana," Key menunjuk toko kosmetik dan kesehatan, "kalau Lemon dan Haru lagi menjarah baju, katanya siapa tahu nanti butuh lebih banyak kain."

Mezu nenganggukkan kepala pelan, memperhatikan bagaimana Key membubuhkan air mineral ke permukaan kapas bulat, lalu mengelap luka pada telapak tangan Rav dengan lembut.

"Berarti, ditambah kita yang juga enam, ada 38 orang ya?" Mezu menambahkan. Key mengernyit. Sebelum dia bersuara, Rav menarik pelan tangannya dan menggelengkan kepala singkat.

"Kurang enam," Mezu melanjutkan, "tadi udah disebut empat, berarti duanya lagi ..., eh."

"Iya, 'kan," Key kini membubuhkan betadine pada kapas bulat untuk ditempel ke permukaan luka Rav, "Key juga ngerasa ... enggak tahu siapa yang belum disebut."

"Tapi ada, lo, dua orang," ucap Mezu. "Aku cuma enggak tahu siapa. Tapi aku tahu dua orang itu."

"Aku bisa lihat wajah mereka di pikiranku, kok. Inget, malah," imbuh Catris. Kerutan pada dahinya kian kentara. Agaknya, dia juga tidak mengingat dua orang lain.

RZ menggaruk punggung tangan kirinya. Dia merasa sesuatu tidak beres, kegelisahan kini memenuhi hatinya. "Kok aneh, kayak kita enggak kenal mereka? Seolah mereka itu orang-orang lalu, dan cuma wajah aja yang kita ingat."

Sebelum yang lain menimpali ucapan RZ, sebuah suara yang sedikit melengking terdengar dari belakang mereka. Ketika mereka menoleh, mereka mendapati Rara dan Chita berlari kecil dengan banyak perlengkapan kesehatan dalam kantong plastik yang sepertinya mereka jarah dari toko yang sama.

Lagi, mereka bertegur sapa. Tentu, pertanyaan mengapa keempat orang itu bisa kembali bersama Resti dan Rav menjadi topik hangat, seharusnya, mereka ada di Ace, 'kan?

Benar, seharusnya mereka ada di Ace.

Rara dengan sigap membantu Key yang tengah mengobati luka Rav. Dia meraih tangan Rav yang terbalut oleh kain merah dengan asal, menampakkan luka sayatan yang dalam.

Sementara itu, Chita lah yang memeriksa luka pada pundak Resti. Karena kelihatannya parah, kedua tangan gadis itu tremor. Dia tidak kuat dengan penampakan luka terbuka.

"Beri jalan!" seru seorang pria yang berasal dari pintu masuk lobby Pentagon. Rizal dan Riq terlihat sedang menggotong seorang pria lain, berlari mendekati kerumunan delapan orang yang juga tidak sadarkan diri.

Catris mundur, memberikan akses untuk Rizal dan Riq. Kedua pria itu menidurkan Karvin di atas alas sweater dan hoodie bekas jarahan. Mereka yang bertugas untuk menjaga kedelapan orang yang tak sadarkan diri mendapati jejak-jejak darah pada mata Karvin dan Bye-Bye Fever pada dahinya.

Eris dan Andrew membuntuti dari belakang, bersama Fuyu dan tas selempang kecil yang sekarang sudah mengempis.

"Karvin kenapa?" tanya Resti.

Rizal menghela napas. "Eng---lo, Teh Resti?"

Mereka tidak punya banyak waktu untuk bercengkerama maupun menyambut kedatangan Resti dan Rav, apalagi Andin, Cece, RZ, dan Mezu. Pingsannya Karvin lebih penting dari mereka yang telah sampai dengan selamat.

"Karvin pingsan, tadi, setelah dia keliling mal," lanjut Rizal setelah menyapa keenam teman-temannya yang baru saja sampai di lantai satu.

"Buat apa?" tanya Key.

Rizal menghela napas. "Kami---enggak sih---Kang Aldo dan Kang Steven nemu kayak dinding yang enggak kelihatan gitu. Karvin coba buat cek apa dindingnya nutupin sekeliling mal atau cuma di depan aja, ditemenin sama Elin.

"Tapi dia kelamaan gitu, jadi saya susulin. Pas nemu, dia-nya udah kayak kejang-kejang dan enggak bisa digerakin. Dari matanya juga keluar darah. Jadi tadi saya minta Elin buat panggil Teh Fuyu, soalnya 'kan beliau yang pegang P3K. Ada Riq juga, Andrew, sama Kang Eris."

Selebihnya, kisah bagaimana Andrew melepaskan Karvin dari posenya yang kaku disampaikan dengan ragu. Tentu saja, mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Tapi, Karvin enggak apa-apa, 'kan?" tanya Rav.

Riq mengangguk pelan. "Panas aja, sih."

"Dinding yang enggak kelihatan itu maksudnya gimana?" tanya Catris. "Kita terjebak di sini, gitu?"

Riq mengedikkan bahu. "Rasanya kayak besi dingin yang mulus, sih. Kita enggak tahu itu apa. Tapi kata Steven, dia coba tonjok dindingnya dan dia ngelihat apa yang ada di balik dinding."

Kali ini, Andrew bergabung dalam percakapan. "Dia bilang, apa yang di balik dinding itu jauh beda sama apa yang kita lihat. Jadi, di balik dinding enggak kasatmata itu tuh, bukan parkiran motor."

Tidak ada yang memberikan komentar lebih. Semua termenung, terlihat tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Setidaknya, sampai Fuyu menyadari luka pada bahu Resti.

"Itu pundak kamu kenapa, Res?" Fuyu mendekati Resti, berjalan ke belakang mereka untuk mendekati wanita tersebut. Diperiksanya bahu Resti, tetapi tentu saja, mereka tidak punya alat maupun obat untuk menangani luka tusuk. Yang bisa mereka lakukan adalah mensterilkan luka dan menutupnya dengan perban.

Ketika Fuyu meraih kapas-kapas yang tersisa untuk tim penjaga gunakan, erangan yang begitu lemah terdengar. Atensi mereka kini tertuju kepada dua orang yang baru saja siuman.

"Lo," gadis itu memegangi kepalanya yang terasa cukup pening, "Seito?"

Pria yang ditatap oleh gadis itu tersenyum tipis. "Selamat pagi, Shiso."

Hicchan mengerang, masih memegangi kepalanya yang kini terasa terombang-ambing. Sementara itu, gadis yang terduduk berjarak dua orang darinya memekik.

"Ah ...," suara Qila terdengar gemetar, tangannya meraba-raba tempat di mana seharusnya mata kiri berada; merasakan nyeri yang tidak tertahan, "ah ...!"

***

Hicchan tidak mengingat apa yang terjadi sebelum mereka berada di dalam tubuh monster yang mengejar dan menarik Steven. Gadis berkacamata itu tidak mengingat apa yang dia lihat, tetapi dia mengingat sensasi yang dirasakannya.

"Gelap, aku enggak bisa lihat apa-apa," tutur Hicchan. "Dingin, tapi juga panas. Aku tahu makhluk itu pengen membunuh, jadi aku coba buat tahan sebisaku. Tapi, lagi-lagi, dia bisa meloloskan serangan.

"Aku tahu ada orang lain di sana, aku tahu aku enggak sendirian di kegelapan itu. Tapi, aku tetap enggak bisa manggil mereka, sekeras apa pun aku berteriak. Semakin aku teriak, aku semakin ngerasa ... hilang."

"Hilang arah?" tanya Andrew. Dia tidak melepaskan pandangannya dari Hicchan yang memasang ekspresi ketakutan.

Mereka membuat sebuah lingkaran kecil. Eris, Andrew, terduduk di hadapan pilar tempat Rizal terhempas oleh meriam monster pemakan delapan rekan mereka; agak jauh dari gerombolan mereka. Sementara itu, di samping mereka, Qila dan Hicchan tertunduk.

Entah apa maksud Eris hanya mengajak tiga orang itu untuk berbincang. Andrew bahkan kebingungan saat dia diajak. Walau demikian, Hicchan hanya menurut. Qila pun sama, tetapi dia menyusul setelah Key berhasil membuat penutup mata dari sobekan hoodie tebal dan plester untuk perban.

Kedua gadis itu masih kelihatan linglung, setengah sadar, bahkan tidak memasang ekspresi apa pun selain takut.

Hicchan menggelengkan kepalanya. Dengan tatapan yang tidak dialihkan dari Andrew, dia berkata, "Lenyap. Kayak ... aku sebentar lagi hilang."

Iya, menakutkan, bukan? Lenyap dari keberadaan tanpa bisa melakukan apa pun tentang itu. Semua orang akan melupakan, bahkan---

"Jangan denger," ucap Eris tiba-tiba. Dia menepuk lengan kiri atas Hicchan.

Gadis berkerudung itu mengerutkan dahi. Kedua tangan yang tadinya meremas ujung baju kini melemas. "Ah?"

"Jangan dengerin takutnya Shiso. 'Kan sekarang Shiso masih di sini. Seito lihat, Andrew imouto juga lihat."

Sialan. Makin berani saja setan ini.

Hicchan tersenyum simpul, mengangguk lemah. Dia kembali menatap Andrew. "Terima kasih, Andrew-san."

Andrew menggelengkan kepalanya pelan. "Hei, aku bahkan enggak tahu kenapa aku bisa melakukan itu."

"Eris tahu," ujar Eris. "Makanya Eris tarik Andrew imouto dan Qila ke sini. Eris mau berdongeng soal itu. Mau dengar?"

"Soal apa? Sebenernya soal apa pun itu, aku pengen denger aja, sih. Aku capek bingung terus." Andrew berseru segera setelah Eris bertanya.

Eris tersenyum. "Qila mau denger dongeng Eris juga?"

Gadis yang dipanggil sang pria tersenyum kecut. "Hm, iya. Tentu."

"Enggak hilang," ucap Eris. Ucapannya itu membuat tiga orang yang ada dalam lingkaran kecil mengernyit.

"Maksud Kakak?" tanya Qila dan Andrew serempak.

Eris kembali tersenyum. Alih-alih menjawab, dia menggaruk tengkuk kepala, lalu menoleh ke sana dan kemari. Kedua tangannya dia angkat di depan dada, kemudian ditepuknya satu kali.

Di sela-sela napasnya, Eris berbisik, "Zelthar doramoth, Kara."

....

Apa?

Steven terlihat tengah berbincang dengan Aldo dan Kripik mengenai teori-teori yang dimilikinya soal dinding tak kasatmata yang baru saja mereka temukan.

Dipindahkan.

Tidak bisa kembali.

Si Anomali itu sudah berani beraksi sejauh ini.

1.918 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top