22. Hei, Kamu Seharusnya Takut
if endearment is what you lack,
then hope I shall abolish.
Kedua tangannya menggenggam mata pisau yang tajam, tidak menggubris luka maupun darah yang mengalir dari telapak tangannya.
Mungkin, karena situasi sedang genting, dia tidak terlalu merasakan nyeri yang teramat sangat, karena itulah gadis tersebut bisa menarik pisau tanpa gagang itu dari bahu rekannya.
Segera setelah pisau tersebut dilempar sejauh-jauhnya, tanpa sengaja, mata pisau yang penuh darah tersebut mengenai kaki si monster tanpa mata; tanpa hidung; hanya mulut menganga lebar dengan gigi-gigi runcing di sekitarnya. Tubuh tinggi dan jenjang si makhluk berkulit hitam itu menekuk, seolah mengendus-endus dengan hidung yang gaib.
Tangan kanannya yang kerempeng---seolah hanya terbuat dari tulang-tulang yang tipis---menyentuh ujung dari mata pisau itu. Dia lalu menjilat jarinya dan memekik kegirangan, tersenyum lebar dan jingkrak-jingrak seolah boneka kayu yang lemas.
"KeLuar, keluaAr, keluaR, kalIan!" Monster itu berteriak.
Rav bergidik, mendempetkan tubuhnya kepada Resti. Mereka bersembunyi di balik meja setengah ambruk yang menghalangi jalan si monster. Pertemuan mereka dengan monster tanpa wajah ini bermula ketika Resti mengusulkan agar mereka melanjutkan dahulu perjalanan dengan tujuan awal.
Lagipula, bagaimana caranya mereka menyelamatkan Steven apabila tidak memiliki senjata? Maka, itulah yang mereka lakukan; pergi ke arah barat lantai dua untuk menemukan Mr. DIY; tempat delapan teman-teman mereka yang lain seharusnya berada.
Dalam perjalanan, Rav dan Resti tidak banyak berbincang. Masing-masing dari mereka kelihatannya terlalu tegang, apalagi Resti yang sesekali menengok ke belakang; ke arah dinding yang semula merupakan koridor. Mungkin, dia merasa menyesal harus mengambil keputusan tersebut dan meninggalkan Steven di belakang.
Pernahkah kamu berada di suatu mal yang sepi?
Tidak berpenghuni tetapi di saat yang sama begitu ramai; begitu sunyi tetapi di saat yang bersama begitu berisik. Derap langkah kaki Resti dan Rav yang menggunakan sepatu tali---yang seharusnya tidak sekeras itu---kini menggema walau tidak terlalu memekakan telinga.
Pada setiap langkah yang mereka ambil, kegelisahan semakin memanjat ke ubun-ubun. Sesuatu yang membuat bulu kuduk mereka remang-remang seolah tidak pernah mau lepas. Bagaimana jika nantinya ada monster lain yang mengikuti mereka? Mereka hanya berdua, dan salah satunya tidak terlalu cekatan.
Walau tidak terlalu besar maupun berbahaya, tentu saja, mereka sempat menemukan beberapa monster dalam perjalanan menuju toko serba ada; Mr. DIY. Beberapa di antara monster itu bentuknya menyerupai barang-barang umum yang ada di mal, seperti kursi duduk, tempat sampah, bahkan pot tanaman hias.
Jika sebelumnya mereka belum pernah melihat pot tanaman hias yang memiliki bola-bola mata, kini mereka bahkan telah mencoba untuk membunuhnya. Secara mengejutkan, monster-monster itu sangat mudah untuk ditaklukkan.
Mereka tidak perlu merasa takut mengetahui pisau dapur milik Rav yang dia jarah dari foodcourt saja cukup untuk mengubah monster-monster berlendir itu menjadi abu.
Setidaknya, sampai mereka berbelok ke koridor yang temaram. Lampunya berkedip-kedip; sebuah fenomena yang Resti anggap aneh karena seharusnya semua hal di sini berhenti dalam waktu. Lalu, mereka mencium bau kapur barus.
Kenapa ada bau kapur barus di koridor yang dipenuhi oleh toko-toko mainan action figure?
Mr. DIY jaraknya tidak jauh dari koridor itu. Yang perlu mereka lakukan hanyalah berbelok ke kiri dan berjalan lurus sampai ujung. Ketika sudah sampi ujung, mereka akan melihat toko serba ada tersebut di samping kiri.
Maka, berjalanlah mereka sampai ke ujung bagian lantai dua itu. Benar adanya, pintu Mr. DIY terbuka untuk mereka datangi. Namun, ada yang janggal dari pintu masuk toko tersebut.
Balon-balom berwarna kuning yang terpajang untuk diambil secara cuma-cuma oleh anak-anak pengunjung mal terlihat seolah meletus, tetapi bagian-bagian dari letusan balon-balon itu tidak jatuh dari udara.
Ada banyak balon yang meletus.
Tidak merasa bahwa hal itu penting untuk menahan mereka masuk ke Mr. DIY, Resti dan Rav melanjutkan perjalanan mereka. Ketika kaki mereka berpijak pada toko peralatan serba guna itu, mereka merasakan hawa yang tidak asing.
Apalagi, sepertinya, Resti.
Wanita itu merasakan bagaimana setiap rak yang menampilkan produk Mr. DIY seolah mengancam mereka untuk mati. Ekspresinya tidak bisa berbohong; dia ketakutan. Sementara itu, Rav kelihatannya seolah sedang menahan rasa dingin.
Daripada dingin, mungkin perasaan ngeri.
Karena saat itu pula, mereka mendengar sesuatu yang suara jalannya terdengar seperti bambu-bambu yang berbenturan satu sama lain. Suara itu datangnya dari depan mereka; semakin lama semakin jelas.
Semakin lama, semakin bergema.
Semakin lama, semakin menusuk telinga.
Saat monster berwajah mulut bergerigi dengan tubuh lunglai seolah boneka kayu itu menampakkan diri, Resti dan Rav membeku untuk beberapa saat. Mereka tidak bisa bergerak, tetapi seolah keberuntungan, monster tersebut tetap mendekati kedua perempuan itu walau tidak memberi reaksi apa pun.
Berasumsi bahwa monster itu hanya dapat melihat mangsa ketika mendengar suatu, Rav memutuskan untuk melangkahkan kakinya sepelan mungkin menuju lorong penuh tempat kacamata, aksesori rambut, dan mainan.
Ketika kaki Rav berputar menuju jalan yang ingin ditempuhnya beberapa derajat saja, si monster menoleh ke arah mereka dengan cepat dan tersenyum lebar sambil berkata, "Oh ... di SiTu, di siTU!"
Panik, mereka berlari sekencang yang mereka bisa. Monster itu sempat menembakkan sesuatu dari tangannya yang menyerupai ranting-ranting kayu, seperti kumpulan-kumpulan serangga hitam yang menjadi satu; membuat gumpalan aneh yang memancarkan cahaya redup.
Monster tersebut berlari dengan tangan-tangan dan kakinya, seolah gorila sedang mengejar mangsa. Dia tertawa terbahak-bahak, seperti suara tertawa seorang pria gila yang baru saja membunuh istri dan selingkuhannya.
Mereka melemparkan banyak barang yang bisa mereka raih; mobil-mobilan, kotak pasir, jam dinding, bahkan mug, tetapi hasilnya nihil; si monster masih bisa menghindar.
Rav dan Resti akhirnya berlari menuju lorong perkakas. Di sana, mereka memutuskan untuk menjatuhkan rak boneka-boneka impor agar menghalangi akses jalan si monster. Sampai Rav dan Resti berdiam diri, monster itu berhenti di tepat di hadapan rak yang setengah jatuh.
"Berikan pisaumu padaku," bisik Resti kala itu. Dengan napas yang setengah habis, Rav tidak ambil pusing untuk akhirnya mempercayakan senjata satu-satunya kepada Resti.
Wanita itu berjalan mundur, yang membuat si monster menoleh dengan cepat lalu kembali menyeringai. Namun, sebelum si monster bisa kembali bergerak, Resti menarik tangannya jauh ke belakang tubuh kemudian mengayunkan tangan tersebut sekencang mungkin; melempar pisau yang ada di genggamannya dalam proses.
Pisau itu tidak meleset; benda tersebut mengenai pundak si monster. Alih-alih nyeri, si monster malah menyerap pisau dapur itu dan memelesatkannya kembali ke arah Resti. Seperti si monster, Resti pun mendapati bahunya tertusuk.
Dengan sigap, Rav mendekati Resti. Dia mencoba untuk menggusur Resti ke arah kiri; sebuah lorong yang menghubungkan mereka dengan meja kasir. Gadis itu memperhatikan luka Resti, menyadari bahwa gagang pisau yang seharusnya ada di sana meleleh seolah dipanaskan oleh suhu yang sangat tinggi.
Di sanalah semuanya dimulai.
Resti mengerang kesakitan, tetapi dia mencoba untuk tetap berdiri. Toh, yang luka adalah pundak kiri, bukan kaki maupun pahanya. Sementara itu, Rav sesekali mengibas-ibaskan kedua tangan guna menghilangkan rasa ngilu pada kedua telapak tangannya.
Apakah berhasil?
"Rav, astaga," seru Resti seraya kembali terduduk. Dia menyobek kaosnya sendiri, membiarkan baju berwarna merah yang dibalut dengan jaket denim itu rusak. Karena kainnya terlalu pendek, Resti hanya bisa membalut sebelah luka Rav saja.
Rav mengangguk. "Terima kasih, Kak."
Tentu saja tidak.
"Nanti aja makasihnya, kita harus keluar dari sini." Resti celingukan, mendapati bahwa mereka berada di lorong perkakas untuk ban, mobil, motor, dan perkakas umum lainnya. Melihat sebuah linggis yang cukup panjang, Resti meraih alat tersebut.
Dia menyampaikan kepada Rav agar gadis itu diam di tempatnya. Lawan bicara Resti memahami apa yang akan Resti lakukan, dan dia tidak setuju dengan itu. Namun, sudah terlambat, Resti melesat keluar lorong duluan.
Dia berlari ke arah meja kasir, lalu berbelok ke kanan, mendapati lorong lain yang dipenuhi pot, bunga-bunga palsu, peralatan berkebun, dan benda-benda lain seperti rantai yang tidak terlalu pendek.
Rantai itu diambilnya, bersamaan dengan sebuah selang yang cukup tipis. Dia lalu berlari ke depan, berbelok ke kanan, kembali ke titik temu; rak yang tadi dijatuhkan oleh Resti dan Rav.
Monster itu menoleh dengan cepat ke arah Resti yang kini memegangi rantai dan linggis. Selang tipis yang tadi dibawanya dia lilitkan secara menyerong dari bahu sebelah kanan ke pinggang. Tatapan Resti yang tajam tidak luput dari si monster.
Senyuman pada makhluk mengerikan itu sirna. "Tadi AdA ...?"
Oh, strateginya pintar juga.
Resti mungkin berpikir monster itu tidak akan melihatnya apabila setelah si makhluk menoleh, dia tidak bergerak. Jadi, dia akan mendekat secara perlahan, seolah permainan lampu merah dan lampu hijau.
Wanita dengan rambut hitam yang terurai itu kembali mendekat satu langkah. Ketika si monster menoleh dengan senyuman lebar, Resti kembali mematung.
"TadI adA ...?!"
Monster itu kedengaran frustrasi. Dia berputar-putar, masih bergerak layaknya boneka kayu. Sementara itu, Rav yang ada di lorong sebelah kiri, masih di tempat, memelotot ke arah Resti.
"Kak, Kakak ngapain?"
Resti tidak menjawab.
"Gerakan monster itu cepat, Kak! Kita butuh rencana yang lebih bagus."
Resti masih tidak menjawab. Bukan karena tekadnya untuk tetap mematung, melainkan karena sekitarnya---yang pada pandangan Resti---berubah aneh.
Kedua alisnya mengerut; pandangannya berubah buram. Dia mencoba untuk tidak menggelengkan kepala; sebuah respons refleks ketika pandangan dan kepalanya terasa berat.
Keburaman itu kian lama berubah menjadi gelap. Walau panik, Resti berusaha agar tidak bergerak.
Dari balik kegelapan, seseorang mendekat. Semakin dia berjalan menuju Resti, semakin jelas wajah dan sosoknya yang tinggi. Pemuda itu bersimbah darah; kepalanya hancur sebelah, lengan kanannya kelihatan seolah ditarik secara paksa, memamerkan tulang yang remuk dan daging yang sobek.
Resti membelalak, sepasang alisnya ia naikkan. "... Steven?"
"Teteh," sosok Steven berbicara dengan suara yang terdengar parau, "kenapa ... Teteh enggak nyari saya dulu?"
Napas pada tenggorokan Resti tercekat.
"Sakit, Teh."
Resti melangkah ke belakang. Ketika gerakan itu dilakukannya, sosok Steven menghilang dari hadapan sang wanita. Dia kembali berada di lorong Mr. DIY, mendapati si monster itu telah kembali menoleh ke arahnya.
Wanita itu masih berusaha untuk tidak bergerak, tetapi sekujur tubuhnya gemetar. Bagaimana tidak? Dia baru saja melihat seorang teman terluka parah.
Bukankah jika itu terjadi, Resti akan menanggung salahnya?
Kematian Steven akan ada di tangannya. Dia yang memilih untuk melanjutkan perjalanan terlebih dahulu, 'kan?
Resti membayar perjalanan untuk mencari senjata abal-abal dengan nyawa Steven.
Apakah itu sepadan?
Monster itu bersiap untuk melompat rak yang menghadang jalannya. Dia merayap, menaiki rak ambruk yang tadinya berisi boneka-boneka anak.
Tubuh ringkih menyerupai boneka kayu itu melesat ke arah Resti.
Resti terhempas.
***
"Steven beneran enggak sakit?" Key bertanya untuk yang ke-13 kali.
Kebanyakan orang akan merasa kesal ketika pertanyaan yang sama terulang, bahkan ketika hanya tiga kali masuk dan mengetuk gendang telinga. Namun, pria dengan sweater kelabu itu hanya mengembuskan napas; caranya untuk tertawa.
"Udah enggak," jawab Steven.
Nampaknya, Key tidak percaya. Dia membenahi posisi duduknya di samping Steven, tidak henti menatap luka sobek yang dibalut oleh perban. "Tapi sobek."
"Iya, sobek."
Bibir Key menekuk, kedua alisnya bertemu. "Sakit berarti."
"Udah enggak."
"Kenapa?"
"Udah diobatin sama Teh Fuyu tadi."
Key menatap rambut Steven; caranya untuk menatap wajah seseorang. "Enggak sakit beneran?"
Steven menggelengkan kepala pelan. Senyum tipis pada wajahnya tidak luntur. "Enggak sakit, beneran."
Gadis di sampingnya tersenyum. "Steven's going to be oki, right?"
Sang pemuda mengangguk. "Steven's going to be oki."
"No ouchie?"
"No ouchie," beo Steven masih dengan senyuman tipis terukir pada wajahnya yang cukup kelihatan lelah.
Balasan singkat Steven membuat Key tertawa kecil. Saat mereka masih saling menatap, seseorang mendekati, berjongkok di samping Steven yang terduduk sambil meluruskan kaki.
"Pacaran mulu," protes Aldo. "Yang lain enggak kamu tanya-tanyain, Key? Yang lain juga luka, lo."
"Udah, kok." Key mengangguk. Dia menghitung, seolah melapor, bahwa dia telah menanyakan semua teman yang lain. Setelah tertawa sedikit, Aldo meminta Key untuk mengecek Catris, mengingat Key tidak menyebutkan nama gadis itu.
Key tidak protes, dia hanya mengangguk dengan senyuman tipis. Sementara itu, Aldo dan Steven memperhatikan sang gadis berlari kecil menuju Catris yang duduknya sedikit lebih jauh, sedang berbincang dengan Eris yang juga jongkok.
Kedua pria itu terdiam, tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Aldo hanya melirik ke arah Steven dan pemuda itu pun membalas tatapan sang pria.
"Eris, ya?" tanya Steven.
Aldo tertawa kecil. "Tahu aja."
"Ya, siapa lagi."
"Menurut kamu, Steve, apa mungkin Eris itu ... y'know."
Steven mengedikkan bahu. Tatapannya tertuju kepada pria yang sedang mereka bicarakan. Saat ini, pria itu tengah berbicara kepada Key yang baru sampai di hadapan Catris dan Eris.
"Enggak tau," ucap Steven pada akhirnya. "Are we even thinking the same thing?"
"I think we are," Aldo akhirnya membiarkan bokongnya menyentuh lantai, "and you know that very clearly."
"Yah, cuma mastiin aja. Siapa tahu beda persepsi."
"Enggak mungkin," tawa Aldo.
Lalu, mereka kembali terdiam, hanya memperhatikan interaksi Eris, Key, dan Catris dari tempat mereka duduk. Posisi Aldo dan Steven tidak jauh dari pintu masuk lantai satu, beralaskan baju-baju jarahan dari toko baju di sekitar mereka.
"By the way, kayaknya kita harus cek yang ada di luar," ucap Steven tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Ada yang aneh waktu kepala saya terbentur."
Aldo mengernyit. Dia akhirnya mengalihkan pandangan dari Eris kepada Steven. Postur tubuhnya berubah condong ke depan. "Aneh, gimana?"
Lawan bicaranya itu, tanpa menatap Aldo, berkata, "Saya tahu saya belum mendarat di permukaan, jadi waktu kepala saya kena benturan, itu saya masih di udara."
"That's weird."
"Not weirder than Eris."
Aldo kembali tertawa kecil. Dia menoleh ke arah Eris, Key, dan Catris berada. "Agreed."
Aku harus berhati-hati pada mereka.
2.173 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top