21. Hei, Tutup Mulutmu
when the last full moon risen,
the day of the damned
will be more than unspoken.
Gadis itu berlari sekencang yang ia bisa, menerjang manusia-manusia mematung yang ada di jalur larinya; menghalangi jalan kabur yang bersih. Sesekali, dia mengumpat di sela-sela napasnya yang memburu.
Dia melompati seorang anak yang telungkup di lantai dengan pose berlari, lalu menyelusur di sisi-sisi dua orang yang kelihatannya tengah bertengkar.
"Sedikit lagi ...," bisik gadis itu sambil sesekali melihat ke belakang.
Makhluk itu masih mengejar, kelihatan lebih besar dibanding sebelumnya. Tubuhnya yang semula berwarna hitam legam dan menyerupai tentakel-tentakel runcing kini terlihat seperti belalai-belalai gajah.
"Sedikit lagi ...!" Gadis itu setengah memekik. Kedua manik mata hitamnya menelusuri tempat dia berlari, kemudian menunduk dengan cepat untuk berseluncur dan berhenti di bawah sebuah mobil dengan ban yang cukup tinggi.
Lututnya terasa nyeri, tetapi itu hal yang tidak lebih penting daripada bertahan hidup.
Monster yang tadi mengejarnya memekik kesetanan, seolah kehilangan barang kesayangannya. Sang gadis dapat mendengar betapa menjijikannya suara tubuh si monster yang diseret; begitu berlendir dan basah.
Gadis itu akhirnya mengembuskan napas lega setelah beberapa saat menahan napasnya tanpa sadar. Dia berdiam sejenak, mengintip ke arah luar, masih mendapati monster itu mencari-cari tetapi seolah tidak berani menyentuh mobil-mobil yang ada di parkiran ini.
Ketika monster itu menghilang dari pandangannya, Catris menitikkan air mata. Dia menahan suara tangis sebisa mungkin, mencoba untuk tidak mengerang dan berteriak frustrasi.
"Kenapa aku bisa ada di sini?" tanyanya kepada diri sendiri. "Kenapa aku ditinggalkan sendirian di sini?"
Catris menghapus air matanya yang mengalir cukup deras. "Kenapa?"
Entahlah.
Mengapa dia tidak mencoba untuk keluar dari parkiran itu?
"Aku tidak bisa," ucap Catris.
Padahal, banyak lift dan tangga darurat yang bisa dia naiki. Apa mungkin lift-nya tidak bekerja?
"Aku tidak bisa hidup di sini."
***
"Cat," Aldo memanggil gadis pincang yang terduduk dekat bangku tempat Andrew tiba-tiba muncul beberapa saat lalu, "giliran kamu diobatin."
"Oh? Enggak usah," tolak Catris dengan senyuman miring terukir pada wajahnya. Gadis itu berusaha untuk menyembunyikan keterkejutannya akibat panggilan Aldo yang tiba-tiba.
Aldo berkacak pinggang, pria berambut ikal tersebut berjongkok di hadapan Catris dengan tatapan yang tegas. "Kamu belum sempet diobatin. Sana, gabung sama Steven dan yang lain."
"... Aku enggak apa-apa, kok."
Apa benar begitu?
"Beneran," tegas Catris. "Udah enggak sakit."
"Bisa aja uratmu putus," celetuk Aldo.
"Ngomongnya enggak usah sembarangan," protes Catris.
Bersamaan dengan protes yang disampaikan oleh Catris, Eris mendekati mereka berdua. Pria tersebut meminta Aldo untuk mengecek yang lainnya. Walau kelihatan sedikit ragu, Aldo akhirnya mengangguk dengan pelan lalu pergi meninggalkan Catris dan Eris berdua.
Eris terduduk di ujung kaki Catris yang terluka. Namun, dia tidak melakukan apa-apa. Pandangannya masih tertuju pada wajah sang gadis yang kini berubah masam dan tidak nyaman.
"Kenapa kamu lihat aku kayak gitu?" tanya Catris.
"Galak." Eris tertawa. "Eris boleh pegang kaki?"
"... Ngapain?"
"Mau dimakan. Rawr."
Catris tidak menggubris. Pada akhirnya, Eris tetaplah Eris. Berpikir bahwa Eris tidak akan melakukan sesuatu yang buruk padanya, Catris mengiyakan permintaan izin sang pria.
Segera setelah Eris mendapatkan izin, laki-laki itu menyentuh kaki Catris tanpa menyingkap rok panjang sang gadis. Catris sempat mendengar Eris membisikkan sesuatu, tetapi karena sangat pelan, dia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Eris.
Eris meluruskan telapak tangan kanannya lalu memukul pergelangan kaki Catris yang semula terluka.
"Hei!" seru Catris. "Kakiku bengkak, lo!"
"Masa? Sakit, kah?"
"... Enggak."
"Berarti enggak bengkak."
"Tapi ...," Catris buru-buru memeriksa pergelangan kakinya yang memang tidak bengkak, "tadi bengkak!"
"Bengkaknya Eris makan. Rawr."
Catris mengernyitkan pandangannya. Eris masih terduduk tidak jauh dari pandangan sang gadis, memandangi dengan wajah yang ekspresinya tidak bisa diartikan dengan jelas. Wanita berhijab itu mengalihkan pandangnya ke kumpulan teman-teman lain yang terluka.
Wajah Steven kini sudah lebih bersih; tidak ada darah yang mengotori wajahnya. Sebelah dari celana panjang pemuda itu disingkap, memamerkan luka sobek yang panjang. Namun, luka sobek itu telah diperban.
Rizal telah sadarkan diri. Namun, karena luka laki-laki asal Bandung itu tidak nampak, dia hanya diberikan Bye Bye Fever pada punggungnya---entah untuk apa.
Fuyu sedang membalut betis Karvin dengan perban. Catris tidak tahu bahwa Karvin juga terluka; dia terlihat baik-baik saja saat mengangkat Rizal menyingkir dari area tengah lobby.
Sementara itu, teman-teman lain yang baru saja dikeluarkan dari monster bermata puluhan oleh Eris beberapa saat yang lalu, masih belum siuman. Untungnya, mereka telah dibersihkan dari lendir yang menyelimuti. Baju mereka pun telah diganti dengan baju-baju jarahan toko baju di area lantai satu.
"Kamu," Catris kembali menatap Eris, "menyembuhkan bengkak pada kakiku."
"Iya, Eris makan. Rawr."
"Aku punya banyak pertanyaan."
"Eris juga."
"... Pertanyaan apa yang kamu punya buat aku?" Catris mengernyit.
Eris mengedikkan bahunya. "Misalnya, kenapa Kak Icha bohong."
"Soal apa?" Catris mengernyit. Kedua tangannya meremas rok yang ia kenakan.
"Soal Fani."
"... Siapa Fani?"
"Kak Icha mau tanya apa sama Eris?"
"Jangan mengalihkan topik," ucap Catris seraya berdecak pelan. "Siapa Fani?"
"Kalau Kak Icha enggak tanya sekarang, Eris mau pergi, lo."
Kalimat itu membuat Catris terdiam sejenak. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh Eris, mungkin---sangat mungkin---berkaitan dengan peristiwa di mal ini; semua monster dan kematian. Bahkan Eris yang tiba-tiba kembali seolah belum menghilang dan tidak membebaskan delapan orang dari satu monster yang sama.
Siapa itu Eris?
"Kenapa kamu bisa ngeluarin mereka dari monster itu, Ris?" tanya Catris.
Eris mengedikkan bahu untuk kali kedua. "Tongkat ajaib."
"Serius, Ris."
"Eris juga serius. Kita janjian gimana? Kak Icha jawab, nanti Eris juga jawab. Kak Icha belum jawab kenapa Kak Icha bohong soal Fani."
"... Siapa Fani?"
"Kak Icha pernah ke kota?"
Kedua alis Catris langsung bertaut. "Oh, perempuan yang pakai baju lusuh itu, maksud kamu?"
"Kak Icha enggak ada di sana lama, 'kan?"
Catris tidak berani untuk menatap Eris.
"Kak Icha enggak nginep berhari-hari di sana."
Gadis itu semakin meremas rok panjangnya.
"Kak Icha 'kan dibantu sama Fani."
Gadis itu memainkan jemarinya.
Eris mengubah posisinya menjadi posisi jongkok. Dia memeluk kedua kaki, menyimpan pipi kanannya di lengan dan menatap Catris. "Kok bohong soal Fani?"
***
Gadis itu kembali berlari dengan tergesa-gesa. Dia berusaha untuk membuka pintu kamar mandi yang bau pesingnya menyengat, tetapi hasilnya nihil. Tertekan, dia akhirnya kembali berlari ke arah yang berlawanan tepat sebelum si monster meraih kepalanya dan membenturkan bagian tubuh krusial itu ke pintu kamar mandi.
Dia melompati anak yang sama yang terakhir kali dia lompati. Dia melewati dua orang yang sama yang terlihat sedang berargumen. Namun, ketika gadis itu bersiap untuk kembali sembunyi di bawah mobil yang sama, monster itu membalikkan mobilnya.
Mobil Jeep berwarna hitam itu melayang di udara, berhenti di sana seolah ditempel seperti stiker. Tanpa pikir panjang, Catris kembali berlari secepat yang dia bisa.
"Sedikit lagi ...," bisik Catris sembari menatap jalan keluar yang dipapar oleh sinar matahari. Apabila Catris mampu sampai jalan keluar itu, dia bisa bebas dan kembali ke rombongannya. Benar, 'kan?
Itu yang dijanjikan.
Senyuman tipis merekah di mulut Catris yang terlihat kering. Tangan kanannya berusaha untuk meraih tiang parkir ketika sesuatu berlendir yang keras melilit perut dan pinggangnya.
Seketika, Catris ditarik dengan cepat. Gadis itu berusaha untuk meronta, tetapi tenaganya terlanjur habis dari pelarian yang tak henti. Tubuh gadis itu dimasukkan si monster ke dalam mulut penuh dengan gigi-gigi runcing yang melingkar.
Gigi-gigi itu berputar, layaknya penghalus buah-buahan untuk membuat jus. Awalnya perlahan, menusuk kulit Catris dengan pelan.
Kemudian, berputar dengan cepat. Catris dapat merasakan kakinya yang terputus dari tubuh, perutnya yang mulai hancur, dan tulang-tulangnya yang ditarik secara paksa. Rasa sakit itu tidak membuatnya kehilangan kesadaran atau bahkan mati di tempat.
Sang gadis berteriak sekencang yang ia bisa, melepaskan rasa sakit dari gigi-gigi monster berbentuk abstrak di parkiran gelap yang lembab itu.
Ketika Catris membuka mata, dia kembali berdiri di depan lift parkiran, sendirian; tanpa seorang pun di sana.
"Sial!" umpat sang gadis. "Biarkan aku mati! Biarkan aku mati! Biarkan aku mati!"
Suaranya menggelegar, menggema ke seluruh penjuru parkiran; serak dan terdengar begitu putus asa. Walau terdengar tidak sehat, tetapi Catris benar adanya.
Untuk apa dia hidup hanya agar bisa mengulang hal yang sama, di tempat yang sama, berulang kali?
Ketika suara buruk rupa yang tidak asing terdengar dari sudut parkiran sebelah kanan, Catris juga menyadari panggilan lain yang selembut sutra. Matanya dengan sigap melirik ke sebelah kiri, mendapati seorang perempuan berpakaian lusuh berdiri dengan tangan terentang.
"Hei," bisik perempuan itu. "Raih tanganku."
Perempuan berambut pendek itu tidak ada di adegan-adegan sebelumnya, dan Catris telah mengulangi jebakan ini sebanyak enam kali. Apakah dia akan mempercayai perempuan asing itu?
Ketika suara terseok-seok yang terdengar basah dan lengket bergema di belakang Catris, dia meraih tangan sang gadis.
Kemudian, mereka menghilang.
Setan.
1.420 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top