18. Hei, Bunuh Dia.
in this sorrowful mess
and dreadful shock,
would you be able
to recognize the screams
of the helpless malice?
Karvin terlempar, membentur pilar yang dekat dengan toko baju pria hampir di ujung kanan lantai satu. Diva berlari ke arah Karvin, mencoba untuk menyeretnya dari sana sebelum---
"DIVA, KARVIN, AWAS!"
Diva menoleh sesaat, lalu telungkup di lantai yang ubin-ubinnya telah retak akibat langkah kaki yang terlalu berat. Sementara itu, Karvin sudah sebisa mungkin menunduk agar tangan-tangan berat itu tidak mengenainya.
Dinding di atas mereka rusak. Tangan-tangan yang memanjang, membentuk bola besar yang berat seperti cannon ball dari monster itu merusak dinding dan lantai di sekitar lantai satu.
Pria itu memiliki napas yang memburu. Dia sesekali berdiri untuk mengintip di mana monsternya berada. "Aku baru bangun, tolong lah."
"Kak Andrew enggak apa-apa?" tanya Elin.
Key menoleh kepada Andrew yang ada di hadapannya; bersembunyi bersama dari monster yang datang dan menyerang dengan membabi buta. Di belakang meja satpam tempat penitipan barang, ada empat orang yahg terduduk dan mencoba untuk mengatur napas.
"Kak Andrew, Elin nanya, apa Kak Andrew isoke?" tanya Key.
Andrew mengangguk tanpa melihat gadis itu. "Aku enggak apa-apa, enggak ada yang sakit kok. Cuma kaget aja---dan capek."
"Kak Andrew, waktu di ground floor punya senjata?" Key bertanya, menjadi perantara untuk Steven yang terduduk di sampingnya, masih dengan luka pada wajah.
Sekali lagi, Andrew mengangguk, kali ini sambil berdiri untuk mengintip ke mana monster itu telah bergerak. "Tombak buatan yang pake bawahnya sepatu ice skating. Kayaknya tombak aku ada sama Riq, deh."
Ketika Steven menampakkan diri dari arah pintu keluar, dia berjalan dengan cepat walau kakinya pincang dengan banyak luka pada tubuhnya. Dia tidak kelihatan sehat, tetapi dengan apa yang telah terjadi selama ini, tentu saja teman-temannya tidak langsung mempercayai bahwa itu Steven.
Sebelum mereka menerima Steven, Kripik mencoba untuk menanyakan setiap orang satu-satu siapa yang mereka lihat dan seperti apa wujudnya. Setelah semua orang setuju bahwa yang berdiri di hadapan mereka adalah Steven dengan wajah berdarah-darah dan kaki pincang, mereka berusaha untuk mengobatinya.
Setidaknya, sampai Steven menyuruh mereka untuk sembunyi. Permintaannya itu disampaikan dengan terlalu terburu-buru sehingga kesannya tidak jelas. Sepertinya, bahkan di situasi seperti ini pun, mereka membutuhkan kejelasan mengapa mereka harus bersembunyi.
Mungkin lebih tepatnya, dari apa.
Steven tidak berbicara banyak. Laki-laki itu hanya mengingatkan teman-temannya akan luka yang ia miliki, lalu meminta mereka untuk segera mengindahkan permintaannya. Walau masih tidak jelas, tentu saja, kepanikan Steven membuat mereka merasa ini sesuatu yang sangat serius.
Maka, itulah yang mereka lakukan; bersembunyi. Empat orang di belakang meja penitipan barang, lima orang di toko kosmetik dan kesehatan, dua orang di toko baju kasual yang isinya kebanyakan jaket, dan empat orang lainnya di Auntie Anne's.
Tempat yang paling jauh dari tengah lantai satu adalah toko baju kasual tempat Kripik dan Diva membawakan Andrew alas untuk duduk. Toko itu berada sangat di ujung lantai; mereka harus berbelok terlebih dahulu dekat tangga yang menutur ke eskalator.
Ketika sesuatu yang terdengar berat dan besar memasuki lantai satu dari pintu di mana Steven datang, Diva dan Karvin belum sempat untuk bersembunyi.
Monster itu sebenarnya tidak besar, tidak pula tinggi. Hanya saja, dia memancarkan sesuatu seolah cahaya berwarna hitam dari sekujur tubuh, setiap langkah kakinya seolah berat sehingga lantai-lantai itu retak, dan tangannya menyerupai bola meriam yang bisa diayunkan dengan panjang.
"Aku enggak ngerti," bisik Andrew. "Monster apa itu? Kenapa dia datang setelah kamu datang, Steven?"
Pertanyaan Andrew dilontarkan tanpa menoleh ke mana pun; pandangannya masih tertuju kepada monster yang ada di tengah-tengah lantai satu. Monster itu menunduk, mengangguk-angguk, lalu berputar-putar dengan lesu.
Steven menghela napas. Dia melirik ke arah Key yang mengganggukan kepala, memberikan isyarat bahwa gadis itu siap mengulang jawaban Steven untuk Andrew.
"Saya juga kurang tahu, saya enggak ngerti. Di lantai dua tadi, setelah ketemu sama monster yang punya tentakel, saya ditarik sama tangan---atau lidah, kayaknya---yang panjang gitu ke area toko-toko aksesoris. Ditariknya cepet banget, saya bahkan enggak sempet buat berpikir.
"Singkatnya, spatula saya udah enggak saya pegang dan monster yang ada di depan toko-toko aksesoris itu monster yang kalian lihat saat ini. Dia bisa ngomong, cuma per kata gitu. Dia cuma sempet nanya, 'Di mana?' dan 'Bunuh.'"
Ketika Key tuntas menjadi perantara atas jawaban Steven, Elin dan Andrew mengernyit. Gadis di hadapan Key mengernyit. "Dia nyari orang?"
"Kayaknya," jawab Steven.
"Kak Steven bisa ngobrol sama monster itu?" Elin bertanya, kini terduduk dengan postur bersila.
"Key, kamu diem aja, Elin sama Steven lagi ngobrol kah?" Andrew menyela percakapan Elin dan Steven. Key mengonfirmasi pertanyaan pria berkacamata itu, kemudian dia meminta tolong agar Key menerjemahkan kesimpulan obrolan Elin dan Steven kalau masih tentang monster yang sedang mereka hadapi.
Key menyetujui.
"Awalnya saya agak kaget, tapi dia enggak nyerang. Jadi, saya diem aja di situ. Saya pikir kalau saya diem, dia enggak akan bisa lihat. Mungkin dia tipe monster yang cuma bisa lihat orang kalau orangnya gerak. Ternyata enggak. Setelah kita diem-dieman gitu, dia nanya lagi, 'Di mana?'
"Ya mana saya tahu, anjay, dia nanyain apa. Jadi saya balik nanya, 'Apanya yang di mana?' tapi dia malah ngegeleng-gelengin kepala pelan banget. Udah gitu dia ngedeketin saya. Walau pelan, satu langkah kakinya bisa ngeretakin lantai, kayak sekarang.
"Pas dia ngedeketin gitu, saya mundur pelan-pelan. Eh, dia bisik-bisik, 'Bunuh.' 'kan saya panik. Jadi, saya diem-diem mundur, terus lari. Tapi, tangannya itu kena punggung saya. Pokoknya, saya sempet dia pukul beberapa kali, pertama punggung, saya kelempar tapi enggak sampe luka.
"Udah gitu kaki, makanya kaki saya pincang. Terus yang terakhir, di lorong yang ada banyak kaca-kaca gitu, saya dilempar sama dia dari kaca-kaca itu dan mendarat di luar tadi. Kepala saya ngebentur sesuatu, tapi saya enggak tahu apa. Saya buru-buru masuk karena saya lihat dia kayak siap-siap turun gitu.
"Tapi enggak loncat, enggak tahu kenapa. Dia malah turun kayak monyet gitu, manjat tapi backwards."
Key menyimpulkan kisah Steven kepada Andrew secara perlahan. Mendengar penjelasan Steven, Andrew menyampaikan bahwa monster itu bisa saja memiliki target yang spesifik, makanya sekarang dia tidak bergerak padahal Karvin dan Diva masih berjinjing dekat toko-toko baju di seberang mereka.
Diva dan Karvin bukan target monster itu.
"Bisa jadi," ujar Steven. "Saya berarti targetnya, ya? Dia awal ketemu sama saya soalnya. Yang ditarik juga saya."
Key menyampaikan jawaban Steven kepada Andrew.
Andrew mendengkus. "Maaf, ya, Key. Kamu jadi repot gini harus ngomong dua kali gara-gara aku enggak bisa lihat yang lain."
"Enggak apa-apa sih, Kak."
"Ribet, tapi. Kalau udah ada monster kayak gini, kita jadi enggak bisa diskusi yang bener."
Sementara Andrew, Elin, Steven, dan Key kembali mengulik informasi yang bisa mereka dapat dari peristiwa pertemuan Steven dengan monster, di toko kosmetik dan kesehatan, kelompok itu sedang berbincang lebih serius.
"Repot, A," protes Fuyu. "Tempo atuh monsternya kayak gimana, dia kuat. Kita punya apa? Enggak punya apa-apa."
"Ya, tapi kita enggak mungkin diem aja. Kita bakal sembunyi di sini sampai kapan? Sampai monsternya dapet pencerahan dan pergi?" timpal Kripik.
Haru menengahi dengan dehaman singkat. "Kan di sini bisa aja ada kikir kuku gitu, ya? Di film-film penjara, kikir kuku bisa mengikir besi juga. Tombak-tombakan yang Haru pegang 'kan besi nih, kalau kita kikir aja gimana?"
"Kelamaan, enggak, sih?" tanya Catris. "Kita butuh berjam-jam buat ngikir besi jadi tajam, dan dia bisa ngegepengin kita dalam beberapa detik."
"Enggak, kok. Dia geraknya lumayan lamban walau tenaganya gede," sangkal Rei. "Jadi, kita mungkin cuma harus nyari momen yang pas buat nusuk dia."
Strategi yang telah keluar dari masing-masing orang di sekeliling Kripik kedengarannya berisiko besar. Kripik agaknya tahu, di situasi seperti ini, tidak ada yang tidak berisiko. Namun, bukankah lebih baik jika mereka mengambil risiko yang paling minim?
"Gimana kalau kita cari semacam tali gitu yang lumayan kuat di sini?" usul Rei. "Terus kita cari gunting, diiket di ujung tombak punya Haru."
"Nanti geser-geser, enggak akan bisa diem," bantah Catris.
Fuyu mendengkus. "Kita harus nyari karet. Jadi, bisa diem kalau karet, 'kan?"
"Tapi nyari karet di mana?" Catris kembali bertanya.
"Cha, jangan dulu kayak gini bisa, enggak?" Fuyu menoleh ke arah Catris dengan kerutan pada dahinya. "Kita 'kan lagi nyari solusi nih, kasih ide kek. Toko 'kan banyak, enggak usah seolah-olah enggak ada jalan keluar."
Catris menaikkan kedua alisnya, lalu mengerjap beberapa kali. "Tapi, 'kan---"
"Heh, udah," potong Kripik. "Bukan saatnya buat berantem. Fuyu bener, kira harus berpikir dengan apa pun yang kita punya sekarang. Dan Catris juga enggak salah buat nanya, berarti kita tahu rencana kita ada kekurangannya. Semakin dikit pertanyaan, semakin dikit kekurangannya."
Mereka akhirnya membungkam, saling menunduk, menatap tangan masing-masing. Pertikaian bukanlah hal yang ingin mereka lakukan di tengah-tengah kegentingan seperti ini, bukan? Semuanya akan menjadi kusut dan akhirnya tidak bisa diperbaiki.
Itu merepotkan.
Benar, 'kan?
"Iya, lah!" seru Chita yang berkumpul dengan tiga orang lain di Auntie Anne's dengan sedikit lantang. Dia kemudian menutup mulutnya, terkejut dengan suara yang dikeluarkannya sendiri. Gadis berkacamata itu baru saja berdiskusi tentang sesuatu dengan Yemi dan Aldo, sementara Rizal sedang menjarah di bagian belakang tempat persembunyian mereka.
Rizal kembali dari area belakang toko Auntie Anne's mendapati gunting, pisau dari mesin pemotong yang entah digunakan untuk apa. Selain gunting dan mata pisau yang dibalut oleh celemek salah satu pekerja di sana, Rizal juga membawa sapu dan karet ikat rambut milik salah satu pekerja wanita.
"Saya nemu ini aja, sih. Guntingnya bisa kita pake buat potong gagang sapunya biar---"
Aldo mengambil sapu yang dijarah Rizal dan mematahkan kepala sapi dari gagangnya.
Rizal mengangguk. "Atau kita bisa motong kayak gitu. Berarti antara kita iket mata pisau ini," ia memperlihatkan mata pisau yang ada di atas celemek, "ke gagal sapu pake iket rambut itu, atau kita tajamkan gagang sapunya pake gunting."
"Enggak akan kelamaan?" tanya Yemi. "Enggak maksud apa-apa kok, tapi takutnya kita---"
"Atau," Aldo menyela, "kita bisa bikin sekat di ujung gagang sapu ini buat masukin mata pisau itu ke sini, terus kita eratkan pake iket rambutnya. Kayaknya sustainable aja sih, bakal lumayan kuat kalau buat nusuk sekali dua kali."
BRAAAAAAK.
Monster di luar sana kembali merusak dinding-dinding yang mengelilingi lantai satu seolah mengamuk. Dengan tubuh yang kelihatannya lesu dan letih, monster itu berteriak kesetanan.
"BUNUH!"
"Sial, kita harus cepat." Aldo mengambil gagang sapu dan gunting dari tangan Rizal. Dia memotong ujung gagangnya dengan gunting di tangan kanan. Pria itu berdecak, lalu mengambil mata pisau yang cukup besar dari celemek di lantai dan menggunakan benda tersebut untuk membuat celah.
"Bolu!" seru Yemi. "Kamu nanti terluka, hei! Itu tajam!"
"Jangan aneh-aneh, woy. Kita butuh semua anggota tubuh dalam keadaan sehat. Enggak usah nekat!" Chita ikut protes.
"Enggak apa-apa, sayatan kecil doang mah bisa diobatin nanti. Ini dikit lagi, kok."
Sementara monster di luar sana mengamuk, mengulang kata bunuh berkali-kali, Aldo berhasil menancapkan mata pisau yang sedikit bengkok dari mesin pemotong yang Rizal temukan. Pria itu meminta tolong kepada teman-temannya agar mereka melilitkan ikat rambut di ujung gagang sapu, merekatkan mata pisaunya, menjadikan senjata baru yang bisa melukai monster.
Darah dari tangan Aldo menetes, tetapi tidak mengenai baju bahkan lantai pada toko tersebut. Dia mencoba untuk menyentuhnya, mendapati butiran darah itu membasahi jari dan menempel di sana, seolah baru saja menetes pada ujung jari telunjuknya.
"Saya bisa keluar dan coba nyerang monster itu," ujar Rizal. "Aldo enggak akan bisa, dia luka. Chita dan Yemi tungguin dia, ya. Jangan pake celemek itu buat balut tangan Aldo, ada serpihan takutnya. Soalnya saya ngambil mata pisaunya pake itu tadi."
Tanpa menunggu Yemi dan Chita maupin Aldo untuk bersuara, Rizal keluar dari Auntie Anne's dengan postur yang tegap. Dia mendapati Karvin dan Diva masih ada di toko-toko seberang, kelihatannya cedera parah.
Monster itu masih berteriak, tangan-tangannya kembang kempis seolah balon yang dipompa.
"HEI!" teriak Rizal. Suaranya menggema, berkali-kali memantul ke arah mereka kembali. Monster yang jaraknya tidak terlalu jauh itu kini berhenti berteriak dan menatap Rizal dengan puluhan matanya yang berwarna hitam.
Kini, semua mata tertuju kepada Rizal dan monster itu.
"Rizal gila, apa?" bisik Catris.
Elin menggelengkan kepalanya. "Dia enggak punya siapa-siapa buat back up, ih!"
Tanpa mengatakan apa-apa, Steven keluar dari balik meja penitipan barang. Key mencoba untuk mencegat pria itu, tetapi hasilnya nihil. Steven enggan membiarkan Rizal sendirian.
"Steven, enggak boleh!"
Andrew ikut berdiri. "Steven nyusulin Rizal? Mereka berdiri di mana?"
"Kak Andrew juga?" tanya Key sedikit memekik. "Kak Andrew mending diem, deh! Kalian semua diem!"
Rizal memasang kuda-kuda dengan tombak buatannya yang mendadak. Dia menatap monster itu dengan tajam, menarik napas dalam, lalu menghembuskannya. Sementara itu, Steven yang mendapatkan payung dari sudut penitipan barang menepuk pundak Rizal dan berdiri di belakangnya.
Mereka saling mengangguk.
"Padahal mah istirahat aja, Kang. Luka-luka gitu." Rizal berkata sambil tertawa kecil tanpa memalingkan pandang dari si monster.
Steven tertawa. "Dia 'kan awalnya monster saya," lalu menghela napas, "atau mungkin saya mau kelihatan keren di depan Ai."
"Heh."
"Bercanda itu, itu saya bercanda."
"BUNUH!" Monster itu berteriak, kedua tangannya terangkat. Dengan spontan, Rizal berlari ke samping kanan, lalu melakukan sprint dengan tombak yang diacungkan ke depan.
'Bunuh aku.'
Steven memasang kuda-kuda.
Key berteriak.
Rizal berhenti.
Pria itu menoleh ke arah Key yang terengah-engah, begitupun dengan Steven dan teman-teman yang lain.
Key menggelengkan kepalanya.
"Kak Andrew bilang, itu Hicchan!"
2.203 kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top