14. Hei, Lawanlah

to play the link to the YouTube video below is advised (I can't get Wattpad to work, I apologize for the inconvenience). Please pay close attention to everything in the video.

https://youtu.be/-_aMXkCNPHk?si=JzdWAx6dqGv6v6vM

Darah segar mengalir dari luka dalam yang terbuka di lengan bagian atasnya menuju ujung jemari, tetapi ketika menetes, butiran-butiran merah itu mengambang tak jauh dari jari-jari Andrew.

Andrew mencoba untuk menyobek kemeja yang ada di toko baju itu, tetapi sulit karena harus menggunakan sebelah tangan. Dia merutuk, menarik napas dalam dan kembali mencoba untuk menyobek kemeja putih di hadapannya.

"Aduh, ini bahannya bagus apa gimana, sih? Kok enggak sobek-sobek?" protes Andrew seraya meringis sakit.

Eris terlempar di samping Andrew, mengeluarkan suara menggelegar dari tubrukan punggung dan dinding bata dicat putih. Tanpa membuang waktu, Eris langsung merangkak secepat mungkin mendekati kemeja putih yang daritadi Andrew coba sobek dan membantu pria berkacamata tersebut.

Dengan dua kali tarikan, lengan kemeja putih itu terlepas dari bagian torsonya. Eris kemudian beranjak dari duduk, berlari menuju arah Riq, tidak menggubris vertigo yang ia rasakan.

"AtAs, AtAs, BaWAh, bAWah, ATaS---"

Satu kali ia tebas, Riq berhasil menggugurkan tangan-tangan monster berlendir itu. Tangan lengket yang menyerupai tentakel gurita kini melayang di udara, bergeliyut seolah mencoba untuk menghisap permukaan lantai yang tak sampai.

"AAAAaAAaAAaaAaaAA!" teriak monster di hadapan Riq seraya meloncat-loncat sehingga membuat retakan di lantai.

Riq melangkahkan kaki kiri ke belakang, mengambil ancang-ancang dan menarik tangan kanannya yang menggenggam tombak buatan, kemudian ia lempar sekuat tenaga ke arah kepala si monster.

Bidikannya tidak terlalu jitu; tombak itu melesat cepat ke arah bahu si monster. Monster bertentakel dengan kepala jeli tersebut semakin mengaum. Cairan-cairan hijau keluar dari apa yang terlihat seperti sepasang mata.

"AH, aH! TerKuTUK! KUtuk! Huhu, huhuhu ...."

"Apa---itu monsternya nangis?" Riq mengernyitkan mata, sesekali melirik tombak miliknya yang masih tertancap di bahu si monster.

Eris menepuk punggung Riq satu kali. Pria itu mengembuskan napas pelan dan menggelengkan kepalanya sedikit cepat. "Riq Imouto kok melempar tombaknya ke dia? 'Kan jadi enggak ada senjata."

"Sejak kapan---"

"Nih," Eris memberikan tombak buatan berlumuran darah ungu ke Riq, "biar bisa membela diri di hadapan hukum monster."

"Kasih ke Andrew lagi aja," tolak Riq. "Kelihatannya dia masih bisa kok megang senjata."

"Ini punya Riq, kok." Eris mengerjapkan mata seraya menatap Riq seolah kebingungan.

Dengan alis yang bertemu, Riq menoleh ke arah Andrew yang baru selesai mengikat lukanya dengan sobekan lengan kemeja. Di samping pria berkacamata itu, terdapat tombak buatan milik Andrew.

Riq kini menoleh ke arah monster---yang sedang uring-uringan karena merasakan sakit---yang ada di hadapan mereka, tepatnya ke arah bahu, dan pandangannya gagal untuk menemukan tombak yang tadi ia lempar.

Kerutan pada dahi Riq semakin kentara. Pandangannya yang jatuh pada sosok Eris kian menajam; mencoba untuk memastikan bahwa Eris memang menyerahkan tombak buatan miliknya.

"Kak Eris kapan ngambil tombak itu?"

"Baru aja," jawab Eris.

Riq menggelengkan kepala. "Gimana caranya? 'Kan Kak Eris daritadi enggak mendekati monsternya?"

"Hei," suara dari belakang mereka menginterupsi, "ada yang salah sama aku."

Ketika Riq dan Eris menatap Andrew, pandangan mereka langsung terjatuh pada luka yang diikat di lengan bagian atasnya.

Dari kain kemeja itu, sesuatu berwarna ungu merembes keluar dengan cepat.

***

"Susah, ya?" tanya Steven seraya mengembuskan napas pendek. "Ada aja monsternya téh."

"Itu kamu lagi ketawa atau mengembuskan napas karena capek?" tanya Resti.

"Ketawa," jawab Steven sembari tertawa lagi.

"Kalau gitu, jangan ketawa. Lagi serius kok ketawa." Resti berkacak pinggang, sesekali membenarkan posisi berdirinya di balik pilar berbentuk tabung yang menghalangi pandangan monster itu.

Rav menarik diri setelah berhasil menangkap posisi monster pincang yang sedang mencari-cari keberadaan mereka, seolah singa mengendus bau kijang yang lezat.

Monster itu muncul entah dari mana. Ketika Steven, Resti, dan Rav keluar dari jalur tangga darurat lantai dua kemudian berjalan tak lama menuju arah kanan, monster itu menampakkan diri dari balik dinding-dinding, seolah air yang meresap ke baju.

Dari caranya berjalan, Steven lah yang berteori bahwa monster tersebut tidak dapat melihat maupun mendengar. Antena yang ada di dahi monster itu bergerak-gerak, seolah menjadi alat untuk makhluk tersebut melihat sekitar.

Antenanya bergetar setiap tiga detik sekali. Dari getaran itu, Steven berasumsi bahwa antena berwarna merah yang seolah menancap di dahi makhluk tinggi semampai dengan kulit hitam tersebut mengeluarkan gelombang tak kasat mata yang dapat memantulkan sinyal dari barang-barang yang ada.

Mereka sempat mencoba untuk berjinjit guna melewati Monster Antena, tetapi ketika antenanya kembali bergetar, monster itu seolah tahu keberadaan mereka dan memancangkan lidah seolah katak menggapai nyamuk.

Beruntung bagi mereka, ketika hal itu terjadi, refleks mereka tidak mengecewakan.

Maka dari itu, mereka memutuskan agar bersembunyi di balik pilar untuk menyamarkan tubuh. Rav lah yang mengutuskan ide ini, yang kemudian disambut dengan persetujuan dari Resti dan Steven.

"Susah buat ngelawan dia. Setiap tiga detik sekali, kita harus sembunyi di balik barang, sementara di sini jalanan terbuka, cuma ada pilar-pilar. Jarak pilar selanjutnya agak jauh juga dari kita, aku enggak yakin kita bisa lari tiga detik ke pilar yang ada di sana," ucap Rav sambil menunjuk pilar tabung yang memang sedikit jauh dari posisi mereka.

"Kenapa, sih, makhluk-makhluknya pada enggak jelas?" protes Resti. "Ada aja gitu kekuatannya."

Steven kembali tertawa.

"Itu ketawa atau bukan?" tanya Resti.

"Ketawa." Steven menggaruk tengkuknya pelan.

"Aku enggak melucu." Resti berkacak pinggang. "Steven ketawa terus daritadi, lagi mikirin apa, sih? Apa yang lucu dari situasi ini?"

"Enggak ada," ucap Steven.

"Steven, tadi setelah kamu nyerang monster yang menyerupai Kak Eris, aku bilang apa?" Rav menyilangkan tangan di depan dada yang direspons oleh anggukan kepala lemah dari Steven.

"Iya, Teh. Maaf, Teh."

"Kita seumuran," tukas Rav.

"Iya, Rav."

"Ya, udah. Kamu lagi mikirin apa?"

"... Ng," Steven memainkan jemarinya, "enggak ada ... enggak ada, kok."

"Kalau enggak ada, kok gugup? Kalau kamu punya rencana, ngomong aja. Jangan tiba-tiba beraksi sendiri, kami juga bisa bantu," tegur Rav.

"Enggak ada, beneran. Saya lagi mikirin Ai." Steven kembali menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Lucu kayaknya kalau kita balik lagi ke bawah, padahal di sini baru 30 menit. Wajahnya pasti seneng."

"Steven, ih," Resti memukul pundak Steven pelan, "jangan bucin dulu, lah."

"Iya, maaf. Sebentar, ya." Steven melangkah mendekati ujung pilar, menyembulkan kepala untuk melihat posisi Monster Antena. Pandangannya jelalatan, entah melihat ke mana saja. Namun, genggaman tangan kirinya pada gagang spatula martabak kini mengerat.

"Oh." Steven mengangguk-angguk kecil, kemudian menarik kepalanya dari ujung pilar. Dia menatap Resti dan Rav secara bergantian lalu tersenyum tipis seolah sedang memikirkan suatu prank yang dapat dilakukan ke temannya.

Steven menyampaikan bahwa dia memerlukan benda lain, apa saja, asal dapat menyamarkan keberadaannya dari radar gelombang sinyal Monster Antena. Resti mengusulkan tanaman dengan pot besar tak jauh di belakang mereka, kemudian mengajak Rav mengangkutnya, disusul oleh Steven.

Benda itu beratnya bukan main. Tentu saja, pot keramik tebal dengan tumbuhan tinggi. Apanya yang terdengar ringan?

Dengan susah payah, mereka mengangkut tanaman pot itu 10 meter dari pilar---sesekali bersembunyi secara berbaris di belakang pot sehingga tidak terdeteksi Monster Antena---paralel dengan penyangga gedung tersebut.

Resti dan Rav diminta untuk menunggu saja di balik pilar karena Steven ingin mencoba mengukur jarak Monster Antena dari posisi mereka sekarang.

Sepasang manik matanya yang tajam menyapu seluruh pandangan di depan mata, seolah sedang memindai layaknya robot humanoid. Setelah beberapa menit, tanpa aba-aba, Steven mengayunkan tangannya ke depan untuk melempar spatula martabak ke arah Monster Antena.

Spatula martabak itu melesat begitu cepat, bahkan Resti dan Rav tidak sempat melihat benda tersebut melayang dan menusuk leher Monster Antena.

Ketika spatula Steven menancap di sana, Monster Antena mengamuk, bersuara layaknya sapi yang terjepit pintu, kemudian melemah dan terjatuh. Namun, makhluk hitam itu berhenti di tengah udara.

"Wah, mati," celetuk Steven seraya berjalan keluar dari balik tanaman. Karena setelah tiga detik Steven tidak dimakan, Resti dan Rav juga keluar dari persembunyian.

"Kok bisa? Kok mati? Leher doang padahal?" Resti mengerjap beberapa kali, kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi

Steven tertawa. "Tadi saya notice ada retakan gitu di lehernya, almost kayak luka sayatan yang dalam gitu. Saya pikir, semua monster pasti punya titik lemah, dan titik lemah monster ini kalau enggak antenanya, ya retakan itu. Jadi, saya coba lempar spatula saya, terus beneran mati. Untung kena juga, ya."

"Terus ... dia mati karena udah melayang, ya?" tanya Rav. "Aku juga menyadari benda mati di sini, kalau kelempar, pasti berhenti di udara. Ternyata makhluk yang mati juga termasuk."

Steven mengangguk.

"Iy---"

SRASH!

Kedua mata Resti membelalak, begitupun dengan Rav.

Sesuatu berwarna hijau baru saja melilit tubuh Steven. Pria itu menaikkan kedua alisnya seraya memasang ekspresi yang sulit untuk dibaca.

Resti, dengan senjatanya, berusaha untuk melepaskan apa pun itu yang sedang melilit Steven. Sementara Rav berusaha untuk mencari monster mana yang menangkap pria itu.

Gadis itu menemukan bahwa bagian tubuh mana pun ini, datangnya dari arah kiri lorong tersebut. Namun, dia tidak melihat monster yang dicari, karena apa pun benda yang melilit Steven, panjangnya menembus sampai ke ujung lorong, lalu berbelok tepat ke lorong kanan di ujung sana.

"Oh?" Steven mengernyit, merasakan sesuatu yang menggeliat di tangannya.

Kemudian, tubuh Steven ditarik cepat.

1460 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top