1.3
Tanganku memutar kenop pintu depan, mendorongnya terbuka dengan bunyi derit ringan seperti biasa. Tidak ada yang mengunci pintu sebelum aku pulang, itu seperti kesepakatan yang tak terucapkan di rumah ini. Jadi begitu aku berada di dalam aku berbalik untuk memutar kunci yang tergantung di slotnya. Mendesah seolah beban dunia menghimpitku saat aku bersandar di sana dengan mata yang tertutup. Lampu ruang tamu mati, dan untuk sesaat aku menikmati kesunyian itu, ambil beberapa napas panjang sebelum aku harus berjalan melalui meja makan tempat ayah, ibu, dan adikku mungkin duduk untuk memulai makan malam hari ini. Mereka mungkin sedang menungguku.
Aku tidak bisa melakukan ini lagi. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak bisa—
Aku tidak sadar saat napasku berubah menjadi cepat dan terengah-engah. Serangan hiperventilasi lagi untuk minggu ini, hanya ketika aku berhasil menghitung sampai sepuluh napasku mulai kembali normal. Mencoba untuk terlihat senormal mungkin, aku menyibak kain gorden yang membatasi ruang tamu dengan ruang makan.
"Aku pulang," ucapku tanpa berhenti, terus berjalan menuju lorong kamarku.
"Kamu pulang lebih terlambat dari biasanya," seru ibuku saat dia mengangkat panci sup dari kompor ke meja makan.
"Beberapa masalah di kantor," balasku sebelum aku membuka pintu kamar dan jatuh di kasurku.
Aku ingin berteriak kalau aku tidak bisa meneruskan ini lagi. Aku ingin seseorang tahu jiwaku menangis. Aku ingin mengundurkan diri dan melakukan pekerjaan yang akhirnya membuatku merasa hidup. Namun bagaimana aku bisa melakukan itu saat sadar apa yang harus dipertaruhkan? Aku tidak bisa membiarkan kami kelaparan, aku tidak bisa berhenti membayar hipotek, aku tidak bisa mengabaikan tagihan listrik. Bekerja di Lovely Jelly mungkin membuatku gila, tapi itu memberiku cukup uang untuk mempertahankan hidup yang layak untuk keluargaku. Aku tidak boleh menjadi egois bahkan saat setiap serat dari tubuhku merasa putus asa.
Ketukan ringan di depan pintuku menghancurkan pesta mengasihani diri sendiri yang sedang aku adakan. Aku bangkit dari kasur. Menginjak tumit sepatu kiriku untuk melepaskannya, dan kemudian sepatu kananku. Aku menendang mereka hingga membentur dinding dan membiarkan mereka berserakan di sana sebelum membuka pintuku. Adikku yang baru berumur sembilan tahun berdiri di sana dengan cemberut.
"Makan malam siap," ucapnya singkat dengan nada kesal. Jelas Mom pasti mengambil ponsel darinya jika dia begitu kesal.
"Iya," balasku dan hanya seperti itu, dia kembali ke meja makan. Bukannya aku bisa mengeluh tentang kelakuan adikku. Dia hanya sembilan tahun yang artinya hampir tidak mengerti apa pun tentang hidup.
Aku mengambil ponsel dari sakuku, melemparkannya ke kasur sebelum kembali ke lorong dengan handuk untuk mandi. Aku benci makan sebelum mandi, jadi aku selalu mandi lebih dulu sebelum bergabung di meja makan. Aku lihat Mom telah menaruh cucian ke mesin pengering, artinya aku dibebaskan dari tugas mencuci hari ini. Bagus, karena aku benar-banar tidak bersemangat untuk itu.
Itu adalah rekor mandi tercepat yang aku lakukan. Tiga menit dan aku sudah mulai mengenakan celana pendek hitam bermotif Hello Kitty melalui kakiku. Menarik kaus putih bertuliskan Suck you! dengan banyak bercak menguning di bagian punggung karena terlalu sering aku kenakan. Nah, tidak ada yang berubah, tidak ada yang baru, dan tekanan di kepalaku tetap bertahan di sana selamanya. Hidup ini melelahkan, tapi jelas aku tidak bisa membiarkan ayah dan ibuku tahu seberapa rusaknya putri tertua mereka. Jadi alih-alih terpuruk di lantai kamar mandi dan meratap, aku malah pergi ke meja makan.
Aku menemukan mereka semua telah mengisi piring mereka, bahkan menyiapkan satu untukku di kursi yang biasa aku tempati. "Apa menu hari ini?" tanyaku, menarik kursiku dan duduk disana.
"Telur," jawab adikku saat dia menyodok telur mata sapi di piringnya bersama nasi.
Ibuku mengabaikan nada kasarnya dan hanya memberiku sendok sebelum kembali ke piringnya sendiri. Aku tidak yakin apakah aku lebih suka keheningan ini atau jika mereka bertanya tentang hariku. Bagaimanapun aku mulai menggali makananku, kebanyakan karena aku ingin segera menghilang ke kamar sekali lagi dan mungkin aku bisa menyelesaikan beberapa bab ceritaku. Atau jika otakku terlalu lelah aku mungkin berburu ebook gratis di Amazon. Apa pun untuk melupakan bahwa besok aku harus kembali ke tempat yang aku sebut kantor.
"Bagaimana harimu?" Ayahku bertanya di antara suapannya.
Aku tidak langsung menjawabnya, malah mengambil waktu dengan mengunyah dan menelan potongan brokoli yang baru saja aku masukkan ke dalam mulutku. Meneguk air putih dari gelas dan mengetukkan garpuku di piring sebelum akhirnya mendesah. "Baik."
"Kamu masih berpikir untuk—"
"Dad tolong! Aku tidak ingin membahasnya! Kamu tahu aku masih ingin keluar dari sana, tapi kita semua juga tahu aku tidak bisa. Aku perlu mempertahankan pekerjaan ini, benar?" potongku, aku sama sekali tidak bermaksud kasar, tapi jujur saja sulit untuk tidak emosional saat di setiap detik kamu menarik napas kamu merasa seolah duniamu hancur.
"Addy, kamu harus mencoba—"
"Aku tahu!" bentakku, membenturkan garpuku dengan keras ke piring aku mulai terengah-engah. "Aku tahu aku harus memberi orang-orang kesempatan. Aku tahu aku perlu menjadi lebih sosial. Tapi itu membuatku lelah."
Aku menggosok wajahku, sudah kehilangan nafsu makan yang mungkin masih tersisa sebelum pertarungan kecil itu.
"Addy—"
"Aku lelah. Aku akan berada di kamar, jika kalian membutuhkan apa pun." Aku berdiri dengan kasar, meninggalkan makanan yang setengah dimakan di piringku begitu saja.
Aku membanting pintuku hingga tertutup saat akhirnya berada di dalam kamar sekali lagi. Berharap bisa melampiaskan rasa frustrasi pada objek selain pintu kamarku yang malang. Apa pun untuk mengurangi rasa sakit ini. Rasa tidak berdaya ini. Pada akhirnya aku meringkuk dan mulai menangis. Aku tidak membuat suara, hanya membiarkan air mata jatuh diam-diam saat aku memeluk diriku sendiri. Aku menangis hingga mataku bengkak, menangis hingga kepalaku berdenyut dengan rasa sakit.
Hanya ketika aku terlalu lelah untuk tetap menangis, aku mengambil ponselku, menghidupkan layarnya dan berkedip pada notifikasi di layar. Enam puluh tujuh panggilan tak terjawab, dan empat pesan teks. Semua dari nomor yang sama. Aku membuka pesan, dan empat baris gelembung teks muncul.
Apakah kamu sudah tiba di rumah?
Addy?
Kamu baik-baik saja?
Tolong Addison Spring, angkat teleponmu sehingga aku bisa berhenti khawatir!
Aku tidak tahu kenapa, tapi jantungku berdetak begitu cepat saat aku menulis balasan.
Di rumah, baru saja makan malam. Aku baik-baik saja.
Aku menekan kirim dan sedetik kemudian gelembung yang menandakan dia sedang mengetik muncul di layarku. Aku menunggu dia selesai mengetik dan mengirimkan balasan padaku. Tiga menit kemudian ponselku kembali bergetar.
Oke.
Aku hanya membacanya, tidak tahu harus membalas apa. Apakah aku harus bertanya bagaimana kabarnya? Apa yang sedang dia lakukan? Kenapa muncul kembali di Asheville? Namun sebelum aku bisa memutuskan, ponselku bergetar sekali lagi, kali ini karena panggilan masuk. Aku mempertimbangkan untuk tidak mengangkatnya tapi berpikir itu tidak sopan dan akhirnya menggeser layarku untuk menjawab.
"Hai Bishop?" ucapku ragu-ragu, apa sih yang sebenarnya dia inginkan?
"Hai," balasnya dan aku bersumpah itu benar-banar canggung.
"Yah?" ucapku, menunggu dia mengatakan sesuatu karena sial—dia yang menelepon bukan?
"Hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja."
"Aku oke."
Kebohongan itu keluar dengan mudah, aku bahkan hampir bisa mempercayainya. Mungkin jika aku mengatakannya terus menerus itu akan menjadi benar.
"Benar, aku tahu, kamu sudah memberi tahuku."
Aku tidak mengerti kenapa dia berputar-putar. "Jadi?"
"Aku pergi ke rumahmu hari ini tapi orang yang sekarang tinggal di sana bilang keluargamu sudah pindah empat tahun yang lalu. Jadi aku benar-banar putus asa, aku tidak tahu nomormu, tidak tahu rumahmu, aku bahkan tidak memiliki surelmu. Apakah kamu sadar kamu sama sekali tidak aktif di media sosial? Seolah-olah kamu tidak pernah ada."
"Best—"
Dia mengabaikanku sepenuhnya dan terus bicara, "Jadi aku menyewa seseorang detektif swasta untuk mencari tahu. Aku punya nomormu, alamat emailmu, dan bahkan alamat barumu. Lalu aku berpikir bagaimana kalau besok aku menjemputmu untuk sarapan? Atau hanya minum kopi sebelum kamu berangkat ke Lovely Jelly? Itu yang dikatakan berkas ini, kamu bekerja di sana."
Aku merasakan panas di leherku, merayap ke pipiku. Tidak yakin apakah itu karena aku sangat malu atau sangat marah. Bishop tahu rumahku, dia tahu di mana aku bekerja. Sial! Dia mungkin juga tahu nomor jaminan sosialku.
"Sial Best! Kamu menguntitku!" bentakku, aku tidak peduli jika Mom atau Dad mendengarnya dari ruang makan.
"Uhh, ketika kamu mengatakannya seperti itu, itu terdengar mengerikan."
"Karena itu mengerikan Best! Dan aku tidak ingin sarapan denganmu! Tidak juga minum kopi sialan!" teriakku, sebagian merasa puas akhirnya aku bisa berteriak pada seseorang.
"Bagaimana kalau hanya mengantarmu ke—"
"Sialan Best!" Aku memutus sambungan itu.
Please give a comoment for Bishop Bennet ;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top