1.2
"Ingin aku mengantarmu?"
"Tidak. Aku akan baik-baik saja," jawabku, aku menghapus sisa kelembapan di mataku.
"Addy—"
"Tolong jangan katakan hal-hal manis lagi, March, atau aku akan mulai menangis!"
Dia tertawa! Tertawa! Maksudku, tidak ada yang lucu ketika bos-mu mengatakan hal-hal mengerikan seperti itu!
"Maaf!" Dia tersedak tawanya, mencengkeram perut hingga matanya berair. "Maaf!"
"Itu tidak lucu!"
"Tidak, itu tidak lucu. Hanya saja aku belum pernah bertemu gadis seperti kamu. " Aku masih merengut tapi hanya beberapa saat bicara dengan March membuat suasana hatiku membaik. Aku bisa berpura-pura lupa tidak ada yang salah, aku mungkin juga jatuh cinta padanya tanpa sadar. "Banyak gadis yang akan merengek agar aku mengantar mereka pulang, tapi di sini kamu, menolak tawaranku mentah-mentah."
"Aku hanya tidak ingin dipermalukan lebih jauh. Tidak ingin satu-satunya teman yang aku miliki melihat lubang yang aku sebut rumah."
Tawanya benar-benar reda sekarang, aku miliriknya dan tidak siap dengan tatapan intens yang dia berikan padaku. "Apakah itu benar-benar buruk?"
"Tidak! Tidak juga. Itu rumah yang kecil dan berantakan. Aku hanya tidak ingin kamu tahu."
Aku diam, March diam, diam membentang dan seperti itu aku ingin menarik kata-kataku kembali. Menguncinya di kotak kesedihan yang sekarang mulai penuh karena aku terus menumpuknya. Itu mengerikan saat satu-satunya teman yang kamu miliki menatap seolah kamu seorang tuna wisma atau lebih buruk, menyedihkan tak tertolong. Namun kemudian March hanya menepuk bahuku dan memberiku senyum meyakinkan, senyum yang mengatakan bahwa hal-hal bisa jadi lebih buruk, tapi tidak, dan karena itu aku harus bersyukur. "Baik, telepon Ayahmu kalau begitu, aku pikir bukan ide yang bagus untuk berjalan di gang gelap saat kamu cenderung menangis hanya karena tikus merangkak di tempat sampah."
Aku mengangguk karena aku tidak tahu apa lagi yang bisa aku lakukan. "Aku akan mendapatkan seseorang untuk menjemputku."
"Bersumpah?"
"Demi nama tengahku." Aku tertawa dan March membuat wajah jijik itu.
"Kamu tidak punya nama tengah!"
"Janji aku akan menelepon seseorang, pergi saja March, kamu tidak bisa mengasuhku sepanjang malam."
Setelah menatapku beberapa saat untuk pemeriksaan terakhir yang membuat kulitku gatal dan memerah, March akhirnya mendesah, yakin kalau aku tidak akan berubah pikiran. "Hati-hati Addy?"
"Pasti." Aku memberinya anggukan yang kuat, menyaksikan punggung March menghilang di parkiran. Aku memastikan dia tidak akan kembali sebelum keluar dan masuk ke dalam malam. March akan sangat kesal jika tahu aku berjalan untuk pulang, meski rumahku hanya beberapa blok dari Lovely Jelly. Hanya beberapa menit jika aku berjalan memotong taman yang ada di sisi lain jalan.
Seperti biasa, beberapa pemuda bersembunyi di balik bayangan pohon, merokok dan minum dari kaleng bir, bersiul untuk menggoda gadis yang berjalan cukup dekat. Aku mengabaikan mereka dengan baik, lebih tertarik pada tuna wisma yang berjalan tanpa tujuan di sekitar taman. Itu bisa jadi ayahku, atau ibuku, bahkan adikku. Aku tidak bisa kehilangan pekerjaan, bahkan jika itu membunuh jiwaku perlahan. Berkedip untuk menghilangkan sengatan di mataku, aku berhenti mengamati pria tuna wisma yang akhirnya duduk di salah satu bangku taman.
Aku mengingatkan diriku, tidak baik untuk tenggelam ke dalam pemikiran gelap. Terutama saat aku berjalan sendirian di malam hari. Terlalu sibuk dengan pikiranku, aku terkejut saat ponsel di sakuku berdering. Aku menariknya dari saku belakang celanaku, mengamati id yang muncul di layar, tapi nomor itu belum terdaftar di kontakku. Untuk sesaat aku pikir itu mungkin kabar buruk lain yang harus aku hadapi, tapi aku menyingkirkan pikiran itu dan mengangkat.
"Hello?"
"Apa itu benar kamu Addy?" Suara yang dalam datang dari ujung sambungan.
Aku kehilangan suaraku, terakhir kali aku mendengar suara itu adalah lima tahun lalu. Tidak pernah mendapat kabar apa pun, seolah aku tidak pernah mengenalnya, seolah tiga tahun di sekolah menengah bukan apa-apa. Seolah—aku berhenti memikirkan itu. Tidak pernah ada yang terjadi di antara kami. Ciuman itu bukan apa-apa. Kami bukan apa-apa.
"Ya. Bishop?" tanyaku ragu-ragu. Aku tidak bisa mulai menebak bagaimana dia mendapatkan nomorku.
"Kamu ingat?" Dia bertanya, terlalu bersemangat.
"Ya," jawabku singkat, tidak yakin bagaimana aku harus menjawabnya.
"Apakah kamu di rumah?"
"Tidak."
"Astaga Addy! Kamu tidak berubah, 'kan? Masih seperti dulu dengan jawaban singkatmu."
Aku mengabaikan komentarnya, masih bingung dengan panggilan yang benar-benar aneh. "Ada apa Bishop?"
"Yah, aku berada di Asheville, dan aku pikir akan menyenangkan untuk melihatmu lagi."
Best di sini. Dia di Asheville. Entah bagaimana itu membuat mulutku kering. "Kenapa?"
"Kami punya konser untuk beberapa malam di kota—"
"Addy?" Seseorang menepuk bahuku, aku berputar, tidak menyiapkan diriku untuk melihat siapa yang ada di punggungku dan ketika aku menatapnya, aku tidak mendengar lagi apa yang dikatakan Bishop.
Aku tentunya tidak bisa mengharapkan malam yang lebih kacau dari ini.
"Itu benar-benar kamu!"
Aku berkedip, dan kemudian menyadari aku masih berada dalam panggilan. Aku membawa ponselku ke telinga. "Aku akan meneleponmu lagi, Best."
"Addy? Apa kamu oke?" Ada tepi kekhawatiran di suaranya tapi aku mengabaikan itu.
"Ya. Aku akan menelepon begitu aku berada di rumah." Aku menutup panggilan dan mencoba melihat dengan banar. Berharap bahwa pria di depanku akan menguap di udara malam tapi dia masih berdiri di sana.
"Lihat, siapa yang aku temukan di kegelapan?" ucapnya, dan bahkan meski lima tahun berlalu sejak naksir bodohku, aku masih memerah hanya karena suaranya. "Addison Spring yang cantik."
"Dan kamu, Owen Andrew yang—" Aku tidak bisa meneruskan kata-kataku. Tidak, aku tidak bisa.
"Ahh, aku senang gadisku masih mengingatku." Senyum menyelinap ke bibirnya, dan aku langsung berharap dia tidak. Owen jelas telah tumbuh dari anak laki-laki kurus dengan rambut hitam kusut menjadi—apa? Seorang pria yang panas. Rambutnya masih kusut, tapi sekarang dia membiarkan itu tumbuh panjang, jatuh dengan cantik di bahunya. Ohh, dan aku tidak lagi bisa menyebutnya kurus, apa yang dulu adalah tulang, sekarang adalah otot, terlalu cantik untuk dilihat.
Memilih mengabaikan komentarnya tentang 'gadisku' karena Tuhan tahu aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya, aku memilih pertanyaan paling aman. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Aku bisa menanyakan hal yang sama."
Aku cemberut, ingat betapa sulit untuk mendapatkan jawaban dari Owie, dia hanya tidak pernah menjawab. "Aku bertanya lebih dulu."
"Baik, aku baru saja pindah. Aku punya studio seni baru di ujung jalan dan aku pikir aku akan mencari beberapa inspirasi yang menyegarkan di taman," dia menyeringai lebih lebar, seringai yang menunjukkan semua giginya yang putih, "tapi aku menemukan hal yang lebih menarik."
"Kamu masih melukis?" Dia mengangguk sebagai konfirmasi, itu seharusnya tidak mengejutkan, mengingat seni adalah semua yang dia bicarakan di sekolah menengah dulu.
"Aku sedang dalam proyek."
"Oh ya?"
"Ini, aku ingin membuat galeri seniku sendiri." Dia menggosok tengkuknya, seolah entah bagaimana mengakui itu di depanku membuatnya malu.
"Itu keren."
"Yah terima kasih. Bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan sekarang?"
Uhh, aku tidak suka ini. Berusaha untuk tidak memerah dan gagal total, aku memutuskan untuk berbalik dan kembali berjalan. "Bisakah kita berjalan, aku harusnya sudah berada di rumah."
"Oke, aku akan berjalan denganmu." Setelah beberapa saat tanpa kata di antara kami akhirnya dia harus kembali mengangkat topik. "Jadi Addy? Apa yang kamu kerjakan? Kamu pernah ingin menjadi guru, apakah kamu sekarang?"
Dia bertanya begitu santai, sama sekali tidak memperhatikan ketegangan yang memancar dariku. "Yah, tidak. Sebenarnya aku bekerja di Lovely Jelly, bagian administrasi."
Aku tidak tahu bagaimana aku terdengar, tapi saat itu Owen telah mengamatiku dengan lebih baik. "Itu terdengar bagus."
"Yah, dan sebenarnya aku juga sedang menulis." Sial! Kenapa aku mengatakan itu?
"Menulis?"
"Novel, semacam itu."
"Wow! Itu keren. Sejak kapan kamu mulai? Maksudku kamu semua tentang angka di sekolah menengah dulu, aku tidak akan menebak jika kamu menulis sesuatu seperti novel." Matanya berbinar, dan aku benci saat hatiku melakukan lompatan kecil.
"Yah, itu sekitar sejak kau dan Best pergi."
Dia langsung mengempis, entah bagaimana kata-kataku telah membuatnya tidak aman. "Aku minta maaf tentang itu. Hanya saja itu terjadi begitu cepat. Aku mendapatkan beasiswa, dan tiket penerbangan sudah diatur. Aku hanya tidak sempat mengatakan hal-hal sebelum pergi."
"Tidak apa-apa." Aku mengedikkan bahu, seolah kepergian mereka sama sekali tidak berarti bagiku. Itu bohong, karena aku benar-banar merasa dikhianati saat itu. Aku pikir mereka sahabatku tapi sepertinya mereka tidak berpikir seperti itu tentangku. Jelas mereka tidak punya masalah untuk menghilang begitu saja tanpa sepatah kata pun untuk diucapkan padaku.
"Aku ingin menghubungimu Addy, sungguh. Hanya saja aku kehilangan ponselku dan semua hal baru di Paris begitu menyita perhatian. Saat aku mulai bisa menata jadwalku, nomormu tidak aktif. Aku mencoba menemukanmu di sosial media tapi hanya ada akun lama yang berhantu. Seolah-olah kamu hilang." Aku tidak bereaksi pada penjelasan panjangnya, aku bahkan tidak tahu apa yang ingin dia dengar. "Aku benar-banar menyesal Addy."
"Owen, dengar ...," aku berhenti berjalan sekali lagi, berputar untuk melihatnya dan terkejut pada ekspresi sedih yang tulus di sana, "aku mengerti kamu perlu fokus dengan karirmu. Aku hanya, aku pikir aku hanya berharap kamu mengatakan selamat tinggal. Jadi aku akan tahu di mana kamu. Rasanya menyedihkan ketika kedua sahabatmu pergi tanpa mengatakan apa pun. Bishop tidak jauh berbeda denganmu."
"Bishop Bennett?"
"Iya Best. Dan aku ingin berjalan sendiri, bisakah kamu meninggalkanku sekarang?"
Dahinya berkerut dengan tidak senang saat mendengar permintaanku, tapi dia tetap mengangguk.
"Hati-hati," ucapnya. Aku hanya mengangguk sebagai balasan dan berbalik.
Detak jantungku mereda menjadi ritme normalnya saat aku menempatkan jarak yang semakin jauh dari Owen Andrew. Entah bagaimana setelah lima tahun yang hilang, aku masih merasakan kupu-kupu panik mencakar perutku saat berada di dekatnya.
Sejauh ini siapa yang kalian pikir cocok untuk Addy?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top