Cerita 6 :: Dia Akan Datang

Pembicaraan mengenai reuni berhenti sampai di sana. Tabinda juga sudah kembali ke rumah. Menikmati waktunya sendirian di kamar. Orang tuanya jelas belum pulang. Tabinda juga lupa apakah mereka sempat berpamitan padanya atau tidak, yang jelas ia sendirian di rumah sekarang. Maka dari itu, banyak sekali pikiran yang kembali datang menyerang. Tentang reuni dan kemungkinan bertemu dengan dia. Walaupun Tabinda sudah jelas menolak datang ke reuni saat ia bersama Arin tadi.

Ada banyak alasan mengapa Tabinda menolak untuk datang. Selain karena kemungkinan bertemu dengannya sangat kecil, sama seperti harapan-harapan yang ia bangun ketika mendatangi tempat-tempat bersejarah mereka, ia tidak banyak memiliki teman, saat SMA teman terdekatnya adalah Arin. Dan selain dia, ia tidak mengenal dekat yang lain. Mungkin beberapa hanya sekedar tahu nama.

Dan yang paling membuatnya enggan datang ke acara reuni sekolah adalah ia tidak suka apa yang ia jalani sekarang dikomentari oleh banyak orang. Bukankah tujuan orang-orang datang ke reuni adalah menunjukkan bahwa mereka lebih baik dari satu sama lain? Tabinda tidak suka itu. Merendahkan yang lain dan mengangkat nama yang sekiranya lebih baik dari mereka adalah hal yang paling tidak suka Tabinda lakukan dalam kehidupan sosialnya. Tujuan orang lain datang ke reuni tidak lain dan tidak bukan adalah menunjukkan kalau ia lebih sukses dari yang lainnya.

Ia sudah membicarakan hal ini pada Arin tadi, namun Arin ternyata memiliki pandangan yang berbeda. Sebagai orang yang memang memiliki banyak kenalan dan friendly sejak remaja, Arin tidak memandang reuni seperti itu. Katanya, dalam kehidupan sosial kita juga perlu melihat yang lain agar memiliki motivasi untuk menjadi lebih baik. Berkabar dengan teman lama juga membangkitkan memori masa sekolah, dan itu menyenangkan bagi Arin. Mengetahui kabar terbaru dari mereka, cerita-cerita dari mereka, itu adalah bagian dari reuni yang menyenangkan. Sayang sekali, Tabinda tidak bisa ikut merasakan hal itu karena memang sejak awal ia tidak memiliki banyak teman.

Tabinda menghela napas berat, lagi dan lagi ia berusaha meraih informasi sekecil apapun dari dia. Padahal sudah berkali-kali hal ini ia lakukan, tapi tidak juga menemukan hasil yang baik. Tabinda tidak berhasil menemukan username media sosial miliknya, sebanyak apa pun ia mengetikkan kemungkinan-kemungkinan nama yang akan cowok itu gunakan ketika memiliki sosial media. Bahkan sosial media lamanya, meski ketemu tidak ada info apa pun dari sana. Pengikut hanya 10, mengikuti hanya 2 orang dan postingan terakhirnya adalah postingan ketika mereka masih bersama. Tidak ada harapan jika terus mengharapkan akun itu masih tersambung dengan pemiliknya sekarang.

Pada akhirnya, Tabinda menyerah. Ia kembali menutup laman media sosial miliknya. Menatap sebuah pas foto berukuran 3r dengan fotonya dan foto dirinya bersama ketika festival musik diadakan di sekolah mereka. Memikirkan kembali reuni sekolah mereka, Tabinda masih dalam keputusannya yang tadi, yaitu tidak datang pada reuni sekolah mereka. Tidak sekarang, mungkin reuni kedua ia akan datang, setelah semua yang ada di masa lalu ia selesaikan. Kalau sekarang, Tabinda masih tidak yakin sanggup bertemu dengan teman-teman masa sekolahnya. Ia masih tidak ingin mendengar komentar apa pun soal keputusannya dalam memilih karir ataupun omongan orang-orang tentang ia yang tidak memanfaatkan koneksi orang tua dengan baik. Sudah cukup dan ia tidak ingin dengar kembali.

Sudah cukup puas kembali melihat dan menatap foto tadi cukup lama, Tabinda menaruh kembali foto itu di kotak memori yang tidak pernah ia buang. Semua hal tentangnya masih ada di kotak itu, setelahnya ia perlu ke luar balkon kamarnya. Sekedar menghirup udara segar sembari mendengarkan musik dari headphone yang ia pakai. Udara malam ini cukup dingin kendati bintang-bintang bertaburan di atas langit.

Sembari memandang langit malam, Tabinda berharap kalau keputusannya tidak salah dan ia tidak akan kembali merasa menyesal. Berharap kalau apa yang ia lakukan setelahnya, ia pasrahkan semua pada Yang Maha Kuasa.

Pejaman matanya terbuka saat yang terdengar bukan lagi sebuah lagu, melainkan nada dering telfon. Ketika melihat ponselnya, Tabinda bisa melihat nama Arin ada di sana. Tidak biasanya Arin menghubungi melalui telfon seperti ini. Gadis itu bukan tipe manusia yang suka telfonan, sama seperti dirinya. Dan kalau hal ini terjadi, berarti memang ada sesuatu yang urgent yang ingin Arin beritahu padanya. Maka dari itu, Tabinda segera mengangkatnya, suara ceria dari Arin terdengar di detik pertama. Syukurlah berarti bukan sesuatu yang buruk.

"Kamu harus banget dateng ke reuni kali ini. Ada sesuatu yang besar bakal terjadi, yakin banget aku."

Sesuatu yang besar? Apa pula maksud Arin ini. Gadis ini sejak detik pertama ia angkat telfonnya tidak kunjung memberikan keterangan yang jelas.

"Kan, sudah aku bilang aku nggak mau dateng. Acara kayak gitu bukan seleraku, kamu tahu sendiri itu."

Di seberang sana, Arin malah tertawa kecil. "Kamu kalau tahu tentang hal ini, pasti bakal berubah pikiran 180 derajat. Yakin banget aku."

Tabinda merasa sangat jengah. "Ya, apa? Harusnya kamu dari tadi tuh, ngomong yang bener."

"Januari katanya mau dateng."

🌸🌸🌸

18 Januari 2025

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top