Tidak ada Keberuntungan (2)
Hujan mengguyur deras aspal yang dilewati mobil tersebut. Suara berisik dari atap mobil itu tidak menggangu sedikitpun ketenangan penumpang mobil disana.
Suara radio yang samar-samar terdengar menjadi satu-satunya kebisingan yang dapat didengar. Berisik sekali, sepertinya jaringannya terganggu, karena hujan deras yang terjadi di kota.
Perlahan jendela mobil itu berembun, karena banyaknya tetesan air di luar kacanya. Begitu buram dari luar.
Ayah Hazel menyalakan mesin pembersih kaca. Perlu diketahui, walaupun jalanan basah tersebut terlihat berbahaya dan licin. Namun, ayah tetap membawa mobil tersebut dengan kencang. Bibirnya komat-kamit tidak jelas. Entah apa yang sedang dipikirkan beliau saat ini, gadis itu sudah terlalu lelah untuk memikirkannya.
Dia terduduk, hanya diam, menatap jendelanya yang berembun. Begitu fokus, seakan kesadarannya bisa hilang kapan saja karena terlalu dalam memandangnya.
Lalu disebelahnya, laki-laki itu memainkan jari jemarinya dengan gugup, dia takut. Dia bahkan tidak menatap mata gadis itu seharian ini.
Liam mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia akhirnya menoleh ke jendela mobilnya yang berembun, dengan perlahan, lelaki itu merangkak dan berhadapan dengan jendela tersebut, mengangkat jari telunjuknya. Lalu memiringkan kepalanya.
Ayah Hazel kemudian mengecek kacanya untuk melihat bangku belakang. Bagus, pikirnya, dia tau gadis itu tidak akan lari. Karena ancamannya adalah adiknya.
"Ah...kenapa aku tidak bilang dari dulu." Pikir ayah Hazel, tersenyum tipis. Beliau berhasil menjaga keturunannya.
Sementara gadis itu tetap memandang kaca, tidak menangis, ataupun mengekspresikan apapun. Benar-benar diam, tenang. Mungkin karena dia sudah tau apa yang akan terjadi padanya.
Dia tidak melepaskan pandangannya, gadis itu menghembuskan nafasnya perlahan.
Dia menopang dagu. Berusaha untuk tetap fokus memandang jalan.
Liam disebelahnya masih berkutat dengan jendela tersebut, entah apa yang dilakukan olehnya.
Ayah Hazel kemudian membelokkan mobilnya, menembus jalanan lika-liku itu. Membesarkan volume radionya dan bergumam lagu kesukaannya di sepanjang jalan pulang.
Hazel kemudian mengerling ke arah adiknya yang perlahan duduk, setelah berkutat dengan jendela mobilnya yang berembun. Gadis itu mengusap kepala Liam halus.
"Tidak apa-apa, Liam." Ucap gadis itu lirih tidak tersenyum, hanya menatap adiknya yang menunduk, tidak berani berkontak mata dengannya.
Usapan itu kemudian berhenti, Hazel kembali duduk lalu melipat kedua tangannya di dada. Dia menghela nafas panjang sebelum akhirnya matanya terpejam, lelah, dia ingin beristirahat.
Setelah itu, tubuh Liam bergetar, dia menangis dan semakin menundukkan kepalanya. Dia tidak membiarkan satupun isakan tangisnya terdengar, apalagi suara hujan diluar, wah pikirnya sangat membantunya dalam menyembunyikan hal itu saat ini.
Sementara pria itu sedikit menggerakkan kepalanya sesuai irama lagu yang berputar di radio itu. Lalu pria itu menatap ke kaca, dan melihat putrinya.
"Tidak ada yang menyuruhmu untuk tidur, kita akan segera sampai, putriku." Ucap pria tersebut menatap tajam kaca itu.
Gadis itu diam saja, dia lelah.
Pria itu kembali merilekskan matanya lalu menatap kaca depannya, benar-benar bermusik ria. Pria itu beberapa kali, menyanyikan lirik lagu di radio tersebut. Begitu hafal. Sejak kapan? Entahlah.
"Ya terserah, aku akan membangunkanmu ketika kita sudah sampai." Ujar pria tersebut dengan mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti irama musik di radio.
"Aku tau kamu tidak tidur, Hazel." Ucap Pria tersebut.
"Tapi toh kamu tidak bisa lari lagi. Aku tidak akan khawatir soal itu." Lanjutnya.
Angin di luar mobil itu sepertinya menjadi sedikit kencang. Daun dari beberapa pohon yang mereka lewati lepas begitu saja, sehingga memenuhi aspal. Bagian bawah mobil begitu berisik.
Kini suara gesekan dedaunan kering dan ban mobil yang melaju tidak dapat terelakkan lagi.
"Gadis itu tengah bersedih, ayahnya membawa parang."
Ayah Hazel masih bermusik ria di tengah hujan deras dan mobil yang dikendarainya itu.
"Walaupun pertolongan itu merintih, setidaknya ada berbagai cara untuk menolongnya sekarang."
BAMM!!
Mobil yang dikendarai ayahnya sedikit goyah, membuat ayah Hazel kembali fokus untuk memerhatikan jalan. Dia menahan, mengontrol mobilnya.
Setelah beberapa menit berkutat dengan setir mobil, kini mobilnya telah kembali menuju dengan normal. Ayah Hazel terkejut bukan main.
"Ada apa barusan." Lirih Ayah Hazel kemudian mengerling ke arah belakang untuk melihat putra-putrinya.
"Hey, apa kalian baik-" Ayah Hazel terdiam, suaranya berhenti.
Ayah Hazel dengan cepat menoleh ke arah depan. Suasana menjadi dingin. Ayah Hazel bahkan sampai menelan ludahnya sendiri dengan susah karena menyadari sesuatu yang terjadi di belakang.
Beliau mencoba mempercepat laju mobil lalu melihat dari kaca depan mobilnya.
Putrinya terduduk di bangku belakang dengan posisi duduk yang tegap, kepalanya menghadap ke jendela. Dia menatap pohon-pohon itu, aneh bukankah tadi dia kelelahan. Matanya bahkan menatap lebar pemandangan di luar. Begitu terpukau, seperti anak berusia 5 tahun yang baru saja pergi ke kebun binatang.
"Indah..." Gumam gadis itu pelan.
Ayah Hazel mulai meremas setirnya. Keningnya berkerut, matanya sayu. Beliau kemudian semakin mempercepat laju mobilnya.
"Kamu tidak akan bisa. Bagaimana, kamu bisa setenang itu. Seharusnya kamu sudah tau dari Reza." Pikir Ayah Hazel.
Gadis itu kemudian mengerlingkan pandangannya lurus menatap tajam ayahnya.
Mata coklatnya, kini bersinar, itu berubah warna menjadi sedikit coklat kekuningan.
Selang beberapa menit gadis itu tidak mengedipkan matanya, mulutnya terbuka, dia berbicara.
"Benar ayah." Ucap gadis itu jelas.
Liam mengangkat kepala lalu menoleh ke arah kakaknya dengan cepat.
"Kakak berbicara pada siapa?" Pikir lelaki itu, kemudian mengusap air mata di pipinya.
Gadis itu tetap menatap tajam ayahnya dari belakang.
Sementara jantung ayahnya sudah berdegup dengan kencang, tangannya mulai berkeringat, cuaca di luar begitu dingin, lalu bagaimana bisa?
Pria itu fokus menatap jalan, tidak menampakkan raut mukanya yang sedikit tidak nyaman itu. Beliau mencoba memastikan. Kalau benar, maka selama ini, rahasia kumpulan itu telah tersimpan jauh hari sebelum hari ini tiba. Hebat sekali, bagaimana bisa.
Lidah pria itu kelu, dia ketakutan. Kalau ini benar, hidupnya akan benar-benar habis.
Beliau mencoba.
"Hazel, jangan berpura-pura lagi. Kamu bisa mendengarkan isi pikiranku bukan?"
Ayah Hazel mengatur nafas, jantungnya berdegup kencang, perlahan manik mata beliau bergerak memandang ke arah kaca depan. Agar dirinya bisa melihat respons putrinya dengan jelas.
Itu dia, putrinya masih terduduk tegap, memandang ayahnya. Matanya yang bercahaya. Gadis itu sedikit melihat ke jendela, memerhatikan pemandangan diluar, itu dia, gubuk putih yang terlewat di belakangnya. Kemudian pandangannya kembali ke arah ayahnya.
Hanya satu pembedanya, jika tadi raut wajahnya hanya menunjukkan takjub pada pemandangan alam di luar mobil itu. Kini Hazel menatap punggung pria itu lalu perlahan menyunggingkan senyumannya. Begitu puas. Tanpa mengatakan sepatah katapun, namun, bulu kuduk ayahnya sudah naik.
"Takut? Ah tidak perlu begitu, ayah sendiri kan yang membuatku begini dari awal." Ucap gadis itu.
Angin diluar mobil berhembus kencang.
"Padahal....aku sudah melepaskan diri dari perkumpulan itu, kenapa? Aku kira semuanya telah terputus sejak saat itu. Apakah benar-benar tidak bisa diperbaiki mulai dari awal? Ayah tidak ingin seperti ini, ayah ingin berhenti. Tetapi ini semua demi kebaikanmu, demi semua leluhur kita." Ucapan ayah yang begitu tulus, mengapa dirinya tiba-tiba menjadi begitu sangat terbuka saat ini?
Alis pria itu naik, raut wajahnya resah, secara tidak sadar beliau memelankan laju mobilnya.
Gadis itu memasukkan jari kelingkingnya ke lubang telinga dan memutarnya sekitar dua sampai tiga kali.
Saat menyadari ayahnya sudah selesai berbicara, gadis itu kembali ke posisi semula.
"Ah, maaf aku tidak mendengar yang ayah katakan, aku jadi penasaran, kenapa aku tidak tertarik mendengar penjelasan ayah." Suara gadis itu berhenti.
Ayahnya yang sudah ketakutan menyetir mobil itu ditengah hujan kini dikejutkan dengan hembusan nafas hangat dari belakang. Hazel telah mendekatkan dirinya di belakang ayahnya, mendekat ke arah telinga beliau.
Sepertinya gadis itu mencoba membisikkan sesuatu di telinga pria tersebut.
"Karena penjelasan dari pembunuh keji sepertimu hanyalah sampah." lirih Hazel perlahan, sukses membuat ayahnya hilang konsentrasi.
.
.
.
Jauh di dalam hutan, dekat dengan pohon beringin yang besar. Berdiri seorang laki-laki, perlahan remaja itu mulai berjalan ke sana kemari. Menggigit jemarinya. Menatap kedepan dengan gugup.
"Ini sudah waktunya kenapa dia tidak kunjung datang? Apakah dia tidak dapat keluar?" Pikir lelaki itu kemudian berhenti di tempat.
Sesaat kemudian, dia menarik lengan bajunya, memperlihatkan jam tangannya yang basah karena tetesan hujan.
Setelah melihat waktu dan menyadari, gadis tersebut terlambat, laki-laki itu mulai menyesal, sepertinya rencananya bodoh?
"Hazel, kumohon cepatlah datang.." Ucap lelaki itu lalu mengusap wajahnya kasar karena air hujan yang terus menetes di wajahnya.
.
.
.
( 2 Jam sebelum ayah Hazel menjemput)
Hazel keluar dari toilet, dan mendapati Reni sudah tidak ada bersamanya. Mengedikkan bahu. Gadis itu akhirnya masa bodoh dan berjalan cepat menuju ke lorong arah kelasnya.
Namun, baru setengah jalan, Hazel melihat dari kejauhan tangan itu melambai. Gadis itu menyipitkan mata mencoba fokus.
"Reza?" Ucap gadis itu.
Sepertinya suara itu terdengar dari si pemilik tangan tersebut. Secara cepat tanda tangan itu berubah dengan menunjuk ke tempatnya.
Hazel sedikit mengernyitkan dahi, dia tidak yakin. Namun, pada akhirnya gadis itu berlari kecil ke sana.
Setelah dekat dengan tikungan itu. Tangan itu menarik lengan Hazel ke sana.
Membuat gadis itu terkejut. Dia mendapati, lelaki itu berdiri di hadapannya kini. Memandangnya dengan mata yang berair.
Tetapi, ada yang berbeda. Mata lelaki itu kini juga bersinar, Reza mempunyai mata coklat yang kini terlihat lebih terang dari biasanya.
Gadis itu memandangnya dengan takjub. Dia tidak pernah merasa se kagum ini.
Butuh beberapa menit sebelum akhirnya gadis itu memulai kembali pembicaraan.
"Apa ini efeknya?" Ujar gadis itu kemudian menundukkan kepalanya dihadapan lelaki itu.
"Kamu juga punya." Suara lirih lelaki tersebut. Membuat Hazel seketika terdiam.
Gadis itu kemudian menghadap ke manik mata bercahaya milik Reza. Gadis itu menyunggingkan senyum, di raut wajahnya yang masih lembab karena itu belum lama setelah dirinya mencuci wajah.
"Aku tau," Hazel kemudian menundukkan kepala.
"Sesaat setelah kartu itu dibagikan, aku tau, bahkan di suatu malam aku tidak dapat tidur dengan baik, karena mendengar isi pikiran mereka." Ucap gadis itu.
Lelaki di depannya kini menghela nafasnya perlahan.
Gadis itu kini memandang wajah lelaki itu dalam. Seperti berusaha mengatakan sesuatu.
"Tidak, aku tidak dapat mendengarnya."
"Apakah kekuatanmu berbeda?" Gadis itu memiringkan wajah.
"Hmm.." Lelaki itu menggangguk, matanya perlahan kembali ke warnanya semula.
Lelaki itu kemudian merogoh saku,
"Aku senang, kamu menjadi satu-satunya orang yang memiliki kekuatan ini di angkatan kita."
Lelaki itu kemudian mengeluarkan secarik kertas yang terlipat kecil dan memberikannya kepada Hazel.
"Bacalah di perjalananmu menuju kelas. Dia tidak akan tau."
"Bagaimana kamu bisa yakin?" Ujar gadis itu, mengambil kertas tersebut dari genggaman laki-laki itu.
Laki-laki itu kini tersenyum kecil.
"Radar dari ayahmu, dia hanya bisa mendengar, dia tidak dapat membaca."
Gadis itu kemudian terkejut.
"Bagaimana jika ayah mendengar percakapan kita yang ini?"
Reza kemudian mengeluarkan kertas lagi berisi gambar lingkaran spiral dengan dua titik di kedua sisinya.
"Bahuwirya punya cara untuk melindungi murid-muridnya yang berusaha pergi ke perguruan di situ. Aku sudah meletakkannya di hadapan kita, kamu tidak melihatnya bukan? Namun, dengan ucapan tertentu kertas itu akan berwarna seperti semula dan tidak transparan lagi."
"Ah, jadi, apa kita sekarang tidak terlihat olehnya?" Ucap gadis itu.
Lelaki itu menggangguk, dia memasukkan kembali kertas bergambar spiral tersebut.
"Tidak terlihat, juga tidak terlalu terdengar, karena kita tidak terlalu keras dalam berbicara. Dia akan kebingungan karena kamu tiba-tiba menghilang."
"Kalau begitu kenapa kita tidak membicarakannya sekarang? Daripada harus menggunakan surat ini." Ujar gadis itu bingung.
"Terlalu lama menghilang tidak baik, ayahmu akan segera mengetahui dari radarnya, dan isi surat itu akan menjadi tidak berarti." Ujar lelaki itu keningnya kini berkerut. Dia khawatir.
"Baiklah." Ujar gadis itu tersenyum.
Gadis itu kemudian memasukkan kertas tersebut kedalam sakunya. Kemudian memandang lelaki itu.
"Terimakasih banyak, Reza."
"Aku akan menjemputmu sebelum pulang, akan kuceritakan semua padamu, aku mohon setelah membaca surat itu, cepatlah datang padaku, meskipun hujan." Lelaki itu kemudian memandang gadis itu dengan tatapan yang sama khawatir.
"Baiklah." Gadis itu kemudian menatap jari kelingking lelaki itu yang ditujukan kepadanya.
Gadis itu tertawa kecil,
"Apa kita masih anak-anak?"
Wajah Reza menahan malu.
"Aku hanya merasa yakin jika kita mengaitkan kelingking kita satu sama lain ketika saling berjanji akan sesuatu."
Gadis itu kemudian mengaitkan jarinya
"Jaga dirimu." Ucap lelaki itu.
"Jaga dirimu juga." Ucap perempuan itu, mengembangkan senyumnya.
Reza ikut tersenyum kecil melihat gadis tersebut.
Hazel kemudian berjalan meninggalkan tempat tersebut. Dengan cepat gadis itu mengeluarkan kertas tersebut dan membacanya.
"Perguruan Bahuwirya, baru saja membuka tahun ajaran baru.
Kita bisa pergi kesana bersama.
Kalau kamu belum tau kekuatanmu apa, akan kuberitau, kamu bisa memanipulasi dan membaca pikiran orang lain.
Aku tau, ini cukup mengejutkan, kamu bisa menyimpannya dengan baik.
Karena itu, perkumpulan ayahmu berusaha menelusuri isi pikiranmu untuk mengambil kekuatan tersebut, dengan memberimu mimpi buruk setiap kamu tertidur, seperti kedatangan sosok berjubah hitam di kamar, lemari yang terbanting, pisau yang ada dimana-mana.
Sekarang kamu tau, kamu, aku dilahirkan dengan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang berbahaya untuk diketahui musuh.
Aku, mempunyai kemampuan telekinesis, barang yang bisa aku gerakkan tidak terlalu banyak sampai sekarang ini. Tapi aku akan berusaha untuk melindungi mu.
Ketahuilah, bahwa kamu akan segera dijemput oleh ayahmu, aku akan tertinggal, Kamu akan berada di mobil itu, namun tidak dalam waktu yang lama."
Gadis itu mengernyitkan dahi mencoba fokus membaca surat itu lagi.
"Selama perjalanan, jangan lepaskan pandanganmu terhadap jalanan yang kamu lewati, tatap jendela, perlihatkan wajahmu, dengan begitu, mereka akan melihatnya dan akan melakukan sesuatu kepadamu.
Meskipun mereka membantu, pada akhirnya hasilnya akan bergantung kepadamu. Keluarlah sebisa mungkin dari mobil itu, bawalah Liam, dia masih belum mengetahui kekuatannya, karena dia masih berumur kurang dari 15 tahun. Semua keturunan yang terkait dengan perkumpulan ritual kotor itu pasti memiliki sesuatu yang menjadi kelebihan mereka.
Aku akan menjemputmu sesaat sebelum pulang sekolah untuk mengatakan apa yang akan terjadi di bawah tanah, sebelum itu terjadi, jangan lakukan hal yang mencurigakan.
Aku harap kamu selamat, aku tidak ingin orang terdekatku mengalami hal itu.
Temui aku di bawah pohon beringin di persimpangan dekat dengan gubuk putih.
Aku akan menunggumu disana.
Kumohon Hazel, persiapkan dirimu.
Jangan mati.
Reza"
Setelah membaca pesan tersebut, tanpa Hazel sadari dirinya sudah dekat dengan ruang kelasnya dengan cepat gadis itu memasukkan kertas tersebut. Lalu masuk kedalam kelas tersebut tanpa ragu-ragu.
(Kembali ke masa kini)
Lelaki itu memandang ke arah depan dengan saksama. Apakah gadis itu telah berlari di hadapannya.
Namun, tidak ada tanda-tanda kehadirannya.
Lelaki itu kemudian berjongkok, baju, rambutnya telah basah diguyur hujan sederas itu.
Lelaki itu mengusap wajahnya, lalu menghela nafas kasar.
"Kumohon cepatlah datang, Hazel." Ujar Reza pelan.
------------------------------------------------------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top