Tidak ada Keberuntungan (1)

Kring!!!! Kring!!

Suara alarm di meja lampu sukses membuka mata Hazel yang masih sembab akibat percakapannya tadi malam dengan Reza.

Hazel dengan cepat duduk untuk mengumpulkan kesadarannya sembari menoleh ke kasur Liam.

"Loh...Liam?" Lirih Hazel.

Liam tidak ada disana, bahkan kasurnya sudah tertata rapi. Apakah dia sudah bersiap-siap duluan?

Hazel menoleh ke arah jendela, memperhatikan pemandangan diluar. Hari ini tidak begitu cerah, langit nampak berawan.

"Sepertinya saat aku pulang sekolah nanti bisa saja hujan." Gumam Hazel dan mengambil ponselnya.

Hazel mengecek kotak pesan, dia sedih, tidak mendapati satupun chat dari Reza semenjak tadi malam.

Dia sedikit menyesal memaksa lelaki itu untuk jujur padanya di kondisi keluarganya yang juga tidak baik-baik saja.

"Apa aku bahkan bisa berbicara dengannya nanti di sekolah?" Pikir Hazel kemudian mematikan ponselnya dan beranjak dari kasur untuk segera mandi dan mempersiapkan dirinya.

.
.
.

Ruang makan terdengar begitu berisik, suara alat masak yang beradu. Obrolan ketiga penghuni rumah tanpa Hazel, sepertinya cukup membuat keadaan yang janggal tidak seperti biasanya.

"Kamu ingat pesan ayah, Liam?" Ucap ayah disela memotong omelet Beliau.

Liam mengangguk lesu, dia sepertinya tidak terlalu suka dengan pembicaraan itu.

"Kalau begitu, Liam akan membangunkan kakak terlebih dahulu." Ucap Liam lalu beranjak dari kursi.

Namun langkahnya terhenti ketika terdengar suara dari tangga. Kemudian Hazel muncul dan berjalan menuju dapur.

Liam kemudian kembali duduk, sementara Hazel menarik kursi disebelahnya.

"Tumben Liam bangunnya pagi banget." Ucap Hazel melipat tangannya di dada.

Liam terdiam, sementara ayah membalas Hazel.

"Liam tadi lari pagi bersama ayah, jangan lupa kamu harus sarapan. Setelah ini kita berangkat, ayah akan mengantarkanmu."

Hazel menatap ayahnya dengan ekspresi datar.
"Aku tidak lapar."

Ayah kemudian menggebrak meja, membuat kedua putra-putrinya terkejut menatap pria itu.
"Makan."

Hazel mengernyitkan dahi semakin bingung dengan perilaku ayahnya yang begitu aneh mulai kemarin. Dia berusaha bertanya pada ayahnya, ketika Tante ketahuan membawa beberapa toples ke ruang bawah tanah. Namun, tentu saja dengan tegas ayahnya melarangnya untuk kesana lalu menyuruhnya untuk segera tidur.

"Makanlah walau hanya sesuap, ayah tidak ingin kamu kelelahan sepulang sekolah nanti." Ucap ayah melanjutkan lalu memasukkan potongan omelet ke dalam mulutnya.

Dengan cepat Hazel menyeret sepiring omelet yang tersaji di depannya dan memakannya dengan cepat.

Setelah habis duluan, Hazel meminum air putih dan memandang ayahnya.

"Apa ayah sudah puas?" Ucap Hazel dengan ekspresi datar.

Tanpa menunggu balasan dari ayahnya, Hazel pun beranjak dan menuju ke depan rumah untuk bersiap-siap. Diikuti oleh Liam. Sementara ayah mengepalkan tangannya kuat.

Hazel lalu duduk dan memasang sepatunya. Lalu Liam duduk disebelahnya.

Hazel dengan cepat, sedikit mencondongkan kepalanya kearah Liam lalu berbisik.
"Liam..beneran diajak ayah lari pagi?" Tanya Hazel.

Liam pun terdiam sambil mengikat tali sepatunya.

"Ah...aku bisa gila.." Pikir Hazel memejamkan mata lalu menggelengkan kepalanya dan berdiri ketika sepatunya telah siap.

Kemudian terlihat mobil bergerak dan berhenti tepat dihadapan mereka. Kaca mobil itu diturunkan, terlihat ayahnya dengan tatapan tajam menoleh ke arah anak-anaknya dan mengisyaratkan mereka untuk segera naik.

Hazel tersenyum kecut, dia perlahan berjalan, sebelum akhirnya didahului oleh Liam, tetapi laki-laki itu dengan cepat juga mengatakan sesuatu.

"Ayah tidak mengajakku lari pagi kak." Kemudian Liam berjalan cepat menuju pintu mobil.

Hazel terdiam untuk sementara lalu melanjutkan langkahnya untuk ke pintu mobil satunya.

Pandangan gadis itu menanar.
"Lalu apa yang sebenarnya terjadi?"

Mobil pun melaju melintasi kabut pagi, berkelak-kelok dan sampai di depan sekolah Liam.

Lalu mobil itu melanjutkan perjalanannya menuju sekolah Hazel.

Setelah sampai, sebelum keluar mobil, tanpa menoleh ke arah putrinya, ayah Hazel berbicara dengan tegas.

"Setelah bel pulang berbunyi, tunggu ayah di depan gerbang, jangan berfikir untuk menghilang dari hadapan ayah." Lalu membuka kunci pintu mobil.

Hazel menatap mobil itu perlahan menjauh. Dia benar-benar tidak bisa berekspresi apapun sekarang, rasanya seperti dia menjadi tahanan di rumahnya sendiri, sangat terkekang, apalagi dengan sikap ayahnya yang sudah tidak masuk akal.

Dengan cepat gadis itu membuang pikiran tersebut lalu melangkahkan kakinya menuju ke sekolah.

Ternyata saat di sekolah, gadis tersebut tetap saja tidak bisa fokus, materinya tidak ada yang masuk ke otak. Dia takut, Hazel tidak tau apa yang akan terjadi padanya.

Haruskah dia lari? Namun, mungkin sesuatu yang lebih buruk akan terjadi kepada Liam? Atau Reza?

Dia bahkan tidak mengerti kenapa ayahnya bisa seperti itu, sudah seperti kerasukan saja. Tunggu...bisa saja?

Ayah yang Hazel kenal tidak akan bertindak sekasar itu kepadanya dan Liam, bahkan beliau tidak akan pernah semarah itu ketika menasehatinya.

Separah itukah kesalahannya?

Hazel mengusap mukanya perlahan, dia frustasi, gadis itu tidak bisa mengambil resiko. Dia tidak ingin hal buruk terjadi kepada orang-orang disekitarnya hanya karena perilakunya yang tidak mau menuruti ayah untuk pergi bersamanya.

Hazel menggeleng dengan lirih dia bergumam
"Tidak...tidak."

Reni yang sedari tadi menatap gadis tersebut begitu khawatir,
"Hazel...kamu mau istirahat dulu? Mukamu pucat sekali."

Hazel menoleh ke arah Reni dengan lemas.

"Istirahat dulu ya?" Tawar Reni, khawatir.

Hazel pun mengangguk, mereka berdua izin untuk ke toilet kepada guru pengajar.

"Ada apa denganmu, Hazel?" Tanya Reni disela-sela mereka berjalan menuju toilet.

"Aku...hanya tidak cukup sarapan hari ini." Ucap Hazel lalu tersenyum dengan dahi penuh dengan keringat dingin.

"Kamu tidak berniat untuk bohong kepadaku kan, Hazel?" Tanya Reni menoleh ke arah Hazel.

Hazel kemudian terdiam. Butuh waktu beberapa lama untuk gadis itu membuka mulutnya kembali.
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan, selain menurut kepada ayah, Ren?"

Reni memiringkan kepalanya tidak mengerti dan berusaha mendengarkan Hazel.

"Aku tidak mengerti Hazel." Ucap Reni lirih.

"Maka dari itu, aku tidak bisa menceritakannya kepadamu, Reni, aku sedang diawasi sekarang." Ujar gadis itu menatap lurus lorong menuju toilet.

Reni terdiam.

Hazel menyalakan kran air lalu membilas wajahnya berkali-kali. Setelah itu, gadis tersebut mematikan kran air, dan melihat pantulan bayangannya dicermin. Lalu merasakan tiap tetesan air yang jatuh dari rambut dan dagu wajahnya.

Hazel memejamkan mata lalu mengatur nafasnya.
"Reza benar, mereka adalah orang-orang yang tidak akan Setega itu untuk melakukan sesuatu yang buruk kepadaku."

Hazel kemudian mengambil beberapa tisu dan pergi keluar. Lalu mendapati Reni yang sudah tidak ada di depan pintu kamar mandi itu lagi.

Tidak mau berfikir panjang, Hazel langsung pergi menuju kelasnya. Lalu melihat Reni yang duduk manis di bangkunya.

Hazel berjalan ke mejanya lalu duduk dan menoleh ke arah Reni.

Reni tersenyum lalu bertanya.
"Kamu kenapa tidak mengajakku juga Hazel, katanya mau istirahat?"

Hazel kemudian menatap ke depan lalu sedikit merinding.
"Aku benar-benar sudah gila."

Gadis itu bertanya, siapa tadi yang menemaninya pergi ke kamar mandi. Kalau itu adalah sosok sama yang telah membawanya ke green house maka benar sekali, sepertinya Hazel mempunyai sesosok penguntit.

Ah, tunggu dulu maka sudah jelas disini kenapa ayahnya tidak khawatir untuk melepasnya di hari penting yang katanya dia akan dibawa ke ruang bawah tanah. Kalau gadis itu adalah ayahnya, pasti dia akan mengurung anaknya di dalam rumah, agar dia tidak bisa pergi kemana-mana.

Walaupun ayah tidak memberinya hal seperti itu, jelas kali gadis itu tidak akan bisa kabur, gadis itu tidak punya tujuan untuk pergi.

"Menyebalkan sekali" Ucap Hazel sambil menopang dagunya.

Kringg!!!!!

Bel jam pelajaran terakhir akhirnya berbunyi, dia benar-benar harus siap untuk ini, jam pulang sekolah tinggal tersisa 30 menit lagi.

Dadanya benar-benar berdegup, kenapa perasaannya begitu tidak enak.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar, guru pengajar menghadap ke arah pintu semenit kemudian lalu mengangguk.

"Hazel, temuilah orang ini." Ucap guru tersebut.

Dengan dahi yang mengernyit gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan cepat menuju pintu kelas.

"Memangnya siapa yang mencariku? Apa ayah sudah datang?" Pikirnya takut.

Setelah sampai di bibir pintu. Dia menarik lengan Hazel lalu membawanya ke lantai atas sekolah.

"Reza?" Ucap gadis tersebut mengikuti lelaki itu tidak percaya.

Reza tidak membalasnya, gadis ini menunduk, dia berfikir Lelaki ini pasti masih marah kepadanya.

Setelah sampai dilantai atas. Reza melepaskan genggamannya kemudian mengatur nafasnya yang memburu.

Hazel menatap lelaki itu khawatir.

"Dengarkan aku Hazel." Ucap lelaki itu setelah berhasil mengatur nafasnya.

Hazel terdiam, bersiap.

"Jangan pulang bersama ayahmu hari ini." Ucap Reza menatap gadis itu tajam.

Pandangan gadis itu mulai sayu.
"Kenapa? Bukannya kamu bilang mereka tidak akan melakukan sesuatu yang buruk kepadaku?"

"Tidak!" Ucap lelaki itu dengan suara sedikit meninggi.

Angin berhembus sedikit kencang. Meniup beberapa helai rambut terurai Hazel.

"Jadi...apa yang akan terjadi kepadaku Reza?" Ucap gadis itu lirih.

Pemuda itu mengepalkan tangannya dan menggigit bibirnya kuat.

"Ingatanmu akan dihapus." Ucap lelaki itu tanpa menoleh ke arah Hazel, tidak sanggup.

Gadis itu terdiam, matanya melebar, satu bulir air mata jatuh menuju pipinya yang tembam.

"Lalu, kenapa kamu tidak ingin aku mengetahuinya?" Ujar Hazel serak.

Lelaki itu kemudian menoleh ke arah Hazel, tatapannya benar-benar merasa bersalah.

"Karena seluruh keturunan baik dari ayahku, ayahmu, atau siapapun yang tergabung pada grup ritual hari itu. Harus menanggung dosa rekan terdahulu." Ucap lelaki itu berat.

"Apa itu termasuk dengan menumbalkan orang-orang yang dekat dengan kita?apakah ibu.." Tanya Hazel pandangannya kosong.

Reza mengangguk.

Hazel benar-benar baru tau hal ini, dia pikir ini hanyalah sampai pada kematian ibu saja. Ternyata ini lebih rumit daripada itu.

"Mereka tidak ingin ada satu pun keturunan orang-orang tersebut dapat hidup bahagia. Maka itu seseorang bernama Bahuwirya Cakrasugaha ini menjadi ancaman bagi keturunan mereka, karena dia dapat membebaskan kita dari rantai darah ini." Jelas lelaki itu.

"Jadi karena itu, ketika aku mengatakan telah bertemu dengan orang tersebut, mereka akan melakukan berbagai macam cara, agar aku tidak mengenalnya lagi? Dengan....menghapus ingatanku?" Hazel sepertinya paham.

Dia menatap lelaki itu lekat-lekat. Seperti tadi, Reza hanya bisa mengangguk karena apa yang dikatakan Hazel benar.

"Lalu kenapa kamu tidak memberi tahuku, saat kemarin malam Reza?" Tanya gadis itu heran, air matanya menetes lagi.

"Maaf..." Ucap lelaki itu menatap gadis itu dalam.

"Apa kamu ingin aku kehilangan ingatan?" Tanya gadis itu menatap Reza.

"Tentu saja tidak, Hazel!" Ucap Reza dia mengepalkan tangannya.

Reza menggenggam tangan Hazel.
"Karena itu aku ingin menyelamatkanmu! Semua bisa pergi ke perguruan itu jika kita berangkat sekarang!" Ucap Reza yakin.

Kemudian dia menarik tangan Hazel menuruni tangga.
"Tunggu! Reza!" Teriak Hazel lalu mencoba melepaskan tangannya dari Reza.

Apa dia tidak berfikir, jika pergi sekarang maka hal lebih buruk akan terjadi? Bagaimana dengan Liam? Ayah pasti akan melakukan sesuatu dengannya, apalagi saat tau Hazel pergi tanpa sepengetahuan ayahnya. Seharusnya mereka menjemput Liam terlebih dahulu.

"Bagaimana dengan Liam? Kamu pikir aku akan tenang pergi, ketika tau dia masih pulang ke rumah itu?!" Teriak Hazel heran.

"Aku sudah memberitahunya Hazel! Kemarin malam, dia seharusnya akan pergi dari sekolah sekarang." Lelaki itu yakin.

Apakah sempat? 10 menit lagi? Apa sempat? Apa yang lelaki ini pikirkan? Dan lagi... "penguntit" nya ini pasti akan melakukan sesuatu.

Hah! Bodoh, bagaimana ini? Dia benar-benar lupa, dia diikuti sosok itu, dan jika sosok ini berpihak pada ayah, sosok ini jelas akan melapor, maka sudah pasti ayah akan mengambil tindakan dengan berangkat sejak tadi saat mereka masih berada di lantai atas sekolah.
Bagaimana ini?

Gadis itu lemas.

Seperti yang diperkirakan Hazel, hujan mulai turun deras. Membuat suara tetesannya yang bertabrakan dengan atap di luar sana begitu bising. Lorong itu gelap karena suasana mendung di luar, menambah suasana berat yang telah di rasakan kedua remaja tersebut.

"Kita akan pergi menggunakan sepedaku, aku sudah memerintahkan Liam untuk pergi dari sekolahnya, bukankah seharusnya ini sudah cukup?" Celoteh Reza.

"Reza.." lirih Hazel.

"Kamu masih punya kartu namanya? Maka itu sudah bagus." Lanjut Reza.

"Reza!!" Bentak Hazel.

Lelaki itu terkejut lalu menatap gadis itu kebingungan.

"Kita tidak akan bisa pergi!" Ujar gadis tersebut.

Lelaki itu terdiam, dia bingung dengan gadis ini. Bagaimana bisa dia tidak bisa pergi. Ini adalah kesempatan terbaik, lalu dia mencoba membaca pandangan Hazel.

Hazel benar-benar ketakutan, dia tidak dapat mengatakan apapun.

Lelaki itu kemudian menatap ke arah belakang Hazel dan menarik tubuh gadis ke belakangnya.

Setelah itu munculah sesosok yang dimaksud Hazel itu.

Reza dan sosok tersebut saling beradu pandang. Sepertinya yang terburuk baru muncul.

Ponsel Hazel berdering, pupil gadis itu melebar melihat nama kontak yang menghubunginya dan dengan cepat mengangkat telepon tersebut.

"Li, Liam?"

"Kakak kumohon." Suara dibalik telepon tersebut serak.

"Kamu kenapa, Liam?!" Hazel panik.

"Jangan berfikir untuk kabur, Liam mohon." Setelah itu terdengar isakan tangis dari Liam.

Hazel kemudian terdiam, dia khawatir, seperti perkiraannya, jika dia macam-macam terhadap ayah, maka sudah jelas. Dia akan diancam, apalagi Reza bersamanya hari ini, maka siapa lagi yang akan ayah jadikan sandera kalau bukan adiknya sendiri?

"Ayah, sudah berpesan kepadamu Hazel, jangan mencoba untuk hilang dari pandangan ayah. Lagipula sosok itu adalah radar yang ayah percaya, Kemana kamu bisa pergi?" Ucap Pria tersebut di ponsel lalu berakhir dengan tawanya.

Panggilan itu terputus.

Hazel mengepalkan tangannya. Giginya bergemeretak sebal, ini sudah keterlaluan, urat keningnya terlihat. Dia tidak habis pikir, dia kira ini hanyalah halusinasi. Tapi ternyata ayahnya sekarang bukanlah yang ayah yang dahulu Hazel kenal.

Dia tidak dapat menahannya.

Hazel harus melakukan sesuatu atau adiknya akan mendapatkan masalah. Ayah sudah gila, gadis itu tidak bisa memperkirakan hal yang akan dilakukannya pada Liam.

Tidak! Hazel tidak bisa menerima kematian orang yang sangat disayanginya , tidak lagi! Setelah ibu? Tidak! Hazel tidak mampu!

Pada akhirnya gadis ini harus memutuskan.

Lebih baik, dia pergi menuruti ayahnya dan kehilangan ingatan dari semua kebenaran ini, ketimbang dia kehilangan adiknya.

Itulah yang terbaik menurut Hazel.

Ponsel Hazel kembali berbunyi. Kini dia tidak dapat menolaknya lagi. Chat itu dari ayahnya. Dia harus segera pergi menemuinya.

Dia menatap punggung lelaki itu, lalu meneteskan beberapa air matanya.

Gadis itu terduduk, lelaki itu berhenti menatap sosok tersebut,

"Sosok itu diluar kemampuanku, Hazel." Ucap lelaki itu, berusaha menemukan titik kelemahannya. Tapi tidak bisa!

Reza sebal, ilmunya tidak cukup, dia bahkan tidak bisa menolong orang yang sangat ingin dia lindungi.

"Kumohon pergilah!" Ucap Reza kepada makhluk itu kemudian beberapa kali menendang kakinya ke makhluk itu dan membacakan beberapa kalimat yang tidak dimengerti Reza.

Namun, lelaki itu kemudian terkejut melihat Hazel yang terduduk lemah.

"Aku harus pulang, maafkan aku Reza." Ucap gadis tersebut menatap dalam manik mata Reza yang duduk dihadapannya.

"Tapi..aku tidak mau, kehilangan ingatanku bersama kalian semua. Ingatan ibu, ingatan bersama Liam, maupun ingatan bersamamu. Reza." Pikir gadis itu, lalu tangisannya meledak.

Dia tidak tau harus apa lagi, tetapi jika ini yang harus dilakukan olehnya, maka perguruan itu, sosok itu, semuanya menjadi jelas.

Dan lelaki yang tengah menunduk di hadapannya kini telah menjelaskan semua. Hazel tersenyum, matanya menjadi lebih sipit sehingga air matanya semakin turun lebih banyak.

Kringg!!!

Bel pulang sekolah berbunyi. Waktunya sudah habis, setelah ini dia akan melupakan semuanya.

Gadis itu mengambil tasnya di kelas lalu pergi ke arah gerbang, dimana ayah telah menunggunya.

Reza mengikutinya dari belakang, menatap gadis itu dengan pandangan menanar.

Sampai akhirnya Hazel akan menuju mobil ayahnya.

"Terimakasih, atas semua info itu Reza. Aku berhutang banyak kepadamu." Ucap gadis itu tersenyum menatap lelaki itu.

Reza hanya bisa menatapnya datar, walaupun dalam hati dia sangat ingin menahannya untuk pergi.

Tetapi semua itu sudah terlambat, mobil ayah Hazel kemudian tertutup dan melaju, menjauh dari lingkungan sekolah. Meninggalkan Reza dengan pandangan kosongnya disana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top